Selasa, 18 Agustus 2009

BAPAK MEMANG TAHU APA YANG KUMAU

Sore yang cerah itu di Sirkuit Sentul. Seorang Bapak sedang mengawal dua kambingnya yang imut-imut itu. Kambing imut pertama berwarna cokelat. Namanya kambing cokelat. Kambing imut kedua berwarna hitam belang putih. Nggak heran kalo Bapak itu menamakan si kambing adalah “bilang” yang berasal dari singkatan kambing belang. Sambil mengawal kambing, Bapak itu pun mengawal dua anak lakinya yang kalah imut dibanding kambing.

Aktivitas kawal-mengawal ini memang sudah biasa dilakukan oleh Bapak single parent ini. Sejak anak kedua berusia 3 tahun, istrinya meninggal dunia. Kabar meninggalnya sang istri rada simpang siur, boleh dikatakan simpang lima. Ini mirip kayak kesimpangsiuran info di masyarakat soal seseorang yang ditembaki oleh Densus 88 Antiteror Polri. Ada yang bilang Noordin M. Top lah! Ada yang bilang kucing. Ada yang bilang Noordin M. Tip. Pokoknya simpang siur gitu deh! Nah, kematian sang istri yang punya suami ini juga simpang siur lima.

Simpang pertama, istrinya tewas gara-gara kehabisan nafas. Nafas bantuan tak kunjung tiba, ketika sisa nafas terakhir sudah tak bisa menunggu. Simpang kedua, istrinya dibunuh oleh seorang suster yang seringkali ngesot malam-malam. Simpang ketiga, suami membunuh istri gara-gara, sang istri berniat mau membunuh sang suami. Simpang keempat, istri nyasar di pasar yang gelap gulita. Lalu diperkosa oleh Tukang Ayam sampai mati. Simpang yang terakhir, sang suami nggak tega si istri hidup dengan dua orang anak. Gara-gara nggak tega, sang suami meminta Pembunuh bayaran untuk membunuh si istri. Tapi sayang, bayarannya kurang, jadi sang suami nggak jadi menyewa Pembunuh bayaran. Suami sendiri yang membunuh istrinya.

Meski simpang lima yang simpang siur itu, suami tetap bertanggungjawab terhadap kedua anaknya. Nggak heran kalo kedua anaknya ini dirawat dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dia merawat kambing-kambingnya.


Inilah Sirkuit Sentul yang megah, dimana dua orang anak manusia ingin sekali jadi Pembalap.

One day, ketika Bapak sedang mengembala kambing, kedua anak Bapak itu mampir ke tribun sirkuit. Tribun dimana biasa menjadi tempat duduk para penonton balap mobil yang nggak lain anak-anak orang kaya. Sebenarnya keinginan kedua anak itu buat menyaksikan balapan di sirkuit balap mobil ini sudah lama terpendam, namun baru kali ini terrealisasikan. Selama memendam keinginan, kedua anak ini cuma bisa mendengar deru mobil balap itu sambil menunggang kambing. Kok menunggang kambing? Ya, seolah mereka membayangkan kambing itu adalah mobil balap. Walah! Jauh banget ya?! Oh iya, belum berkenalan, nama anak itu Tjahyo dan Witjak. Tjahyo sang Kakak, sedang Witjak adalah adik dari Tjahyo.

Begitu Tjahyo dan Witjak duduk di tribun, mereka langsung takjub. Takjub melihat mobil-mobil balap yang ada di sirkuit keren-keren. Warna-warnanya pun eksotik. Ada merah, biru, kuning langsat, hijau daun, hitam manis, dan orange jus.

“Kok mereka ngebut sih, Kak,” tanya Witjak dengan lugu. Maklum, usianya belum genap 4 tahun.

“Iya, karena mereka itu adalah Pembalap,” kata Tjahyo. “Pembalap itu harus ngebut. Kalo nggak ngebut namanya bukan Pembalap, tapi ayam sayur.”

“Ayam sayur? Sayur apaan, Kak?”

“Ya, tergantung kamu suka sayur apaan. Kalo kamu suka sayur bayam, ya, ayam sayur bayam. Kalo kamu suka sayur sop, ya ayam sayur sop. Suka-suka kamu lah! Tapi kenapa dari ngomongin balap mobil jadi ke sayur-sayuran ya?”

“Kakak yang ngomong kok...”

Tjahyo terdiam. Dia kembali fokus ke sirkuit, dimana masih terdapat lima mobil yang sedang saling membalap. Mereka saling salip menyalip, berusaha berebut buat berada di nomor paling depan.

“Dik, pantas nggak kalo Kakak jadi Pembalap kayak mereka?” tanya Tjahyo ke Witjak. Wajah Tjahyo tetap fokus mengikuti ke arah mobil-mobil balap itu melaju.

“Pantas, Kak! Pantas banget! Soalnya kakak suka mie rebus kan?”

“Lho apa hubungannya mie rebus dengan jadi Pembalap?”

“Pasti makanan Pembalap tiap hari mie rebus kan, Kak? Memangnya kita mau makan mie rebus aja harus nunggu sebulan sekali...”

“Ya, nanti kalo Kakak jadi Pembalap, kamu mau makan mie rebus setiap jam juga bisa!”

“Betul, Kak?” tanya Witjak dengan wajah sumringah.

“Betul lah! Masa Kakak bohong?”

“Hore!!! Hore!!! Hidup Kakak! Kakakku seorang Pembalap! Hidup Kakak!”

Witjak begitu riang gembira dijanjikan oleh Kakaknya makan mie rebus tiap jam kalo kelak Tjahyo jadi Pembalap. Nggak heran Witjak ngotot banget ke Tjahyo agar segera minta restu sang ayah agar jadi Pembalap. Atas desakan sang Adik, Tjahyo akhirnya menjumpai Bapaknya.

Sang Bapak masih duduk di bawah pohon bersama dua kambingnya yang imut-imut itu. Sebelum mereka hadir, Tjahyo dan Witjak sempat melihat Bapaknya sedang berdialog dengan kedua kambingnya. Entah apa yang diperbincangkan. Entah bicara politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Atau jangan-jangan Bapaknya lagi tes vokal duet bersama kambing-kambing itu. Ah, entahlah!


Manusia berkacamata ini bukan Preman, apalagi Pembalap. Beliau adalah orang baik-baik yang ingin mengangkat harkat martabat orang-orang miskin agar bisa merasakan menjadi orang kaya. Sayang, belum kesampaian.

Tjahyo pun menguraikan keinginannya. Namun, what's happen next? Bukan main kaget Tjahyo dan Witjak menerima reaksi si Bapak. Mereka nggak nyangka Bapaknya begitu negatif terhadap cita-cita Tjahyo yang mulia itu sebagai Pembalap. Mereka nggak nyangka Bapaknya melihat dari angle yang sangat negatif.

“Kalo kamu sampai jadi Pembalap, Bapak nggak akan mengakui kamu jadi anak-anak Bapak!”

"Kok kayak Malin Kundang Pak?"

"Ya, gitu deh!"

“Apakah durhaka menjadi Pembalap Bapakku tersayang?” tanya Tjahyo.

“Durhaka sih enggak, tapi banyak nggak pentingnya!”

“Nggak penting?”


Inilah kedua kakak-beradik yang bercita-cita jadi Pembalap. Sayang, untuk sementara waktu dianjurkan oleh Ketua RT untuk ikut lomba balap karung. Bukankah sama judulnya Pembalap juga? Pembalap Karung!

“Iya, nggak penting! Dalam suasana kemiskinanan kayak begini masih ada orang yang membuang-buang bahan bakar percuma. Bapak tahu, itu semua pakai duit mereka. Tapi andai bensin yang dibuang itu dipakai buat sesuatu yang bermanfaat, misalnya membangun sekolah-sekolah yang banyak roboh, membiayai anak-anak yang tidak bisa sekolah, atau menyelamatkan keluarga-keluarga miskin yang tak mampu berobat ke rumah sakit, pasti akan lebih bermanfaat...”

“Mereka pasti orang kaya Bapak. Mereka pasti sudah melakukan itu semua...”

“Belum cukup! Mengandalkan Pemerintah juga sulit. Jadi Bapak nggak setuju kalo kamu jadi Pembalap. Lagipula memangnya siapa yang mau membelikan mobil kamu?”

“Lho, kan di rumah sudah ada, Pak?” tanya Witjak dengan lugu.

“Itu mah mobil-mobilan! Anak-anak, sampai kapan pun orang miskin seperti kita nggak akan mampu membeli mobil Balap. Mobil balap itu harganya lebih dari 1 miliar tahu?!”

“Hah?! Kok mahal amat, Pak? Nggak bisa kurang?”

“Sudah harga tokonya segitu, kok. Bapak nggak ambil untung. Coba aja cek ke toko sebelah! Pokoknya Bapak nggak setuju kalo kamu jadi Pembalap. Mending kamu jadi Preman....”

“Jadi Preman?”

“Iya, jadi Preman. Dengan menjadi Preman, kita akan mendapatkan banyak uang. Dengan banyak uang kita bisa merubah status kita dari orang miskin menjadi orang kaya. Dengan menjadi orang kaya, maka kita bisa mengendalikan orang-orang, apalagi kalo menjadi Ketua dalam organisasi. Dengan begitu, kamu mau jadi Pembalap juga terserah deh. Sebab uang sudah nggak masalah...”

“Wah, enak juga tuh Pak...”

“Iya, enak ya Kak jadi Preman itu?”

“Kalian tertarik jadi Preman?”

“IYAAAAAAA!!!!!”

“Baiklah, nanti Bapak kenalkan dengan beberapa Preman sukses. Mereka sudah lama menjadi inspirasi Bapak. Sebab, dengan kharisma kepremanan mereka selama ini, mereka sukses di dunia...”

“Bapak memang tahu apa yang kumau...”

Senin, 10 Agustus 2009

KISAH PEMBURU TERORIS: "BENTAR DULU SAYA LAGI BOKER!"

Sejak dini hari, Pasukan Pengrebek Teroris (Subekris) 99 sudah mengepung sebuah rumah gubuk yang berada di tengah sawah. Menurut rencana, hari ini mereka ingin menangkap seorang gembong teroris yang most wanted di negeri Kucing Garong ini. Gembong tersebut kabarnya berada di rumah gubuk reot itu.

”Kalian sudah siap semua?” kata Komandan Subekris berbisik ke beberapa anggota pasukan.

”Apa Komandan?” tanya salah seorang anggota Subekris yang nggak mendengar pertanyaan Komandannya.

”Saya bilang sudah siap belum?” kata Komandan mengulangi, tapi tetap dengan cara berbisik.

”Duh! Ngomongnya yang keras dong Komandan. Ngapain sih bisik-bisik?” protes anak buah Komandan itu.

”KALIAN SUDAH SIAP BELUM?! Ucap sang Komandan dengan nada suara vokalis heavy metal. ”Sudah jelas? Kendengaran?!”

”Ssssssstttttt!!!! Jangan berisik dong Komandan. Bicaranya pelan aja. Kita kan lagi bersembunyi....”

”Tadi saya disuruh bicara lebih keras. Eh, sekarang malah diomelin. Mau kalian apa sih?” ujar Komandan yang kali ini mencoba merendahkan suara lagi, lebih tepatnya berbisik.

”Mau kami, Komandan masuk duluan ke dalam rumah itu. Komandan periksa isi rumahnya. Benar nggak ada orang di dalam. Kalo benar ada, pertanyaan selanjutnya benar nggak yang di dalam itu Noordin M. Top....”

”Kenapa saya? Saya kan Komandan kalian?”

”Pemimpin kudu maju duluan di depan. Masa pemimpin mau enaknya aja di belakang? Sementara anak buah di depan tembak-tembakan, eh Komandan nonton di belakang. Nggak usye yee....”

”Iya juga sih. Yasudah, saya yang maju ke depan....”

Dengan cara bertiarap, sang Komandan Subekris 99 kemudian bergerak menuju ke rumah gubuk itu. Ini dilakukan agar orang yang ada di dalam rumah itu nggak mengetahui kedatangannya. Oleh karena body sang Komandan terlalu besar, dia perlu enerji ekstra buat menyeret badannya. Nggak heran, baru bergerak limapuluh meter, nafas sang Komandan sudah ngos-ngosan.

Finally, sang Komandan sampai juga di depan pintu rumah gubuk itu. Sambil mencari lubang yang bisa diintip, sang Komandan berjinjit. Sekali lagi, aksi jinjit itu agar suara kedatangannya nggak terdengar oleh orang yang ada di dalamnya. Orang yang katanya gembong teroris yang dicari-cari itu. Tapi sang Komandan kaget bukan kepalang.


Orang ini lagi boker di tempat boker yang dikenal dengan istilah "helikopter". Kenapa "helikopter"? Ya, karena bokernya di atas kali. Kita serasa lagi terbang, padahal lagi boker. But yang boker bukan Noordin M. Top atau Noordin M. Tip. Yang boker seorang Pemulung yang rumahnya di pinggir jalan tol Cempaka Putih. Mau kenalan?

”Siapa di luar? Orang apa kucing?” tanya suara dari dalam rumah.

”Kuciiiiingggg....” kata Komandan.

”Kucing apa orang?” kata orang dari dalam itu lagi bertanya.

”Oraaaaangggg....” kata Komandan.

”Bentar ya, saya mau boker dulu!”

Sang Komandan bingung. Bisa-bisanya Teroris tawar-menawar dengan dirinya. Padahal selama ini, nggak ada dalam kamus, Komandan Subekris melakukan kompromi kayak begitu. Dia selalu tegas, tapi sopan dan santun. Namun kali ini, dia ternyata harus melakukan kompromi. Kasihan juga kan orang mau boker digerebek? Itu namanya melanggar pri-kebokeran.

”Udah selesai belom bokernya?”

”Belum!”

Tigapuluh menit berlalu. Komandan sudah salah tingkah. Sudah berkali-kali ganti posisi. Dari posisi berdiri, setengah berdiri, dan jongkok. Sempat pula Komandan nongkrong, nungging, dan koprol. Pokoknya sudah nggak tahu lagi mau ngapain.

“Udah belum?”

“SUDAH!”

“Sebelum saya menggrebek, saya mau tanya dulu apakah kamu bernama Noordin?”

“Yap!”

“Noordin M. Top?”

“Sayang sekali! SALAH! Saya bukan Noordin M. Top!”

“Noordin apa dong? Bukan Noordin Purchasing juga kan?”

“BUKAN!”

“Saya nyerah deh….”

“Saya adalah Noordin M. Tip!”

“Lho, kenapa belakangnya M. Tip?”

”Sebab, saya bukan teroris, tapi orang yang selalu berbaik hati memberikan tip. Uang tip yang saya berikan selalu gede. Makanya saya dikenal sebagai Noordin M. Tip!”

Komandan akhirnya kembali ke lokasi semula, dimana terdapat beberapa anak buahnya yang sudah siap menyergap rumah gubuk itu. Seluruh anak buahnya bingung, mengapa Komandan mereka kembali ke tempat semula dengan wajah lesu.

”Komandan, kenapa wajah Anda bemuram durja?” tanya sang anak buah.

”Apakah Komandan kena darah rendah?” tanya anak buahnya lagi. ”Kalo darah rendah, sebaiknya minum vitamin penambah darah...”

Komandan duduk di sebuah gundukan tanah di sawah. Seluruh anak buahnya mengitari sang Komandan. Mereka menunggu apa pernyataan yang diutaran sang Komandan.

”Saudara-saudara sekalian, kita salah sasaran. Yang kita mau tembak di rumah gubuk itu bukan Noordin M. Top, tapi Noordin M. Tip. Lagipula, nggak mungkin Noordin M. Top sendirian ada di rumah itu. Kalo pun terkepung, ngapain juga menjawab pertanyaan-pertanyaan saya soal siapa dirinya. Sebagai gembong teroris, tentu dia akan lebih baik menggunakan bom bunuh diri, sehingga mati secara terhormat. Terlalu bodoh bagi seorang gembong ditembaki oleh Pasukan kita tanpa ada perlawan, ya nggak? Jadi, operasi kita cukup sampai di sini. Saya sakit perut…”

“Bapak ingin boker?”

“Yap! Tadi saya menunggu terlalu lama Noordin M. Tip boker. Gara-gara kelamaan, saya masuk angin. Sekarang kentut-kentut terus...”

“Pantesan bau, Komandan!” kata salah seorang anak buahnya sambil menutup hidung.

”Maaf ya. Maka dari itu, izinkan saya untuk boker sejenak. Kalian boleh santai-santai dulu...”

”SIIIIIAAAAPPP KOMANDAN!!!!”

Seluruh anggota Pasukan Subekris 99 pun bersorak kegirangan. Mereka langsung berlarian kayak anak SD yang riang gembira, gara-gara nggak ada Guru yang mengajar di kelas. Sementara sang Komandan menuju sungai buat boker.

Minggu, 09 Agustus 2009

KISAH EMPAT ANAK NAKAL

Di sebuah kawasan industri yang sejuk dan segar terdapat sebuah kampung. Kampung itu bernama Kampung Buncit. Menurut sejarah, penamaan kampung tersebut gara-gara penghuni kampung itu yang mayoritas berperut buncit.

Mata pencaharian warga Kampung Buncit adalah mencuri. Tapi bukan sembarangan mencuri. Mereka mencuri cuma pada orang-orang kaya atau pemerintah. Hasil curiannya pun bukan digunakan buat kepentingan pribadi, tapi kepentingan warga sekitar. Kata Tokoh Masyarakat setempat, mencuri model begini nggak dosa, bahkan masuk surga.

“Kecuali kalo mecuri untuk kepentingan pribadi, itu baru dosa namanya,” jelas Tokoh Masyarakat yang rajin beibadah ini.

Aturan aneh Kampung Buncit ini mengingatkan kita pada kisah Robin Hood, dimana Robin Hood and the Gang kerap mencuri barang-barang kerajaan buat keperluan pengikutnya. Kebiasaan mencuri kayak ini juga terjadi di salah satu daerah di Indonesia. Lebih tepatnya bukan mencuri, tapi merompak.

“Yang namanya mencuri tetap aja dosa kalee!”

“Ah, enggak dong! Kan buat kepentingan orang banyak?”

“Sama aja! Memindahkan barang yang bukan hak kita dari orang yang memang pemiliknya ke orang yang bukan pemilik itu tetap berdosa. Kalo dilakukan terus menerus dan nggak bertobat, bakal masuk neraka!”

“Ah, enggak lah. Mencuri dengan etika beda dengan mencuri buat diri sendiri...”

Barangkali itulah yang membuat perut warga Kampung Buncit membuncit semua. Apa yang dimakan, tidak halal. Uang yang dibelikan makanan, berasal dari hasil curian. Bukankah Tuhan berkata, sesuatu yang kamu makan atau kamu pakai yang berasal dari curian menjadi tidak halal?


Inilah empat anak nakal yang sok berolahraga, padahal baru jalan sedikit udah ngeluh. Nggak heran kalo perut mereka buncit.

Tuhan mengutuk Kampung Buncit. Mayoritas warga Kampung menjadi buncit, termasuk bayi yang baru lahir pun membuncit, Nenek-Nenek yang pipinya sudah peot pun perutnya membuncit, apalagi mereka yang nggak pernah berolahraga, buncit abis! Nah, soal kemalasan berolahraga dengan jarak jauh inilah yang membuat empat anak menjadi buncit forever. Mereka adalah Gigan, Dicky Kewoy, Mame, dan Adi.

Sebelum seperti sekarang ini, keempat anak ini buncitnya parah. Selain perut yang menjorok ke depan, udel mereka pun ikut-ikutan menjorok. Ya, kayak balapan gitu deh antara perut dan udel. Beruntung, Mame dan Adi sempat ikut fitness mengangkat besi-besi milik Madura di sekitar Pulomas, sehingga perut buncit mereka berhasil mengecil dan lama-lama kempes. Sedengkan Gigan dan Dicky, perut mereka tetap buncit sempurna.

Gigan dan Dicky sudah berusaha untuk tidak membuncitkan perut mereka. Aneka resep jamu sudah dicoba, termasuk jamu antijerawat dan antimabok. Aneka jus pun sempat diminum secara rutin, mulai dari jus jambu bol, jus kepiting rebus, jus orang muntah, sampai jus tokai bayi. Namun rupanya Tuhan memang sudah mengutup mereka berdua untuk tetap buncit.

Someday ada acara jalan sehat di sekitar kawasan di dekat kampung mereka. Acara ini dalam rangka mengkompakkan warga, juga dalam rangka HUT Republik Indonesia yang ke-64. Eh, dasar nakal, mereka datang telat. Sudah datang telat, mereka masih menikmati Soto Cholik yang lezat itu. Walhasil, ketika warga kampung sudah melakukan napak tilas berramai-ramai, keempat anak nakal ini masih menyeruput soto.

“Habis enak sih...”

“Yaiyalah enak! Siapa bilang Soto Cholik nggak enak? Masalahnya elo ini nggak ikut barisan warga kampung yang udah jalan itu...”

“Ah, nanti kita nyusul kan bisa, ya nggak friends?”

“YESSSS!!!”

Akhirnya mereka pun berjalan jauh di belakang seluruh warga kampung. Mereka berjalan dengan penuh kemalasan. Maklum, perut buncit mereka mengganggu kelincahan dalam berjalan. Gara-gara ingin cepat sampai, mereka punya akal bulus. Akal bulus yang asalnya dari Lebak Bulus.

“Bagaimana kalo kita ambil short cut?” kata Dicky, pria yang dituakan di antara keempat anak nakal ini.

Short cut itu sama kayak cut to cut ya? Kalo sama, gw males ah! Baru kemarin gw ngedit sama Kang Ade. Masa harus ngedit lagi?” protes Mame.

Short cut itu bukan kita disuruh ngedit kale! Short cut semacam masakan Bu Brindil. Betul kan Dic?” tanya Gigan.

“Ah, bego baget sih loe pade! Short cut itu terjemahan bebasnya ambil jalan tikus, ngerti?”

“Kita jangan disuruh makan tikus dong, Bos...” kata Adi, pria jangkung mantan pemain basket tingkat SD.

“Udah ah becandanya, ikutin gw aja!”



Dengan mengendap-ngendap, mereka mereka melihat suasana di sekitar. Mereka nggak ingin terlihat curang dalam rangka napak tilas kali ini. Nggak heran, begitu melihat seluruh warga melintas di jalan, mereka berempat langsung bersembunyi di balik gerobak Tukang Rokok. Aksi tolol ini tentu saja nggak efektif. Bayangkan, lebar gerobak rokok yang kecil itu kudu disusupi oleh tubuh empat orang pria yang segede pohon beringin. Nggak heran, Polisi yang melihat aksi mereka langsung menghampiri.

“You are under arrest!”

“Lho, apa salah kita Pak?”

“Udah jangan banyak cing-cong! Keluarkan celana dalam kalian?”

“Kok celana dalam?” protes Gigan.

“Iya, karena aku kan bukan pria biasa...”

“Maksud Bapak?” tanya Dicky.

“Aku kan suka kalian semua...” kata Polisi itu sambil mesem-mesem.

Keempat anak nakal itu pun kabur. Tanpa mereka sadar, lari mereka secepat Steve Austeen, The Six Million Dolar Man itu. Mereka berhasil mendahului seluruh warga kampung yang masih melakukan napak tilas keliling kampung. Tinggal Polisi yang terbengong-bengong melihat Gigan, Dicky, Adi, dan Mame yang kocar-kacir dengan sempurna.

“Mereka memang lelaki luar biasa. Nggak salah kalo saya ingin memilih satu di antara mereka,” kata Polisi itu sambil ngiler.


all photos copyright by Jaya

MASA DIBILANG PENGECUT?

Terus terang saya nggak sampai hati mendengar cerita miring soal Jenderal Sudirman. Sebagai sahabat karib, saya mengenal beliau nggak seperti beliau mengenal saya. Maksudnya, saya memang terlalu SKSD alias Sok Kenal Sok Dekat. Tapi buat saya, meski Jenderal Besar itu nggak kenal saya, saya tetap respek dengan beliau. Oleh karena itu, barangsiapa orang yang menghina beliau, saya nggak berani mengajaknya berkelahi.

”Dasar Pengecut!”

”Ah, mending Pengecut daripada Koruptor?”

Tapi benar, kuping saya merah kalo Sudirman dihina. Saya nggak terima kalo Sudirman dikatakan seperti diri saya: PENGECUT. Masa Sudirman dibilang Pengecut? Beliau itu kan Pejuang! Masa Pejuang dibilang Pengecut?


Terus terang saya nggak tahu mengapa patung Jendral Sudirman harus menghormat tepat ke arah salah satu Hotel. Padahal Sudirman lahir lebih dahulu ketimbang Hotel yang dihormati itu. Saya lebih suka patung Sudirman tidak sedang memberi hormat, tapi sedang ditandu dengan beberapa orang di sebuah hutan rimba. Nah, lho! Gimana cara buatnya ya?
”Kalo bukan Pengecut, lantas apa dong namanya? Kalo ada seorang Penjuang, dimana para Prajurit-nya berperang melawan Belanda di medan perang, eh ada orang yang mengaku berjuang tapi malah kabur ke dalam hutan...”

”Itu kan namanya gerilya, cong!”

”Apakah harus pergi ke hutan? Meninggalkan orang-orang yang berjuang?”

”Ah, sutralah! Kalo elo nggak tahu soal Sudirman, jangan sok tahu deh...”

Begitulah saya yang mencoba berdebat dengan mereka yang mengatakan hal-hal kurang baik soal Sudirman. Saya sudah cukup sabar menjelaskan, tapi mereka tetap nggak bisa terima. Hati mereka tertutup rapat. Jadi percuma kalo diteruskan perdebatan itu. Jadi nggak seru. Buang-buang waktu dan energi. So, mending kita hayati lagi bersama-sama siapa Jenderal Sudirman itu, ya nggak?

Sudirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916. Beliau memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Dari Taman Siswa, beliau melanjutkan ke HIK (semacam sekolah guru) Muhammadiyah, Solo. Entah kenapa, di sekolah itu beliau nggak sampai kelar.


Saya di depan tandu Jenderal Sudirman yang asli yang berada di Museum Satria Mandala, Jakarta. Menurut Penjaga di situ, kalo kita punya six sense, ada mahkluk halus yang mengitari diorama yang memajang tandu ini. Tugas mahkluk halus ini menjaga agar jangan sampai ada orang nggak benar menghancurkan tandu ini. Kalo orang yang berprilaku nggak baik, konon kata si Penjaga, nggak bakal betah berlama-lama di sekitar situ.
Sudirman muda sangat giat berorganisasi, salah satunya di Pramuka Hizbul Wathan ini. Sambil terus berorganisasi, beliau menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Sementara pendidikan militernya didapat lewat pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.

Kelar mengikuti pendidikan PETA, Sudirman diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, beliau berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia.


Dipan tempat tidur Jenderal Sudirman ketika sakit hingga meninggal.

Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sudirman diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Selanjutnya, melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, beliau terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Tepat pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya. So, Sudirman menjadi satu-satunya orang yang memperoleh pangkat Jenderal tanpa melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi militer. Luar biasa bukan?

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresi, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta. Kenapa? Sebab, Jakarta sudah dikuasai oleh Belanda. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaan beliau sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Oleh karena itu, Jenderal Sudirman nggak bisa memimpin pasukannya melawan Belanda dalam Agresi Militer II. Nggak heran kalo akhirnya Belanda berhasil menguasai Yogyakarta.


Surat keterangan meninggalnya Jenderal Sudirman dari Kepala Jawatan Kesehatan, Letnal Kolonel Dr. R. Seotarto.
Entah alasan apa, Sudirman kemudian mengumpulkan anak buahnya buat melakukan perang gerilya melalui hutan. Dalam kondisi sakit, beliau berangkat memimpin pasukan dengan cara ditandu. Selama kurang lebih selama tujuh bulan, beliau berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung. Namun akhirnya, Tuhan berkehendak lain. Di usianya yang relatif muda, 34 tahun, Jendral Sudirman meninggal dunia. Tepatnya pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

”Nah, dari kisah heroik itu jelas kan kalo Sudirman itu gagah berani?”

No comment!”

”Masa masih dibilang Pengecut?”

No comment!”

”Pergi dari hutan ke hutan itu bukannya kabur, tapi melakukan perang gerilya, tahu?!”

No comment!”

”Ah, elo! Dari tadi no comment, no comment terus! Kayak Dessy Ratnasari aja!”

No comment!”

“Cape deh!”

No comment!”

“Gw no comment juga deh kalo gitu...”


all photos copyright by Jaya

Sabtu, 08 Agustus 2009

AYAH DAN TIGA PUTRINYA

Tersebutlah dahulu kala ada seorang pria yang memiliki tiga orang anak. Pria ini sudah ditinggal pergi oleh istrinya dengan cara yang tidak berkeprimanusiaan. Ketika married, dia tidak menghendaki anak. Sementara sang suami ingin sekali punya anak, karena menurutnya anak adalah karunia dari Tuhan yang tak terhingga.

“Tuh kan aku hamil! Kamu sih melakukan hal-hal yang nggak bener,” kata sang istri, seolah menyesali tindakan suami yang berhasil menghamilinya tanpa bilang-bilang.

“Lho, kita kan sudah married sayang? Masa berdosa kalo aku menghalimi kamu, eh maksudnya menghamili kamu?” tanya sang suami yang berkepala plontos tapi seksi itu.

“Iya sih kita sudah married, sudah sah. Tapi kalo mau menghamiliku kamu seharusnya bilang-bilang. Aku nggak suka ah kalo begini caranya. Tak sudi! Tak sudi!”

Meski merasa terdzolimi oleh sang suami, sang istri tetap membiarkan perutnya membuncit alias hamil. Dia tetap merawat kandungannya dengan segala macam asupan yang bergizi, mulai dari vitamin-vitamin yang merangsang DHA sampai susu protein yang konon bisa membuat jabang bayi memiliki tulang dan gigi kuat. Selain itu, sang istri rajin membaca majalah atau artikel di koran mengenai lowongan kerja, eh maksudnya mengenai kehamilan. Sebenarnya si istri ingin melakukan aborsi. Tapi begitu hendak ke Dokter aborsi, dia langsung ingat Tuhan. Hal itu berkali-kali terjadi, sampai Dokter aborsinya kesal.

“Next time kalo kamu hendak pergi dari rumah ke sini, saya sarankan kamu nyanyi!” begitu perintah Dokter aborsi dengan nada kesal.

“Lho, kok menyanyi? Menyanyi apa, Dok?” tanya sang istri.

“Menyanyi lagu Dina Mariana. Begini lagunya: kalo mau makan, ingat kamu. Kalo mau minum, ingat kamu...”

“Lha, saya kan nggak ingin makan dan minum? Saya ingin aborsi, Dok! ABORSI!”

“Liriknya kan tinggal diganti! Kalo mau aborsi, ingat dokter. Kalo mau aborsi, ingat dokter. Begitu kan bisa?”

“Oh iya-ya. Tapi by the way, memang lagu itu yang nyanyiin Dina Mariana? Bukannya Doel Sumbang?”

“Bukan, kalee!!!”

“Oh, udah ganti ya?”

Tak berhasil melakukan tindakan aborsi, sang istri diam-diam merencanakan untuk kabur dari rumah. Sayang seribu kali sayang, itikad buruk sang istri sudah diketahui oleh suaminya yang bekelakukan jenaka itu. Tidak mengherankan kalo sang suami terpaksa harus memasung istrinya agar tidak kabur membawa anaknya yang ada di kandungan sang istri.


Bukan raksasa dengan ketiga kurcaci. Tapi pria ini manusia biasa dengan tiga wanita yang juga biasa. Jadi yang nggak biasa yang mana ya?

Waktu demi waktu akhirnya berlalu. Sang istri akhirnya brojol juga. Anak pasangan suami-istri itu keluar juga. Di luar dugaan, anak yang keluar tidak cuma satu, tapi kembar tiga. Dua bayi berwajah imut, satu lagi wajahnya cukup tua untuk ukuran bayi yang baru lahir. Namun ketiganya berjenis kelamin wanita.

“Aku nggak bisa terima dengan kenyataan ini?!” kata sang istri beberapa menit setelah membrojolkan ketiga anaknya di salah satu rumah sakit bekelas internasional tapi pelayanan lokal ini.

“Maksud kamu apa sayang? Bukankah kita harusnya bahagia mendapatkan ketiga anak yang lucu-lucu dan menggemaskan ini?” tanya sang suami sambil menimang ketiga anaknya hanya dengan satu tangan ini.

“Tidak! Aku tidak bisa! Aku ingin bebas! Aku tidak kuasa merawat tiga anak ini yang kelak pasti akan jadi anak yang badung-badung...”

“Kenapa kamu berkata begitu sayang? Memangnya kamu bisa meramal masa depan?”

“Kamu ini nggak tahu ya? Jelek-jelek begini aku pernah jadi murid Ki Gendeng!”

“Ki Gendeng Pamungkas?”

“Bukan! Ki Gendeng Handoyo...”

“Kok kayak nama temen aku ya? Robert Handoyo?”

“Pokoknya aku bisa tahu kalo ketiga anak kita ini kelak akan menjadi anak yang badung-badung. Yang dua bakal menjadi anak yang nggak lolos jadi pemain basket, karena tingginya nggak mencapai 165 cm. Yang satu bakal menjadi penjual parfum. Yang satu lagi bingung, mau pindah kerja, tapi lebih suka kerja di tempat yang lama, karena di tempat yang baru bakal susah hidupnya...”

“Lalu anak ketiga kita? Yang mukanya rada tua itu...”

“Dia sering pingsan. Kurang darah. Tapi lebih tepatnya kurang kasih sayang oleh lelaki...”

“Jadi apa maumu sayangku?”

“Aku mau kabur!”

“Kabur? Dalam kondisi berbahagia seperti ini?”

“Iya, kabur! Aku countdown ya...and three! Two! One! Go!

Akhirnya si istri benar-benar kabur. Suaminya tak bisa membendung hasrat istrinya itu yang memang sudah tependam cukup lama. Lagipula, dia tidak bisa mengejar istrinya yang larinya begitu cepat secepat Gundala Putra Petir atau Flash.

“Ah, moga-moga istriku bisa menemukan apa yang diinginkannya,” ujar sang suami sambil meneteskan air mata buaya.

Adik-adikku sekalian, dengan kondisi tanpa ASI, sang suami berusaha dengan susah payah membesarkan ketiga putrinya yang lucu-lucu dan menggemaskan itu. Dia sebetulnya ingin sekali menggunakan Air Susu Ibu (ASI) di masa anak-anaknya tumbuh dan berkembang. Sebab, dia tahu ASI jauh lebih baik dari susu bubuk formula. Menurutnya, wanita yang tidak memberikan ASI pada anak-anaknya kelak akan disiksa di Nereka. Namun sayang, buah dadanya tidak bisa mengeluarkan ASI, even ASU. Ya, terpaksa dia harus membeli susu formula di toko-toko terdekat.

Aneh bin ajaib! Susu formula yang diberikan ke ketiga putrinya itu bukan membuat mereka tumbuh sehat dan besar, malah membuat mereka tetap kecil. Awet pula kecilnya. Sudah begitu, yang besar justri si suami. Badan suami tumbuh besar, sebesar pohon beringin. Badannya megar. Perutnya megar. Hidungnya pun ikut megar. Serba megar.

“Kok Ayah yang besar, bukan kami?” protes ketiga anaknya.

“Ayah juga nggak tahu, Nak! Barangkali memang sudah suratan takdir dari sononya begini...”

“Kok gitu sih?”

“Kayak judul lagu Dewiq aja: Kok Gitu Sih?

“Ya sudah kami ganti: kok gitu dong?”

“Ah, nggak enak! Nggak enak! Sutralah, kalian terima nasib sebagai putri-putri yang kecil mungil. Yang penting sejahtera...”

Kini, ketiga putrinya tumbuh dewasa dan sudah siap dipanen. Meski sang istri meninggalkannya tanpa ada prikemanusiaan, namun dia mampu mendidik anak-anaknya menjadi gadis-gadis yang tidak binal. Gadis-gadis yang tidak mengikuti aliran sesat, meski seringkali mereka mengikuti aliran listrik dan aliran sungai supaya selamat. Kini, ketiga gadisnya siap dipinang. Siapakah kira-kira Pangeran yang cocok mempersunting ketiga putrinya itu atau salah satu dari anaknya? Pangeran Kodok-kah? We'll see after this massages!

photo copyright by Jaya

Senin, 03 Agustus 2009

MERASAKAN DETIK-DETIK PROKLAMASI

Pagi itu rumah bercat putih di jalan Iman Bonjol no. 1, Jakarta Pusat nggak kayak biasanya, nampak rame. Beberapa orang penting di tanah air ini terlihat hilir mudik. Ada Otto Iskandardinata, Ki Hadjar Dewantara, , Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningkrat, maupun Prof. Dr. Mr. R. Soepomo. Nggak cuma di ruang depan di lantai dasar, di lantai dua di rumah berarsitektur art deco itu pun ada beberapa orang yang juga mengadakan pertemuan informal.

Tiba-tiba seseorang berpakaian safari putih komplet plus peci hitam, muncul. Wajahnya begitu serius. Saya nggak sampai hati mau menegur beliau, apalagi minta tanda tangan dan foto bareng. Padahal sebagai fans, saya kagum dengan apa yang beliau lakukan pada negara Indonesia ini. Memang sih, pribadinya yang flamboyan itu seringkali membuat beberapa orang sebal. Namun perjuangan beliau agar Indonesia menyatu sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membuat saya jatuh hati padanya. Beliau adalah Ir. Soekarno.

“Tolong Anda ketik tulisan ini,” begitu ucapan Soekarno yang saya dengar. Anda yang dimaksud Presiden RI pertama itu adalah Sayuti Melik.


Gedung ini didirikan sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa. Luas tanahnya 3.914 M2. Sementara luas bangunannya 1.138,10 M2. Sebelum dijadikan Museum pada tahun 1992, gedung ini sempat menjadi kantor PT. Asuransi Jiwasraya dan British Council.


Saat itu menunjukan sekitar pukul 04:00 wib dini hari. Sebelumnya, pria berpakaian safari itu sempat meeting dengan Moh. Hatta dan Ahmad Subardjo. Pria itu nggak lain bernama Soekarno. Kalo Hatta dan Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan, sebaliknya Soekarno yang menulis teks. Sebelumnya lagi, pukul 02.30 wib, ketiga tokoh ini sempat berjumpa dengan Laksamana Maeda. Namun Maeda nampak nggak begitu suka begitu tahu niat ketiga tokoh ini buat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Maeda langsung naik ke lantai atas di rumah itu.

Tepat di bawah tangga yang menuju lantai dua, Sayuti membawa selembar kertas coret-coretan tangan Soekarno. Dia kemudian memasukkan selembar kertas putih kosong ke mesin ketik. Sayuti nggak sendiri. Saat menyusun kembali tulisan tangan Soekarno dengan mesin tik, dia didampingi oleh B.M. Diah. Kertas corat-coret itu nggak lain nggak bukan adalah draft teks Proklamasi.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, 17-8-45
Wakil-wakil bangsa Indonesia

Di draft teks Proklamasi itu, ada dua kata yang diganti. Kata pertama “tempoh” yang diganti dengan kata “tempo”. Kata kedua adalah “wakil-wakil bangsa Indonesia”. Kata tersebut diganti menjadi “atas nama bangsa Indonesia”. Revisi lain, ada nama hari, yakni Jum’at sebelum angka 17 dan nama bulan.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Selama mengetik, di luar rumah terdengar suara Kondektur bus yang berteriak-teriak menyebutkan trayek bus. Dengan teriakan itu, berharap busnya mendapat banyak “Sewa”. Kata “Sewa” adalah istilah buat menggantikan kata “Penumpang”.

“Blo’em! Blo’em! Blo’em!” teriak Kondektur bus PPD nomor 213 jurusan Kampung Melayu-Blok M via Imam Bonjol dan Jenderal Sudirman.


Lihatlah Sayuti Melik nampak serius menyalin draft teks Proklamasi yang ditulis Soekarno ke mesin ketik. Di samping Sayuti, B.M. Diah menemani dengan setia. Mereka mengetik di sebuah ruang sempit berukuran 2X2 meter yang ada di bawah tangga. Saya memperhatikan mereka dari luar ruang, tapi sempat masuk juga sih melihat hasil ketikannya.


Selain bus nomor 213, ada banyak juga kendaraan umum lain. Nggak cuma PPD, ada Mayasari Bakti, Stady Safe, bahkan Metromini. Sebenarnya, hiruk pikuk kendaraan yang berseliweran di jalan Iman Bonjol itu cukup berisik. Namun beruntunglah, situasi di dalam rumah tetap fokus pada hasrat buat merdeka, termasuk Sayuti yang tetap mengetik draft teks Proklamasi dengan mesin ketik tua itu.

Kelar diketik oleh Sayuti, teks kemudian dibawa kembali ke ruang III, yakni ruang pengesahan. Di ruang ini, Soekarno akan menandatangani naskah Proklamasi ini dan selanjutnya akan dibacakan keesokan hari. Peristiwa ini berlansung menjelang wktu Subuh, tepatnya di hari Jum’at, 17 Agustus 1945, yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.


“Dimana kita akan membacakan naskah Proklamasi ini Mr President?” tanya salah seorang yang hadir di situ.

“Ya di sini kali!” kata orang lain yang juga hadir di situ.

“Jangan, situasi nggak aman! Better di tempat lain gitu...”

“Dimana?”

“Stop! Stop! Jangan kelahi! Maksudnya jangan berkelahi gitu. Kita kudu kompak! Di saat kayak begini, kita kudu bergandengan tangan. Jangan gontok-gontokan. Biar kemarin udah terjadi bom J.W. Marriot dan Ritz-Carlton, kita nggak boleh terpecah belah. Biarlah negara Amrik atau Australia mengeluarkan travel warning. Tapi kita tetap kudu merdeka. Gimana Mr. President?”

“Atas pertimbangan keamanan, maka saya akan membacakan teks Proklamasi ini di halaman rumah saya,” kata Soekarno. Pernyataannya itu sekaligus menutup simpang-siur venue pembacaan teks Proklamsi yang sebelumnya diperdebatkan itu.

“Wah, kebetulan dong! Saya belum pernah ke rumah Bapak,” ucap salah seorang yang hadir di situ, yang kebetulan belum mandi beberapa hari.

Tepat pukul 09:55, Drs. Moh. Hatta tiba di rumah Ir. Soekarno. Kedua pemimpin itu kemudian berjalan menuju ruang depan. Saya melihat seseorang sedang menyiapkan sebuah mikrofon. Sepertinya orang ini berlatar belakang teknik. Soalnya beliau fasih banget menyiapkan segala hal secara teknis. Tapi saya yakin, beliau bukan dari STM yang sering tawuran.


Ini ruang pengesahan atau penandatanganan naskah Proklamasi. Konsep naskah Proklamasi dibacakan Soekarno di ruang ini secara perlahan-lahan dan berulang-ulang. Sebelum diketik, Soekarno meminta terlebih dahulu persetujuan atas naskah Proklamsi ini. Jawaban hadirin: SETUJU! Sungguh demokratis bukan? Nggak mungkin pada zaman itu udah ada money politic. Belum happening!
Sebelum mike diberikan sepenuhnya pada Soekarno, Teknisi ini mengetes suara mike. To make sure, suara mike nggak fadeback atau sound-nya under. Nggak boleh kedegean pula volume-nya. Tahu dong suara Soekarno cukup menggelegar. Kalo kegedean, bisa-bisa speaker pecah dan seluruh kuping pendengar bisa budeg. So, Teknisi yang biasa mengurus segala keperluan pidato Soekarno finnally kelar.

“Silahkan, Pak Presiden!” perintah Teknisi ini.

Tepat pukul 10:00 wib, Soekarno membuka suara. Beliau mengucapkan beberapa patah kata sebagai pengantar. Lalu dengan khidmat, naskah Proklamasi yang udah diketik oleh Sayuti, dibacakan oleh Soekarno. Sementara di samping Soekarno, Hatta mendengarkan kata demi kata teks Proklamasi tersebut.

Setelah pembacaan teks Proklamasi, Suhud dan Latief Hendraningrat bergegas membawa bendera merah putih. Bendera itu hendak dikibarkan sebagai simbol Indonesia udah merdeka. Mereka berdua melakukan gerakan baris-berbaris, sebagaimana kalo kita saksikan teman kita melakukannya saat upacara bendera di sekolah. Ah, pada saat melihat Suhud dan Latief baris-berbaris begitu menginggatkan saya ketika ikut Pasukan Pengibar Bendera (Paskibraka). Kebetulan saya sempat ikut Paskibraka tingkat RW.

Perlahan-lahan, bendera merah putih itu dinaikkan. Beberapa orang yang hadir begitu fokus memandangi bendera yang dikerek Suhud dan Latief. Mereka dalam posisi hormat. Tentu saja dengan menggunakan tangan kanan. Dan lagu Indonesia Raya pun berkumandang.

Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku.
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku
bangsa dan tanah airku
marilah kita berseru
Indonesia bersatu!


Soekarno dengan gagah berani membacakan teks Proklamasi. Terus terang saya salut dengan tokoh-tokoh yang menginginkan kemerdekaan. Kenapa? Wong setelah diumumkan kemerdekaan, masih banyak perang yang berkecamuk di seluruh Indonesia, kok!
Ketika lagu Indonesia berkumandang, seketika seluruh bulu kudu saya berdiri. Merinding sekali. Tanpa sadar, air mata saya sedikit keluar dari pelupuk mata. Tanda bangga. Bangga Indonesia bisa merdeka. Ah, senangnya!

Selesai upacara, saya langsung bersalaman dengan beberapa hadirin yang ada di situ. Termasuk Bung Karno dan Bung Hatta. Saya katakan, mereka hebat. Luar biasa! Mereka juga sungguh berani mengumumkan kemerdekaan Indonesia ini. Padahal saat itu Indonesia belum bener-benar merdeka. Yaiyalah! Setelah pengumuman itu, mulai Agustus sampai dengan Oktober 1945, Indonesia masih menghadapi konflik dengan Jepang. Bangsa Jepang masih mencoba mempertahankan diri sebelum kedatangan Sekutu. Nggak percaya? Mari kita buka buku sejarah! Pada tanggal 28-29 Oktober 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya antara rakyat Indonesia melawan Inggris. Pertempuran itu menghasilkan kematian Komandan bridage Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby. Beliau tewas tertembak.

Sebelumnya, pada tanggal 17 Oktober 1945, terjadi tawuran antara pemuda-pemudi Bandung melawan pasukan Inggris. Para pemuda asal Paris van Java ini ogah menyerahkan senjata. Mereka tahu, penyerahan senjata itu sama aja menyerahkan diri buat mati. Yaiyalah! Begitu senjata diserahkan, pasukan Indonesia jadi lemah, ya nggak? Mending menyerahkan ternak mereka daripada senjata, deh!

Last but not least, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Hal tersebut terjadi gara-gara Belanda perundingan Linggarjati, dimana perundingan itu cuma sebagai kamuflase Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Betapa enggak, dalam perundingan itu ada dua hal yang menurut masyarakat Indonesia nggak masuk akal. Apa itu? Pembentukan pemerintah federal sementara, sampai terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Ini menandakan Republik Indonesia dibubarkan. Hal kedua, pembentukan gendarmerie (pasukan keamanan bersama) yang akan masuk ke Republik. Ini sama saja mengizinkan pasukan Belanda menguasai kembali Indonesia.

Masih banyak peristiwa-peristiwa yang membuat saya salut dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang berani mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Rasa salut saya itu berkali-kali saya ucapkan di depan mereka. Saya nggak peduli kalo kemudian saya baru tahu, kemerdekaan di tanggal 17 Agustus 1945 nggak lain merupakan hasil desakan dari para Pemuda Indonesia yang dimonitori oleh Sultan Syahrir.

“Maaf Pak, museumnya mau ditutup,” ucap Security Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Ah, imajinasi saya akhirnya harus diakhiri. Security itu “membunuh” hayalan saya merasakan detik-detik Proklamasi. Merasakan saya berada di tengah-tengah kesibukan mereka yang hadir mempersiapkan naskah Proklamasi sampai larut malam. Dan gara-gara merekalah saya jadi menghirup udara kebebasan di negara kita yang tercinta ini. Barangkali Anda nggak sadar. Anda merasa belum merdeka, tapi sesungguhnya mengapa Anda bisa hidup sampai saat ini nggak lain karena Anda masih diberikan kemerdekaan.

By the way, pernahkah Anda mampir ke museum proklamasi yang ada di jalan Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat? Cobalah sekali-sekali datang ke sana. Rasakan seolah Anda ikut menyiapkan naskah Proklamasi.

Gedung ini didirikan tahun 1920. Sebelum menjadi Museum, gedung berarsitektur Eropa (art deco)ini, dipergunakan sebagai kantor PT. Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pacifik, gedung dengan luas tanah 3.914 m2 dan luas gedung 1.138,10 m2 ini dipakai British Council General. Baru pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda. Beliau adalah Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD) Jepang.


Pada tahun 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Inggris sampai tahun 1981. Ini terjadi setelah Sekutu mendarat di Indonesia pada bulan september 1945 dan Jepang menyerah kalah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0476/1992 tanggal 24 November 1992, gedung ini ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, yaitu sebagai Unit Pelaksana teknis di bidang kebudayaan. Kalo Anda tertarik berkunjung ke museum ini, berikut jam buka dan harga tiket masuknya.


JAM BUKA MUSEUM

Selasa - Kamis : 08:00-15:00 wib
Jum'at : 08:00-11:00 wib
13:00-15:00 wib
Sabtu/Minggu : 08:30-14:30 wib

Senin dan Hari Besar : Tutup


KARCIS MASUK

Dewasa Perorangan : Rp 750,-
Rombongan Dewasa : Rp 250,-
Perorangan Anak-anak : Rp 250,-
Rombongan Anak-anak : Rp 100,-

Info lebih lanjut ke silahkan hubungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jl. Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat 10310, tlp: (021) 3144743, fax: (021) 3924259


all photos copyright by Jaya

NEGARA KESATUAN REPUBLIK NGGAK TAHU DIRI

Mengakulah kalo kita ini adalah manusia yang nggak tahu diri. Semua ketidaktahuan diri, kita lakukan tanpa sadar. Gara-gara nggak sadar, kita jadi salah menyalahkan. Yang tua menyalahkan yang muda, karena dianggap nggak tahu diri. Sebaliknya yang muda mengatakan orangtua benar-benar nggak tahu diri. Udah tua dan bau kuburan, masih aja melakukan hal-hal negatif.

Itu baru “perkelahian” antara orangtua dan anak muda, belum “perkelahian” antarsuku dan antaragama yang seringkali terjadi di tanah air kita ini. Last but not least, “perkelahian” antarstrata sosial, dimana orang-orang kaya menganggap orang miskin nggak tahu diri. Mereka numpang di tanah-tanah kosong bertahun-tahun, eh begitu digusur marah-marah dan minta uang. Sebaliknya, orang-orang miskin nggak tahu diri. Mentang-mentang punya banyak uang, bisa seenak udel mengusur makam Nenek-Moyang orang-orang miskin dan kemudian mendirikan sebuah apartemen atau mal.


Motor-motor yang diparkir sembarangan di jalan MT. Haryono.

Anda pemilik motor nggak tahu diri. Naik ke trotoar dimana itu sebenarnya adalah jalan khusus buat Pejalan Kaki. Demi keegoisan pribadi agar cepat sampai tujuan, Anda mengambil hak Pejalan Kaki. Yang bikin kesal, kalo udah ngambil hak, eh si Pejalan kaki diklasonin, diomelin, bahkan ditabrak gara-gara dianggap menghalangi motor jalan. Dasar nggak tahu diri!

Sebagai Pemilik mobil, Anda nggak pernah mau tahu, bahu jalan di jalan tol itu dibuat cuma untuk kondisi darurat. Tapi Anda nggak tahu diri, peduli akan membahayakan mobil di sampingnya, Anda tetap menggeber laju kendaraan Anda. Begitu ada Polisi di depan, Anda secara tiba-tiba mengambil jalur mobil di sebelah kanan Anda dengan mepet. Ini berbahaya bodoh! Kelakuan Anda kayak gitu nggak lebih kayak sopir angkot atau bus kota. “Ah, sing penting cepat sampai tujuan,” kata Pemilik kendaraan yang seringkali menggunakan bahu jalan ini.

Begitulah hidup kita. Saling salah menyalahkan. Saling nggak tahu diri masing-masing. Kita merasa diri kita benar, eh ternyata seringkali menyusahkan orang. Sebaliknya orang lain sering mengkritik kita, padahal diri mereka banyak yang harus dikritik, bahkan kritiknya dari A sampai Z.


Sudah ada ruang untuk merokok, masih ada aja orang yang merokok sembarangan. Maunya manusia kayak gini itu apa ya? Kok nggak tahu diri amat sih?!
Di tempat umum, dimana ada tanda DILARANG MEROKOK beserta Peraturan Daerah (Perda), kita masih seenaknya merokok. Nggak tahu diri! Gw nggak yakin, yang merokok itu nggak bisa membaca, karena dari penampilannya mencerminkan manusia well-educated, deh. Hi! Smokers! Anda tahu nggak bahaya merokok atau mengepulkan asap di tempat umum, dimana banyak Perokok pasif, apalagi di tempat AC? Anda memang nggak tahu diri! Di tempat umum pula, yang dilihat ratusan orang, kita memamerkan aurat. Mengenakan pakaian ketat transparan, sehingga belahan payudara, bahkan (maaf!) puting susu terlihat jelas. Tali bra dibiarkan mengintip. Memangnya nggak bisa pake pakaian yang lebih sopan daripada berpenampilan ala Pelacur? Ingat! ada hak orang laindi luar hak Anda. Lalu ada lagi yang nggak tahu diri, ngerumpi di restoran cepat saji sambil main poker atau menikmati fasilitas wifi, dimana beberapa tamu yang ingin duduk terpaksa kudu menunggu dengan sabar atau mencari restoran lain.

Itu tadi pekerjaan nggak tahu diri yang biasa dilakukan orang-orang kaya. Belum lama ini, gw juga berhadapat dengan orang-orang kelas menengah ke bawah yang ternyata juga nggak tahu diri. Nggak membayar ongkos kereta api sebagaimana kewajiban Penumpang, sehingga hal tersebut merugikan pemerintah. Memangnya kereta api itu milik Nenek-Moyang loe? Udah gitu di kereta api banyak Pedagang yang membawa barang yang gede-gede, bahkan terakhir gw menemukan Pedagang yang membawa meja terbuat dari rotan berukuran 2X2 meter. Dasar nggak tahu diri! Masih di kereta, mereka membawa sepeda MTB naik ke gerbong. Padahal kalo nggak ada meja rotan atau sepeda MTB, pasti nggak akan menyusahkan Penumpang kereta api yang ada di gerbong itu atau yang akan naik.

Meski setiap tahun pasti bajir di bantaran kali, meski orang-orang miskin tahu kalo membuang sampah mengakibatkan banjir, toh dengan nggak tahu diri mereka tetap membuang sampah di kali. Ketika jalan tol macet, para Pedagang dengan nggak tahu diri berjualan di tengah-tengah mobil yang macet. Memanfaatkan momentum macet buat mengais rezeki, katanya. Padahal udah ada larangan: DILARANG BERJUALAN DI SEPANJANG JALAN TOL. Orang-orang miskin juga nggak tahu diri, mengamen di samping mobil. Apa mereka nggak tahu kalo di setiap mobil pasti ada tape-nya? Kalo nggak ada tape, ya ada radionya? Toh, mereka nggak tahu diri. Tetap bertralala-trilili, meski suara mereka fals.

Sebenarnya masih banyak contoh soal ke-nggaktahu-an diri diri kita. Terutama gw yang juga punya daftar panjang diri gw yang nggak tahu diri. Terus terang, nggak tahu diri kita akan berdampak pada nggak tahu diri mereka, orang-orang. Kita nggak tahu diri, mereka pun ikut-ikutan nggak tahu diri. Lama-lama kita kebal dan sama-sama nggak tahu diri. Ini udah terjadi pada diri saya yang hina ini. Moga-moga Anda nggak kayak saya. Anda jauh lebih baik. Atau malah sebaliknya? Waduh! Kalo kita semua nggak tahu diri, negara ini bisa-bisa berubah nama menjadi NKRNTD alias Negara Kesatuan Republik Nggak Tahu Diri.


photos copyright by Jaya

DAHULU BIOSKOP KINI MALL

Entahlah apa yang ada di benak seluruh Pengusaha Mall. Satu hal yang pasti, mereka senang kalo Pengunjung banyak yang datang. Toko-toko yang ada di Mall laris manis tanjung kimpul. Dan kita terperangkap masuk ke golongan yang konsumtif.

Mereka nggak salah, kita juga nggak salah. Lho kalo semua nggak salah, ya buat apa dipersoalkan? Begini my Friends, sebelum jadi BTM, dahulu pernah ada bioskop di situ. Nah, gw kebetulan sempat nonton film. Eh, pas beli karcis, Petugas loket karcis belum sempat ngembalikan uang gw. Kemana gw harus mencari Petugas itu ya? Wong bioskopnya udah dibongkar jadi Mall?

"Emang berapa sih kembalian yang belum dikembaliin ke elo?"

"Setahu gw sih duaribu perak..."

"Halah?! Pelit amat sih loe!"

"Mending pelit daripada jadi anggota KPU?"

"Memangnya kenapa jadi anggota KPU?"

"Sudah tua, tapi masih nggak bisa ngitung. Gara-gara nggak bisa ngitung, hasil Pilpres nggak ada yang beres.."


Dahulu di tanah Mall ini berdiri bioskop. Sayang seribu kali sayang, bioskop nggak menghasilkan income gede. Buat tempat mejeng pun nanggung, mending dibuat Mall sekalian deh!

"Jadi saran loe Pilpres diulang lagi?"

"Nggak usah! Mending yang diulang lagi acara 'Gemar Menggambar' asuhan Pak Tino Sidin yang dulu ada di TVRI..."

"Lho, kenapa? Memangnya elo suka gambar?"

"Enggak! Gw suka Pak Tino selalu memuji dengan kata: bagus! Mau gambar kiriman orang jelek, pasti Pak Tino bilang: bagus! Positif bukan?"

"No comment!"

"Ah, elo kayak Dessy Ratnasari aja pake no comment no comment segala...!"

"Daripada kayak Noordin M. Top, mending kayak Dessy kaleee!!!!"


all photos copyright by Jaya

Sabtu, 01 Agustus 2009

BIAR BUTUT YANG PENTING PUNYA SENDIRI

Buat apa punya kendaraan bagus-bagus, tapi masih ngutang. Mending punya Vespa butut yang penting punya sendiri. Nggak ngutang pula. Ini barangkali prinsip geng Vespa butut dari seluruh Indonesia yang sempat berkumpul di Ancol beberapa waktu lalu.



video copyright by Jaya