Selasa, 12 Mei 2009

MENGAPA AKU LESBIAN?

Nggak ada satu manusia pun di dunia ini yang nggak mau hidup normal. Begitu juga denganku. Aku yang terlahir sebagai wanita, tentu saja ingin hidup sebagaimana wanita normal lain. Mencintai dan dicintai oleh pria. Namun Tuhan mencetakku sebagai seorang wanita yang ternyata suka dengan sesama jenisku. Yap! Aku seorang lesbian.

Sungguh mati sebenarnya aku nggak mau menyalahkan Tuhan. Aku nggak ingin memasukkan Tuhan dalam penyelewengan nafsu yang ada pada diriku ini. Dimana rasaku terhadap pria sudah nggak ada lagi. Dimana cintaku pada pria yang seharusnya muncul, nggak terasa lagi. Dan itu semua aku anggap sebuah sebuah penyelewengan. Dan ini pula yang aku anggap sebagai sebuah kesalahan cetak. Siapa lagi Tuan Besar yang mampu mencetakku selain Tuhan?

“Kalo bukan Tuhan siapa lagi?”

Pertanyaan-pertanyaan soal ketuhanan yang membuatku jadi begini seringkali muncul dan tenggelam. Benarkah dia yang menjerumuskanku ke penyelewengan ini? Benarkah dia sama sekali nggak membantuku untuk mengubah nafsuku agar bisa normal? Ketika aku bermesraan di ranjang dengan sesama jenisku, ada nafsu yang bercampur dengan kegelisahan. Jerit lirih ketika pesta seks sesama jenis memuncak, seringkali menjadi hambar begitu aku ingat Tuhan. Salahkah aku ini? Salahkah perbuatanku ini?

“Kalo aku salah kenapa Tuhan nggak membenarkanku? Bukankah Tuhan bisa melakukan segala-galanya?”

Susungguhnya aku nggak sendirian menjadi lesbian. Banyak wanita yang juga tumbuh seperti aku. Nggak nomal. Sejarah mencatat, Karl-Maria Kertbeny udah mendengung-dengungkan kata homoseksual pada tahun 1869. Kata ini kemudian dipopulerkan penggunaannya oleh Richard Freiherr von Krafft-Ebing via bukunya yang berjudul Psychopathia Sexualis. Lho kok homoseksual? Yap! Homosekual adalah prilaku menyukai sesama jenis. Kalo pria menyukai pria itu namanya gay. Sedang wanita tertarik dengan sesama wanita, namanya lesbian.

Susungguhnya aku sudah berusaha mematikan rasa sayangku pada sesama jenis. Aku nggak mau dibilang manusia sakit. Artinya, aku ingin bertobat. Aku berusaha mengubur masa laluku yang pernah menusuk-nusuk hatiku, yang sebenarnya sangat perih kalo kukenang.

Pacarku yang ganteng dan mirip Ariel Peter Pan itu sangat menyakitkan hati kalo aku ingat. Namun wajah gantengnya kerapkali membayang-bayangiku. Padanya aku sudah berikan segala-galanya, termasuk keperawananku. Bahkan dari spermanya kumembiarkan bertemu dengan telurku, sehingga tumbuh janin dalam perutku. Dan finally lahirlah bayi mungil nan cantik jelita, dimana bayi ini aku sembunyikan identitas ayahnya. Aku tahu, pacarku itu nggak akan pernah bertanggungjawab, karena dia terlalu sibuk mencari pacar-pacar barunya. Aku juga tahu, istrinya yang dinikahi dan kemudian diceraikan cuma perkawinan kamuflase. Sebab, pacarku tetap kembali pada pacar lamanya, yang wajahnya mirip Luna Maya. Semua kisah pacarku aku tutup rapat-rapat. Ini karena rasa cintaku pada pacarku yang ganteng nggak ketulungan itu.

“Dia telah aku kubur dalam-dalam. Deritaku telah aku timbun. Aku mau coba bangkit untuk hidup normal. Namun...”

Rasa benciku ternyata terlalu besar. Semua pria tiba-tiba aku anggap anjing. Brengsek. Cuma mau mementingkan diri sendiri. Egois. Habis manis, sepah dibuang. Sementara wanita bagai surga. Wanita seolah memberikan oase dalam kehidupanku. Ketika aku jatuh di sebuah lubang, dia menjulurkan tangan dan menarik ke atas. Ketika aku menangis, dia siap menjadi keranjang sampah dan menyediakan shoulder to cry.

“Itu nggak aku dapatkan dari pria. Wanita lebih memanusiakan wanita, ketimbang lelaki...”

Aku sebanarnya sudah memohon ampun pada Tuhan agar diizinkan menjadi wanita normal. Namun selalu saja hati ini tertutup. Nggak percaya? Sehabis sholat, aku selalu berdoa. Sehabis makan aku berdoa. Begitu juga ketika keluar WC, aku juga berdoa. Edannya lagi, ketika berada di Mekkah, aku menangis dan meminta dengan amat sangat: "Ya Tuhan, kalo ada pria yang mengajakku kawin hari ini juga, aku bersedia. Aku nggak peduli wajahnya jelek kayak vokalis band Kangen atau ganteng kayak Nicholas Saputra. Aku juga nggak peduli tinggi fisiknya kayak Nasrul yang dikenal sebagai manusia tertinggi di Indonesia. Yang penting buatku, aku harus kembali normal".

Namun sayang.... aku tetap ditakdirkan menjadi seorang lesbian. Di Ka’bah, aku justru dipertemukan dengan seorang wanita cantik. Cantiiiik sekali. Mengalahkan kecantikan gadis-gadis Lux. Dia begitu care padaku. Dan aku baru tahu kalo dia menyayangiku juga dan luar biasanya ingin menjadikanku pasangan sehidup semati. Bahkan di depan Ka’bah, dia mengajakku untuk married. Hah?! Married?!

Pasti semua orang menganggap kami gila. Kenapa di tempat suci kayak begitu kami menodai dengan perbuatan terkutuk kami ini? Tidakkah kami sadar kalo kami adalah manusia sakit yang menjalankan seks menyimpang? Namun justru kami balik bertanya, mungkinkah dengan memberanikan diri married di depan Ka’bah Tuhan akan memporak porandakan cinta kasih kami dan selanjutnya mengutuk kami menjadi normal kembali?

“Kalo mau jujur, aku merasa rendah hidup sebagai lesbian. Wong menjadi wanita normal saja kerap terpingirkan, didiskriminasikan, apalagi sekarang menjadi seorang lesbian yang jelas-jelas dianggap oleh masyarakat sebagai amoral dan berprilaku asusila. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu...”

Sebenarnya ada hal lain yang membuatku nggak normal. Kali ini bukan karena prilaku sadis pria, namun orangtua penyebabnya. Hah?! What wrong with them? Anda pasti bertanya-tanya, mengapa orangtua jadi yang disalahkan. Bukankah yang memutuskan jadi lesbian adalah diriku, bukan mereka?

That's right! Memang akulah yang memutuskan diri buat menjadi lesbian. But wait, you don't know exactly behind the story yet. Tentu ada sebab-musababnya. Dan seperti yang kukatakan tadi, selain soal pacar yang mengkhianat, orangtua yang juga menjadi penyebab. Bahwa sejak kecil aku selalu dipaksa untuk sesuatu yang aku nggak suka. Kalo pun aku bisa, aku nggak mau.

Orangtuaku ingin diriku kayak Indra Lesmana atau David Foster. Tapi aku nggak mau. Aku nggak suka piano. Aku nggak suka musik. Aku lebih suka menggerjakan Pariwara yang selalu dipaksa shooting mepet, melewati prosedur H-3. Aku lebih suka menggerjakan program blocking-an dari departemen-departemen daripada harus belajar piano. Aku lebih suka melihat teman-temanku mendapatkan insentif dari hasil ngejar sales bulanan daripada harus les piano. Dan aku lebih suka menunggu Internal Office Memo (IOM) dari gedung Standard Charter agar production cost bisa segera diurus ke finance. Namun orangtuaku memaksaku dengan berbagai cara agar aku mau les les dan les.

Aku disiksa. Aku dipukul dengan menggunakan tripod kamera. Kepalaku dijedot-jedotkan ke VTR yang ada di pannel control. Tanganku disetrum oleh kabel yang mengaliri listrik dari genset berkekuatan 150 ribu KVA. Setiap kali berjumpa dengan orangtua, wajahku selalu memar. Mending cuma memar, seringkali bahkan sampai berdarah-darah. Orangtuaku memang kejam. Buat mereka, aku harus jago main piano.

Aku menangis. Di depan kaca aku berhadap-hadapan dengan bayanganku sendiri. Di bayangan itu aku mencoba bertanya. Sebetulnya perbuatan tolol ini nggak perlu kulakukan. Tapi aku sayang pada dirikku. Namun aku nggak bisa menuruti perintah orangtuaku untuk les piano.

“Mending aku lesbian daripada dipaksa harus ikut les piano atau duduk lesehan di tengah rel kereta api...”

0 komentar: