Sabtu, 16 Mei 2009

DIMANAKAH ENGKAU WAHAI TUHANKU?

Ketika dahaga terasa di kerongkonganku ini, Engkau tak ada dekatku. Padahal aku butuh Engkau mencarikan setetes air agar bisa membasahi rongga-rongga yang sudah terasa kering ini.

Ya Tuhan, aku tak punya sedikit pun uang untuk membeli minuman. Kalau pun aku punya uang untuk membeli Teh Botol atau Coca-Cola, atau Aqua, itu tidaklah mungkin. Sebab aku sekarang ada di tengah hutan. Di suatu tempat yang tidak ada Pedagang kaki lima yang menjual minuman. Di sini pun tak ada yang namanya minimarket, supermarket, apalagi hypermarket. Pohon-pohon yang sebetulnya aku andalkan untuk meneteskan air via daunnya pun ternyata sudah gundul.

Turunkanlah hujan. Biar wajahku kuarahkan ke udara dan mulutku kubiarkan terbuka lebar agar tetesan hujan itu bisa segera menyegarkan kerongkongan ini. Tapi Engkau nampaknya terlalu pelit menurunkan hujan. Engkau juga terlalu pelit memperlihatkan mata air di tanah yang sudah gundul dan kering ini.

***

Ketika perut ini sudah menjerit untuk minta diberi makan, Engkau tak ada di sisiku. Padahal aku butuh sesuatu yang bisa mengenyangkan agar rasa perih yang ada di perutku ini bisa segera hilang. Aku tak punya uang wahai Tuhanku. Lagi pula di hutan tak ada warteg seperti warmo, atau kantin, atau food court, apalagi restauran multijajanan.


Kita seringkali memperlakukan Tuhan seenak udel. Tuhan diposisikan kayak sampah, yang udah nggak perlu dibuang. Nggak ada harganya. Padahal susah dan senang, kita kudu dekat Tuhan. Yang pasti, nggak ada Tuhan yang sama. Nggak ada agama yang memiliki konsep yang sama. Pluralisme cuma buatan manusia yang nggak mau cape dengan konsep dan formalitas dalam sebuah agama.

Turunkanlah beras dari atas langit Tuhan. Sebaiknya beras produk lokal hasil bumi negeri kami yang indah ini. Atau kalau beras terlalu berat dan bisa menimpa tubuhku yang mungil ini, kirimkan aku burger dari D-Jons via delivery service atau Bebek Kaleo yang garing itu.

Nampaknya Engkau terlalu pelit untuk memberi. Ternyata Engkau sangat kikir untuk berbagi. Padahal katanya kami adalah Mahluk ciptaanmu yang paling disayang, karena punya akal. Karena punya budi. Ah, rasa sayang Engkau cuma lip service. Ucapanmu cuma basa-basi, mirip kayak Politikus-Politikus.

***

Mana? Mana? Katanya Engkau ada dimana-mana? Katanya Engkau selalu dekat dengan Mahkluk seperti kami? Aku kehausan, nih! Aku kelaparan, nih! Bukan cuma aku. Hampir separuh penduduk dunia ini miskin. Mereka kehausan dan kelaparan pula. Tak jarang gara-gara dua hal tersebut, mereka mati sia-siap. Tidakkah Engkau sedih? Tidakkah Engkau punya empati sedikit saja?

Wahai Tuhan, di mana sesungguhnya Engkau berada?

Aku jadi tak percaya Engkau wahai Tuhan. Aku semakin bimbang akan keberadaanmu wahai Tuhan. Ketidakpercayaan dan kebimbanganku ini jelas mendasar. Engkau tak pernah ada selagi aku membutuhkan. Engkau tak pernah mewujudkan diri ketika aku ingin curhat padamu.

***

Tiba-tiba SMS masuk.

”Hi, manusia tolol! Jangan pertanyakan dimana Tuhan berada. Ketika Tuhan memanggil, kalian tidak segera menjumpai-Nya. Engkau terlalu sibuk untuk urusan dunia. Engkau terlalu sibuk menumbuk harta benda. Sampai detik ini pun kalian belum memutuskan Tuhan kalian sebenarnya yang mana? Kalian pikir dengan mengaplikasikan hal-hal sosial yang sifatnya duniawi tanpa menjalankan perintah Tuhan kalian layak masuk surga? Kamu pikir pluralisme itu luar biasa? Itu cuma alasan agar kita tidak perlu ber-Tuhan atau menjalankan perintah Tuhan....”

0 komentar: