Sabtu, 26 September 2009

SEBELUM MAIN, IZINKAN SAYA BERDOA DULU

Akhirnya Bejo bebas juga dari istrinya. Selama ini ia selalu dihantui oleh ceramah-ceramah sang istri soal agama yang nggak penting itu. Bahwa tiap kali melakukan apapun harus berdoa. Sebelum makan berdoa, sesudah kencing berdoa, mau mengendarai mobil berdoa, dan aktivitas-aktivitas lain.

“Apa nggak ada waktu luang agar kita nggak selalu berdoa?” tanya Bejo.

“Berdoa itu agar kita selalu mengingat Allah, Pap,” jelas sang istri yang seksi mandraguna itu, Halimah. “Dengan berdoa, kita akan diberikan keselamatan dunia dan di akhirat.”

Tiap hari, Bejo selalu diingatkan Halimat agar berdoa. Di waktu hendak tidur kalo belum berdoa, istrinya nggak segan-segan membangunkan Bejo untuk berdoa dulu. Padahal pernah Bejo sudah pulas tidur, bahkan sudah sempat bermimpi basah. Namun Halimah nggak peduli dengan hal itu. Baginya, berdoa lebih penting daripada SKJ atau Senam Kesegaran Jasmani. Berdoa jauh lebih penting daripada roti bakar Edi, ayam bakar Mas Mono, atau program gosip Cek N Ricek.

Kini dihadapan Bejo sudah ada Pelacur telanjang. Ia berhasil melarikan diri dari sang istri yang sedang belanja di Hypermarket di kawasan Sudirman. Pelacur yang sedang berhadapan dengan Bejo adalah Pelacur kelas mahal yang biasa muncul di televisi menjadi Host sebuah program acara. Mengenai lokasi, Bejo memilih sebuah hotel berinisial “A” yang ada di kawasan kota sana, yang biasa menjadi lokasi para praktisi televisi melaksanakan hasrat seksualnya.

“Hayo dong, Mas kita mainkan,” ajak Pelacur berambut panjang yang juga dikenal sebagai bintang iklan beberapa produk consumer goods itu. “Jangan kelamaan, soalnya jam 3 nanti aku harus shooting sinetron.”

“Sabar...sabar,” papar Bejo. “Sebelum kita main, izinkan saya berdoa dulu ya sayang.”

“Kok pake berdoa? Kita kan sedang melakukan maksiat!”

“Kata istri saya, sebelum melakukan apapun kita harus berdoa...”

“Makan tuh istri!”

Dan Bejo pun berdoa dengan khusyu sampai nggak sadar kolornya melorot sedikit demi sedikit. Tanpa sadar, Bejo mengucapkan doa ketika hendak naik kendaraan. Itulah yang membuat si pelacur bingung.

“Lho, itu bukan doa naik kendaraan ya, Mas?” tanya Pelacur yang ternyata mengerti juga soal doa.

“Ah, sama aja bukan? Aku kan juga mau naik kamu.”

“Aku kan bukan kendaraan, Mas?”

“Kamu tetap kendaraan sayangku. Kamu kendaraan menuju kenikmatan duniawi yang sebentar lagi aku rasakan....”

“Dasar tolol!”

ANTENA TELEVISI DI PAGI HARI

Adakah yang lebih penting dari antena televisi seharga duapuluh ribu perak? Entahlah! Barangkali menurut Silvi, itu lebih penting disbanding memberikan senyum pagi pada sang suami. Atau membuatkan sarapan plus kopi kapal api kesukaannya.

Sebagai istri yang sejak lebaran ini ditinggal pergi para pembantu, Silvi lebih suka membetulkan antena barunya yang kecil mungil dan baru dibelinya dua hari lalu. Ia kesal suaminya nggak pernah punya hasrat yang menggebu-gebu untuk membetulkan saluran televisi yang gambarnya selalu berbintik-bintik penuh dengan semut.

“Memang nggak boleh lihat berita di televisi?” tanya Silvi pada sang suami, Bejo, sambil mengarahkan antena agar mendapatkan gambar bagus.

“Enggak salah sih, tapi memangnya nggak ada stasiun televisi lain yang menyiarkan program berita?” balas sang suami.

Sebenarnya Bejo juga punya andil memiliki kesalahan, sehingga tidak pantas untuk Silvi naik-naik ke atas kursi untuk mencari arah, dimana antena tersebut dapat menangkap sinyal siaran televisi berita agar kinclong alias tidak kesemutan. Sudah berkali-kali Bejo diingatkan supaya membetulkan antena yang sudah ada di atas genteng, atau mencari antena baru, atau berlangganan televisi pra bayar agar bisa menikmati televisi berita.

“Lelaki kok pemalas!” gerutu Silvi dalam hati. “Lelaki itu harusnya tough, pantang menyerah, terus berusaha, dan jangan memble.”

“Ah, biar memble asal kece kan nggak masalah,” jawab Bejo dalam hati juga. Aneh? Kok isi hati Silvi bisa diketahui oleh Bejo? Inilah namanya sudah sehati dan sepikiran? Entahlah. Seharunya sih iya, karena mereka adalah suami istri.

Namun Bejo juga tidak bisa dipersalahkan 100%. Ia barangkali cukup realistis dengan kondisi antena. Ia sudah cukup berusaha untuk naik turun genteng cuma untuk membetulkan arah antena yang selalu bergeser tiap kali kena angin puyuh atau hujan badai di rumahnya. Naik turun genteng pun bukan dua kali tiga kali, tapi lebih dari tiga kali. Hasilnya? Televisi berita yang diinginkan Silvi tetap penuh dengan semut.

“Nggak usah, mending Indovision aja!”

Suatu kali di Mal, Bejo menolak tawaran istri untuk berlangganan First Media atau Aora. Tapi kedua televisi itu kanalnya terlalu sedikit, apalagi kebetulan First Media tidak mau memasang kabel sampai ke kampung Bejo. Walhasil, Bejo lebih memilih Indovision sebagai pengganti Astro yang sudah masuk ke dalam kuburan, meski televisi pra bayar ini tidak menayangkan televisi yang ingin dilihat oleh Silvi.

Sebenarnya Bejo cinta sekali pada Silvi. Ia ingin mewujudkan rasa cintanya dengan memilih First Media atau Aora. Tapi karena tersangkut masalah keenganan perusahaan televisi itu untuk memasangkan kabel sampai ke kampung mereka, ya dalam hal ini Bejo tidak bersalah, bukan? Sementara Aora, mending ke laut aja, karena jumlah kanalnya jauh banget dibanding Indovision. Memangnya cuma mau nonton saluran olahraga? Memang gara-gara mau nonton televisi berita jadi memilih televisi pra bayar ini? Nggak harus, kan?!

“Lagipula aku nggak pernah menikmati televisi, meskipun salurannya sampai 50-an kanal?” ungkap Bejo dalam hati. “Memangnya pernah melihatku duduk berjam-jam menonton kanal-kanal di televisi kabel itu?”

