Rabu, 02 Desember 2009

NGUPIL ITU MENGASYIKKAN

Beruntunglah Anda yang memiliki hidung beserta lubang-lubangnya. Sebab, dengan memiliki salah satu anggota tubuh ciptakan Tuhan Yang Maha Esa ini, Anda bisa memasukkan jari telunjuk Anda ke salah satu lubang tersebut. Terserah lubang sebalah kiri atau lubang sebelah kanan, sing penting lubang. Aktivitas ini populer dengan sebutan NGUPIL.

Bagi Anda yang nggak memiliki lubang hidung, barangkali nggak akan pernah merasakan kenikmatan mengupil. Kalo Anda punya satu lubang, Anda masih bisa menikmati, karena masih ada lubang yang dikorek-korek. Oh iya, mengoreknya bisa menggunakan telunjuk, ada pula orang yang menggunakan kelingking. Tetapi jarang yang menggunakan jempol saat mengupil. Kecuali lubang hidung Anda diameternya lebih besar dari jempol atau lubang hidung Anda sudah nggak perawan lagi alias sudah sobek.

Namun percaya nggak percaya, saya bisa menggunakan aktivitas ngupil dengan jemari apa saja. Mau telunjuk kek, kelingking, jari manis, bahkan jempol, semua bisa saya fungsikan untuk mengorek-ngorek lubang hidung. Buat saya, dengan jari apapun kenikmatannya tetap sama.

By the way, yang dikorek dari lubang apa sih? Buat Anda yang nggak punya lubang, saya kasih tahu ya. Bahwa lubang yang dikorek-korek itu berisi kotoran. Asal kotoran itu bisa bermacam-macam. Bisa dari sisa ingus yang kering dan berubah menjadi keras, bisa pula dari kotoran akibat debu yang menempel pada dinding lubang hidung dan tanpa kita sadar menumpuk.

Sebenarnya kalo cuma akibat debu yang menempel, solusinya mudah banget, yakni berwudhu. Dengan berwudhu, kotoran akan sirna. Asal wudhunya bener, lho! Caranya mudah kok, yakni ambil air secukupnya, lalu masukkan air itu ke lubang hidung. Pada saat memasukkan air, lubang digali-gali sedikit agar debu bisa hilang. Mudah bukan?


Ibu ini ngupil dengan nikmat sekali. Duduk beralas tikar dan di bawah pohon rindang. Mungkin setelah si Ibu ngupil, giliran si Ibu yang membantu mengupili anaknya yang digendong itu.

Saya sarankan, setelah berwudhu, sebaiknya Anda langsung sholat. Itulah mengapa mereka yang nggak pernah sholat, kotaran di lubang hidung banyak banget. Coba aja Anda datangi mereka yang nggak sholat, lalu permisi buat melihat lubang hidung mereka, perhatikan dengan seksama, pasti kotor. Wong lubangnya jarang dibersihkan, kok! Paling-paling seminggu sekali pas sholat Jum’at. Atau pas mandi doang. Coba hitung, kalo sehari kita mandi dua kali, maka orang ini cuma mengorek-ngorek lubang hidung dua kali sehari. Tapi kalo orang yang sholat, wudhunya lima kali sehari. Itu pun ditambah tiga kali dalam sekali wudhu. Jadi kalo dikalikan 3 X 5 = 15 kali mengorek lubang hidung.

Ngupil itu memang mengasyikkan. Kalo ada tag line sebuah produk minuman teh yang sesumbar mengatakan APAPUN MAKANANNYA, TEH....MINUMANNYA. Itu kayaknya cocok buat mereka yang doyan ngupil. Tag line-nya begini: APAPUN JENIS KELAMINNYA, NGUPIL ITU MENGASYIKKAN. Yaiyalah! Mau wanita secantik Luna Maya (emang Luna Maya cantik?) atau seganteng Ariel (emang Ariel ganteng?), mereka tetap butuh ngupil. Tetapi mereka pasti nggak kayak Anda yang sembarangan mengupil, dimana tag line yang Anda sukai adalah: DIMANA PUN KITA BERADA, KAPAN PUN WAKTUNYA, NGUPIL IS THE BEST.

Sekarang mari kita bicara soal upil yang berasal dari ingus kering. Kalo upil dari ingus kering, maka akan menjadi sekumpulan kotoran yang berwarna hijau. Ada pula sih yang nggak terlalu muda hijaunya, tetapi hijau tentara. Istilahnya Army look gitu, deh. Kalo Anda kreatif, kotoran yang kering itu bisa dibuat menjadi bundar, kayak makanan yang biasa disebut telur cicak. Tetapi ada pula mereka yang lebih gokil lagi, dimana kotoran tersebut dibentuk seperti balok, segitiga sama sisi, bahkan kubus. Biasanya orang yang superkreatif ini dari sekolah-sekolah seni rupa.

Di akhir note ini, saya harapkan perbanyaklah mengupil agar lubang hidung Anda bersih sempurna. Ingat, lho, apa-apa yang dihirup pasti masuk melalui dua akses. Akses pertama mulut. Akses kedua, ya lubang hidung. Bayangkan kalo di dua lubang hidung itu penuh kotoran, maka apa yang Anda hirup ya kotoran, ya nggak? Pesan saya, jangan malu-malu kucing buang mencongkel-congkel kotoran di lubang hidung. Daripada kotoran dibuarkan bertumpuk dan menutup lubang hidung, itu lebih berabe! Kita jadi nggak bisa bernafas. Memangnya Anda mau bernafas lewat lubang pantat?

Selasa, 01 Desember 2009

ITULAH MENGAPA AKU LEBIH SUKA BAYANGANKU

Mengagumi bayanganku. Entah kenapa aku lebih mengagumi bayanganku sekarang. Ia lebih jujur daripadaku atau teman-temanku. Sementara kami palsu. Terlalu banyak kebohongan yang sudah kami ciptakan.

Bayanganku tidak pernah mengeluh, tidak pula menangis. Ia selalu tegar, setegar karang yang dihempas ombak. Bayanganku tidak pernah sakit hati. Ketika hatinya teraniaya, ia hanya diam membisu. Aku iri, tetapi aku kagum dengan bayanganku.

Namun hidupnya diatur oleh cahaya. Sedang aku dan teman-temanku hidup suka-suka. Bebas merdeka. Ada atau tidak ada cahaya kami tetap hidup. Siang maupun malam, kami bisa melakukan apa yang menurut kami mengasyikan.

Bayanganku mati ketika tidak ada cahaya. Tanpa meninggalkan pesan, ia akan hilang tak berbekas ketika bulan tidak lagi bersinar, ketika neon-neon di ruang itu dimatikan. Ia mati, tanpa perlu bantuan Tuhan untuk mematikannya.

Lihatlah bayanganku sebelum mati. Nikmati bayanganku sebelum ia hilang dari peredaran. Belajarlah dari bayanganku, belajar tentang lapang dada, kesabaran, keihklasan, dan cinta kasih. Dimana semua itu dilakukan tanpa pamrih. Itulah mengapa aku lebih mengagumi bayanganku daripada pada diriku atau teman-temanku yang munafik dan penuh kebohongan.

Kamis, 26 November 2009

SERASA DI RUMAH SENDIRI

Naik kendaraan umum itu mengasyikan. Buat gue, selain menjadi rakyat sesungguhnya, naik kendaraan umum melatih kepekaan sosial. Lebih dari itu, gue jadi lebih bisa mengenal prilaku warga Indonesia yang asli, seperti yang gue alami ketika gue naik busway kemarin.

Ketika naik busway dari Harmoni menuju Terminal Pulogadung, mata gue langsung tertuju pada seorang gadis di bangku pojok depan, persis di belakang sopir. Bukan karena parasnya yang kece atau aduhai yang membuat mata gue langsung fokus pada gadis ini. Tetapi ia menggenakan rol rambut selama perjalanan yang mengantarkan gue menuju peristirahatan, eh bukan maksudnya sampai ke Terminal Pulogadung.

“Ini cewek sadar nggak ya pake rol rambut?” tanya gue dalam hati.



Terus terang gue penasaran banget makanya timbul pertanyaan itu. Soalnya setahu gue, perempuan kalo nge-rol rambutnya di rumah, bukan di busway. Ini mah beda banget. Gadis ini dengan cuek mengenakan rol rambut di busway. Gue yakin hampir seluruh pasang mata di dalam busway ini melihat gadis ini dan rol rambutnya.

“Serasa di rumah sendiri ya?”



Itulah hebatnya anak muda-anak muda sekarang. Cuek, nggak peduli, masa bodoh, dan aneka ketidakpedulian lain. Selama yang mereka lakukan tidak mengganggu orang lain, mereka akan melakukannya, termasuk menggunakan rol rambut yang menurut gue aneh aja dilakukan di busway. Atau barangkali gue terlalu naif, menuduh gadis di busway yang mengenakan rol rambut ini “keteraluan”.

Semakin serasa di rumah sendiri, ketika gadis dengan rol rambut ini asyik bermain-main Blackbarry plus mendengarkan musik via ear phone. Keunikan inilah yang nggak mungkin elo jumpai ketika naik kendaraan pribadi.

all photos copyright by Jaya

IBU SI PELUKIS BAJU

"Ibu pelukis ya?" tanya Moza.

"Kelihatannya sih begitu. Menurut adik, Ibu cocoknya jadi Pelukis atau jadi anggota KPK?"

"Kalo saya sarankan, karena tubuh Ibu kecil tetapi gesit dan cerdas, Ibu jadi cecak aja. Biar yang lain jadi buaya. Gimana usul saya ini, Bu?"

"Wow! That's fantastic!"

"Maksudnya Fantastic Four yang ada 4 jagoan itu, Bu?"

"No! Saya suka menjadi cicak. Sebab cicak itu hidup di tiga tempat..."

"Hah? Cicak hidup di 3 tempat?" Moza bingung.

"Iya! Di KPK, di tembok, dan sekali-sekali di kepala manusia kalo kebetulan cicaknya jatuh dari atap rumah..."

Tetoooottt!!!

MENIKMATI BODY SEGEDE GABAN

Jarang banget orang yang bersyukur dan menikmati pemberian Tuhan dengan apa adanya. Yang terjadi justru sebaliknya, begitu tubuh gembrot, buru-buru melakukan aksi melangsingkan body. Mending cara melangsingkannya sehat, misalnya melakukan olahraga secara teratur dan menjaga asupan makanan yang bener. Kebanyakan mah malah melangsingkan dengan cara instans.

Ketika seluruh anggota body banyak yang kendor, mayoritas banyak yang panik. Wajah ditarik sana-sini. Payudara yang kendor, maupun pantat yang udah turun gara-gara sering “ditindih-tindih”, ikut dipermak. Walhasil, body jadi fake alias palsu alias nggak sesuai asli ciptaan Tuhan. Ingat, lho, ini berbeda kalo kita melakukan dengan cara alami, olahraga dan menjalankan gaya hidup sehat secara alami.

Pretty Asmara salah satu orang –juga public figure- yang menikmati sekali pemberian Tuhan. Dengan tubuhnya yang gede menjuntai segede-gede gaban ini, ia happy banget. Ia tahu kalo menderita obesitas atawa kegemukan, tetapi agaknya ia tetap pada pendiriannya untuk menjaga body-nya ini sebatang kara, eh maksudnya apa adanya.

Pretty melihat celah dari body-nya sebagai sebuah rezeki dan kenikmatan yang diberikan Tuhan padanya. Toh hasilnya memang nggak sia-sia. Dengan body seberat lima karung beras ini, ia tetap tampil percaya diri nggak kalah dengan bintang-bintang Lux atau bintang-bintang obat pelangsing tubuh.

Saya yakin, Pretty ingin sekali body-nya langsing kayak gangsing atawa gitar Spanyol. Siapa sih wanita yang nggak mau langsing dan disiul-siulin para pria ketika berjalan melintas dihadapan mereka? Namun rupanya Pretty memilih hidup membujang, lho kok? Maksudnya lebih memilih ber-body aduhai seperti sekarang ini. Gede, tapi indah. Ibarat slogan yang ada di tempat umum: “Buanglah sampah pada tempatnya”. Lho, ini slogan kok nggak nyambung amat ya?

Jumat, 06 November 2009

SAMA-SAMA BEGO: SEBUAH KISAH PELANGGAR...

Nggak semua orang yang bermobil otaknya lebih pintar daripada mereka yang cuma punya motor. Kedisiplinan orang nggak bisa diukur dari kelas sosial. Mau pake mobil kek, atau motor, kalo dasarnya orang tersebut punya otak bego, ya bego aja. Bego dalam konteks ini dalam soal kedisiplinan.

Anda pasti seringkali melihat mereka yang bermobil membuang sampah di jalan. Entah mereka sadar atau memang prilaku mereka sulit buat diubah, aneka sampah (tisu bekas, puntung rokok, plastik, botol aqua, dll) dibuang dari balik jendela mobil. Bego kan? Ada lagi hal bego yang juga dilakukan kaum bermobil yang selalu gue temukan tiap pagi di jalan tol, yakni menerobos bahu jalan.

Gue yakin banget, tingkat intelektual kaum bermobil cukup bisa diandalkan, meski hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Tetapi mereka pasti bisa baca dan nggak buta huruf kalo bahu jalan cuma buat keadaan darurat, bukan buat mengejar waktu buat cepat sampai ke kantor. Mereka bukan saja membahayakan diri, tapi karena kebegoan mereka bisa membahayakan orang lain, yang jelas-jelas bersama-sama “menikmati” kemacetan.




Bagaimana dengan motor? Gue yakin, dari 100% pengguna motor yang benar-benar disiplin cuma 10%. Nggak cuma selalu memakai helm –karena pakai helm bukan cuma kewajiban atau supaya nggak ditilang polisi, tapi kebutuhan buat diri pengguna-, tapi nggak melawan arus, menerobos lampu merah atau verboden, berada di jalur cepat, dan masih banyak lagi. Ironisnya, banyak orang yang memilih menggunakan motor cuma buat melakukan hal-hal yang seringkali melanggar kedisiplinan. Yang penting cepat sampai kantor atau tujuan, menerobos it’s ok. Nah, lho?!

Setiap hari ada aja yang gue temukan para pemilik yang nggak disiplin. Sekarang ini gue amati, orang yang mencoba disiplin malah dianggap bego. Menunggu di garis stop pada saat lampu masih berwarna merah, eh di belakang udah pada klakson-klakson. Berada di belakang mobil dengan jarak aman, eh malah diklakson-klason juga, karena dianggap kurang mepet dengan mobil depan. Padahal kalo mobil depan mundur, yang salah tetap mobil di belakangnya, karena berhenti terlalu mepet di belakang. Yang paling gondok, kalo kita mengambil jarak aman, ada mobil yang bakal menyerobot atau menyalip kita. Kita dipotong gitu, maksudnya.

Foto yang gue jepret ini berada di jalan Cikini, Jakarta Pusat. Berkali-kali kalo ke Taman Ismail Marzuki (TIM), gue pasti melihat ada mobil dan motor yang diparkir di trotoar. Gue menggambil kesimpulan, di situ ada kantor, dimana kantor itu nggak ada lahan parkir. Daripada parkir di tempat lain yang mungkin lebih jauh, para pemilik kendaraan di kantor tersebut memanfaatkan trotoar yang ada di depan kantor. Walhasil, trotoar pun nggak bisa lagi dipergunakan sebagai tempat buat pejalan kaki. Hak pejalan kaki dirampas. Bego kan pemilik mobil dan motor di kantor itu? Sayang, meski udah ketahuan sama-sama bego, Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) nggak membela hak pejalan kaki yang dirampas oleh pemilik kendaraan bermotor itu.

Jumat, 23 Oktober 2009

YOU CAN RUN BUT YOU CAN'T HIDE

To:
Novi
+0817141458

Aq tnggu di kmr 220

Sent:
20:09:00
10-09-2009

***
Btar aq msh sama suami d anak2

Sent to:
Irwan
+08111819087

***

Gak sbar nih!

***
To:
Irwan
+08111819087

Bntar syang. Nanti qta psti have fun!

Sent:
21:25:05
10-09-2009

***

Sent from:
+0817724117

To:
Irwan
+08111819087

Dah gak sma suami d anak2. Bebas euy! Skrng aq ke situ ya?

***

To:
+0817724117

Ini siapa? Salah sambung!

Sent:
22:25:05
10-09-2009

***

Sent to:
Irwan
+08111819087

Aq Novi...

***

To:
+0817724117

Novi? Novi siapa?

Sent:
22:25:20
10-09-2009

***

Sent to:
Irwan
+08111819087

Novi. Qta jd ktm di kmr 220 gak?

***

To:
+0817724117

Kok nmornya gnti? Km pny nmor br ya? Kok gak bilng2?

Sent:
22:40:15
10-09-2009

***

Sent to:
Irwan
+08111819087

Tkut kthuan suami. Aq gnti nmor...

***

To:
+0817724117

OK! Ditnggu di kmr 220 ya...

Sent:
22:60:01
10-09-2009

SATU JAM KEMUDIAN

Di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Senayan Jakarta. Irwan membuka pintu kamar 220, begitu bel berbunyi dua kali. Ia tidak sempat lagi mengintip dari balik lubang kecil yang ada di pintu kamar.

Irwan:
(Heran campur kaget) Anda siapa?

Gilang:
(Tenang tapi hatinya marah) Saya suaminya Novi...

BIJI MATA YANG KUAJAK JALAN-JALAN

Biarlah biji matanya kuajak jalan-jalan ke sebuah tempat yang belum pernah dilihatnya. Aku sengaja meminjam sebuah biji mata sebesar kelereng itu dari dia, karena dia tidak pernah mau kuajak pergi. Katanya, tempat yang kuajak selalu menyusahkan. Banyak korban berserakan dimana-mana; bau anyir darah yang bisa membuat orang muntah; dan tentu saja secara fisik harus siap membantu. Dia tidak suka itu semua.

Sebagai orang yang selalu hidup dalam wewangian, dia tidak perlu melihat dari dekat hal-hal yang membuatnya stres. Dia cukup mendengar dari orang-orang, setidaknya membaca dari media. Dia akan memutuskan perlu menyumbang atau cukup bilang: “Kasihan.”

Oleh karena itulah aku meminta dia untuk mencopot kedua biji matanya, jika dia sama sekali tidak mau turun ke lapangan, melihat persoalan yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Biar fisiknya tetap berada di dalam mobil Alpard putih atau rumah mewah di bilangan Pondok Indah, sementara kedua biji matanya bisa menyaksikan sendiri kesusahan yang terjadi.

Nyatanya, dia tidak kuasa melepas kedua biji matanya. Dia ingin satu biji matanya tetap berada menyatu dengan lubang mata yang ada di kepala. Sebab, katanya, jika biji matanya ku ajak jalan-jalan secara bersamaan, maka biji mata itu akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi terhadap apa yang terjadi, dan selanjutnya akan merasa iba. Itu tidak dia suka. Dia ingin seperti sekarang ini, hidup dengan ruang ber-AC, kursi empuk, seorang sopir yang setia menemani kemana pun dia pergi, berada dengan kemaksiatan, dan harta-benda yang tujuh turunan tidak akan pernah habis itu. Kesimpulannya, dia lebih suka yang diajak jalan-jalan olehku hanya sebuah biji mata.

Sebelum diserahkan padaku, ia mencongkel sebuah biji matanya dengan menggunakan obeng. Bukan obeng sembarang obeng, tapi obeng yang terbuat dari emas dengan tiga berlian di gagangnya. Tak perlu waktu lama, sebuah biji mata sebelah kiri keluar dari lubang tengkorak kepalanya. Sebiji mata itu keluar tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Aneh, tapi nyata. Barangkali dia memang sudah tidak punya darah, karena darahnya sudah dihisap oleh Dracula, sebagaimana hatinya yang hilang entah kemana. Kini tinggal sebuah biji mata yang ada di kepalanya.

Kini setelah setahun kuajak jalan-jalan, biji mata tersebut diletakkan kembali ke tempat semula, di lubang tengkorak yang selama setahun ini bolong. Anehnya, ketika sudah dipasang dengan sempurna, banyak sekali perbedaan dari kedua biji mata itu. Biji mata kiri selalu saja meneteskan air mata. Tetasan airnya terus menerus seperti keran bocor. Sedang biji mata kanan, justru tidak sama sekali merasa perlu mengeluarkan air mata. Kalau pun biji mata kanannya memerah itu bukan karena apa-apa, itu akibat teralu banyak minum alkohol atau begadang semalam suntuk di sebuah diskotek terkenal di Jakarta.

Baru kutahu mengapa biji mata kiri terus menerus mengeluarkan air mata. Biji mata kiri sudah melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di lapangan, bencana-bencana yang terjadi: tsunami atau gempa; maupun begitu banyak orang miskin yang tidak diurus oleh pemerintah. Biji mata kiri sudah kuajak ke teman-teman, dimana dia seharusnya melihat dengan mata kepala sendiri, sebagaimana posisinya sebagai seorang Pemimpin yang selalu berkoar-koar tentang kemiskinan atau ketidakadilan.

Terus terang sedih sekali kalo biji kanan dan biji kiri berbeda sikap. Oleh karena itu, sebagai pemilik biji, sudah seharusnya biji kiri dan kanan bersatu padu, atau setidaknya lebih toleran. Ketika mengeluarkan air mata, kedua biji -baik biji kiri maupun biji kanan-, juga mengeluarkan air mata. Ketika biji kanan ngantuk, biji kiri juga harusnya ngantuk. Tapi sayang, kedua biji tidak kompak.

“Baiklah kalo biji yang tinggal satu-satunya ini di wajahku akan diajak jalan-jalan juga, saya pikir cukup menarik,” ujar dia, yang tidak suka ketidakkompakan ini terjadi pada biji matanya. “Saya ambil obeng dulu untuk mencungkil biji mata ini.

Biji mata kedua akhirnya bisa menyatu. Dia berharap sekali, dengan menyatunya kedua biji mata, hatinya yang selama ini tidak bisa terketuk -karena tidak pernah diperlihatkan akan dunia lain yang jauh dari kenikmatan-, moga-moga akan lebih terketuk. Kita lihat saja nanti bagaimana ending-nya dari perjalanan biji kanan yang sekarang ini ku ajak jalan-jalan.

KASIHAN SIH, TAPI LAMA-LAMA NGESELIN JUGA




KENTUT DALAM PLASTIK

Angin itu tersimpan rapi di dalam sebuah plastik. Sebagai orang yang diamanatkan untuk membawa angin itu, aku masih bertanya-tanya dengan tanda tanya besar. Mengapa Pengusaha itu memberikan angin ini pada Politikus yang sangat terkenal itu. Apa istimewanya angin ini? Bukankah lebih baik memberikan mobil mewah atau uang triliunan rupiah daripada hanya sebuah angin? Meski terus dihantui pertanyaan, aku merasa puas mendapat job ini. Maklum, honor yang kuterima gede.

Sebelum benar-benar aku berikan ke Politikus itu, aku memandangi angin yang ada di dalam plastik itu. Mataku seolah melihat sosok wanita cantik yang sedang terpenjara oleh karena sesuatu hal. Mataku tak berkedip.

Aku memang punya kesempatan menyimpan satu hari angin dalam plastik itu, karena ketika serah terima dengan Pengusaha itu, waktu sudah sore menjelang malam. Kemudian, ketika aku membuat janji dengan Politikus itu, ia tidak bisa menemuiku kemarin. Katanya sibuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus segera dikelarkan, karena sebentar lagi ia tidak menjabat sebagai Wakil Rakyat. Padahal butir-butir RUU itu banyak yang absurd, penuh lubang-lubang korupsi, dan menuai protes dari berbagai kalangan.

Angin itu tak berwarna. Aku belum sempat melihat ada warna yang dimunculkan oleh si angin. Dari luar plastik transparan itu aku hanya melihat ruang kosong, dimana ruang itu sengaja dibuat membulat sesuai dengan gelembung plastik. Menurutku aneh, termasuk diriku. Ada sebuah plastik transparan yang digelembungkan, diikat pakai karet gelang, tapi di dalam plastik itu tidak nampak apa-apa. Entah itu benda sekecil kutu atau warna, tidak terlihat di dalam plastik. Anehnya, aku tetap memandanginya dan tetap akan membawa dan selanjutnya akan aku berikan ke Politikus yang Maha Sibuk itu. Kalo saja ada orang yang melihat kelakuanku, pasti aku didisebut gila.

“Tolong berikan kentut ini pada Bapak itu ya,” ucap Pengusaha itu padaku kemarin. “Pastikan yang menerima adalah beliau.”

Angin itu bernama kentut. Aku sebenarnya sudah sering mendengar kata “kentut”, bahkan setiap hari aku melakukannya. Kata orang, “kentut” itu penting. Jika ada orang yang tidak bisa kentut, maka orang itu sedang sakit, bahkan boleh dikatakan penyakit parah. Ada satu penyakit, dimana orang perlu untuk kentut. Jika orang yang punya penyakit itu bisa kentut, dijamin penyakitnya akan sembuh. Jadi, kentut itu memang penting.

Kata orang, kentut juga bau. Aku sih percaya, karena aku mengalaminya sendiri. Ketika ada orang lain yang mengeluarkan bunyi dari lubang pantatnya, itu namanya kentut, dan memang bau setelah kuhirup udaranya. Sebaliknya juga begitu, ketika aku mengeluarkan bunyi dari lubang pantat, bau yang dihirup oleh orang-orang disekitar adalah bau busuk. Jika aku habis makan telor, yang terhirup adalah bau telor. Jika kebetulan makan jengkol, yang keluar bau jengkol. Intinya, apa yang kita makan, udara yang keluar itulah bukti dari makanan yang kita makan. Tapi mengapa jika kita makan gaji buta atau makan uang rakyat yang keluar bukan gaji atau uang ya?

Kata orang, jika kentu berbunyi kencang, misalnya seperti bunyi terompet, udara yang keluar dari lubang pantat tidak akan bau. Sementara jika yang keluar hanya desis udara, sebagaimana angin sepoi-sepoi, maka udara itu akan membuat orang bau, bisa jadi orang yang menghirup udaranya akan muntah, ada bahkan yang sampai jatuh pingsan.

Kita bisa mengetahui orang yang mengeluarkan angin kentut jujur atau pembohong. Jika orang tersebut mengaku kentut, maka orang ini pasti jujur. Mau kentut yang berbunyi seperti terompet atau yang hanya mengeluarkan desis seperti angin, orang yang jujur pasti mengaku kalau ia baru saja kentut. Tapi yang paling banyak adalah para Pembohong. Biasanya mereka yang masuk kategori kentut, selalu diam setelah melakukan aksi kentut. Padahal sudah jelas-jelas dia yang kentut, wong sumber baunya dari dia, kok. Hebatnya, ada orang yang bukan cuma diam, tapi menyalahkan orang lain, mengatakan yang kentut orang itu, bukan dia.

Barangkali itulah mengapa Tuhan menciptakan kentut tanpa warna. Bayangkan kalau kentut berwarna hitam seperti knalpot kendaraan bermotor yang belum sempat ganti oli atau mesinnya perlu di tune-up, pasti orang yang kentut akan menanggung malu setelah ia kentut. Bayangkan pula kalau kentut berwarna seperti asap rokok, pasti orang yang di samping si Kentutman (nama orang yang kentut itu) akan menjadi Pengentut pasif (istilah ini level-nya sama dengan Perokok pasif). Tapi barangkali lebih baik bau kentut seperti bau asap rokok kali ya? Supaya para Perokok tidak merokok, tapi mengisap dan mengeluaran asap kentut. Lagipula, lebih sehat menghirup kentut daripada mengisap asap rokok, ya paling-paling kalau mengisap kentut kebauan, ingin muntah, atau pingsan sebentar. Kalau mengisah asap rokok –baik Perokok maupun Perokok pasif-, pasti akan kena kanker.

Tiba saatnya aku membawa angin berisi kentut yang ada di dalam plastik ini ke Politikus itu. Aku sudah buat janji dan kita akan berjumpa di Senci alias Senayan City. Politikus itu yang memilih mal yang berada di kawasan Senayan, Jakarta. Katanya, biar bisa melihat Tante-Tante yang sedang belanja. Katanya lagi, ya siapa tahu dari Tante-Tante itu ada yang bisa diajak berselingkuh. Maklum, banyak di antara Tante yang shopaholic alias gila belanja itu yang butuh kasih sayang, karena suaminya terlalu sibuk cari uang.

(bersambung)

YANG SALAH BUKAN FESBUK-NYA!

Arvida manyun. Ia mendapat hukuman dari Babe-nya. Selama seminggu ini nggak boleh main fesbuk. Sebenarnya Sharmila nggak masalah soal hukuman. Yang bikin manyun alasan yang diutaran Babenya nggak make sense. Nggak masuk akal.

“Memangnya kenapa Vida gak boleh main fesbuk, Be?”

“Haram!”

“Apa sih ukuran haram?”

“Pokoknya haram! Haram!”

Begitulah sore itu. Ibarat geledek yang menggelegar, menghantam kepala Arvida. Tanpa pengelasan yang menentramkan hati, terpaksa Arvida menjalankan hukuman Babe-nya. Padahal ia tahu, bukan Fesbuk yang patut dipersalahkan, tapi para member-nya lah yang memperlakukan Fesbuk dengan kurang layak. Fesbuk dikultuskanlah dan yang paling parah cuma buat ajang selingkuh. Padahal Fesbuk bisa dimanfaatkan apa saja.

“Apakah salah kalo gue menjadikan Fesbuk sebagai media unjuk diri?” tanya Arvida pada sahabatnya, Hana.

“Enggak. Elo nggak salah, kok, Vid, asal jangan terlalu narsis.”

“Apakah salah kalo gue jadikan Fesbuk sebagai media kritik buat pemerintah atau warga negara?”

“Enggak. Elo sama sekali nggak salah, Vid. Bahkan elo bisa jadikan Fesbuk sebagai media dakwah. Bukan cuma sebagai media jejaring sosial yang nggak punya makna…”

“Tapi kenapa gue nggak boleh main Fesbuk sama Babe gue? Alasan haram menurut gue nggak make sense!”

Selama ini Arvida memang cukup cerdas. Ia nggak seperti mayoritas orang yang menjadi Fesbuk sebagai ajang iseng-iseng, fun-fun doang, menghilangkan stres, buat jawab-jawabin status biar nggak garing, cari teman, menambah teman, selingkuhin teman, atau men-tag foto-foto yang nggak penting.

Buat Arvida, Fesbuk justru luar biasa manfaatnya. Menurutnya Mark Zuckerberg, penemu sekaligus pemilik Fesbuk kelahiran 14 Mei 1984 ini, sangatlah jenius. Sebagai orang terkaya di dunia di urutan 321 versi majalah Forbes -hartanya diperkirakan US$ 1,5 miliar (Rp 17,4 triliun)-, Zuckerman pasti nggak cuma ingin menjadikan Fesbuk sebagai ajang fun-fun doang. Member yang serius nggak patut tergabung dalam Fesbuk. Padahal salah!

Arvida seringkali mengritik kebijakan-kebijanan pemerintah dengan tujuan agar Indonesia lebih baik. Ia juga nggak segan-segan mengkritik teman-temannya sendiri agar berjalan sesuai dengan “rel”, entah itu “rel” yang sudah diatur pemerintah maupun agama dan kepercayaan mereka.

Pernah Arvida dikritik oleh satu-dua temannya, yang menganggapnya terlalu serius dengan Fesbuk. Maksudnya bukan menjadikan Fesbuk sebagai “berhala”, tapi tanggapan-tanggapan Arvida terhadap status atau foto yang di-tag temannya terlalu serius, sehingga ia dianggap kayak anak SMU yang sirik dan nggak ada kerjaan. Idiih! Aneh? Masa serius dianggap sirik dan nggak ada kerjaan? Padahal, balas Arvida, yang nggak ada kerjaan justru member Fesbuk yang kerjanya cuma menanggapi status teman-temannya atau men-tag foto yang nggak penting. Bukankah aktivitas fun kayak gitu lebih tepat dibilang nggak ada kerjaan?

“Jadi, aye pikir, kesimpulan Babe soal Fasbuk itu haram, nggak bener!” jelas Arvida pada Babenya yang kumisnya melintang itu.

Babenya kaget berats. Sejak kapan anak semata wayang ini berani membantah? Padahal selama ini, Vida baik-baik aja. Nggak banyak omong. Nggak banyak cing-cong. Tapi pelarangan Fesbuk ini membuat Vida beda.

“Babe emang pernah melihat aye selingkuh selama main Fesbuk?”

“Enggak!”

“Pernah nggak aye meninggalkan kewajiban sholat?”

“Enggak!”

“Setiap adzan, aye nggak pernah ngutak-ngatik Fesbuk lagi. Aye tinggalkan Fesbuk, trus langsung sholat, ya nggak?”

“Bener!”

“Pernah nggak Babe liat aye bolos kerja atau kerja nggak bener gara-gara Fesbuk?”

“Enggak!”

“Pernah nggak Babe lihat aye nge-tag foto nggak penting?”

“Nge-tag itu ape sih, Vid?”

“Mengirimkan foto gitu, lho...”

“Oh begitu....Beba rasa elu nggak pernah deh melakukan itu...apa namanye...tag-tag foto.”

“Nah, kalo begitu, kenapa Babe melarang aye main Fesbuk? Kenapa Babe menganggap Fesbuk itu haram?”

“Iye-ye, kenape ye?”

“Babe, yang salah itu bukan Fesbuknya, tapi para membernya. Kalo para member itu memperlakukan Fesbuk cuma buat fun-fun aja, ya silahkan aja. Tapi buat aye, selain buat fun, Fesbuk itu justru bisa dijadikan media penyeimbang dunia dan akhirat...”

“Wah, betul juga, tuh! Semacam dakwah via Fesbuk gitu ya?”

“Nah, tuh! Babe dah ngerti, kan?! Makanya jadi jangan larang aye main Fesbuk ya?”

“Baiklah kalo begitu. Tapi Babe boleh minta tolong nggak?”

“Minta tolong apa, Be?”

“Tolong bikinin Fasbuk buat Babe dong...hehehehe”

Tiba-tiba Emaknya Arvida muncul tanpa dirinya dan Babenya tahu. Rupanya percakapan antara Arvida dan Babenya didengar oleh sang Emak.

“Emak juga mau dong dibuatkan Fesbuk!”

“Hah?! Emak juga mau main Fesbuk?!”

“Sekalian bikinin Twitter-nya juga ya...” ucap Emak tanpa beban.

Tet-tot!

PASTI POTONG RAMBUTNYA DI SALON MAHAL, DEH

Menjadi creative yang soulfull bukanlah perkara mudah. Ia kudu tampil trendy alias mengikuti trend yang happening. Kalo lagi trend sepatu model Kickers, ia kudu beli sepatu model begitu. Kalo lagi happening jacket model Agung Copets, ya kudu beli jacket begituan yang konon sangat laris dibeli oleh para tukang ojeks.

Dalam soal rambut, seorang creative soulfull juga kudu mengikuti trend yang happening. Inilah yang dilakukan Chiptadi. Cowok keturunan Batak, Belanda, Jepang, Jerman, dan Irian Jaya ini sangat-sangat memperhatikan style rambut. Ia nggak mau ketinggalan momentum. Nggak heran ketika trend rambut ABS alias Rambut Adi Bing Slamet yang poni-poni nggak penting itu, ia ikut serta. Begitu pula pada saat trend KDM atawa Korban Demi Moore, Chiptadi melakukan itu.

Kalo nggak aral melintang, Chiptadi bakal melancong ke Singaparna, eh bukan, bukan Singaparna, tapi ke Singapura. Di negara ini, ia akan bermukim selama 3 hari 3 malam. Itu pun tergantung di Singapura ia kecantol sosok yang menjadi dambaan hatinya atau enggak. Kalo iya, ya apa boleh buat, kemungkinan di Singapura ia akan tinggal beberapa tahun lamanya.

Is it bird?”

“Apanya?”

“Dambaan hatinya!”

“Oh, no!”

Is it plane?”

No!”

Is it Superman?”

“Hmmmmmm...”

Dalam rangka ke Singapura, Chiptadi mempersiapkan diri dengan sepenuh hati. Bukan cuma membawa diri agar kejantanannya nggak sebarangan terabaikan oleh hembusan angin yang menyelinap ke kemejanya. Tetapi ia juga mempersiapkan perbekalan yang full. Ada sekitar 30 celana dalam merek Wacoall, BH berinisial Cartier (kok BH seh?), dan beberapa item yang menarik dan berwarna pink.

Satu persiapan yang nggak pernah dilupakan menjelang berangkat ke Singaparna, lho kok Singaparna lagi? Maksudnya Singapura, adalah memperbaiki rambutnya yang selama ini bagai benang kusut yang nggak pernah tuntas-tuntas meluruskannya. Chiptadi ingin rambutnya diterima dengan baik oleh orang-orang Singapura, karena ia yakin, rambut merupakan salah satu bagian dari wakil bangsa. Dengan rambut yang trendy dan happening, para muda-mudi Singapura yang gaul, happening, dan soulfull akan memberikan kasih padanya sepanjang masa.

Kini rambutnya Chiptadi telah berubah. Ia sadar, perubahan ini juga ditujukan buat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini sedang carut-marut gara-gara pertarungan Cicak lawan Buaya. Lebih dari itu, potongan rambutnya juga ditujukan kepada kekasihnya yang tak dianggap (kok kayak lagu Pingkan Mambo ya?). Mohon maaf, ia nggak mau menyebutkan siapa kekasihnya itu, termasuk jenis kelaminnya, karena ini urusannya akan panjang.

“Pasti rambut loe itu dipotong di salon mahal deh!” jawab Uky, rekan sekerjanya yang juga selalu happening dalam soal trend, nggak heran kalo disebut sebagai creative yang nge-hits.

Chiptadi diam.

“Rambut loe dipotong sama si Mance ya?”

“Bukan!”

“Atau di salon Lu Vaze yang harga sekali potong 350 ribu sampai 500 ribuan itu ya?”

“Oh, tentu tidak!”

“Hmmm..barangkali potong di salon Tony and Guy yang lebih mahal lagi...”

“Yang sekali potong 1 juta itu?”

“Yap! Elo pasti potong di situ deh...”

“Bukan!”

“Habis dimana dong?”

“Di Arion!”

“Di Arion Plaza?!!”

“Bukan! Di pagar depan Arion. Tepatnya di bawah pohon di dekat pos satpam...”

Senin, 12 Oktober 2009

DUA PEREMPUAN YANG KUTEMUI SORE ITU

Perempuan itu cantik. Kulitnya yang menghitam akibat sengatan matahari tak bisa mengelabui kecantikannya. Percayalah, ia lebih cantik dari teman-teman saya yang sok cantik, padahal saya tahu kecantikan mereka sudah melewati serangkaian terapi di salon. Percaya pula, kecantikan perempuan ini jauh lebih alami dari Bencong Taman Lawang sekalipun.

Perempuan itu tak peduli suaranya terdengar jelek. Serak-serak basah, bahkan cenderung parau. Ia juga sama sekali tak peduli, dengan kecantikan alaminya itu berdiri di hadapan perempuan-perempuan lain yang tak secantik dirinya. Ada perempuan bermata sipit, tapi kulitnya putih, dan berambut sebahu. Ada perempuan berdada besar, hidung pesek, dan menggenakan jins warna biru. Yang paling fokus menatap perempuan yang aku katakan cantik itu adalah seorang ibu berwajah jelek dengan tinggi badan tak lebih 150 cm itu.

Dan sampailah perempuan itu pada bait terakhir dari sebuah lagu yang sama sekali tak ku ketahui judul maupun penciptanya. Ia kemudian, dan beserta anaknya yang berusia sekitar dua tahun itu, meminta uang recehan dari satu penumpang ke penumpang lain, termasuk diriku. Setelah itu, ia langsung pergi meninggalkan bus 46 jurusan Grogol-Cililitan yang sore itu membawaku ke Twin Plaza.

Perempuan itu pengamen. Bila kutaksir usianya, kira-kira masih sekitar 20 tahunan. Bila anaknya berusia 3 tahun, berarti ia melahirkan pada saat usianya 17 tahun. Usia, dimana perempuan kota sedang “hot-hot”-nya, minta dibuatkan ulangtahun terindah agar bisa dikenang di kemudian hari. Usia, dimana anak-anak menengah-atas minta dibuatkan SIM agar bisa segera membawa mobil milik orangtua mereka.

Sayang aku tak sempat bercakap-cakap dengan perempuan pengamen ini. Perempuan yang menurutku pantas ikut Gadis Sampul, Model Kawanku, atau mungkin Putri Indonesia. Anda pasti sudah bisa menebak kecantikan alami perempuan yang saat ceritakan ini. Sayang, ia tak terawat. Kemaja yang ia kenakan sudah lusuh, dekil, dan pasti bau. Jins yang seharusnya berwarna biru muda itu pun sudah penuh dengan kotoran, asap knalpot, dan barangkali bau bekas kencing anaknya yang masih dua tahun itu.

Padahal aku ingin sekali bertanya: siapa namanya; siapa suaminya; apakah suaminya tahu kalo ia cantik, lebih cantik dari Titi Kamal atau Shanty; dimana tinggalnya; bagaimana ia sehari-hari hidup dengan anaknya; pernahkah terpikirkan olehnya tentang masa depan, masa depan anaknya; bagaimana hubungannya dengan suaminya; dan pertanyaan-pertanyaan lain. Namun ia sudah turun dari bus 46 bersama anaknya di perempatan Pancoran, dan dengan cepat menyeberang ke jalan lain, dimana aku yakin ia akan kembali ngamen dengan kecrekan kayu dengan bekas tutup botol itu.

Sore di kesempatan lain, aku menjumpai perempuan kedua. Kali ini jelek rupanya. Ia mengaku usianya baru 17 tahun. Dari pembicara dengannya, aku percaya usianya memang segitu, karena saat ini jika masih berada di bangku sekolah, ia duduk di kelas 2 SMU. Yap! Perempuan kedua yang kutemui di pinggir pantai Taman Impian Jaya Ancol ini memang sudah putus sekolah.

Bibirnya yang tebal itu menceritakan dengan lancar tetang kisah hidupnya, yang menurut saya cukup tragis. Ia tidak lagi diakui oleh orangtua kandungnya sendiri. Ibunya telah mengusirnya dua minggu sebelum Idul Fitri 1430 H lalu, sedang Bapaknya yang menurutnya mantan preman itu tidak pernah sama sekali berusaha mencarinya.

Dengan perempuan kedua ini, memang aku punya kesempatan banyak bercakap-cakap. Aku punya kesempatan melihat perempuan ini dari dekat. Wajahnya yang bulat; kulitnya yang hitam dan kering; hidungnya yang pesek; rambutnya yang nge-bob; tingginya yang kira-kira 145 cm; pantatnya yang molek; dan payudaranya yang sebesar cetakan nasi padang.

Namun perempuan kedua ini jauh berbeda dengan perempuan pertama. Setidaknya itu asumsiku yang bisa disebut sebagai prejudice atau prasangka yang belum tentu kebenarannya. Tapi begini, perempuan kedua ini aku pikir lebih suka lari tanggungjawab. Pasti ada masalah yang membuat dirinya tidak diakui lagi oleh orangtuanya, which is jiwa pemberontaknya.

Lewat percakapan, saya menilai perempuan kedua selalu mengambil jalan pintas, praktis. Ketika orangtuanya menasehati, nasihat tersebut ditangkap sebagai hal yang bertentangan dengan jiwa pemberontaknya. Ia merasa punya hak melakukan apa saja, sementara orangtua menuduh anaknya itu lupa akan tanggungjawabnya sebagai anak. Setiap nasihat orangtuanya bertolak belakang, perempuan kedua itu lari, bertemu teman-temannya, dan bermalam sampai pagi di diskotek. Ini dilakukan berkali-kali. Siapa orangtua yang tak marah? Itulah yang membuat dirinya diusir dari rumah.

Dua sore itu, dengan dua perempuan yang berbeda, menambah pelajaran berharga bagiku. Perempuan pertama mengajarkanku soal struggle for survive, tanggungjawab ibu pada anak, dan mencari uang tanpa rasa malu selama uang dicari adalah halal. Sementara perempuan kedua memberiku pelajaran akan hak dan kewajiban anak pada orangtua dan tak ada guna lari dari masalah, karena akan melahirkan masalah baru.

Dari perempuan ketiga, aku mendapat jauh lebih banyak dari kedua perempuan yang kedua sore itu kutemui. Perempuan ketiga ini memang tak kumasukkan dalam kisah di atas tadi, karena sampai kini selalu setia menemaniku, dalam keadaan susah maupun senang.

Senin, 05 Oktober 2009

DASAR BENCONG!!!!

Ramya akhirnya memutuskan memilih Dorna untuk menjadi Host. Ia tak peduli makian teman-temannya yang menyayangkan pilihannya itu. Menurut teman-temannya, Dorna tak seharusnya menjadi Host program televisi.

“Ini sangat bertentangan sekali!”

Bertentangan yang dimaksud adalah dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Lebih dari itu, kalo sebuah stasiun televisi menayangkan Dorna, itu sama saja mesahkan atau mengakui bahwa seorang Bencong itu tak masalah. Fine-fine ajah. Itu sama saja memposisikan Bencong sebagai mahkluk lain yang derajatnya sama dengan manusia yang berjenis kelamin wanita atau pria. Ini gokils!

“Sungguh bejat!”

Sekali lagi Ramya tak peduli dengan orang lain, termasuk teman-temannya. Ia lebih melihat perspektif lain. Melihat dari sisi humanis dari Dorna yang Bencong itu. Dorna yang bernama asli Rojali Sontoloyo itu. Ramya tak ingin mencampur adukkan masalah nilai-nilai yang bertentangan di masyarakat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang ia anut.

“Ia kan juga manusia,” jelas Ramya, membela Dorna. “Sebagai manusia, ia punya hak hidup. Masa sebagai manusia berakal, kita tidak memberikan kesempatan orang untuk hidup?”

Perkara memberikan kesempatan orang hidup, jelas luar biasa. Tapi prinsip Ramya soal hak, ini rasanya jadi aneh. Teman-temannya tak menyangkal, setiap manusia punya hak hidup. Tapi kalo soal membela Bencong, ini lain persoalan. Urusannya bukan kemanusiaan, tapi sama saja menentang nilai-nilai moral yang ada masyarakat dan sudah pasti menentang norma agama.

“Sungguh bejat! Masa Bencong mau dibela?”

“Lalu kalo nggak ada yang membela Bencong, siapa lagi?”


Bencong berpayudara gede ini ogut abadikan via foto ketika ngamen di perempatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Ramya tetap akan memakai Dorna sebagai Host di program acara itu. Meski akan menjadi polemik yang tidak akan kunjung padam, Ramya dan Dorna akan menjadi great couple dan mereka yakin program acaranya akan ditonton banyak orang, karena rating maupun share-nya akan besar. Keyakinan mereka itu, karena konsep program ini berbeda dengan televisi lain. Judulnya saja sudah unik: Bencong dan Fauna.

“Moga-moga progam kita ini bisa bertahan sampai 2000 episode ya, Dorna,” kata Ramya berharap.

“Amin! Tapi kayaknya gue nggak bisa ikut liputan deh. Gue nggak mood,” ujar Dorna.

Ramya kaget. Tiba-tiba Dorna membatalkan niatnya untuk meliput korban bencana di Sumatera Barat. Alasannya, nggak mood. Dan acuh tak acuh, Dorna mengembalikan tiket pesawat yang baru saja diberikan Ramya kepada dirinya. Setelah memberi tiket, Dorna pun meninggalkan Ramya yang terbengong-bengong melihat kecuekan Dorna.

“Dasar Bencong!” maki Ramya dalam hati.

YANG SATU PENGEN JADI MICHAEL JACKSON, SATUNYA LAGI PENGEN GANTIKAN AHMAD DANI

Dua pria ini rupanya cuek dengan kondisi diri mereka. Yang satu ingin menjadi Michael Jackson versi Sunda, satunya lagi ingin menggantikan posisi Dani Ahmad di hati Maia. Secara logika, impian kedua pria ini nggak mungkin terkabul, kecuali ada mukjizat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sebut saja inisial pria pertama NN. Pria yang selalu merawat bewoknya agar terlihat macho perkasa ini nggak suka dengan eksistensi Adam Jackson yang saat ini dikenal sebagai The Best Michael Jackson from Indonesia. Pasalnya, Adam wajahnya relatif mirip Jacko. Sebenarnya sih kalo mau jujur, wajah model Adam yang punya wajah oval dan hidung mancung kayak begitu banyak kita temui di toko bahan bangunan yang banyak dimiliki orang Arab.

NN ngiri, dengki, dan lain sebagainya. Dengan wajah yang nggak mirip dengan Michael Jackson, ia ingin mencoba bersaing dengan Adam. Katanya, kalo nanti pun kalah dengan Adam Jackson, ia bisa mengalahkan Adam Jordan yang popularitasnya saat ini sudah ke laut itu.




NN ikut kursus balet, pencak silat, dan bulutangkis. Memang nggak nyambung, tetapi biar sehat katanya. Sebab, kalo badan sudah sehat, maka ia bisa melakukan aksi moonwalk ala Jacko. Kalo sakit, tentu saja ia nggak bisa ngapa-ngapain, kecuali meringkuk di tempat tidur.

Selain latihan moonwalk, NN juga latihan breakdance. Sampai detik ini, NN berusaha semaksimal mungkin menurunkan berat badan agar tubuhnya kempes, perutnya langsung, dan bewoknya tertata dengan aduhai. Kelihatannya obesesinya mengalahkan Adam Jackson terlalu berlebihan. Makanya banyak orang yang mengatakan, NN nggak tahu diri. Tetapi ia cuek.

“Cuek aja lah apa kata orang,” kata NN. “Pekerjaan PA memang menuntut seperti itu. Lagipula skandal Bank Century belum juga dibongkar-bongkar. Nanti keburu mappingan baru keluar, nih!”

Pria satu lagi sebut saja bernama OP. Pria ini lebih nggak tahu diri dibanding NN. Apa sebabnya? Pertama, ia bukan anak band sebagaimana Ahmad Dani yang ngetop dengan band Dewa dan menjadi pencipta lagu, meski terkadang lagu-lagunya banyak yang mirip dengan lagu band dari luar negeri. Yang kedua, OP ini kepalanya selalu ditutupi oleh topi.

Terus terang banyak orang curiga, mengapa OP selalu memakai topi. Ada yang berasumsi, di balik topi itu banyak makanan dan minuman. Ya, kayak kulkas gitu deh. Kalo lagi lapar, topi dibuka, dan OP segera mengambil makanan yang ada di atas kepalanya.



Ada yang bilang, topi itu berfungsi buat menutupi kekurangannya. Memang apanya yang kurang? Yang jelas rambut yang kurang. Sebenarnya uang juga kurang, karena kalo ada uang pasti bisa menumbuhkan rambut secara instans. Oleh karena serba kurang, maka topi sebagai penyelamat bangsa.

Last but not least, OP dianggap jenaka. Nggak pantas berserius-serius ria bersama Maia. Ibarat pepatah, Maia di angkasa, OP di darat. Lihatlah Ahmad Dani yang gagah. Tinggi besar, gigi nggak pake kawat berduri, rambut bisa gondrong bisa pula dibentuk sesuka hati, dan nggak pake topi. Lihat pula Maia yang cantik jelita bagai boneka Barbie. Kulit putih, tinggi, langsing, wajah oval, bibir tipis, kumis tipis, mata indah bola ping pong, dan jago bikin lagu pula. So, memang sangat nggak pantas OP mencoba merayu Maia buat menjadi pacarnya.

“Sebenarnya jadi pembantunya juga nggak apa-apa sih, Om,” jawab OP dengan nada frustrasi.

Kamis, 01 Oktober 2009

JIKA MENERIMA LAMARANNYA, AKU JUSTRU DIANGGAP GILA

Hampir setiap orang sudah tidak lagi mengenali wajahnya. Hanya ada satu tanda yang barangkali masih bisa membuat orang curiga, kalo yang mereka lihat memang benar-benar dia, yakni tahi lalat sebesar kelereng yang ada di bawah bibir. Dia yang kumaksud di kisah ini adalah teman sebangku ku saat masih SD dahulu.

Kini dia muncul lagi dengan jelmaan yang 100% berbeda. Kemunculannya ini tanpa diduga-duga, setelah berpuluh-puluh tahun lamanya. Bahkan aku menyangka dia sudah tewas dimakan ikan hiu atau piranha, karena terakhir aku dengar dia meninggalkan kotaku dan menyeberang pulau dengan menggunakan kapal laut.

Entah apa yang membuatnya muncul lagi di kotaku. Apakah dia ingin memperlihatkan diri, bahwa dia masih hidup? Masih sehat wal afiat? Entah apa pula yang membuatnya berani menampakkan diri dengan penampilan yang berbeda, dimana penampilannya itu menggundang kontroversi warga di kotaku.

“Ah, biarkan saja orang mengatakan yang kurang baik padaku,” ujarnya. “Yang penting Presiden masih menghormatiku sebagai warga negara yang taat aturan.”

Selama ini Presiden manapun tidak akan pernah usil terhadap warga negara, selama warga negara tidak usil dengan dirinya sebagai Kepala Negara. Artinya, sebagai warga tidak mengancam jabatannya dengan melakukan serangkaian aksi yang mengarah ke subversif, pencemaran nama baik, atau membongkar rahasia negara. Pun sebagai warga juga giat membayar pajak sebelum jatuh tempo. Selama itu semua dijalankan, kita aman. Temanku itu aman.

Lebih dari itu kaum pembela hak azasi manusia, kesetaraan gender, dan aktor intelektual di balik penggagas nilai-nilai maupun budaya-budaya Barat mendukung penuh keputusan dia yang sudah berbeda. Jika ada golongan atau pribadi yang mencoba mempertanyakan eksistensinya, maka kelompok tadi akan membela habis-habisan temanku, karena menurut kelompok pembela hak azasi itu, temanku perlu dibela. Padahal Ibunya sudah tidak lagi mengakui dirinya. Kata Ibunya, dia bukan lagi anaknya. Anaknya sudah dianggap mati. Yang muncul adalah orang lain yang mengaku-aku anak.

Dan sore itu, temanku ini datang padaku dan mengajaknya married. Ajakan itu tentu saja kutolak mentah-mentah. Bukan aku tidak tahu diuntung, sebagaimana teman-temanku yang tidak kenal dengan dia yang sudah lama pergi itu dan berubah 100%. Aku tahu, dia cantik sekali, seperti bintang porno Miyabi alias Maria Ozawa yang akan datang ke Indonesia untuk shooting film Menculik Miyabi. Aku tahu, dengan kecantikan seperti Miyabi yang kedatangannya ini menggundang kontroversi ini akan memperbaiki keturunanku, karena kebetulan wajahku jelek.

Tapi teman-temanku tidak tahu pasti siapa dirinya, dan mengapa aku menolak untuk menjadi suaminya. Dan aku tidak peduli dianggap bodoh, stuppid, tolol, atau lain sebagainya, karena menolak married. Tidak mungkin akan memberbaiki keturunan, pun memiliki keturunan. Terserah apa kata teman-temanku tentang diriku. Satu hal yang pasti, aku masih normal. Mataku masih belum buta, masih bisa membedakan mana wanita dan mana pria. Otakku pun masih waras. Jika aku menerima lamarannya, aku justru dianggap gila.

“Iya aku ini Joko! Joko Priambodo! Masa kamu nggak ingat? Kita kan dulu pernah duduk sebangku waktu SD dulu....”

UU RUMAH SAKIT DAN MANTAN PACAR MANAGER PUBLIC RELATIONS

Paling enak kalo kita bisa naik kelas, dari kelas I ke kelas II. Tapi kalo turun kelas, peristiwa ini jarang terjadi. Yang selalu terjadi peristiwa nggak naik kelas kayak dialami beberapa teman saya waktu di sekolah dulu. Tahu dong yang dimaksud turun kelas? Misalnya dari kelas IV turun ke kelas III. Edannya udah ada di kelas V atau bahkan VI, masih pengen turun ke kelas III.

Senin ini, di Gedung DPR ada konferensi pers yang mengumumkan bahwa Undang-Undang (UU) mengenai Rumah Sakit (RS) sudah disahkan. Tanda udah disahkan adalah, Ketua DPR udah mengetuk palu tanpa UU itu sudah harus dijalankan sesuai Pasal-Pasal yang ada di UU itu.

”Lho apa hubungannya dengan naik kelas turun kelas yang tadi diutaran?”

”Ada dong!”

Menurut Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning yang saya kutip dari www.detik.com, RS negeri nggak boleh lagi ada klasifikasi kelas. Artinya, RS nggak boleh menolak pasien dari kelas manapun, mau pasien kelas I, II, III, IV, atau V, kudu dilayani dengan sepenuh hati, jangan diludahi. Cuih! Cuih! Bahkan kata Ribka yang anggota PDIP itu:

"Untuk RS negeri, harus semuanya kelas III. Tidak boleh ada klasifikasi kelas dalam rumah sakit milik pemerintah. Hal ini penting untuk menepis anggapan selama ini bahwa pelayanan kelas 1 di RSUD selalu yang paling bagus. Semua pasien harus mendapat pelayanan yang sama."

“Tapi pada prakteknya banyak RS negeri yang membuka kelas-kelas, lho...”

"Kalo mau buka kelas harus buka RS swasta sendiri. Tapi nggak boleh menjadi satu di rumah sakit milik pemerintah. Mulai hari ini berangsur-angsur anggaran untuk rumah sakit difokuskan untuk kelas III. Kami harap pemerintah tidak menarik retribusi untuk RS milik pemerintah supaya rumahsakit tidak kejar setoran dan menerapkan tarif kamar semena-mena," papar wanita bersuara besar menggelegar ini.


Dua buah figura yang berisi quality policy dan management di RS Thamrin yang dipajang di tembok. Itu artinya RS Thamrin ini memenuhi standar kualitas dalam industri rumah sakit. Terlepas dari figura di tembok itu, menurut Kartono Muhammad, sebagaimana saya kutip dari majalah Reader's Digest Indonesia (Agustus 2009), saat ini Indonesia belum ada lembaga yang berhak mengakreditasi sebuah RS sudah bertaraf internasional atau belum. Lembaga yang berhak bernama Joint Commission International (JCI). Di Indonesia cuma ada satu RS yang sudah mendapatkan akreditasi oleh JCI. Namun RS itu tidak mencantumkan international di belakang nama RS-nya. Jadi, RS-RS yang berlebel international cuma strategi marketing.

”RS negeri itu kayak apa sih?”

”Pokoknya elo cek RS yang yang akronimnya RSUD atau kayak RS Cipto Mangunkusomo, dan RS-RS lain gitu deh,” jelas temen saya yang bukan temannya Ibu Ribka.

Tambah Ribka, untuk RS swasta, harus menyediakan 25 persen ruangannya untuk pasien kelas III. Nggak boleh ada Pasien yang ditolak dengan alasan apapun. Di UU inipun menjamin nggak boleh ada uang muka yang harus dibayar pasien. Pasien kudu dilayani terlebih dahulu, baru ngomongin soal duit. Nggak boleh ada perdagangan darah. Yang nggak kalah seru, Pasien boleh melaporkan apapun yang dia rasakan nggak nyaman selama di rumah sakit ke media massa, sebagaimana yang pernah menimpa Prita Mulyasari.


Terus terang, saya, keluarga saya, atau teman-teman saya belum pernah bermasalah dengan RS Tebet ini. Cuma mau ngasih tahu aja kalo saya pernah dua minggu di rawat di RS ini, karena tifus. Durasi sakit terlama, padahal sebelumnya tidak pernah dirawat di RS. Yang menyebalkan, kejadiannya bertepatan dengan tahun baru. Jadi saya pernah bertahun baruan di ranjang RS.

"Masyarakat boleh curhat ke mana saja. Masa mau mengeluh tidak boleh apalagi sampai di penjara," papar Ribka, yang berambut tidak panjang alias pendek itu, yang barangkali dipotong rambutnya karena kepanasan atau memang doi tomboi, yang barangkali seperti saya setiap hari menggunakan shampo, yang....ah entahlah! Sing penting UU RS ini sudah disahkan dan moga-moga pemerintah konsisiten dengan aturan yang diberlakukan via Pasal-Pasal di UU ini. Dan jangan ada dusta di antara kita, lho kok?!

”Ya itu dia! Kadang-kadang orang Indonesia itu sok disusah-susahin hidupnya. Ngaku warga kelas III, padahal mereka kaya raya, hidup bergelimang harta. Itu yang tadi saya sebut naik kelas turun kelas...”

”Betul! Kalo pas sakit, sok dimiskin-miskinin, tapi pas kalo belanja ke mal atau foya-foya, sok dikaya-kayain. Ini namanya pembohongan publik!”

”Pembohongan publik itu beda kan sama public relations?”

”Ya, jelas beda lah yau! Kalo pembohongan publik itu biasanya bisa wanita, bisa pria. Tapi kalo public relations rata-rata wanita yang mencapai level tertinggi. Jarang terjadi pria jadi Manager PR atau Direktur PR....”

”Yang ada temennya Manager PR atau Direktur PR...”

”Atau mantan kekasih dari Manager PR atau Direktur PR...”

”Kayak elo, ya kan?!”

”Hehehehe. Tahu ajah!”


PENGADUAN JIKA RS BERMASALAH/ MELANGGAR UNDANG-UNDANG

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)d/a Konsil Kedokteran Indonesia, Jl. Hang Jebat III Blok F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120. Telp: 021-7206623, 7254788, 7206665, Faks: 7244379

LBH KesehatanJl. Manggarai Utara IV/ D8, Jakarta Selatan. Tlp: 021-70731817, 83706143

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)Pancoran Barat VII No 1, Duren Tiga, Jakarta Selatan 12760.
Tlp/ Faks: 021-7981858, 7981038

Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP)Sekretariat: Konsultasi Tibis Sinergi, Graha Enka Deli lt 2
Jl. Warung Buncit Raya No. 12, Jakarta Selatan. Telp/ Faks: 021-7985407

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
Jl. Boulevard Artha Gading Blok A-7A No 28, Kelapa Gading, Jakarta 14240
Telp: 021-45845303/4, faks: 45857833, email: persi@pacific.net.id

Sabtu, 26 September 2009

SEBELUM MAIN, IZINKAN SAYA BERDOA DULU

Akhirnya Bejo bebas juga dari istrinya. Selama ini ia selalu dihantui oleh ceramah-ceramah sang istri soal agama yang nggak penting itu. Bahwa tiap kali melakukan apapun harus berdoa. Sebelum makan berdoa, sesudah kencing berdoa, mau mengendarai mobil berdoa, dan aktivitas-aktivitas lain.

“Apa nggak ada waktu luang agar kita nggak selalu berdoa?” tanya Bejo.

“Berdoa itu agar kita selalu mengingat Allah, Pap,” jelas sang istri yang seksi mandraguna itu, Halimah. “Dengan berdoa, kita akan diberikan keselamatan dunia dan di akhirat.”

Tiap hari, Bejo selalu diingatkan Halimat agar berdoa. Di waktu hendak tidur kalo belum berdoa, istrinya nggak segan-segan membangunkan Bejo untuk berdoa dulu. Padahal pernah Bejo sudah pulas tidur, bahkan sudah sempat bermimpi basah. Namun Halimah nggak peduli dengan hal itu. Baginya, berdoa lebih penting daripada SKJ atau Senam Kesegaran Jasmani. Berdoa jauh lebih penting daripada roti bakar Edi, ayam bakar Mas Mono, atau program gosip Cek N Ricek.

Kini dihadapan Bejo sudah ada Pelacur telanjang. Ia berhasil melarikan diri dari sang istri yang sedang belanja di Hypermarket di kawasan Sudirman. Pelacur yang sedang berhadapan dengan Bejo adalah Pelacur kelas mahal yang biasa muncul di televisi menjadi Host sebuah program acara. Mengenai lokasi, Bejo memilih sebuah hotel berinisial “A” yang ada di kawasan kota sana, yang biasa menjadi lokasi para praktisi televisi melaksanakan hasrat seksualnya.

“Hayo dong, Mas kita mainkan,” ajak Pelacur berambut panjang yang juga dikenal sebagai bintang iklan beberapa produk consumer goods itu. “Jangan kelamaan, soalnya jam 3 nanti aku harus shooting sinetron.”

“Sabar...sabar,” papar Bejo. “Sebelum kita main, izinkan saya berdoa dulu ya sayang.”

“Kok pake berdoa? Kita kan sedang melakukan maksiat!”

“Kata istri saya, sebelum melakukan apapun kita harus berdoa...”

“Makan tuh istri!”

Dan Bejo pun berdoa dengan khusyu sampai nggak sadar kolornya melorot sedikit demi sedikit. Tanpa sadar, Bejo mengucapkan doa ketika hendak naik kendaraan. Itulah yang membuat si pelacur bingung.

“Lho, itu bukan doa naik kendaraan ya, Mas?” tanya Pelacur yang ternyata mengerti juga soal doa.

“Ah, sama aja bukan? Aku kan juga mau naik kamu.”

“Aku kan bukan kendaraan, Mas?”

“Kamu tetap kendaraan sayangku. Kamu kendaraan menuju kenikmatan duniawi yang sebentar lagi aku rasakan....”

“Dasar tolol!”

ANTENA TELEVISI DI PAGI HARI

Adakah yang lebih penting dari antena televisi seharga duapuluh ribu perak? Entahlah! Barangkali menurut Silvi, itu lebih penting disbanding memberikan senyum pagi pada sang suami. Atau membuatkan sarapan plus kopi kapal api kesukaannya.

Sebagai istri yang sejak lebaran ini ditinggal pergi para pembantu, Silvi lebih suka membetulkan antena barunya yang kecil mungil dan baru dibelinya dua hari lalu. Ia kesal suaminya nggak pernah punya hasrat yang menggebu-gebu untuk membetulkan saluran televisi yang gambarnya selalu berbintik-bintik penuh dengan semut.

“Memang nggak boleh lihat berita di televisi?” tanya Silvi pada sang suami, Bejo, sambil mengarahkan antena agar mendapatkan gambar bagus.

“Enggak salah sih, tapi memangnya nggak ada stasiun televisi lain yang menyiarkan program berita?” balas sang suami.

Sebenarnya Bejo juga punya andil memiliki kesalahan, sehingga tidak pantas untuk Silvi naik-naik ke atas kursi untuk mencari arah, dimana antena tersebut dapat menangkap sinyal siaran televisi berita agar kinclong alias tidak kesemutan. Sudah berkali-kali Bejo diingatkan supaya membetulkan antena yang sudah ada di atas genteng, atau mencari antena baru, atau berlangganan televisi pra bayar agar bisa menikmati televisi berita.

“Lelaki kok pemalas!” gerutu Silvi dalam hati. “Lelaki itu harusnya tough, pantang menyerah, terus berusaha, dan jangan memble.”

“Ah, biar memble asal kece kan nggak masalah,” jawab Bejo dalam hati juga. Aneh? Kok isi hati Silvi bisa diketahui oleh Bejo? Inilah namanya sudah sehati dan sepikiran? Entahlah. Seharunya sih iya, karena mereka adalah suami istri.

Namun Bejo juga tidak bisa dipersalahkan 100%. Ia barangkali cukup realistis dengan kondisi antena. Ia sudah cukup berusaha untuk naik turun genteng cuma untuk membetulkan arah antena yang selalu bergeser tiap kali kena angin puyuh atau hujan badai di rumahnya. Naik turun genteng pun bukan dua kali tiga kali, tapi lebih dari tiga kali. Hasilnya? Televisi berita yang diinginkan Silvi tetap penuh dengan semut.

“Nggak usah, mending Indovision aja!”

Suatu kali di Mal, Bejo menolak tawaran istri untuk berlangganan First Media atau Aora. Tapi kedua televisi itu kanalnya terlalu sedikit, apalagi kebetulan First Media tidak mau memasang kabel sampai ke kampung Bejo. Walhasil, Bejo lebih memilih Indovision sebagai pengganti Astro yang sudah masuk ke dalam kuburan, meski televisi pra bayar ini tidak menayangkan televisi yang ingin dilihat oleh Silvi.

Sebenarnya Bejo cinta sekali pada Silvi. Ia ingin mewujudkan rasa cintanya dengan memilih First Media atau Aora. Tapi karena tersangkut masalah keenganan perusahaan televisi itu untuk memasangkan kabel sampai ke kampung mereka, ya dalam hal ini Bejo tidak bersalah, bukan? Sementara Aora, mending ke laut aja, karena jumlah kanalnya jauh banget dibanding Indovision. Memangnya cuma mau nonton saluran olahraga? Memang gara-gara mau nonton televisi berita jadi memilih televisi pra bayar ini? Nggak harus, kan?!

“Lagipula aku nggak pernah menikmati televisi, meskipun salurannya sampai 50-an kanal?” ungkap Bejo dalam hati. “Memangnya pernah melihatku duduk berjam-jam menonton kanal-kanal di televisi kabel itu?”

Terlalu norak memang kalo pagi itu masalah Silvi dan Bejo cuma gara-gara antena duapuluh ribu perak. Mereka tidak bisa menikmati keindahan pagi yang penuh dengan kicauan burung dan tetesan embun bekas hujan semalam. Mereka juga tidak bisa duduk berdua di sebuah meja makan dari kayu untuk menikmati sarapan. Silvi lebih fokus memutar-mutar antena, sedang Bejo lebih suka hidup dengan dunianya yang realistis.

“Biar aku saja yang mengembalikan antena ini ke toko yang kemarin,” kata Silvi dengan nada dasar F mayor.

Bejo tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu istrinya keras kepala. Jika ia melanjutkan masalah kecil soal antena ini, boleh jadi perang dunia ke-27 akan terjadi. Dan itu tidak secuil pun dikehendaki oleh Bejo. Ia lebih fokus pada hal-hal yang lebih penting agar pagi hari itu terasa nikmat, mengorek-ngorek lubang hidung dengan telunjuknya agar mendapati sesuatu yang najis dan tentu saja kentut sepanjang hari tanpa kenal lelah.

TAPI JANGAN BILANG SAMA ALLAH YA...

Sampai di ujung bulan Ramadhan, Bejo belum juga menyerahkan zakat fitrah. Ia merasa uang senilai 17,500 perak atau beras 3,5 liter terlalu berat untuk diserahkan ke masjid. Padahal harta di rumahnya berlimpah. Sebetulnya uang zakat per orang itu baginya cuma buat tips di restoran kelas A. Begitu pun dengan beras. Di rumahnya terdapat beberapa karun beras yang disimpan di sebuah kamar. Tapi mengapa Bejo nggak mau memberikan zakat fitrah?

“Saya nggak ada uang, Pak,” kata Bejo suatu hari ketika Panitia zakat fitrah RT menyodori selembar kertas formulir zakat.

“Beras juga nggak apa-apa kok, Pak Bejo,” ucap Panitia zakat fitrah itu memberikan alternatif lain selain uang.

“Itu pun saya belum belanja ke Carrefour. Nanti kalo sudah belanja, saya pasti akan kirimkan ke masjid, deh.”

Tiba-tiba istri Bejo keluar dari pintu rumah.

“Lho, kok ngobrolnya di pagar? Kenapa nggak masuk ke dalam?” tanya istri Bejo bernama Surti itu. “Bapak Edi ya?”

“Iya, Bu! Assalamualaikum!”

Walaikum salam!”

“Ini, Bu Bejo, kami dari panitia zakat fitrah ingin mengabarkan, bahwa masjid kita bersedia menerima dan menyalurkan zakat. Barangkali Ibu bersedia berzakat gitu...”

“Sssstttt!!!!” Bejo memberi kode ke Pak Edi agar jangan keras-keras. “Kan saya sudah bilang kalo kami belum bisa berzakat. Bapak in gimana sih? Kok maksa banget! Mau saya panggil Suku Dinas Kependudukan ya?”

“Lho, kok Suku Dinas Kependudukan, Pak? Bukannya DLLAJR?” tanya Pak Edi.

Whoever, lah! Pokoknya Bapak harus cabut sekarang juga sebelum Gunung Galunggung meletus lagi?”

Surti bingung kenapa transaksi zakat antara suaminya dengan Pak Edi begitu lama.

“Memangnya Pak Edi belum dikasih uangnya ya?” tanya Surti.

“Belum, Bu! Kata Bapak, Bapak nggak punya uangnya dan belum beli beras di Carrefour,” jawab Pak Edi.

Surti kaget bukan kepalang. Matanya mendelik seperti hendak keluar dari lubang mata. Ia begitu kesal dengan sang suami yang terlalu kirir untuk memberi. Suaminya kurang memahami Surah Al-Baqarah ayat 60.

“Sssstttt!!!!” untuk kedua kali Bejo memberi kode agar Pak Edi jangan bermulut ember alias blak-blakan. “Bapak memangnya mau saya sunat?”

“Saya sudah sunat Pak?”

“Saya juga sudah sunat! Kalo begitu, Bapak mau saya kasih kartu merah?”

“Memangnya Bapak wasit sepakbola?”

“Anggap saja begitu!”

“Baiklah kalo begitu, saya pasrah apa kata Rudy Hadisuwarno, eh maksudnya kata Bapak.”

Surti mendekat ke arah Bejo. Wajahnya marah sekali, karena tahu kalo Bejo belum memberikan zakat pada Pak Edi. Sebagai istri yang jelek, ia ingin agar suaminya tetap melaksanakan Rukun Islam yang ke-3, yakni mengeluarkan zakat. Allah berfirman di Surah At-Taubah: 103: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ketika Surti melangkah mendekat ke dirinya, Bejo berpikir keras. Ia mencoba mencari jalan agar Surti nggak mengganggu ketentraman dirinya dengan marah-marah, dan Pak Edi juga bisa tersenyum puas. Dan gagasan aneh pun tiba-tiba turun dan masuk ke otak Bejo.

“Pak Edi, karena saya nggak bisa memberikan apa-apa, bagaimana kalo saya menzakatkan istri saya ini pada Bapak?” papar Bejo.

Wajah Pak Edi tiba-tiba cerah ceria. Perjaka tua ini begitu antusias mendengar tawaran Bejo yang aneh tapi realistis itu. Sementara Surti kaget mendengar suaminya mengatakan hal itu tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Saya tahu, istri saya punya banyak keinginan yang nggak bisa terkabulkan selama bersama saya. Belakangan ini ia ingin sekali melakukan hubungan badan, tapi saya nggak bisa memenuhinya, karena satu dan lain hal. Kebetulan istri saya dahulu adalah Pelacur yang mencoba untuk tobat tapi nggak tobat-tobat, karena masih suka dugem ke diskotik, pakai pakaian minim, dan shopaholics. Lebih dari itu, Pak Edi saya lihat belum pernah merasakan kenikmatan melakukan hubungan badan. Nah, di bawah langit nan cerah ceria, saya menceraikan istri saya dan menzakatkan istri saya pada Bapak....”

Mulut Pak Edi terbuka. Air liurnya menetes bak tetesan embun pagi. Lalat yang hendak masuk ke mulut Pak Edi tiba-tiba jatuh pingsan begitu mencium aroma yang keluar dari mulutnya. Sementara Surti masih terbengong-bengong dengan pernyataan suaminya. Secara kebetulan saat scene bengong ini, seorang Penghulu dari Cempaka Putih lewat dengan sepeda lipat (seli) kebanggaannya. Bejo memberhentikan Penghulu itu.

“Pak, tolong catatkan mereka di KUA setelah masa Iddah, empat bulan dari sekarang, karena mereka akan menjadi pasangan suami istri,” kata Bejo.

Really?” kata Penghulu.

"Reli? Siapa yang ngajakin reli?"

"Maksudnya, benarkah demikian my friend?"

“Yap!”

Yes! Yes! Yes! Ane dapet job lagi, nih! Dapet amplop lagi, nih! Memang jadi Penghulu enak, deh! Tapi lama juga ya nunggu sampai tiga bulan?”

“Memang Bapak bisa menikahkan mereka sekarang juga? Kan saya belum diputuskan cerai oleh Pengadilan Agama?”

“Ah, itu bisa diatur! Tapi jangan bilang sama Allah ya?”

“....”

Minggu, 20 September 2009

RAZIA KTP

Sehubungan bulan puasa lalu banyak orang Islam nggak puasa, sebuah Organisasi Masa (Ormas) Islam melakukan razia. Kali ini razia mereka cukup simpatik. Nggak main bakar-bakaran kafe atau melakukan kekerasan fisik. Mereka cuma merazia Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Kok razia KTP, Ustadz?” protes salah satu anggota Ormas Islam itu. “Bukankah yang biasa merazia KTP para Pamong Praja dari Pemda?”

“Hi! Tolol! Kita ini nggak sama kayak Pemda,” jawab Kordinator Ormas dengan nada tinggi sekitar 5 oktaf gitu, deh. “Kalo Pemda itu mengusir mereka yang bukan KTP Jakarta ke kampung halaman. Nah, kalo kita merazia si pemilik KTP itu cuma Islam KTP atau Islam beneran...”

“Caranya?”

“Mari aku tunjukan padamu hai Tukang Kayu...”

“Lho, saya bukan Tukang Kayu, Ustadz! Itukan lagu...”

“Oh iya, ane lupa!”

Akhirnya sejumlah anggota Ormas melakukan razia. Tempat-tempat razia di beberapa titik. Ada yang di pusat perbelanjaan, bioskop, restoran, hotel, dan nggak ketinggalan di panti pijit. Mereka sengaja memilih tempat-tempat nggak umum, karena menurut Koordinator ini cara mereka mengetahui secara random mereka yang ber-KTP Islam.

“Coba tunjukan KTP saudara,” kata salah seorang anggota Ormas Islam pada pria muda yang sedang berada di sebuah kamar di tempat panti pijat. Dia nampak sedang siap-siap dipijat, entah dipijat plus-plus atau dipijat minus-minus. Yang pasti dia sudah menggenakan handuk dan di belakang pria itu ada seorang wanita yang mirip Ozzy Osbourne. Kok Ozzy Osbourne ya? Bukannya Ozzy itu pria? Ah, barangkali pria yang diperikasa KTP-nya ini suka sama pria juga...

Pria itu menyerahkan KTP dengan tangan bergetar.

“Karena di KTP Anda mengaku beragama Islam, saya tanya Anda, sebutkan Rukun Islam,” tanya anggota Ormas itu.

“Rukun Islam ada lima perkara. Pertama membaca dua kalimat syahadat. Dua kemanusiaan yang adil dan beradad. Tiga persatuan Indonesia. Empat...”

“STOP! STOP! STOP! Anda salah!”

“Kok saya salah? Salah saya apa, Pak? Bukankah Rukun Islam memang lima perkara?”

“Anda betul! Rukun Islam ada lima perkara. Perkara satu betul, mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi perkara kedua dan ketiga ngawur banget! Masa kemanusiaan yang adil dan beradab? Memangnya pemerintah sekarang sudah adil?”

“Belum.”

“Nah, kenapa kalo belum adil Anda menyebutkan perkara kedua kemanusiaan yang adil dan beradab? Harusnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan, perwakilan dong, ya nggak? Lalu setelah itu baru deh perkara ketiganya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia...”

“O begitu ya, Pak. Jadi saya ditangkap, nih, Pak?”

“Yap!”

Pria itu pasrah ditangkap salah satu anggota Ormas Islam. Namun sambil berjalan mengikuti anggota Ormas itu, si pria tertawa dalam diri. Ia merasa berhasil mengelabui si anggota Ormas yang berjenggot panjang itu, karena sebetulnya sebagai orang Islam, ia hafal lima rukun Islam.

“Masa rukum Islam kedua kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, perwakilan, sih!" katanya dalam hati. "Harusnya berbangsa satu bangsa Indonesia. Baru setelah itu berbahasa satu bahasa Indonesia. Hahahaha...ogut begoin mau aja!”

Ah, dasar! Kalo dua-duanya Islam KTP ya begitu itu jadinya! Belum tentu anggota DPR, MPR, Ormas Islam, dan orang-orang ber-KTP Islam hafal Rukun Islam dan Rukun Iman. Coba aja tes! Jangan-jangan Anda juga nggak hafal. Hayo ngaku!

Sabtu, 19 September 2009

KADO LEBARAN: DISEGEL!

Belakangan ini Pemerintah Daerah (Pemda) nggak main-main dengan pemilik gedung yang nyeleneh. Dikit-dikit segel. Dikit-dikit sebuah gedung mendapat papan berwarna merah konclong yang ada tulisan gede: GEDUNG INI DISEGEL!

Terus terang gw salut dengan aktivitas penyegelan yang dilakukan Pemda di tahun ini. Tegas, seperti kumis Bang Foke yang tebal itu. Apa hubungannya ya? Ah, biarlah! Pokoknya tegas beriman gitu deh. Moga-moga nggak cuma anget-anget tahi ayam. Kalo pun bukan tahi ayam, at least bukan tahi cicak atau kecoa.


Papan segel berwarna merah nggak mungkin bisa digantikan dengan papan cuci.


Sudah banyak gedung-gedung yang belum jadi yang mendapatkan papan berwarna merah kinclong itu. Di sepanjang MT Haryono aja gw sempat menemukan dua gedung yang disegel. Entah di tempat-tempat lain, barangkali jumlahnya bisa puluhan, karena gw belum sempat mendapatkan data-datanya. Terakhir, ketika melewati jalan Hang Tuah raya, gw menemukan sebuah rumah yang beberapa tahun ini dijadikan toko kue yang disegel. Coba perhatikan tokonya, pasti elo pernah melewati toko itu atau mungkin pernah mampir ke situ.

Gw belum tanya apa salah dan dosa toko itu sehingga mendapat papan disegel. Mungkin soal izin peruntukan, bahwa rumah tinggal yang digunakan sebagai toko tanpa izin. Ah, entahlah. Yang pasti, penyegelan itu kayak kado di hari lebaran 1 Syawal 1430 H ini. Untung kado yang gw terima di lebaran ini bukan papan segel, tapi papan cuci, karena pembantu udah pada mudik. Terpaksa gw kudu melakukan atraksi cuci baju dengan papan cuci itu sampai para pembantu kami tiba dengan selama sentosa. Amin!


photo copyright by Jaya

Jumat, 18 September 2009

MASIH RAGU, TAPI BUTUH PROMOSI. GIMANA DONG JADINYA?

Nggak semua orang bisa meyakini sebagaimana orang lain yakin 100%, bahwa 1 Syawal tahun 2009 ini jatuh pada Ahad alias Minggu. Terbukti, sepanjang perjalanan saya, banyak spanduk-spanduk yang mengajak ummat Islam sholat Ied, tapi tanpa mencantumkan tanggal.

Ya, begitulah kalo masih ragu, tapi butuh promosi. Padahal dalam sebuah informasi di teori komunikasi, kalo ada salah satu 'isi pesan' yang nggak sampai ke 'komunikan', maka 'isi pesan' itu dianggap 'mengada-ada' alias lemah kebenarannya. Dalam kasus spanduk-spanduk tanpa tanggal, ini merupakan contoh nyata kelemahan sebuah 'isi pesan'.



Saya mengerti mengapa banyak panitia sholat ied yang masih ragu tapi tetap membuat spanduk, nggak lain nggak bukan supaya para umat nggak bigung. Tentu umat yang biasa sholat di tempat yang bingung menentukan hari lebaran ini. Kalo nggak buru-buru menyebarkan spanduk, bisa jadi tempat itu bakal ditinggalin umat. Umat bakal 'pindah ke lain hati'. Nah, daripada ditinggalin umat bikin rugi, lebih baik tetap melakukan publikasi, meski infonya belum komplet.

Itulah cari publikasi ala Indonesia Raya yang selalu beda waktu lebarannya. Golongan NU lebaran hari A, Muhammadiyah lebaran hari B. Atau NU dan Muhammadiyah sama di hari A, eh golongan lain lebaran di hari lain. Maklum, mereka punya kepercayaan melihat jatuhnya 1 Syawal beda. Salahkah? Kata Ustadz di kantor gw: enggak!

"Tapi demi kerukunan umat Islam, golongan yang lebarannya gak sama, nggak usah dipolitisir. Toh kita tetap meraih kemenangan bersama...."


photo copyright by Jaya

MONEY CHANGER MUSIMAN

Sekali waktu coba Anda menyempatkan diri melancong ke jalan raya Pondok Indah. Di sepanjang jalan itu mulai dari depan Mal Pondok Indah sampai lapangan golf Pondok Indah, puluhan pedagang money changer menawarkan uang. Bukan uang dolar atau mata uang asing lain, tapi uang kertas rupiah.

Begitulah pedagang money changer musiman dalam menyambut lebaran ini. Saya akui, intuisi bisnis mereka memang jempolan. Mereka melihat tradisi salam tempel yang sudah lama berlangsung di Indonesia yang tercinta ini belum usang alias masih bersemi. Nggak heran, menjelang lebaran kayak begini, mereka berdagang uang ‘recehan’ kertas, mulai dari seribuan, dua ribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan.



Sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi soal uang ‘recehan’ kertas ini tiap-tiap lebaran. Mobil-mobil dari Bank Indonesia (BI) stand by di beberapa titik. Namun kayaknya jumlah penukar uang dengan mobil yang di-stand by-kan nggak seimbang. Oleh karena itu, permintaan uang ‘recehan’ menjadi ladang bisnis di sektor informal. Dan jadilah mereka bergadang seperti terlihat di sepanjang Pondok Indah.

Sebenarnya pedagang money changer musiman ini bukan cuma di Pondok Indah. Banyak titik-titik yang menjadi konsentrasi pedagang berjualan uang ‘recehan’ kertas. Namun lebaran kali ini saya baru tahu ternyata di kawasan elit Pondok Indah juga ada pedagang money changer musiman. Analisa saya mengapa mereka ada di situ, boleh jadi banyak pemilik rumah di situ yang ‘malas’ buat menukarkan recehan di bank atau ngantri di mobil BI yang ada di Pasar Baru atau di tempat lain. Mending langsung nukar di tempat dekat rumah.

Buat mereka yang tinggal di Pondok Indah barangkali nggak masalah penukaran recahan itu 20% sampai 30% lebih mahal dari tempat lain. Wong mereka kaya raya, ya nggak? Tapi buat saya yang masih menjalani nasib menuju konglomerat yang tersoror sejagad raya, angka 20%-30% sungguh berarti. Kebayang dong menukarkan 100 ribu perak, kita cuma dapat 80 ribu, karena pedagang memungut dana 20 ribu. Itu kalo menukarkan uang kertas dua ribuan. Kalo menukarkan seribuan, lebih gokil lagi! Kita cuma dapat 70 ribu kalo kita menukarkan 100 ribu. Itu artinya 30%! Uang kertas yang dikutip oleh pedagang 10% cuma yang lima ribu perak. Walah! Cuma sekadar tanya kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air, memang kita wajib ya ngasih salam tempel?

Saya tahu, pasti mayoritas menjawab kayak begini:

"Halah, pelit amat sih loe! Kan cuma sekali setahun. Kita nggak bakal miskin!"


all photos copyright by Jaya

Kamis, 17 September 2009

KITA NGGAK BERANI ASAL NAIKIN HARGA TIKET, PAK

Ucapan pria asal Sumatera Utara itu seketika menghentikan seorang Bapak yang protes gara-gara kaget tarif bus jurusan Pulogadung-Cirebon naik 50%. Adegan ini saya saksikan sendiri di terminal Pulogadung saat mengantar asisten saya mencari bus buat pulang kampung.

”Ah, sebelumnya cuma 150 ribu! Masa lebaran masih 3 hari sudah naik 50%?! Protes sang Bapak.

”Sekali setahun lah, Pak,” jawab enteng pria yang nggak jelas statusnya, entah kondektur – karena pakaiannya resmi: kemeja biru salah satu perusahaan bus antarpropinsi beserta logo- atau calo tiket –karena kumisnya tebal, bertato di dada berlambang burung garuda menukik ke jurang. ”Kemarin aja harga tiket udah 195 ribu,” lanjut pria itu.


Daftar rute aneka bus yang mampir ke terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Nggak semua bus antarkota antarpropinsi masuk daftar. Termasuk daftar calon jemaah haji tahun 2010.


Posisi penumpang bus (baca: konsumen) memang serba salah. Nggak ada yang bisa mengontrol harga tiket resmi atau nggak resmi. Apa yang saya pantau, nggak ada petugas dari Dinas Perhubungan selaku departemen yang menetapkan harga tiket. Kalo pun ada, yang diurus (saat saya ke Pulogadung) bukan tiket, tapi lalu lintas di dalam terminal yang semerawut itu.

”Saya bisa ditangkap Pak kalo melebihi harga resmi,” jawab Ibu si penjual tiket yang ada di balik loket.

Sebagai konsumen yang sulit mendapatkan perlindungan, akhirnya si Bapak dengan sangat terpaksa mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan langsung diberikan ke si Ibu. Sebagai ganti, si Bapak diberikan kertas kecil seukuran tiket parkir. Kertas itu nggak lain nggak bukan adalah tiket bus jurusan Pulogadung-Cirebon. Dan sudah bisa ditebak, di tiket itu nggak dicantumkan harga 200 ribu sebagai tarif ’resmi’ sebagaimana pria asal Sumatera Utara itu ngoceh.


Menara pengawas di terminal Pulogadung. Nggak ngerti di menara itu ada yang jaga apa enggak. Selain kesemerawutan bus yang masuk terminal, ada baiknya juga mengawas soal harga tiket bus yang mau mudik. Soalnya nggak ada yang ngontrol. Atau jangan-jangan (maaf!) sengaja nggak dikontrol, yang penting penjual tiket 'tahu sama tahu' aja dengan petugas. Wallahu alam!


”Kita nggak mungkin bohong, Pak! Di sana ada pos petugas, di sana juga ada,” kata pria itu lagi yang mencoba meyakini bahwa tiket yang dibeli si Bapak yang harganya 50% lebih mahal itu benar-benar resmi.

Ya, begitulah konsumen Indonesia yang selalu saja kalah. Tanpa perlindungan. Mau protes, yang diprotes malah lebih galak. Kasihan. Dalam hati saya juga bergejolak dan mempertanyakan hal itu. Soal kontrol petugas yang dikatakan pria ’nggak jelas’ itu juga perlu dipertanyaan: apa memang petugas resmi Departemen Perhubungan benar-benar memantau harga tiket detik per detik, wong saya lihat nggak ada petugas kok? Puasa-puasa kayak begini memang nggak baik se’udzon alias menuduk sembarangan, tapi realita di lapangan ada tiket tanpa harga siapa yang harus dipersalahkan? Kapan ya Indonesia bisa bebas dengan masalah kayak begini? Anyway, right or wrong this is always my country!

Selasa, 15 September 2009

KAMU YA YANG MENGHAMILI?! BUKAN SAYA PAK!

Atas petunjuk Bapak Presiden Republik Ojo Lali Karo Aku Iki, akhirnya aparat kepolisian berhasil memanggil beberapa pria yang dituduh sebagai pria yang bertanggungjawab atas kehamilan Sheilo Morcio. Pria-pria ini dianggap telah menanam benih di perut bintang sinetron cantik dan host itu, sehingga menimbulkan kehamilan hampir 4 bulan.

Terus terang mayoritas warga negara bingung, mengapa seorang Presiden ngurusin masalah kehamilan seorang selebriti yang nggak penting ini. Bukankah urusan negara banyak yang penting? Namun kebingungan beberapa warga negara terjawab, setelah Sekretaris Negara melakukan konferensi pers di depan puluhan wartawan. Inti konfrensi pers tersebut, masalah kehamilan Sheilo bukan sekadar kehamilan seorang selebriti, tapi sudah menjadi isu nasional yang memalukan, ibarat tetangga Malingsia mengakui ploduk-ploduk (bacanya ala Pak Marcus, pemilik Maspion) Indonesia. Masa seorang wanita cantik hamil tanpa ayah? Masa bertepatan dengan kehamilannya ia harus mendekam lagi di dalam penjara? Sebuah contoh yang tidak baik di 10 terakhir menjelang berakhirnya bulan Ramadhan ini. Dan contoh ini tidak boleh menjadi bagian dari jati diri bangsa Ojo Lali Karo Aku Iki.

Itulah mengapa sebagai Kepala Polisi Republik Ojo Lali Karo Aku Iki memanggil pria-pria yang menjadi terdakwa. Polisi berharap akan menemukan pria yang telah menyumbangkan sperma dan harus menjadi Bapak sang jabang bayi. Padahal baik Sheilo dan ibunya Sheilo: Meriah Cecilio Carey, cuek bebek dengan pria yang berhasil menghamili wanita itu. Nggak peduli pria yang menghamili mau mengaku atau enggak, yang penting bumi masih tetap bulat dan berputar. Namun sekali lagi, peristiwa yang dialami Sheilo Morcio adalah peristiwa memalukan tingkat nasional.

”Apakah kamu yang menghamili?” tanya polisi pada pria pertama dalam sebuah sesi introgasi di food court sebuah Mal.

”Bukan! Bukan saya, Pak! Mungkin dia, Pak!” pria itu langsung menunjuk pria yang ada di sampingnya.

”Betul kamu yang mengamili Sheilo?”

”Enak aja! Jangan asal nuduh begitu dong, Pak! Bapak memang udah ngecek jenis sperma yang memasuki perut Sheilo sehingga dia hamil?”

”Belum,” jawab polisi polos.

”Nah, kalo begitu, lebih baik periksa dulu, baru bisa menuduh. Sperma saya golongannya AB, sedang sperma yang hinggap di Sheilo golongan O.”

”O begitu! Jangan-jangan kamu yang menghamili ya?” tanya polisi pada pria yang ada di sebelahnya lagi.

”Ah, Bapak bisa aja,” jawab pria ini sambil cengegesan. ”Masa orang seperti saya bisa menghamili wanita? Saya ini kan nggak suka sama wanita, Pak. Saya ini sukanya minum teh botol. Karena apapun makanannya, ya teh botol minumannya. Dan saya asli pecinta kaum pria, Pak. Masa Bapak nggak tahu sih? Kita kan pernah ketemu dan Bapak pernah nawar...”

”Ih, najis deh!” kata polisi sambil bersumpah serapah agar anak-anak dan keturunannya nggak seperti pria yang guy itu. Cara bersumpahnya, meludah-ludahi wajah pria yang guy itu. Cuih! Cuih! "Semoga anak dan keturunan gw nggak ada yang berprilaku menyimpang, karena bakal masuk neraka! Cuih! Cuih!"



Polisi bingung. Tiga pria yang diintrograsi nggak ada yang mengaku sebagai dalang perbuatan tidak senonoh itu, yakni menghamili orang tapi tidak bertanggung jawab atas jabang bayi yang ada di kandungan Sheilo. Keterlaluan! Sudah ngerasain enak, nggak mau ngaku! Kini tinggal dua pria lagi yang akan diintrograsi. Polisi yakin, salah satu di antara dua pria ini pasti akan mengakui perbuatannya.

”Saya tidak akan menghabiskan waktu kalian berdua. Oleh karena itu, mumpung saya masih muda, ganteng, dan bisa menahan kesabaran, saya bertanya pada kalian berdua, siapa di antara kalian yang berhasil menghalimi, eh maksudnya menghamili Sheilo Morcio?”

”Dia, Pak!” pria satu menunjuk ke pria di sampingnya.

“Enak aja! Dia Pak!” kata pria ini membalas tuduhan pria yang menuduhnya.

Kedua pria itu saling tuduh. Hampir kurang 12 jam, mereka saling berbalas tuduh, bukan berbalas pantun. Oleh karena durasi mereka berbalas tuduh begitu lama, si polisi sempat tertidur pulas, bangun lagi, tidur lagi, ngiler, ngelindur, mimpi basah, mimpi kering, tidur, dan kemudian bangun lagi.

”Sutralah! Ngaku saja, apa susahnya sih ngaku menghamili?” kata salah seorang pria mencoba mengakhiri ronde berbalas tuduh.

”Masalahnya nggak semudah itu, Bro. Gw saat ini lagi diminta jadi Among Tamu salah satu keluarga gw yang mau married minggu depan...”

”Lah, apa hubungannya?”

”Ya jelas ada dong, ah! Among Tamu itu harus fokus. Nggak boleh ada masalah yang bisa memberatkan diri, yang membuat acara resepsi berantakan. Focus is the best!”

”Oh, begitu ya? Kalo begitu, gw juga nggak mudah mengakui soal menghamili Sheilo...”

”Memanya elo yang menghamili?”

”Bukan, bro! Pada saat Sheilo melakukan hal-hal yang dilarang agama, gw sedang nggak ada di tempat. Lagi dinas luar kota. Jadi nggak mungkin dong kalo gw yang menghamili. Memangnya sperma bisa diterbangkan dari luar kota ke perut Sheilo?”

”Gini hari teknologi bisa melakukan apa aja kalee! Nggak cuma kirim SMS, kirim salam, kirim video porno, tapi bisa kirim sperma...”

”Gimana caranya? Aya-aya wae...”

“Gampang! Elo cukup telepon atau SMS dengan handphone, lho ke perusahaan service delivery, sperma loe yang udah ditaro di botol akan dikirim via kurir service delivery itu…”

“Lha, itu mah bukan teknologi kale! Tetap manual!”

“Memangnya elo telepon atau kirim SMS dengan handphone loe bukan teknologi namanya? Teknologi handphone yang bisa mengirim massage dari satu tempat ke tempat yang jauh melalui satelit…”

“STOP! STOP! STIOP! Kalian ini lagi ngomongin apaan sih?” tiba-tiba polisi menghentikan percakapan dua pria terakhir yang dituduh menghamili Sheilo Morcio itu.

“Ngomongin Sheilo Morcio, Pak!”

“Jangan bohong! Sekarang ini bulan puasa, tahu! Nggak boleh bohong! Kalian ini ngomongan handphone kan?”

“Lho kok Bapak tahu?”

“Yaiyalah, polisi gitu loch!”

“Kita berdua sepakat untuk tidak mengakui kalo kami yang menghamili Sheilo Morcio, karena alibi yang menguatkan bahwa kami yang pelaku penghamilan ini, nggak terbukti....”

“Jadi?” tanya polisi seolah ingin memancing jawaban salah satu dari dua pria tertuduh itu.

“Jadi sebaiknya bapak mengaku saja kalo bapaklah yang menghamili...”

“Memangnya boleh?” tanya polisi heran pada tuduhan pria itu.

“Ya bolehlah! Selama Sheilo Morcio nggak mau mengakui siapa otak di balik kehamilannya, ya bapak berhak mendapatkan kesempatan itu. Bapak tinggal mengaku menghamili dan Sheilo menerima pengakui itu, ya selesai deh urusan negara ini...”

“Baiklah kalo begitu,” kata polisi. “Kebetulan sudah lama saya ngefans berat sama Sheilo Morcio. Saya terkagum-kagum pada kecantikannya dan permainannya dalam sinetron....”

“Ya sudah sana jemput Sheilo Morcio di rumah tahanan. Kasihan dia sedang menantikan pria yang mau bertanggung jawab...”

“OK, Sheilo! I’m comming!”

Dan masalah negara Ojo Lali pun akhirnya beres. Polisi mengakui telah menghamili Sheilo dan siap untuk menjadi suami Sheilo. Dengan berakhiranya kasus ini, Presiden Ojo Lali menghadiahkan piala Kalpataro pada polisi.

Congratulation ya Pak!” kata Presiden Ojo Lali Karo Aku Iku pada polisi sambil memberikan piala Kalpataro.

Thx Mr Presiden! I love you full! Hehehehe....” ujar polisi.