Selasa, 12 Mei 2009

SENYUM SEHAT, SENYUM SEPET

Dalam bisnis, Klien diposisikan kayak Raja. Klien dipuja-puja dengan cara menservice mereka sehebat mungkin. Kalo Klien haus, kita kudu mencari minum. Gimana caranya, tenggorongan Klien nggak kering, baru ada air. Kalo Klien lapar, ada makan yang tersedia. Jangan sampe cacing-cacing yang ada di perut Klien, berteriak kelaparan. Pokoknya client is everything!

Sesungguhnya di atas Klien ada Klien lagi. Analogi ini kayak di atas langit ada langit lagi. Agency adalah Klien. Ini kalo kita melihat dari kacamata perusahaan tempat kita kerja. Misalnya kita kerja di stasiun televisi, agency itu klien. Nah, di atasnya agency, ada kliennya lagi, yakni perusahaan yang akan beriklan di televisi. Di sini, agency sebagai perantara (baca: media). Lewat agency, perusahaan akan dibuatkan planning komunikasi-nya di beberapa media. Sebenarnya ada lagi kliennya perusahaan itu, yakni Owner. Ini levelnya udah lebih gila lagi.

“Apa bedanya Owner sama perusahaan?”

Kadang kebijakan perusahaan belum tentu sejalan sama Owner. Perusahaan udah memutusakan A buat mengiklankan produknya, eh tiba-tiba si Owner nggak setuju. Si Owner lebih memilih cara B. Kalo Pimpinan perusahaan masuk kategori “Yes Sir”, pasti akan ngikutin keinginan Owner, meski keinginan itu nggak sesuai hati nurani atau melanggar kebijakan. Tapi kalo Pimpinan perusahaan “berani”, pasti doi akan mempertahankan keputusan tanpa peduli intervensi Owner.

Perang nggak cuma terjadi di atas. Maksudnya perbedaan pendapat antara Pimpinan perusahaan dan Owner. Namun terjadi juga di bawah, yakni level Manajerial perusahaan dengan agency. Mereka kadang juga beda pendapat. Perbedaan tersebut kadang suka membuat pusing mereka yang mengeksekusi, dalam konteks ini misalnya stasiun televisi. Gokilnya lagi, udah berbeda pendapat di level agency, juga diperkeruh dengan perbedaan di level marketing stasiun televisi tersebut. So, ada tiga perbedaan yang kudu diakomodir di Eksekutor dong.

“Pusing juga ya, cong jadi Eksekutor?!”

“Yaiyalah! Kalo mau dapat bonus tiap bulan, ya kudu pusing. Mau enak aja sih, lho!”

“Tiap bulan? Nggak salah loe? Tiap tahun kalee!”

“Oh iya-ya. Yang tiap bulan dapat insentif itu cuma anak-anak marketing doang ya, Cong? Insentifnya dipotong pula buat sumbangan. Kita mah cuma dapat bonus tiap tahun aja, cong! Salah gw...”

Buat seorang Eksekutor, kerjaan yang menservice Klien memang nggak mudah. Kadang kita udah melakukan on the rule sesuai kesepakatan, bisa aja berubah di lapangan. Edannya, begitu udah diakomodir, si Klien anggap service-nya belum memuaskan. Tambah edan, ada pekerjaan yang udah di-approve dan dieksekusi, eh di post production (baca: di tahap editing), rundown bisa diacak-acak lagi. Nggak heran kalo awalnya kita udah mencoba tersenyum (bukan senyum basa-basi atau munafik, lho, tapi senyum optimis) dengan Klien, lambat laun menjadi senyum sepet alias senyum yang dipaksakan, karena merasa sebal dengan Klien.

Kejadian kayak gitu sedang dialami oleh temen gw. Doi sedang berhubungan dengan Klien yang katanya baik hati, tapi ternyata berhati serigala. Kenapa begitu? Setiap kali shooting dengan Klien ini, teman gw selalu stres. Mending cuma keringat dingin, yang terjadi badannya yang gemuk berubah menjadi kuring kering. Makan udah lagi nggak berasa nikmat tiap kali memikirkan Klien itu. Minum udah lagi nggak merasa segar, ketika ada seorang Klien yang menghubungi temen gw.

“Rasanya gw ingin mengakhiri hidup ini saja,” kata temen gw yang kelahiran Bandung tapi fasih berbicara bahasa Papua, Irian Jaya.

“Janganlah! Masa gara-gara Klien, hidup yang indah ini elo tinggalkan? Kasihan Bebek-Bebek loe nggak ada yang ngasih makan.

“Oh iya, betul juga, loe...”

“Kasihan Tukang Ojek loe yang akan kehilangan Pelanggan kayak loe...”

“Wah, elo memang benar-benar cerdas...”

“Gw punya solusi jitu!”

“Apa tuh?”

“Daripada elo yang mengakhiri hidup, mending hidup si Klien yang elo akhiri?”

“Solusi loe berbahaya! Nanti gw nggak dapat bonus tahunan dong?”

Serba salah. Itu kata yang tepat buat para Eksekutor. Di satu sisi Eksekutor adalah “Kacung” yang berada di posisi terakhir yang harus menjalankan tugas. Sementara kalo Klien melakukan tindakan menyebalkan, si Eksekutor nggak bisa berkutik. Padahal kita tahu, suatu hal yang nggak mungkin menyenangkan semua orang. Dalam konteks ini, semua orang adalah: Marketing, Agency, Pemimpin perusahaan, atau Owner. Pilihan yang sulit, bukan?

Saat ini, teman gw duduk di pojok sendirian. Kecerian yang selama ini nampak pudar. Doi nggak menunjukan jati dirinya yang selama ini disebut-sebut sebagai “Miss Ceria”. Sebutan ini muncul gara-gara setiap hari dan peduli waktu, doi selalu bernyanyi. Meski suaranya nggak sebagus Krisdayanti atau seseksi Vina Panduwinata, namun aktivitasnya itu ngangenin.

“Rasanya kalo nggak dengar suaranya dalam sehari, ibaratnya kita nggak mendengar Tukang Minyak lewat di depan rumah...”

Kini, teman gw nggak lagi menampakkan gigi sehatnya setelah mendapat perlakuan yang nggak istimewa dari Klien barunya itu. Yap! Klien merubah hidupnya menjadi suram, sesuram wajah Robert yang gelap gulita. Klienya menutup jendela-jendela ceria yang seharusnya menjadi hak teman gw ini.

Nggak cuma keceriaan yang memudar, wajah teman gw terlihat kusut. Kerut-kerut di wajahnya semakin banyak. Doi nampak tua sebelum waktunya. Rambut yang semula dicat merah, berubah menjadi biru telor asin. Kentut pun udah jarang. Yang ada tiba-tiba di sekeliling kita udah bau kentut, tapi nggak jelas kapan anginnya berhembus. Ini sungguh berbahaya my Friends. Lebih berbahaya dari sekadar Flu Babi.

Di tengah-tengah hati yang tertekan, teman gw pun berdoa...

“Semoga Klien yang gw pegang ini akan pindah ke orang lain, supaya hidup gw indah dan berwarna again. Biar orang lain tahu, betapa menderitanya kerjasama dengan Klien yang norak kayak gitu...”

"Duh, kacian! Yuk, minum cucu dulu, Nyah..."

"Pake ASI?"

"No! Pake ASU!"

"Halah!"

0 komentar: