Kamis, 14 Mei 2009

PANTESAN KIJANG NGGAK BISA HIDUP DI MONAS...

“Inilah puncak Monas,” jelas Bapak setengah baya yang bertugas sebagai Tour Guide kami siang itu. Ketika menjelaskan, keringatnya mengucur deras. Udah gitu, nafasnya kembang kempis, kayak bentar lagi mau mati. Maklum, buat mencapai puncak Monas, doi kudu naik tangga darurat. Namun semangat beliau sebagai Tour Guide tetap menyala bak api yang tak kunjung padam.

“Di puncak ini terdapat cawan yang menopang patung berbentuk nyala obor perunggu,” lanjut Bapak ini sambil melirik ke sebuah lembaran kecil yang sedari tadi ada digengaman tangan kirinya.



“Wowww!!!!”

“Berat obor ini mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg....”

“Wowwww!!!”

“Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan...”

“Wowwww!!!”

“Kok dari tadi kalian wow-wow terus sih?” Protes Bapak ini.

“Habis kita harus bilang apa Pak?” jawab salah seorang teman kami yang wajahnya mirip obor Monas.

“Ya bilang apa kek? Aha, kek! Uhu, kek! Atau Aha-Uhu...”




Tour Guide kami itu menjelaskan kembali soal Monas. Menurut catatannya, tugu ini dibangun di areal seluas 80 hektar. Arsiteknya bernama Pak Soedarsono dan Pak Frederich Silaban (ini orang Indonesia atau orang bule ya? atau orang Indonesia yang kebule-bulean?), sementara konsultannya Pak Ir. Rooseno.

Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Berarti udah 50 tahun yang lalu ya, cong?! Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1961, Presiden RI perdana, Ir. Soekarno meresmikan monumen tersebut. Namun Monas baru resmi dibuka buat umum pada tanggal....

“Tanggal berapa ya?” Bapak Tour Guide itu lupa. Kertas contekan yang dibawanya ternyata nggak ada tanggal pembukaan Monas buat masyarakat umum. Jidatnya berkali-kali dipukul sebagai rasa menyesal.

“Hayo tanggal berapa?” Goda teman kami.

“Makanya jangan cuma nyontek, Pak! Kalo cuma nyontek, ya resikonya begini deh. Begitu contekan hilang, Bapak kelabakan kan?”




“Tanggal berapa dong?” Bapak itu masih penasaran.

“Mau nggak saya kasih tahu?”

“Ya jelas mau dong...” Begitu mendapatkan tawaran dari salah satu teman kami, wajah Bapak itu semringah alias cerah ceria. Ibaratnya, doi melihat ada enlightment alias pencerahan.

“Tapi bayar dulu dong...”

Wajah si Bapak berubah. Kalo kita lihat secara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, perubahan wajah Bapak Tour Guide kayak bunglon yang merubah kulitnya, dari warna cerah ke warna pudar.

“Yasudah, nanti turun dari Puncak ini kamu saya gendong. Selain saya gendong, nanti kamu saya belikan es krim Woody...”

“Ok, sip! Tanggalnya 12 Juli 1975, Pak!”

“Itu tanggal apa ya?” Tanya Bapak itu tolol.

“Ya amplop! Itu tanggal dimana Monas dibuka buat umum, Pak!”

Bapak Tour Guide cengegesan dan mengangguk tanda setuju. Sementara para Peserta Tour de Monas gerendengan gara-gara gemas melihat kelakuan si Bapak. Kondisi itu membuat si Bapak jadi malu hati. Malu juga gara-gara nggak hafal soal sejarah Monas. Tapi malunya cuma sebentar. Begitu udah ketahuan dibilang biang nyontek, begitu para Peserta Tour de Monas nggak gerendengan lagi, doi nggak segan-segan lagi membaca buku contekan yang sejak tadi disembunyikan.




“Bentuk Tugu peringatan ini memang sangat unik. Kenapa? Yang kita lihat, batang yang tinggi menjulang ini adalah sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer. Batu ini berbentuk lingga yoni, yakni simbol kesuburan. Tingginya mencapai 132 m....”

“Berarti Monas itu lambang kejantanan laki-laki ya Pak?”

“Katanya sih begitu...”

“Penis ya Pak?!”

“Hush!!!! Jangan porno gitu ah! Nanti kita kena UU Pornografi dan Pornoaksi, lho!” sergah Bapak Tour Guide kayak ketakutan.

“Pantesan kijang nggak mau hidup di sekitar Monas ini...”

“Lho, apa hubungannya?”

“Iya, karena kijang-kijang di sini dahulu konon berjenis kelamin Betina semua. Bisa-bisa hamil terus kalo tinggal di Monas. Kalo penis ketemu alat kelamin wanita biasanya kan bisa halim, eh hamil, Pak...”

"Waduh! Saya kok baru tahu soal itu ya, Dik?"

"...."



all photos copyright by Jaya

0 komentar: