Sabtu, 02 Mei 2009

KOK TAHU KALO GW SUKA MAIN SAMA BENCONG?

Nggak pernah terbayang dalam otak Alma, dahulu Jatinegara adalah sebuah kawasan hutan jati. Hebringnya, luas kawasan jati ini lebih dari 20 hektar, Cong! Gara-gara Alma nggak bisa ngebayangin, setiap kali tidur doi selalu ngompol. Padahal sebelum tidur udah pipis. Kalo nggak ngompol, doi selalu menuai air liur di bantal. Dengan begitu, memberikan sebuah tanda bak pulau.

Alma nggak salah. Manusia-Manusia yang hidup di abad 19-an dan nggak bisa ngebayangin dahulu ada hutan jati di Jatinegara, juga nggak salah. Yang salah mereka yang ada di penjara. Yang bisa menceritakan perihal hutan jati, salah satunya Cornelis Senen. Doi lah yang membebaskan hutan jati menjadi kawasan pemukiman. Kira-kira kejadiannya tahun 1661.



Baik juga ya Cornelis itu mau membebaskan hutan? Pasti kalo si hutan nggak dibebasin, akan tersiksa lahir maupun batin. Nggak bisa freedom gitu. By the way, memangnya hutan salah apa sih kok bisa masuk penjara dan kudu dibebaskan? Dasar tolol! Maksud kata "membebaskan" dalam konteks di sini bukan apa yang ada di otak elo. "membebaskan" di sini sama aja artinya membabat pohon-pohon besar, sehingga menjadi area terbuka.

Siapakah Cornelis itu? Hebat bener doi bisa membabat pohon-pohon? Padahal Pemerintah Indonesia sekarang justru mengkampanyekan "One Man One Tree" alias satu orang menanam satu pohon. Lah ini ndilalah Cornelis bisa-bisanya membabat hutan. Emang doi jagoan apa?

Doi adalah guru agama Kristen asal Pulau Banda, Bo! Gara-gara jabatannya sebagai guru agama, Cornelis dapat tambahan gelar Meester di depan namanya, yang artinya "Tuan Guru". Entah sebab apa, Meester diutus Gubernur Belanda buat melancong ke Batavia. Entah apa pula, si Meester ini juga kemudian berada di kawasan Jatinegara. Namun menurut buku sejarah, sejak akhir abad 17, doi menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Sejak itu, masyarakat menyebut kawasan itu sebagai kawasan Meester Cornelis dan selanjutnya disingkat Meester. Sebenarnya kata “meester” aslinya kata “master”. Maklumlah, lidah orang Betawi, sebutan huruf “a” jadi dibaca “e”.

“Kata ‘apa’ jadi ‘ape’...”

“Lalu?”

“Tua jadi Tue...”

“Apa lagi?”

"Muda jadi Mude..."

"And then?"

“Nasi jadi bubur...”

“Lho?! Apa hubungannya dengan kata 'a' dan 'e', Cong?”

“Kagak ada!”

“Kenape elo menyebutkan nasi jadi bubur?”

“Soalnya gw laper berat, Bo!”

"Pantes! Muke loe kayak mangkok bubur...."

Kawasan hutan jati disulap Meester Cornelis jadi kota satelit di Batavia. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1924, Mester dijadikan nama Kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang. Ngerti kan maksud “kewedanaan”? Simplenya kayak wilayah atau bahkan Kabupaten Tingkat I.

Nama Jatinegara baru mulai digunakan di awal pendudukan Jepang di Indonesia. Kira-kira tahun 1942-an. Saat itu kuping Jepang merasa panas kalo mendengar nama-nama berbau Belanda. “Meester” misalnya. Itu kata Belanda asli, lho! Nggak heran kalo Jepang berusaha menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Kata “Meester” langsung diganti dengan kata “Jatinegara”. Maksud kata “Jatinegara” nggak lain terdiri dari kata “Jati” dan “Negara”. Kata “Jati” buat mengingatkan Penduduk sekitar situ, bahwa zaman dahulu kala wilayah itu adalah hutan jati. Sedang kata “negara” lebih kepada Negara Indonesia (dahulu masih dikenal sebagai Hindia Belanda) itu sendiri.



Ketika Jepang udah meninggalkan diri dari tanah air tahun 1946, nama “Mester” tetap dikenal. Bahkan kalo semua angkutan umum yang menuju ke Terminal Kampung Melayu, selalu menyebutkan kata “mester” buat menggantikan kawasan Jatinegara. Kalo ada Kondektur yang berteriak kata "Rawasari! Rawarasi!" di sekitar Mester, itu pasti Kondektur nyasar atau mabok anggur orangtua.

Awalnya, pasar Mester cuma menjual bahan pokok, ayam, kambing, dan jahitan pakaian saja. Namun pada 70-an, mulai tumbuh lapak-lapak di pinggir jalan. Selain lapak, ada beberapa toko yang muncul di situ. Kalo lapak dimiliki oleh para Pedagang kelas menengah bawah, toko-toko yang bermunculan di sepanjang jalan dimiliki oleh orang-orang Cina.




Jualan apa aja?

Macem-macem! Ada yang jualan pakaian, mebuel, maupun tempat makan. Ada pula yang putih, dan ada yang merah. Setiap hari, kusiram semua. Stop! Stop! Kok, malah nyanyi lagu Peter Pan gitu sih? Eh, bukan Peter Pan ding, tapi lagu "Berkebun" yang belum jelas siapa Penciptanya. Pokoknya Cong, di Mester atau di Pasar Jatinegara elo bisa menemukan apa aja. Kalo kata orang, "LUMAGADA" atau akronimnya "LMGA" alias Loe Mau Gue Ada.

Sebagai Manusia yang selalu luput dengan dosa, Alma baru ngeh kenapa dari dahoeloe sampai sekarang, Jatinegara atau Mester nggak ada bedanya. Beda apaan maksud loe? Maksudnya tetap aja ada lapak. Bahkan lapak-lapak masa kini (baca: tahun 1900-an ini) adanya di trotoar jalan. Mereka yang mau berjalan kaki dengan santai, niat berolahraga, pasti berpikir ulang. Maklumlah, jalan jadi nggak nyaman kalo di trotoar udah ada para Penjual ikan, burung, dan binatang lain. Bukan cuma itu, di trotoar juga ada Penjual buku bekas dan Pedagang obat kuat. Hah obat kuat? Jijay bajay....




“Emangnya why kalo obat kuat? What wrong? Memangnya kalo ke Mester elo cuma pengen beli obat kuat aja?”

“Kok tahu?”

“Soalnya belakangan elo kurang bergairah kalo lagi main sama Bencong...”

“Kok tahu kalo gw sering main sama Bencong?”

“Soalnya ada Bencong yang bilang sama gw kalo elo belum bayar kencan Minggu lalu...”

“Ih, dasar Bencong! Pengaduan kerjaannye....”

"Udah jangan berkelahi sesama Bencong! Mending kita ke Mester yuk! Beli perabotan rumah. Kebetulan di rumah belum ade tv plasma..."

"Di Mester ade Blackberry nggak, Cong?"

"Nggak tahu deh. Yang gw tahu, banyak Pedagang yang kakinya kena beri-beri..."

0 komentar: