Senin, 30 Agustus 2010

SINDIRAN PENDIDIKAN NASIONAL DALAM KOMIK STRIP

Seorang bapak menasehati anaknya agar segera bersekolah. Kata sang bapak, dengan sekolah, anak bisa cepat mencari uang. Dengan naif, anak pun mengikuti perintah bapaknya untuk segera mengganti baju dengan seragam sekolah, komplit dengan topi sekolah.

Di tengah jalan, ketika sedang menyeberang, ada seorang nenek yang juga hendak menyeberang. Awalnya, rasa kemanusiaan sang anak muncul. Ia menggandeng nenek itu, bermaksud menyeberangkan. Tetapi begitu sang anak melihat uang di jalan, ia lebih memilih uang. Sementara nenek yang tadi tangannya dipegang, ditinggalkan. Nenek itu dibiarkan tertabrak mobil.

Salah satu kisah dari komik strip itu sungguh merupakan sindiran terhadap kondisi murid-murid sekolah di tanah air kita ini. Meski agak sedikit berlebihan, tetapi sang komikus Eko S. Bimantara berusaha memotret fakta pendidikan nasional dengan cara menyindir lewat komik. Bahwa murid-murid saat ini tidak lagi diberikan materi tentang pendidikan moral maupun pendidikan karakter. Di era keterbukaan ini, pendidikan nasional justru malah banyak menghasilkan murid-murid yang bermental kapitalis maupun matrialistik.



Lihat lagi sindirian Eko di kisah lain di komik Guru Berdiri Murid Berlari ini. Nampak seorang kepala sekolah memberikan piala yang cukup besar kepada seorang murid yang mengharumkan sekolah, karena berhasil menjuarai lomba cerdas cermat. Baik sang murid maupun sang kepala sekolah bangga dengan prestasi ini. Namun kepala sekolah itu bingung, karena setelah mendapatkan piala, murid itu tidak beranjak dari tempat.

“Kamu nunggu apa lagi?” tanya Kepala Sekolah.

“Duit!” jawab sang murid.

“Wah, juara hanya dapat trophy.”

Begitu tahu juara cerdas cermat hanya mendapatkan trophy, murid itu langsung memberikan lagi piala yang besar itu ke Kepala Sekolah. Ia pergi meninggalkan Kepala Sekolah yang bingung dan berdiri mematung sambil memegang piala.



Ironis, tetapi fakta di lapangan memang begitu. Bahwa pendidikan moral maupun karakter saat ini memang tak banyak diajarkan di bangku sekolah. Tidak heran jika murid-murid sekarang ini cenderung matrialistik. Semua diukur lewat uang, sehingga nilai-nilai sosial maupun semangat gotong royong yang dahulu dimiliki oleh bangsa Indonesia lambat laun hilang.

Anggota DPR RI Dr. Hetifah Sajifudian, MPP dalam kesempatan terpisah juga menyesali kurikulum yang tidak memasukkan pembangunan karakter. Padahal, kata Hetifah, pendidikan karakter itu sangat penting, mengingat generasi sekarang ini karakter keindonesiaan mereka mulai luntur. Oleh karena itu, di tahun-tahun mendatang, orientasi pembelajaran di sekolah harus seimbang.

“Orientasi pembelajaran harus menyeimbangkan pengembangan intelektual dengan pengembangan karakter,” papar Hetifah yang dikenal sebagai anggota DPR RI Komisi X ini.

Menurut Hetifah, ia tidak masalah jika metode belajar-mengajar selama ini harus dirombak total guna keseimbangan tersebut. Hal tersebut semata-mata demi pendidikan nasional dan tentu saja mengajarkan kembali karakter keindonesiaan yang belakangan mulai memudar.



Sindiran-sindiran dalam komik terbitan Gradien Mediatama (Yogyakarta) ini seharusnya menjadi cermin bagi dunia pendidikan kita. Eko sendiri membuat karya ini berdasarkan pengalama pribadi. Dalam kata pengantarnya, ia sadar sekolah merupakan salah satu lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap prilaku mental dan pola pikir seseorang.

Tulis Eko, sedikit banyaknya prilaku pendidik, akan mempengaruhi pula tindak tanduk dan hasil belajar peserta didik (output). Itulah yang membuat guru atau tenaga pendidik menjadi sebuah pekerjaan atau profesi yang tidak mudah. Namun komikus kelahiran Jakarta, 30 Mei 1988 ini percaya, bahwa satu hal yang benar-benar sangat perlu dibenahi paling awal di negara kita ini adalah dunia pendidikan.

Kamis, 26 Agustus 2010

Rezeki atau Pelecehan Mata Ya?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk merendahkan martabat kaum perempuan. Tulisan ini sekadar mempertanyakan saja. Baiklah, sebelum saya mempertanyakan, silahkan perhatikan foto di bawah ini baik-baik.



Foto yang sudah Anda lihat di atas itu saya ambil via telepon seluler saya. Foto ini saya abadikan saat duduk sendiri di sebuah cafe di bilangan jalan Mulawarman, Jakarta Selatan, beberapa saat setelah buka puasa di bulan Ramadhan 1431 H.

Ada seorang perempuan tepat di samping kiri saya, dimana perempuan tersebut menggenakan busana terbuka blas. Hampir 50% tubuhnya terlihat dengan jelas. Yang bikin ngiler, kulitnya putih mulus itu. Harap maklum, perempuan ini berasal dari etnis Tionghoa. Hanya bra transparan yang terbuat dari plastik yang membungkus bagian vital di tubuh perempuan itu.

Suasana menjelang buka puasa benar-benar tidak fokus lagi pada suara bedug. Bayangkan, jarak antara cangkir berisi teh manis hangat (lihat foto ada cangkir yang ada di sebelah kiri) dengan perempuan itu cuma tiga jengkal jari. Jangan heran, mata saya jadi tidak fokus: melihat televisi yang menyiarkan bedug dan tubuh perempuan yang mulus itu.

Kata orang, keindahan perempuan itu adalah rezeki. Yang namanya rezeki, ya jangan ditolak. Tetapi apakah namanya rezeki kalo saya melihat tubuh perempuan itu berkali-kali?

Anda tentu akan mengatakan, kalo saya tidak mau melihat tubuh perempuan yang terbuka itu, ya tidak usah dilihat. Baiklah kalo begitu. Namun, sekali lagi, saya tidak bisa “berkutik”. Kalo Anda ada di posisi saya menjelang bedug, pasti tidak akan mungkin “menolak” pemandangan yang indah itu. Itulah yang kemudian saya berguyon menganalogikan pemandangan itu adalah sebuah “pelecehan” terhadap mata saya. Entahlah apa pendapat Anda?

Anyway, sambil berguyon lagi saya melihat kejadian ini adalah sebuah bentuk godaan di bulan puasa. Mahkluk halus yang katanya diikat di bulan suci ini, ternyata tidak sepenuhnya diikat. Banyak mahkluk halus yang berwujud manusia masih beredar dan menggoda kita selama puasa. Moga-moga kita bersama bisa menahan aneka godaan mahkluk halus berwujud manusia itu. Amin!