Senin, 31 Mei 2010

JADI IKUT-IKUTAN PELIT

Entah nasib saya lagi sial atau saat ini memang semua hotel di Surabaya, Jawa Timur melakukan hal yang sama. Bahwa sebagai costumer hotel, kita dikenakan tarif buat meminta sendal hotel.

Ya, mungkin saja saya norak, udik, atau kampungan. Maklumlah, terakhir saya ke Surabaya kurang lebih satahun lalu. Namun yang saya ingat, dulu ketika nginap di hotel, entah berbintang tiga, empat, atau bintang kejira, saya nggak pernah dikenakan biaya buat minta sandal hotel. Tapi di bulan Mei 2010 ini sendal ditarifkan ya di hotel Surabaya?

"Pak kok di kamar saya nggak ada sendal ya? Saya boleh minta sendal?"

"Baik, Pak," jawab petugas hotel. "Tapi ada biaya untuk sendal ya, Pak?"

"Hah?! Biaya? Berapa Pak?"

"Sepuluh ribu."

Conversation itu terjadi di hotel berpredikat melati, yakni hotel Royal Regent. Konon hotel ini nggak pantas lagi disebut hotel Melati, karena kamar dan fasilitasnya sudah sekelas hotel bintang dua bahkan tiga, apalagi harganya sama dengan hotel bintang dua di Jakarta. Tapi gosip yang beredar, hotel ini tetap dimasukkan dalam kelas melati. Anda tahu dong kenapa sebabnya?


Inilah sandal seharga 10 ribu perak yang saya beli di hotel Royal Regent.


Saya protes habis-habisan begitu tahu sandal hotel ditarifkan. Bukan masalah uang sepuluh ribu, tapi saya nggak terbiasa saja sandal hotel diduitkan.

"Hotel ini merki (baca: pelit) amat sih," gerutu saya dalam hati. "Jangan-jangan kalo nginep di sini lagi, sabun, sikat gigi, sampo juga bayar kali ya?"

Semakin terlihat pelit saat saya breakfast. Pernah nggak Anda pesan omlet dijatahin 1 kamar 1 omlet? Nah, di hotel Royal Regent ini menganut sistem begitu.

"Maaf pak, satu kamar cuma boleh pesan 1 omlet," ujar petugas breakfast.

"Yasudah sekalian aja saya pesan 2 omlet, karena saya nginep di hotel ini dua kamar!"

Oleh karena mengalami hal yang nggak menyenangkan dengan hotel Royal Regent, saya minta teman-teman segera check out dari hotel ini.

"Namanya doang Royal, eh ternyata pelit banget dengan costumer!"

Ternyata eh ternyata nggak cuma di Royal Ragent sebuah sandal hotel "dibisnisin". Di hotel bintang empat kayak Surya, saya juga dikenakan charge buat sandal hotel.

"Berapa harganya?"

"Limabelas ribu, pak!"

Walhasil, dengan berat hati saya pun mengeluarkan kocek limabalas ribu buat sandal hotel bermotif batik itu, di luar tarif hotel.

Dear friends, kelihatannya saya jadi ikut-ikutan pelit ya? Wong cuma sepuluhribu atau limabelas ribu aja kok pake ngedumel begitu. Jujur, sebenarnya sih nggak pengen. Harga segitu dengan harga kamar nggak sebanding. Ya barangkali karena mental saya aja kali belum menerima sandal hotel ditarifkan ato memang saat ini sandal-sandal di hotel semua ditarifkan ya? Bukan seharusnya pihak hotel bersyukur sandal-sandal mereka dipakai oleh orang, sehingga itung-itung jadi promosi gratis hotel mereka, ya nggak?

"Tahu begitu, next time kalo ke Surabaya mending bawa sendal jepit dari rumah aja kali ya?"

Dan saya pun membuang sandal-sandal itu ke dalam keranjang sampah. Ah, rugi amat pake sandal hotel yang bayar. Kalo saya pake jalan-jalan, enak di pihak hotel karena promosi gratis, nggak enak di saya.

Minggu, 09 Mei 2010

KALO NGEBAND TERUS, MUNGKIN NGGAK AKAN JADI SUTRADARA BEKEN: A STORY ABOUT RIRI RIZA

Nasib manusia memang nggak bisa ketebak. Biar yang meramal Mama Loreng atau Mama Tutul, nggak akan mungkin tahu manusia itu nantinya jadi apa, kerja di perusahaan apa, istrinya namanya siapa, termasuk dengan teman gue yang tercinta ini: Riri Riza.

Kalo boleh mengkisahkan sedikit anak Plumpang, Jakarta Utara berdarah Makassar ini, dulu doi boleh dikata sebagai drummer muda terbaik di Indonesia. Perawakannya yang kurus kering, gak membuat dirinya kalah dengan drummer-drummer senior lainnya.


Riri Riza (dua dari kanan) yang kini menjadi Sutradara beken kelas internasional. Sementara Dodi Katamsi dan Edo tetap memilih sebagai musisi.

Meski belum sejajar dengan kemahiran Phill Collins (Genesis) atau John Bonham (Led Zeppelin), Riri mampu menggebuk drum ala Herman Rerabel. Bersama band-nya, Seedz, ia dikenal oleh banyak orang sebagai imitator penggebuk drum grup Scorpions itu.

Foto ini diabadikan beberapa tahun lalu, sebelum Riri dikenal sebagai Sutradara muda yang namanya kini harum semerbak. Anda bisa bayangkan, seandainya Riri tetap menjadi pemain drum dan membawakan lagu-lagu Scorpions bersama band-nya, barangkali Anda tidak akan pernah menikmati kehebatannya menyutradarai film Laskar Pelangi yang menjadi film terlaris sepanjang sejarah perfilman nasional, karena meraih lebih dari 4 juta penonton bioskop. Riri juga nggak akan mungkin meraih piala di Italia atas kemenangan film Sang Pemimpi. Anak-anak gw juga nggak akan pernah melihat film Petualangan Sherina, film yang menjadi lokomotif perfilman nasional yang sebelumnya terpuruk.

Itulah jalan Tuhan, dimana kita nggak akan pernah bisa mengira nasib kita. Jangan percaya semua para peramal! Better kita berusaha terus all my friends, jangan lupa berdoa.

Here I am, rock you like a hurricane...
Here I am, rock you like a hurricana...
(lyrick and song by Klaus Maine & Mathias Jabbs/ Scorpions)