Terlalu norak memang kalo pagi itu masalah Silvi dan Bejo cuma gara-gara antena duapuluh ribu perak. Mereka tidak bisa menikmati keindahan pagi yang penuh dengan kicauan burung dan tetesan embun bekas hujan semalam. Mereka juga tidak bisa duduk berdua di sebuah meja makan dari kayu untuk menikmati sarapan. Silvi lebih fokus memutar-mutar antena, sedang Bejo lebih suka hidup dengan dunianya yang realistis.

“Biar aku saja yang mengembalikan antena ini ke toko yang kemarin,” kata Silvi dengan nada dasar F mayor.

Bejo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu istrinya keras kepala. Jika ia melanjutkan masalah kecil soal antena ini, boleh jadi perang dunia ke-27 akan terjadi. Dan itu tidak secuil pun dikehendaki oleh Bejo. Ia lebih fokus pada hal-hal yang lebih penting agar pagi hari itu terasa nikmat, mengorek-ngorek lubang hidung dengan telunjuknya agar mendapati sesuatu yang najis dan tentu saja kentut sepanjang hari tanpa kenal lelah.

TAPI JANGAN BILANG SAMA ALLAH YA...

Sampai di ujung bulan Ramadhan, Bejo belum juga menyerahkan zakat fitrah. Ia merasa uang senilai 17,500 perak atau beras 3,5 liter terlalu berat untuk diserahkan ke masjid. Padahal harta di rumahnya berlimpah. Sebetulnya uang zakat per orang itu baginya cuma buat tips di restoran kelas A. Begitu pun dengan beras. Di rumahnya terdapat beberapa karun beras yang disimpan di sebuah kamar. Tapi mengapa Bejo nggak mau memberikan zakat fitrah?

“Saya nggak ada uang, Pak,” kata Bejo suatu hari ketika Panitia zakat fitrah RT menyodori selembar kertas formulir zakat.

“Beras juga nggak apa-apa kok, Pak Bejo,” ucap Panitia zakat fitrah itu memberikan alternatif lain selain uang.

“Itu pun saya belum belanja ke Carrefour. Nanti kalo sudah belanja, saya pasti akan kirimkan ke masjid, deh.”

Tiba-tiba istri Bejo keluar dari pintu rumah.

“Lho, kok ngobrolnya di pagar? Kenapa nggak masuk ke dalam?” tanya istri Bejo bernama Surti itu. “Bapak Edi ya?”

“Iya, Bu! Assalamualaikum!”

Walaikum salam!”

“Ini, Bu Bejo, kami dari panitia zakat fitrah ingin mengabarkan, bahwa masjid kita bersedia menerima dan menyalurkan zakat. Barangkali Ibu bersedia berzakat gitu...”

“Sssstttt!!!!” Bejo memberi kode ke Pak Edi agar jangan keras-keras. “Kan saya sudah bilang kalo kami belum bisa berzakat. Bapak in gimana sih? Kok maksa banget! Mau saya panggil Suku Dinas Kependudukan ya?”

“Lho, kok Suku Dinas Kependudukan, Pak? Bukannya DLLAJR?” tanya Pak Edi.

Whoever, lah! Pokoknya Bapak harus cabut sekarang juga sebelum Gunung Galunggung meletus lagi?”

Surti bingung kenapa transaksi zakat antara suaminya dengan Pak Edi begitu lama.

“Memangnya Pak Edi belum dikasih uangnya ya?” tanya Surti.

“Belum, Bu! Kata Bapak, Bapak nggak punya uangnya dan belum beli beras di Carrefour,” jawab Pak Edi.

Surti kaget bukan kepalang. Matanya mendelik seperti hendak keluar dari lubang mata. Ia begitu kesal dengan sang suami yang terlalu kirir untuk memberi. Suaminya kurang memahami Surah Al-Baqarah ayat 60.

“Sssstttt!!!!” untuk kedua kali Bejo memberi kode agar Pak Edi jangan bermulut ember alias blak-blakan. “Bapak memangnya mau saya sunat?”

“Saya sudah sunat Pak?”

“Saya juga sudah sunat! Kalo begitu, Bapak mau saya kasih kartu merah?”

“Memangnya Bapak wasit sepakbola?”

“Anggap saja begitu!”

“Baiklah kalo begitu, saya pasrah apa kata Rudy Hadisuwarno, eh maksudnya kata Bapak.”

Surti mendekat ke arah Bejo. Wajahnya marah sekali, karena tahu kalo Bejo belum memberikan zakat pada Pak Edi. Sebagai istri yang jelek, ia ingin agar suaminya tetap melaksanakan Rukun Islam yang ke-3, yakni mengeluarkan zakat. Allah berfirman di Surah At-Taubah: 103: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ketika Surti melangkah mendekat ke dirinya, Bejo berpikir keras. Ia mencoba mencari jalan agar Surti nggak mengganggu ketentraman dirinya dengan marah-marah, dan Pak Edi juga bisa tersenyum puas. Dan gagasan aneh pun tiba-tiba turun dan masuk ke otak Bejo.

“Pak Edi, karena saya nggak bisa memberikan apa-apa, bagaimana kalo saya menzakatkan istri saya ini pada Bapak?” papar Bejo.

Wajah Pak Edi tiba-tiba cerah ceria. Perjaka tua ini begitu antusias mendengar tawaran Bejo yang aneh tapi realistis itu. Sementara Surti kaget mendengar suaminya mengatakan hal itu tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Saya tahu, istri saya punya banyak keinginan yang nggak bisa terkabulkan selama bersama saya. Belakangan ini ia ingin sekali melakukan hubungan badan, tapi saya nggak bisa memenuhinya, karena satu dan lain hal. Kebetulan istri saya dahulu adalah Pelacur yang mencoba untuk tobat tapi nggak tobat-tobat, karena masih suka dugem ke diskotik, pakai pakaian minim, dan shopaholics. Lebih dari itu, Pak Edi saya lihat belum pernah merasakan kenikmatan melakukan hubungan badan. Nah, di bawah langit nan cerah ceria, saya menceraikan istri saya dan menzakatkan istri saya pada Bapak....”

Mulut Pak Edi terbuka. Air liurnya menetes bak tetesan embun pagi. Lalat yang hendak masuk ke mulut Pak Edi tiba-tiba jatuh pingsan begitu mencium aroma yang keluar dari mulutnya. Sementara Surti masih terbengong-bengong dengan pernyataan suaminya. Secara kebetulan saat scene bengong ini, seorang Penghulu dari Cempaka Putih lewat dengan sepeda lipat (seli) kebanggaannya. Bejo memberhentikan Penghulu itu.

“Pak, tolong catatkan mereka di KUA setelah masa Iddah, empat bulan dari sekarang, karena mereka akan menjadi pasangan suami istri,” kata Bejo.

Really?” kata Penghulu.

"Reli? Siapa yang ngajakin reli?"

"Maksudnya, benarkah demikian my friend?"

“Yap!”

Yes! Yes! Yes! Ane dapet job lagi, nih! Dapet amplop lagi, nih! Memang jadi Penghulu enak, deh! Tapi lama juga ya nunggu sampai tiga bulan?”

“Memang Bapak bisa menikahkan mereka sekarang juga? Kan saya belum diputuskan cerai oleh Pengadilan Agama?”

“Ah, itu bisa diatur! Tapi jangan bilang sama Allah ya?”

“....”

Minggu, 20 September 2009

RAZIA KTP

Sehubungan bulan puasa lalu banyak orang Islam nggak puasa, sebuah Organisasi Masa (Ormas) Islam melakukan razia. Kali ini razia mereka cukup simpatik. Nggak main bakar-bakaran kafe atau melakukan kekerasan fisik. Mereka cuma merazia Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Kok razia KTP, Ustadz?” protes salah satu anggota Ormas Islam itu. “Bukankah yang biasa merazia KTP para Pamong Praja dari Pemda?”

“Hi! Tolol! Kita ini nggak sama kayak Pemda,” jawab Kordinator Ormas dengan nada tinggi sekitar 5 oktaf gitu, deh. “Kalo Pemda itu mengusir mereka yang bukan KTP Jakarta ke kampung halaman. Nah, kalo kita merazia si pemilik KTP itu cuma Islam KTP atau Islam beneran...”

“Caranya?”

“Mari aku tunjukan padamu hai Tukang Kayu...”

“Lho, saya bukan Tukang Kayu, Ustadz! Itukan lagu...”

“Oh iya, ane lupa!”

Akhirnya sejumlah anggota Ormas melakukan razia. Tempat-tempat razia di beberapa titik. Ada yang di pusat perbelanjaan, bioskop, restoran, hotel, dan nggak ketinggalan di panti pijit. Mereka sengaja memilih tempat-tempat nggak umum, karena menurut Koordinator ini cara mereka mengetahui secara random mereka yang ber-KTP Islam.

“Coba tunjukan KTP saudara,” kata salah seorang anggota Ormas Islam pada pria muda yang sedang berada di sebuah kamar di tempat panti pijat. Dia nampak sedang siap-siap dipijat, entah dipijat plus-plus atau dipijat minus-minus. Yang pasti dia sudah menggenakan handuk dan di belakang pria itu ada seorang wanita yang mirip Ozzy Osbourne. Kok Ozzy Osbourne ya? Bukannya Ozzy itu pria? Ah, barangkali pria yang diperikasa KTP-nya ini suka sama pria juga...

Pria itu menyerahkan KTP dengan tangan bergetar.

“Karena di KTP Anda mengaku beragama Islam, saya tanya Anda, sebutkan Rukun Islam,” tanya anggota Ormas itu.

“Rukun Islam ada lima perkara. Pertama membaca dua kalimat syahadat. Dua kemanusiaan yang adil dan beradad. Tiga persatuan Indonesia. Empat...”

“STOP! STOP! STOP! Anda salah!”

“Kok saya salah? Salah saya apa, Pak? Bukankah Rukun Islam memang lima perkara?”

“Anda betul! Rukun Islam ada lima perkara. Perkara satu betul, mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi perkara kedua dan ketiga ngawur banget! Masa kemanusiaan yang adil dan beradab? Memangnya pemerintah sekarang sudah adil?”

“Belum.”

“Nah, kenapa kalo belum adil Anda menyebutkan perkara kedua kemanusiaan yang adil dan beradab? Harusnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan, perwakilan dong, ya nggak? Lalu setelah itu baru deh perkara ketiganya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia...”

“O begitu ya, Pak. Jadi saya ditangkap, nih, Pak?”

“Yap!”

Pria itu pasrah ditangkap salah satu anggota Ormas Islam. Namun sambil berjalan mengikuti anggota Ormas itu, si pria tertawa dalam diri. Ia merasa berhasil mengelabui si anggota Ormas yang berjenggot panjang itu, karena sebetulnya sebagai orang Islam, ia hafal lima rukun Islam.

“Masa rukum Islam kedua kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, perwakilan, sih!" katanya dalam hati. "Harusnya berbangsa satu bangsa Indonesia. Baru setelah itu berbahasa satu bahasa Indonesia. Hahahaha...ogut begoin mau aja!”

Ah, dasar! Kalo dua-duanya Islam KTP ya begitu itu jadinya! Belum tentu anggota DPR, MPR, Ormas Islam, dan orang-orang ber-KTP Islam hafal Rukun Islam dan Rukun Iman. Coba aja tes! Jangan-jangan Anda juga nggak hafal. Hayo ngaku!

Sabtu, 19 September 2009

KADO LEBARAN: DISEGEL!

Belakangan ini Pemerintah Daerah (Pemda) nggak main-main dengan pemilik gedung yang nyeleneh. Dikit-dikit segel. Dikit-dikit sebuah gedung mendapat papan berwarna merah konclong yang ada tulisan gede: GEDUNG INI DISEGEL!

Terus terang gw salut dengan aktivitas penyegelan yang dilakukan Pemda di tahun ini. Tegas, seperti kumis Bang Foke yang tebal itu. Apa hubungannya ya? Ah, biarlah! Pokoknya tegas beriman gitu deh. Moga-moga nggak cuma anget-anget tahi ayam. Kalo pun bukan tahi ayam, at least bukan tahi cicak atau kecoa.


Papan segel berwarna merah nggak mungkin bisa digantikan dengan papan cuci.


Sudah banyak gedung-gedung yang belum jadi yang mendapatkan papan berwarna merah kinclong itu. Di sepanjang MT Haryono aja gw sempat menemukan dua gedung yang disegel. Entah di tempat-tempat lain, barangkali jumlahnya bisa puluhan, karena gw belum sempat mendapatkan data-datanya. Terakhir, ketika melewati jalan Hang Tuah raya, gw menemukan sebuah rumah yang beberapa tahun ini dijadikan toko kue yang disegel. Coba perhatikan tokonya, pasti elo pernah melewati toko itu atau mungkin pernah mampir ke situ.

Gw belum tanya apa salah dan dosa toko itu sehingga mendapat papan disegel. Mungkin soal izin peruntukan, bahwa rumah tinggal yang digunakan sebagai toko tanpa izin. Ah, entahlah. Yang pasti, penyegelan itu kayak kado di hari lebaran 1 Syawal 1430 H ini. Untung kado yang gw terima di lebaran ini bukan papan segel, tapi papan cuci, karena pembantu udah pada mudik. Terpaksa gw kudu melakukan atraksi cuci baju dengan papan cuci itu sampai para pembantu kami tiba dengan selama sentosa. Amin!


photo copyright by Jaya

Jumat, 18 September 2009

MASIH RAGU, TAPI BUTUH PROMOSI. GIMANA DONG JADINYA?

Nggak semua orang bisa meyakini sebagaimana orang lain yakin 100%, bahwa 1 Syawal tahun 2009 ini jatuh pada Ahad alias Minggu. Terbukti, sepanjang perjalanan saya, banyak spanduk-spanduk yang mengajak ummat Islam sholat Ied, tapi tanpa mencantumkan tanggal.

Ya, begitulah kalo masih ragu, tapi butuh promosi. Padahal dalam sebuah informasi di teori komunikasi, kalo ada salah satu 'isi pesan' yang nggak sampai ke 'komunikan', maka 'isi pesan' itu dianggap 'mengada-ada' alias lemah kebenarannya. Dalam kasus spanduk-spanduk tanpa tanggal, ini merupakan contoh nyata kelemahan sebuah 'isi pesan'.



Saya mengerti mengapa banyak panitia sholat ied yang masih ragu tapi tetap membuat spanduk, nggak lain nggak bukan supaya para umat nggak bigung. Tentu umat yang biasa sholat di tempat yang bingung menentukan hari lebaran ini. Kalo nggak buru-buru menyebarkan spanduk, bisa jadi tempat itu bakal ditinggalin umat. Umat bakal 'pindah ke lain hati'. Nah, daripada ditinggalin umat bikin rugi, lebih baik tetap melakukan publikasi, meski infonya belum komplet.

Itulah cari publikasi ala Indonesia Raya yang selalu beda waktu lebarannya. Golongan NU lebaran hari A, Muhammadiyah lebaran hari B. Atau NU dan Muhammadiyah sama di hari A, eh golongan lain lebaran di hari lain. Maklum, mereka punya kepercayaan melihat jatuhnya 1 Syawal beda. Salahkah? Kata Ustadz di kantor gw: enggak!

"Tapi demi kerukunan umat Islam, golongan yang lebarannya gak sama, nggak usah dipolitisir. Toh kita tetap meraih kemenangan bersama...."


photo copyright by Jaya

MONEY CHANGER MUSIMAN

Sekali waktu coba Anda menyempatkan diri melancong ke jalan raya Pondok Indah. Di sepanjang jalan itu mulai dari depan Mal Pondok Indah sampai lapangan golf Pondok Indah, puluhan pedagang money changer menawarkan uang. Bukan uang dolar atau mata uang asing lain, tapi uang kertas rupiah.

Begitulah pedagang money changer musiman dalam menyambut lebaran ini. Saya akui, intuisi bisnis mereka memang jempolan. Mereka melihat tradisi salam tempel yang sudah lama berlangsung di Indonesia yang tercinta ini belum usang alias masih bersemi. Nggak heran, menjelang lebaran kayak begini, mereka berdagang uang ‘recehan’ kertas, mulai dari seribuan, dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan.



Sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi soal uang ‘recehan’ kertas ini tiap-tiap lebaran. Mobil-mobil dari Bank Indonesia (BI) stand by di beberapa titik. Namun kayaknya jumlah penukar uang dengan mobil yang di-stand by-kan nggak seimbang. Oleh karena itu, permintaan uang ‘recehan’ menjadi ladang bisnis di sektor informal. Dan jadilah mereka bergadang seperti terlihat di sepanjang Pondok Indah.

Sebenarnya pedagang money changer musiman ini bukan cuma di Pondok Indah. Banyak titik-titik yang menjadi konsentrasi pedagang berjualan uang ‘recehan’ kertas. Namun lebaran kali ini saya baru tahu ternyata di kawasan elit Pondok Indah juga ada pedagang money changer musiman. Analisa saya mengapa mereka ada di situ, boleh jadi banyak pemilik rumah di situ yang ‘malas’ buat menukarkan recehan di bank atau ngantri di mobil BI yang ada di Pasar Baru atau di tempat lain. Mending langsung nukar di tempat dekat rumah.

Buat mereka yang tinggal di Pondok Indah barangkali nggak masalah penukaran recahan itu 20% sampai 30% lebih mahal dari tempat lain. Wong mereka kaya raya, ya nggak? Tapi buat saya yang masih menjalani nasib menuju konglomerat yang tersoror sejagad raya, angka 20%-30% sungguh berarti. Kebayang dong menukarkan 100 ribu perak, kita cuma dapat 80 ribu, karena pedagang memungut dana 20 ribu. Itu kalo menukarkan uang kertas dua ribuan. Kalo menukarkan seribuan, lebih gokil lagi! Kita cuma dapat 70 ribu kalo kita menukarkan 100 ribu. Itu artinya 30%! Uang kertas yang dikutip oleh pedagang 10% cuma yang lima ribu perak. Walah! Cuma sekadar tanya kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air, memang kita wajib ya ngasih salam tempel?

Saya tahu, pasti mayoritas menjawab kayak begini:

"Halah, pelit amat sih loe! Kan cuma sekali setahun. Kita nggak bakal miskin!"


all photos copyright by Jaya

Kamis, 17 September 2009

KITA NGGAK BERANI ASAL NAIKIN HARGA TIKET, PAK

Ucapan pria asal Sumatera Utara itu seketika menghentikan seorang Bapak yang protes gara-gara kaget tarif bus jurusan Pulogadung-Cirebon naik 50%. Adegan ini saya saksikan sendiri di terminal Pulogadung saat mengantar asisten saya mencari bus buat pulang kampung.

”Ah, sebelumnya cuma 150 ribu! Masa lebaran masih 3 hari sudah naik 50%?! Protes sang Bapak.

”Sekali setahun lah, Pak,” jawab enteng pria yang nggak jelas statusnya, entah kondektur – karena pakaiannya resmi: kemeja biru salah satu perusahaan bus antarpropinsi beserta logo- atau calo tiket –karena kumisnya tebal, bertato di dada berlambang burung garuda menukik ke jurang. ”Kemarin aja harga tiket udah 195 ribu,” lanjut pria itu.


Daftar rute aneka bus yang mampir ke terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Nggak semua bus antarkota antarpropinsi masuk daftar. Termasuk daftar calon jemaah haji tahun 2010.


Posisi penumpang bus (baca: konsumen) memang serba salah. Nggak ada yang bisa mengontrol harga tiket resmi atau nggak resmi. Apa yang saya pantau, nggak ada petugas dari Dinas Perhubungan selaku departemen yang menetapkan harga tiket. Kalo pun ada, yang diurus (saat saya ke Pulogadung) bukan tiket, tapi lalu lintas di dalam terminal yang semerawut itu.

”Saya bisa ditangkap Pak kalo melebihi harga resmi,” jawab Ibu si penjual tiket yang ada di balik loket.

Sebagai konsumen yang sulit mendapatkan perlindungan, akhirnya si Bapak dengan sangat terpaksa mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan langsung diberikan ke si Ibu. Sebagai ganti, si Bapak diberikan kertas kecil seukuran tiket parkir. Kertas itu nggak lain nggak bukan adalah tiket bus jurusan Pulogadung-Cirebon. Dan sudah bisa ditebak, di tiket itu nggak dicantumkan harga 200 ribu sebagai tarif ’resmi’ sebagaimana pria asal Sumatera Utara itu ngoceh.


Menara pengawas di terminal Pulogadung. Nggak ngerti di menara itu ada yang jaga apa enggak. Selain kesemerawutan bus yang masuk terminal, ada baiknya juga mengawas soal harga tiket bus yang mau mudik. Soalnya nggak ada yang ngontrol. Atau jangan-jangan (maaf!) sengaja nggak dikontrol, yang penting penjual tiket 'tahu sama tahu' aja dengan petugas. Wallahu alam!


”Kita nggak mungkin bohong, Pak! Di sana ada pos petugas, di sana juga ada,” kata pria itu lagi yang mencoba meyakini bahwa tiket yang dibeli si Bapak yang harganya 50% lebih mahal itu benar-benar resmi.

Ya, begitulah konsumen Indonesia yang selalu saja kalah. Tanpa perlindungan. Mau protes, yang diprotes malah lebih galak. Kasihan. Dalam hati saya juga bergejolak dan mempertanyakan hal itu. Soal kontrol petugas yang dikatakan pria ’nggak jelas’ itu juga perlu dipertanyaan: apa memang petugas resmi Departemen Perhubungan benar-benar memantau harga tiket detik per detik, wong saya lihat nggak ada petugas kok? Puasa-puasa kayak begini memang nggak baik se’udzon alias menuduk sembarangan, tapi realita di lapangan ada tiket tanpa harga siapa yang harus dipersalahkan? Kapan ya Indonesia bisa bebas dengan masalah kayak begini? Anyway, right or wrong this is always my country!

Selasa, 15 September 2009

KAMU YA YANG MENGHAMILI?! BUKAN SAYA PAK!

Atas petunjuk Bapak Presiden Republik Ojo Lali Karo Aku Iki, akhirnya aparat kepolisian berhasil memanggil beberapa pria yang dituduh sebagai pria yang bertanggungjawab atas kehamilan Sheilo Morcio. Pria-pria ini dianggap telah menanam benih di perut bintang sinetron cantik dan host itu, sehingga menimbulkan kehamilan hampir 4 bulan.

Terus terang mayoritas warga negara bingung, mengapa seorang Presiden ngurusin masalah kehamilan seorang selebriti yang nggak penting ini. Bukankah urusan negara banyak yang penting? Namun kebingungan beberapa warga negara terjawab, setelah Sekretaris Negara melakukan konferensi pers di depan puluhan wartawan. Inti konfrensi pers tersebut, masalah kehamilan Sheilo bukan sekadar kehamilan seorang selebriti, tapi sudah menjadi isu nasional yang memalukan, ibarat tetangga Malingsia mengakui ploduk-ploduk (bacanya ala Pak Marcus, pemilik Maspion) Indonesia. Masa seorang wanita cantik hamil tanpa ayah? Masa bertepatan dengan kehamilannya ia harus mendekam lagi di dalam penjara? Sebuah contoh yang tidak baik di 10 terakhir menjelang berakhirnya bulan Ramadhan ini. Dan contoh ini tidak boleh menjadi bagian dari jati diri bangsa Ojo Lali Karo Aku Iki.

Itulah mengapa sebagai Kepala Polisi Republik Ojo Lali Karo Aku Iki memanggil pria-pria yang menjadi terdakwa. Polisi berharap akan menemukan pria yang telah menyumbangkan sperma dan harus menjadi Bapak sang jabang bayi. Padahal baik Sheilo dan ibunya Sheilo: Meriah Cecilio Carey, cuek bebek dengan pria yang berhasil menghamili wanita itu. Nggak peduli pria yang menghamili mau mengaku atau enggak, yang penting bumi masih tetap bulat dan berputar. Namun sekali lagi, peristiwa yang dialami Sheilo Morcio adalah peristiwa memalukan tingkat nasional.

”Apakah kamu yang menghamili?” tanya polisi pada pria pertama dalam sebuah sesi introgasi di food court sebuah Mal.

”Bukan! Bukan saya, Pak! Mungkin dia, Pak!” pria itu langsung menunjuk pria yang ada di sampingnya.

”Betul kamu yang mengamili Sheilo?”

”Enak aja! Jangan asal nuduh begitu dong, Pak! Bapak memang udah ngecek jenis sperma yang memasuki perut Sheilo sehingga dia hamil?”

”Belum,” jawab polisi polos.

”Nah, kalo begitu, lebih baik periksa dulu, baru bisa menuduh. Sperma saya golongannya AB, sedang sperma yang hinggap di Sheilo golongan O.”

”O begitu! Jangan-jangan kamu yang menghamili ya?” tanya polisi pada pria yang ada di sebelahnya lagi.

”Ah, Bapak bisa aja,” jawab pria ini sambil cengegesan. ”Masa orang seperti saya bisa menghamili wanita? Saya ini kan nggak suka sama wanita, Pak. Saya ini sukanya minum teh botol. Karena apapun makanannya, ya teh botol minumannya. Dan saya asli pecinta kaum pria, Pak. Masa Bapak nggak tahu sih? Kita kan pernah ketemu dan Bapak pernah nawar...”

”Ih, najis deh!” kata polisi sambil bersumpah serapah agar anak-anak dan keturunannya nggak seperti pria yang guy itu. Cara bersumpahnya, meludah-ludahi wajah pria yang guy itu. Cuih! Cuih! "Semoga anak dan keturunan gw nggak ada yang berprilaku menyimpang, karena bakal masuk neraka! Cuih! Cuih!"



Polisi bingung. Tiga pria yang diintrograsi nggak ada yang mengaku sebagai dalang perbuatan tidak senonoh itu, yakni menghamili orang tapi tidak bertanggung jawab atas jabang bayi yang ada di kandungan Sheilo. Keterlaluan! Sudah ngerasain enak, nggak mau ngaku! Kini tinggal dua pria lagi yang akan diintrograsi. Polisi yakin, salah satu di antara dua pria ini pasti akan mengakui perbuatannya.

”Saya tidak akan menghabiskan waktu kalian berdua. Oleh karena itu, mumpung saya masih muda, ganteng, dan bisa menahan kesabaran, saya bertanya pada kalian berdua, siapa di antara kalian yang berhasil menghalimi, eh maksudnya menghamili Sheilo Morcio?”

”Dia, Pak!” pria satu menunjuk ke pria di sampingnya.

“Enak aja! Dia Pak!” kata pria ini membalas tuduhan pria yang menuduhnya.

Kedua pria itu saling tuduh. Hampir kurang 12 jam, mereka saling berbalas tuduh, bukan berbalas pantun. Oleh karena durasi mereka berbalas tuduh begitu lama, si polisi sempat tertidur pulas, bangun lagi, tidur lagi, ngiler, ngelindur, mimpi basah, mimpi kering, tidur, dan kemudian bangun lagi.

”Sutralah! Ngaku saja, apa susahnya sih ngaku menghamili?” kata salah seorang pria mencoba mengakhiri ronde berbalas tuduh.

”Masalahnya nggak semudah itu, Bro. Gw saat ini lagi diminta jadi Among Tamu salah satu keluarga gw yang mau married minggu depan...”

”Lah, apa hubungannya?”

”Ya jelas ada dong, ah! Among Tamu itu harus fokus. Nggak boleh ada masalah yang bisa memberatkan diri, yang membuat acara resepsi berantakan. Focus is the best!”

”Oh, begitu ya? Kalo begitu, gw juga nggak mudah mengakui soal menghamili Sheilo...”

”Memanya elo yang menghamili?”

”Bukan, bro! Pada saat Sheilo melakukan hal-hal yang dilarang agama, gw sedang nggak ada di tempat. Lagi dinas luar kota. Jadi nggak mungkin dong kalo gw yang menghamili. Memangnya sperma bisa diterbangkan dari luar kota ke perut Sheilo?”

”Gini hari teknologi bisa melakukan apa aja kalee! Nggak cuma kirim SMS, kirim salam, kirim video porno, tapi bisa kirim sperma...”

”Gimana caranya? Aya-aya wae...”

“Gampang! Elo cukup telepon atau SMS dengan handphone, lho ke perusahaan service delivery, sperma loe yang udah ditaro di botol akan dikirim via kurir service delivery itu…”

“Lha, itu mah bukan teknologi kale! Tetap manual!”

“Memangnya elo telepon atau kirim SMS dengan handphone loe bukan teknologi namanya? Teknologi handphone yang bisa mengirim massage dari satu tempat ke tempat yang jauh melalui satelit…”

“STOP! STOP! STIOP! Kalian ini lagi ngomongin apaan sih?” tiba-tiba polisi menghentikan percakapan dua pria terakhir yang dituduh menghamili Sheilo Morcio itu.

“Ngomongin Sheilo Morcio, Pak!”

“Jangan bohong! Sekarang ini bulan puasa, tahu! Nggak boleh bohong! Kalian ini ngomongan handphone kan?”

“Lho kok Bapak tahu?”

“Yaiyalah, polisi gitu loch!”

“Kita berdua sepakat untuk tidak mengakui kalo kami yang menghamili Sheilo Morcio, karena alibi yang menguatkan bahwa kami yang pelaku penghamilan ini, nggak terbukti....”

“Jadi?” tanya polisi seolah ingin memancing jawaban salah satu dari dua pria tertuduh itu.

“Jadi sebaiknya bapak mengaku saja kalo bapaklah yang menghamili...”

“Memangnya boleh?” tanya polisi heran pada tuduhan pria itu.

“Ya bolehlah! Selama Sheilo Morcio nggak mau mengakui siapa otak di balik kehamilannya, ya bapak berhak mendapatkan kesempatan itu. Bapak tinggal mengaku menghamili dan Sheilo menerima pengakui itu, ya selesai deh urusan negara ini...”

“Baiklah kalo begitu,” kata polisi. “Kebetulan sudah lama saya ngefans berat sama Sheilo Morcio. Saya terkagum-kagum pada kecantikannya dan permainannya dalam sinetron....”

“Ya sudah sana jemput Sheilo Morcio di rumah tahanan. Kasihan dia sedang menantikan pria yang mau bertanggung jawab...”

“OK, Sheilo! I’m comming!”

Dan masalah negara Ojo Lali pun akhirnya beres. Polisi mengakui telah menghamili Sheilo dan siap untuk menjadi suami Sheilo. Dengan berakhiranya kasus ini, Presiden Ojo Lali menghadiahkan piala Kalpataro pada polisi.

Congratulation ya Pak!” kata Presiden Ojo Lali Karo Aku Iku pada polisi sambil memberikan piala Kalpataro.

Thx Mr Presiden! I love you full! Hehehehe....” ujar polisi.

RESEP NENEK PALING MUJARAB

Ternyata ada resep dari Nenek-Nenek yang paling mujarab. Apakah itu? Kata mereka, kalo mau bikin contekan kudu di lantai dan sambil nungging. Nah, resep inilah yang diterapkan teman ogut ini.

Cara nunggingnya pun nggak sembarangan. Lihat pria yang ada di foto ini. Nunggingnya adalah dada menghimpit kedua paha yang dilipat dan berada di lantai. Bukan nungging kayak orang ruku' saat sholat.



Meski kepalanya kurang ditumbuhi oleh rambut, namun pertolongannya dalam hal menulis contekan patut diacungkan jempol. Two tumbs up! Resep Nenek-Nenek itu dipakai oleh teman saya ini: nungging di lantai kayak begitu. Ini terjadi saat shooting program lebaran, dimana artis-artis nggak hafal lagu "Selamat Hari Lebaran". Tapi perlu diingat, bukan gara-gara menjelang lebaran kita jadi sering nungging, lho! Soalnya nggak ada perintah dari Tuhan soal nungging. Kalo 'ruku' ya wajib pas sholat.

Kamis, 10 September 2009

SIAPA LAGI YANG BISA KUPERCAYA?

Kedua matanya menyorot tajam. Entah apa yang dilihatnya sampai begitu fokus menjadi point of view pria ini. Tangan kanannya mengepal dan menyangga mulut. Ada secercah sinar yang menyinari keningnya di sebelah kanan.

Itulah foto Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M. Hamzah yang menjadi headline di Media Indonesia, Jumat, 11 September 2009. Foto ini diambil oleh Photografer kantor berita Antara Prastyo Utomo saat Hamzah diperiksa oleh Mabes Polri di lantai IV Gedung Bareskrim. Hamzah diduga terkait dengan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan dan pencabutan cekal Anggoro Wijaya dan Joko Tjandra yang menjadi buronan KPK.

Anggoro Wijaya adalah bos PT Masaro Radiokom yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka, karena diduga berkongsi dengan Departemen Perhubungan (Dephup) dalam pengadaan alat sistem radio komunikasi. Sementara Joko Tjandra adalah Direktur Utama PT Mulia Intan Lestari yang terkait dengan perkara suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan. Gara-gara kasus itu, Anggoro dikenai status cekal pada tanggal 24 Agustus 2008 dan Joko dicekal KPK beberapa bulan sebelumnya, yakni pada 24 April 2008. Namun berkat surat yang diteken Hamzah pada 5 Juni 2009, status cekal dua buronan itu dicabut.

“Gokil! Sinting! Apa alasan Pak Hamzah mencabut status cekal dua buronan itu?”

“Menurut Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar, Anggoro diperas dan dimintai sejumlah uang oleh okum KPK!”

“Hush! Jangan bergunjing! Bergunjing itu dosa, lho! Bisa masuk neraka As-Sakhor! Baca tuh Surah ke-74 Al-Muddassir ayat 42!”

“Sotoy!”

Ma salakakum fi saqara. Qalu lam naku minal-musalina. Wa lam naku nut'imul-miskina. Wa kunna nakhudu ma'al-kha'idina. Artinya: "Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?" mereka menjawab, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin, bahkan kami biasa berbincang-bincang (untuk tujuan yang batil), bersama orang-orang yang membicarakannya."

Sebagai orang Islam yang lagi puasa, saya sedih sekali mendapatkan berita kayak begini, apalagi sekarang ini kita sudah memasukki 10 hari terakhir, dimana ada satu hari yang menjadi hari incaran orang-orang Islam, yakni malam Lailatul Qadar. Foto Chandra Hamzah dan judul headline Media Indonesia hari ini (“Polisi Periksa Tiga Pejabat KPK Terkait Kasus Chandra Hamzah”) sangat menyakitkan hati.

Kenapa sih mereka harus melakukan aktivitas yang membuat malu KPK? KPK gitu, lho! KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI! Masa komisi yang memberantas korupsi ikut-ikutan korupsi? Edan! Gokil! Bahlul! Komisi macam apa ini? Kalo mereka yang ada di lembaga terhormat ini juga korupsi, kepada siapa lagi kita akan percaya?

“Makanya percaya itu cuma kepada Allah, amantu billahi. Jangan sama manusia!”

Nyatanya nggak cuma Hamzah dari KPK yang digelandang ke Mabes Polri. Ada Direktur Penyelidikan KPK Iswan Elmi, Kepala Biro Hukum KPK Chaidir Ramli, dan Satuan Tugas Penyidik KPK Arry Widiatmoko. Mereka memang bikin malu! Kenapa sih mereka melakukan itu?

“Mumpung apa jabatan dan kesempatan...”

“Mungkin...”

“Mumpung nggak ada yang tahu...”

“Enak aja nggak ada yang tahu! Apa si Hamzah itu nggak tahu kalo Allah itu maha tahu?”

“Allah kan nggak kelihatan?”

“Hush! Jangan asal ngomong! Kita wajib percaya! Baca lagi Al-Qur’an Surah An-Nuur: 60!”

Walloohu samii’un’aliim. Artinya: Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Bengong part one.

“Kalo masih nggak percaya, baca pula Surah Al-Hujuroot: 18!”

Walloohu bashiirum bimaa ta’maluun. Artinya: Dan Allah Maha Melihat dengan apa-apa yang kamu kerjakan.

Bengong part two.

“Masih nggak percaya juga? Baca Surah An-Nisa: 176!”

Walloohu bikulli syai-in ‘aliim. Artinya: Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu.

Bengong part three.

“Masih juga nggak percaya? Ke laut aja deh loe!”

“Kapan kita ke laut, bo? Kalo ogut ke laut, elo ikut kan?”

“Cape, deh!”

Rabu, 09 September 2009

RUU PERFILMAN, DVD, & CELANA KOLOR

RUU Perfilman mengundang kontroversi. Banyak pasal yang kurang aspiratif dan 'mengebiri' insan perfilman. Tak heran Christine Hakim dan Slamet Rahardjo sebagai wakil generasi 'tua' mengusulkan menunda pengesahaan RUU Perfilman sebagai pengganti UU no 8 tahun 1992 yang dibuat pada saat masih ada Departemen Penerangan. Seperti juga Christine Hakim dan Slamet Rahardjo, dari generasi 'muda' ada Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata yang juga mengusulkan agar RUU ditunda. Anehnya, Yenny Rachman nggak masalah kalo RUU disahkan.

"Seharusnya kita semua bersyukur RUU ini akan menjadi UU perfilman," kata Ketua Parfi ini.

Nyatanya, dengar pendapat dengan insan perfilman cuma basa-basi. DPR Komisi X tetap mengesahkan RUU ini menjadi UU. Entah apa yang menyebabkan mereka terburu-buru mengesahkan di tengah ketidakpuasan mayoritas insan perfilman ini.



"Buru-buru disahkan supaya buru-bura dapat THR kali," kata teman gw yang kebetulan nggak mau disebutkan namanya, alamatnya, dan memunculkan wajahnya.

"Hush! Jangan asal ngomong loe! Nanti bibir loe bisa disahkan juga ke penjara baru nyaho..."

Itulah mengapa hari ini Riri Riza,Nia Dinata,Jajang C.Noer,Rima Melati,Slamet Rahardjo dan puluhan kawan-kawan lain mengirim bunga duka cita ke gedung DPR.Hari ini adalah hari kematian film Indonesia!

Di tengah duka cita buat insan perfilman nasional, di kampung gw terjadi keriaan yang luar biasa. Cukup kontras, tapi ini nyata. Ada pasar malam, bo! Pasar malam buat segmen kelas menengah-bawah, dimana menjual segala kebutuhan buat lebaran, mulai dari DVD bajakan sampai celana dalam.

"Lah, emang DVD buat keperluan lebaran?"

"Yaiyalah! Kalo ngumpul bersama keluarga kan perlu hiburan. Selama ini hiburan di tv pasti sitkom lagi sitkom lagi. Extravaganza lagi, Extravaganza lagi. Eko Patrio lagi, Eko Patrio lagi. Komeng lagi, Komeng lagi. Bosen kan? Nah, oleh karena itu, kita butuh DVD buat lebaran.."



"Kalo celana dalam, apa hubungannya?"

"Ada kalee! Masa elo mau pake celana dalam bekas Nyokap loe? Atau Bokap loe? Di hari yang fitri, celana dalam kudu baru. Kalo baju dan celana mah nggak apa-apa kalo nggak baru. Tapi kalo celana dalam, ya kudu baru. Emang elo mau pas salaman, celana dalam loe bikin gatel dan elo garuk-garuk?"



"Ya enggak..."

"Nah, itulah kenapa warga kampung sini bergembira ria di pasar malam nan cerah ceria ini..."

"Yaudah deh, gw mau beli celana dalam dan DVD dulu..."

"Jangan lupa, celana dalamnya merek RUU Perfilman ya.."

"OK, Bro!"

Rabu, 02 September 2009

TAHAN GODAAN

Jangankan tape, pizza atau spagethy nggak ngaruh. Aku tetap tahan segala macam godaan, kok. Buatku selama puasa ini, makanan bukan godaan terbesarku. Memang sih aku doyan makan, doyan ngemil, tapi foods is nothing.

Minuman? Ah, minuman juga nggak mem...buatku tergoda. Aku nggak akan terpengaruh biar ada orang di depan mataku minum Coca-Cola dingin, dimana di botolnya muncul embun-embun dingin. Aku juga nggak akan terpengaruh melihat orang minum es kelapa muda, es teler, es cing cau, atau es goyang. Aku kuat!

Lalu apa yang membuatmu nggak tahan godaan Amel?

“Perkawinan!”

“Hah?! Perkawinan?”

Yap! Perkawinan. Saat ini tak ada kata yang tepat selain KAWIN. Aku ingin kawin. Aku nggak tahan lagi buat hidup tanpa seorang suami. Terlalu banyak pria bermata keranjang yang menggodaku, padahal pria-pria itu sudah punya istri dan anak. Memang sih ada pria yang statusnya nggak jelas. Maksudnya, duda enggak, cerai belum. Pokoknya nggak jelas, deh!



Soal kawin, aku memang nggak tahan godaan. Aku tergoda dengan perkawinan, karena pasanganku menggodaku agar cepat married. Agar pria-pria yang ada di sekelilingku mengakhiri menggodaiku. Aku tak tahan. Oh Tuhan, salahkah diriku ini nggak tahan kayak begini?

Jawab Tuhan: “ENGGAK, MEL! You are on the right track!”

Thanks God! Aku bersyukur punya Tuhan baik seperti kamu. Sekarang aku harus bersiap-siap buat berbuka puasa. Setelah berbuka, aku akan memberi kabar bahagia soal perkawinan ini kepada Mama, Papa, Eyang Akung, Eyang Putri, Om, Tante, dan tetangga kiri-kanan.

“Tuhan aku haus, aku lapar. Dari tadi ngomong terus. Bolehkan aku makan?”

Jawab Tuhan: “ENGGAK, MEL! Kan belum bedug? Memangnya puasamu mau dibatalin? Sayang, lho tinggal dua jam lagi?”

“Tapi kue tape Bu Brindil itu menggoda sekali. Nyicipin sedikit boleh dong?”

Jawab Tuhan: “ENGGAK, MEL! Mau sedikit, mau banyak, tetap aja batal.”

“Kue tapenya enak, lho, Tuhan. Udah pernah nyobain belum?”

Jawab Tuhan: “BELUM!”

“Gimana kalo kita cobain sama-sama?”

Jawab Tuhan: “Tapi jangan bilang-bilang sama Tuhan ya kalo ogut nyobain? Masa nyuruh orang jangan batalin puasa, kita justru membatalkan puasa. Janji ya jangan bilang-bilang ke Tuhan?”

“Iya-iya! Tenang aja.

Mereka pun makan kue tape buatan Bu Brindil yang maha kriting itu. Mereka kekenyangan. Oleh karena kekenyangan, mereka tertidur. Oleh karena tertidur, mereka melewati waktu bedug. Mereka baru bangun setelah waktu imsak.

“Kok lapar ya?”

“Iya lapar?”

“Gimana kalo kita pesan tape Bu Brindil lagi?”

“Wah, that’s a good idea!”


photo copyright by Jaya

CARA MEMBATALKAN PUASA ALA SET DESIGNER...

Tersebutlah seorang Set Designer yang ganteng jelita. Namanya sementara ini menggunakan inisial K. Kata "K" di sini bukanlah Kambing, Kura-Kura, atau Kutu. Bukan pula Kon...Kon....hust! Jangan ngeres dulu! Maksudnya Konci. Tapi itu juga bukan. Pokoknya sementara waktu kita namakan saja si K.

Nah, begitu bedug digebug dan adzan berkumandang, si K ini langsung menghampiri wanita cantik yang seksi, bahenol, jental-jentul. Lho, kok bedug2 bukannya buka puasa dulu, menyeruput teh manis hangat, atawa mencicipi kue, eh malah dekat-dekat dengan wanita...cantik nan seksi itu?

"Ini cara ogut membatalkan puasa tahu?!"

Oh, begitu. Inikah cara seorang Set Designer mengakhiri puasa dengan menempel-nempelkan body ke seorang wanita berkulit putih mulus-lus?




"Ini memang cara ogut! Tradisi ogut! Agamamu agamamu, agamaku agamaku...."

"Oh begitu ya?"

"Udah! Nggak usah banyak cing-cong. Hi, wanita berbody subur! Please, fotoin ogut ya? Awas kalo nggak fokus, gue nggak kasih salam tempel pas lebaran, lho!"

"Nggak takut ada pria lain yang marah?"

"Enggak! Siapa yang berani sama ogut, gw pites-pites jadi Kutu! Hayo buruan potoin ogut..."

"Satu! Dua! Tiiiiiiiiiiiiiii....."

KLIK!

"Ah, ternyata gw ganteng juga ya," ucap si K mengagumi hasil fotonya. "Nggak malu-maluin kalo gw memberanikan diri buat menyatakan rasa sayang gw pada wanita ini. Tapi kira-kira mau nggak ya doi?"

"Mau sih....tapi mau muntah!"

photo copyright by Jaya

MALING: SIAPA SAJA, KAPAN SAJA, DIMANA-MANA...

Foto di bawah ini salah satu bukti kenapa korupsi relatif sulit dihilangkan di tanah air kita. Betapa tidak, yang korupsi bukan cuma Pejabat yang punya 'kursi atau jabatan empuk', rakyat-rakyat kecil pun nyatanya juga maling.

Foto ini gw ambil saat mobil gw menunggu lampu merah Arion Plaza, Jakarta Timur. Dengan santai, maling menghampiri sebuah truk bensin. Tanpa malu. Padahal gw yakin 100%, banyak orang di lampu merah yang melihat aksi maling bensin ini. Gokil abis! Edannya lagi, si sopir atau kondektur truk bensin cuek bebek melihat aksi maling ini.

"Pasti kerjasama tuh!"

"Hust! Jangan su'udzon!"

"Habis kalo nggak kerjasama, apa dong kata yang tepat? Masa maling melakukan aski dibiarkan begitu saja?"




Kadang hati gw miris banget melihat rakyat kecil ikut-ikutan jadi maling. Tapi inilah kenyataan hidup. Bahwa maling bisa siapa saja, kapan saja, dan dimana-mana. Kok kayak iklan soft drink yang nggak enak itu ya? Kalo ternyata rakyat kecil juga jadi maling, lantas siapa lagi yang bisa kita teriakkan Koruptor? Atau Maling?

Melihat kejadian di perempatan Arion, Rawamangun itu, rasanya gw bisa protes pada para Mahasiswa yang sok berorasi meneriakkan Antikorupsi. Mereka yang selalu meneriakkan stop korupsi ke KPK.

"Hi, Man! Look around you! Rakyat juga banyak yang jadi maling juga! Jangan-jangan elo juga Maling! Atau sodara loe maling! Atau jangan-jangan yang nyolong bensin itu temen elo. Kalo elo Maling, itu sama aja Maling teriak Maling!"


photo copyright by Jaya