Minggu, 03 Mei 2009

YANG MENYEBALKAN PEMBANTUNYA ATAU MAJIKANNYA?

Nggak bisa dipungkiri oleh kita, peran Pembantu dalam mengsukseskan masalah kerumahtanggaan sangat penting. Pembantu-Pembantu seolah menjadi “aset” yang berharga. Nggak berlebihan kalo mayoritas orang kota saat ini merasa, tanpa Pembantu kayak-kayaknya hidup jadi “nggak banget”.

Ibarat kata, kalo di kertas Pemilu kemarin ada seorang Pembantu yang kredibel (baca: sangat loyal, nggak suka membantah, gajinya nggak nyusahin Majikan, dan tangguh) di antara Politikus-Politikus yang nggak jelas, gw lebih mencontreng Pembantu. Pembantu lebih paham soal persoalan-persoalan grass root (lah, bukannya Pembantu memang masuk ke golongan grass root?), daripada persoalan-persoalan politik yang lip services dan ajang cari jabatan.

“Pokoknya Pembantu is the Best lah,” kata Nani, mantan Pembantu yang sekarang lebih cekatan jualan Bakso plus Es Teler.

“Kalo Guru itu Pahlawan tanpa tanda jasa, Pembantu ibarat Pahlawan tanpa tanda zaman,” tambah Nano.

“Maksud loe?” Dendy nggak ngerti. Maklum otaknya saat ini lagi dipenuhi oleh istri barunya yang siap diterkam siang-malam.

“Maksud gw, biar zaman berubah, abad berubah, evolusi terjadi, namun di dunia ini Pembantu tetap menjadi Manusia yang memiliki jasa...”

Berlebihankah?

Entahlah apa yang melatarbelakangi kenapa kita jadi tergantung dengan yang namanya Pembantu. Namun menurut Survey Riset Indonesia (SRI), genre Pembantu selalu mendapatkan rating dan share gokil-gokilan. Rating dan Share ini nggak direkayasa. Asli dari riset di 10 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Batam, Lampung, Palembang, dan Denpasar. Hasil riset, Pembantu hadir dalam kehidupan rumahtangga gara-gara kesibukan warga Metropolis. Masalah waktu sedikit yang dimiliki oleh mayoritas Keluarga, menempatkan posisi Pembantu menjadi “terhormat”.

Dengan mempekerjakan Pembantu, seakan pekerjaan rumah 50% beres. Bahkan ada Pembantu yang mampu mengerjakan 90% pekerjaan rumah dengan rapi jelita. Ini Pembantu gokil namanya. Kenapa gokil? Luar biasa banget gitu, Bo! Memangnya digaji berapa doi sama Majikannya? Mau tau aja!

Bayangkan, ketika kita masih terlelap tidur, Pembantu udah membunyikan mesin cuci. Berisik sih, tapi ini bagian dari Management Kepembantuan. Kalo nggak dikerjain pagi-pagi, cucian akan terbengkalai. Kalo terbengkalai, maka pekerjaan yang lain akan banyak yang menunggu giliran. Apa aja? Ya nyeterika, ngepel, nyabu eh salah nyapu, belanja ke pasar, masak, memberi ASI ke Majikannya (ini berbahaya! Dilarang keras ya?!), dan pekerjaan-pekerjaan lain. Bayangkan juga, ketika kita pergi ke kantor, anak-anak kita diserahkan sepenuhnya pada Pembantu, at least 50%. Sisanya minta tolong Mama atau Mertua.

Mereka bukan para TKW atau Pembantu Export. Yang Pria pun juga. Mentang-mentang berselimpang sarung, jangan lantas menuduh doi Pembantu. Doi justru Majikan dari ketiga Wanita ini.

“Harusnya yang disebut sebagai Superwoman ya Pembokat ya, Bo?” kata Nano, mantan Supergirl yang udah sadar diri menjadi Pria normal.

“Yap! But why yang disebut sebagai Superwoman malah Wanita-Wanita aktif dengan posisi atau melakukan aktivitas tertentu dan sayang anak?”

“Tanyakan pada Ebiet G. Ade alias rumput yang bergoyang....”

Alasan kedua kenapa Pembantu eksis dalam rumah tangga, lebih karena faktor kasihan. Maksudnya, si Majikan sebenarnya nggak perlu Pembantu sampai 15 orang di sebuah rumah berukuran 1.000 meter. Oleh karena ada seseorang dari Kampung Halaman yang butuh kerja, ya terpaksa orang tersebut dipekerjakan jadi Pembantu. Dengan mempekerjakan orang tersebut, otomatis Pembantu yang Newcomer itu akan riang gembira. Sebagai ucapan keriang-gembiraan si Pembantu, si Majikan akan dihadiahkan oleh Tuhan pahala. Kalo dari Pemerintah mungkin cuma Satyalencana amal bakti. Kalo dari kantor, berupa bonus yang dicicil selama dua kali.

Alasan terakhir, si Majikan masih butuh Wanita lain dalam hidupnya. Ini lantaran hidup si Majikan ganjen ini ingin berwarna. Gara-gara ingin berwarna, maka direkrutlah Pembantu yang berjenis kelamin Wanita dengan syarat: tinggi kudu 165 cm, bodynya yahud (maaf! pantat dan payudaranya gede), dan selalu mengikuti trend, salah satunya nonton sinetron dan reality show.

Buat Ibu-Ibu, alasan terakhir tadi sungguh sangat menyakitkan hati. Pasalnya, buat seorang Wanita, dibanding-bandingkan dengan Pembantu adalah Pamali. Nggak terhormat. Wanita harusnya dijunjung tinggi bak bintang di langit yang menyinari bumi ini. Pembantu nggak level banget berada setara dengan Majikan berjenis kelamin Wanita. Namun, secara kelakuan (ini menurut survey SRI lagi), level Majikan Wanita dengan Pembantu ternyata nggak beda jauh, Bo!

“Ngomong jangan ngawur loe! Ntar dimaki-maki kaum Feminist...”

Begini penjelasannya. Yang namanya Pembantu tentu nggak secanggih Majikan. Maksudnya, kadar otaknya, daya ingatnya, pengetahuannya, dan attittude-nya harusnya jauh beda. Ada memang Pembantu yang otaknya brillian (tanpa huruf “to”). Misalnya dijelaskan satu kali, si Pembantu itu langsung ngerti dan begitu dieksekusi sangat memuaskan hati Majikan. Itu tipikal Pembantu dengan daya serap supercanggih.

Namun mayoritas, kejadiannya apa yang diminta Majikan, yang diperintahkan Majikan, yang dijelaskan Majikan, berbeda dengan apa yang dieksekusi para Pembantu. Mending dijelaskannya cuma sekali. Ada Pembantu yang udah dijelaskan 100x tapi masih aja o’on alias telmi alias nggak ngerti blas! Gara-gara ini, Majikan jadi impulsif. Marah-marah nggak jelas, banting pintu, bakar menyan, cabut-cabutin pohon, dan aneka keanehan lain. Keadaan impulsif ini menyebabkan si Majikan hilang akal. Ujung-ujungnya, kata-kata sumpah serapah, kata-kata kebun binatang, dan caci maki ditumbahkan ke Pembantu. Mending cuma “teror mental”, kalo main fisik gimana? Dipukul, ditendang, disetrika, atau dimutilasi? Masuk kategori KDRT bukan?

“Nangis lah para Pembantu kalo diperlakukan kayak gitu...”

“Minta resign lah para Pembantu kalo mengalami kejadian kayak gitu...”

Lalu siapa yang salah?

Sebenarnya terlalu dini menuduh si Pembantu yang salah atau si Majikan yang salah. Tapi elo-elo semua yang bisa menilai, kira-kira kalo ada rumah tangga yang selalu gonta-ganti Pembantu dalam kurun waktu 3 bulan sekali, kira-kira siapa yang menyebalkan? Kalo ada sepasang suami-istri yang selalu pusing tiap habis Lebaran gara-gara Pembantunya nggak punya niat balik lagi itu karena apa?

“Siapakah yang menyebalkan: Majikan atau Pembantu?”

Gw bukan Anggota Komnas Pembantu yang mengurus KDRT dan memperjuangkan aspirasi para Pembantu. Namun, kadang kita kudu memposisikan diri sebagai Pembantu. Bahwa kenapa Pembantu tetap goblok kalo dikasih tahu berkali-kali, ya namanya juga Pembantu. Sakali lagi, level otaknya nggak sekelas Majikan yang punya gelar S-1, S-2, atau Es Teler. Daya serap otak mereka beda.

Namun kita sebagai intelektual muda ceria nggak ikut-ikutan jadi goblok. Menyama-nyamakan level otaknya dengan Pembantu. Dengan kemarahan kita, dengan keimpulsifan kita, dengan attittude kita yang nggak banget, itu sama aja kayak pepatah: “Guru kencing berdiri, Monyet kencing nggak dicebok”. Artinya, kelakuan loe yang seharusnya lebih beradab, jadi kayak primitif.

“Mbok sabar menghadapi kelakuan para Pembantu....”

“Tapi kesabaran ada batasnya juga, Jo!”

“Salah! Sabar nggak ada batasnya. Yang ada batasnya itu jurang. Kalo elo samakan sabar kayak jurang, kayaknya elo perlu sekolah lagi di Kelompok Bermain....”

“Emang udah buka pendaftarannya?”

“Udah...”

“Hayu mari daftar, Maaang......”

0 komentar: