Selasa, 12 Mei 2009

SEMAKIN DIKEROYOK, SEMAKIN MENANG

Kisah-kisah Superhero selalu menggusung “kisah klasik”. Terminologi “kisah klasik” ini buat menggantikan kata “basi”. Lho kenapa “basi”? Memangnya sayur yang udah dua hari nggak dibuang berubah jadi basi? Begini lho, cong penjelasannya. Kisah Superhero pasti kisahnya bisa ketebak. Superhero selalu kalah di awal dan menang di akhir kisah. “Basi” bukan?

“Kisah klasik” ini terjadi dalam dunia politik. Duel yang terjadi dalam perebutan Capres adalah mirip kayak kisah Superhero. Siapakah Superhero-nya? Siapakah yang menjadi Pemenang?

“SBY pastinya!”

My Friends jangan menuduh gw antek-antek SBY, lho. Jangan pula memposisikan gw sebagai Tim Kemenangan SBY di Pemilu Presiden. Gw bukan partisipan Partai Demokrat, karena di Pemilu Legislatif kebetulan nggak pilih Partai itu. Gw cuma Pria biasa, mantan Cover Boy zaman Perang Diponegoro. Bahwa SBY diumpamakan sebagai Superhero dan menjadi Pemenangnya, kayak-kayaknya udah bisa ditebak.

SBY adalah sosok yang selalu mendapat kritikan pedas dari berbagai kalangan. Nggak cuma dari kalangan mantan Jendral seniornya, kayak Wiranto dan Prabowo. Dimana mereka menilai, SBY lembek dalam menjadi Presiden, nggak tegas, dan tebang pilih dalam memberantas korupsi. SBY juga dimusuhi oleh mereka yang berasal dari golongan non-militer. Di golongan terakhir ini, Gus Dur berseberangan dalam kebijakan SBY. Megawati pun demikian.

“Superhero tapi kok nggak pake sayap?”

“Emang Superhero harus pake sayap?”

“Kok nggak pake topeng?”

“Nggak harus pake topeng kan?”

“At least CD-nya di luar kayak Supermen gitu, lho!”

“Hush! Jangan memprovokasi gitu deh!”

Dalam dunia nyata, SBY adalah sosok yang dikangeni Ibu-Ibu. Ibarat sinetron, SBY adalah bintang utamanya, dimana kalo Ibu-Ibu berjumpa, pipi SBY bakal dicubit-cubit saking gemas. Nah, kebayang kan sikap Fans yang udah fanatik? Kalo Idola-nya diobok-obok oleh Enemy alias para Musuh, para Fans bakal menyerbu. Kalo “menyerbu” terlalu berbau vandalis, Fans akan memusuhi tampang-tampang Musuh.

Lihatlah SBY yang selalu disudutkan. Kebijakan-kebijakan selalu dikritisi. Kayak-kayaknya nggak ada kebijakan di Pemerintahan SBY yang betul. Pemberantasan korupsi yang begitu gencar, dianggap ngabis-ngabisin waktu. Padahal buat sebagian besar orang, itikad pemberantasan korupsi di zaman SBY, luar biasa. Coba berkaca pada Presiden-Presiden sebelumnya?

Ketika SBY mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Megawati sempat mengkritik dengan keras. Alasan Mega, BLT bukan solusi. Cuma ngasih ikan, bukan umpannya. Eh, ternyata buat mayoritas Rakyat, BLT sangat membantu. Kenapa? Presiden-Presiden sebelumnya nggak pernah ngasih duit, SBY ngasih duit. Kayak Sinterclaus yang turun dari langit.

“Itulah mengapa kemudian Megawati akhirnya menyerah!”

“Maksudnya?”

“Deklarasi yang menghimpun koalisi berbagai Partai, nggak menjamin Megawati menjadi kuat...”

“Iya, betul juga, lho!”

“Justru posisi SBY semakin kuat! Soalnya, SBY itu kalo semakin dikeroyok akan semakin menang!”

Politik kita memang politik emosional. Artinya, Rakyat selalu melihat dengan sudut melodramatis, kayak kisah-kisah telenovela. Ada Tokoh Kaya dan Tokoh Miskin. Kala Tokoh Miskin dianiaya oleh Tokoh Kaya, Penonton bakal kesal pada Tokoh Kaya. Tokoh Miskin berhasil merebut hati Penonton. Si Tokoh Kaya menjadi Tokoh Antagonis dan si Miskin menjadi Tokoh Protagonis.

Kisah Tokoh Kaya dan Tokoh Miskin juga dialami oleh SBY. Ini kisah lain kalo SBY nggak dianalogikan sebagai seorang Superhero. Nah, ketika SBY dipecat dari Menteri di Pemerintahan Presiden Megawati, “penonton” (baca: Rakyat Indonesia) melihat SBY adalah Tokoh Miskin yang patut dikasihani. Nggak heran ketika Pemilu 2004, SBY berhasil mengalahkan Mega sebagai Presiden.

“Melodrama telenovela ini bakal terjadi lagi di tahun 2009 ini...”

“And the winner udah bisa ditebak....”

“Pasti Winarso!”

“Lho kok Winarso?”

“Soalnya ceweknya cakep banget, bo!”

“Halah!”

0 komentar: