Jumat, 02 April 2010

KAYAK TUGAS NEGARA

Meski tidak mengenal dekat Ardi Bakrie dan Nia Ramadhani, saya memutuskan hadir di resepsi pernikahan mereka di Grand Ballroom Hotel Mulia, Jakarta, pada 2 April 2010 lalu. Entah kenapa, rasanya undangan mereka kayak sebuah tugas negara. Kok begitu? Sebab, saya bukan siapa-siapa, tetapi mereka khusus mengundang saya dengan nama dan alamat yang benar. Ibarat Jenderal memerintahkan para prajurit buat pergi ke medan perang. Padahal Jenderal belum tentu mengenal semua prajurit, tetapi prajurit mau nggak mau harus ikut perintah, karena itu adalah tugas negara.


Karangan bunga ini diletakkan di pinggir halaman hotel Mulia. Saya perhatikan, seluruh halaman mulia sudah nggak cukup menampung karangan bunga ini. Bayangkan! Hampir seluruh pengusaha maupun politikus di Indonesia ini mengirimkan karangan bunga, belum duta besar negara sahabat. Kalo dihitung-hitung, hanya karangan bunganya saja sudah mencapai ratusan juta, kalo rata-rata per karangan bunga harganya minimal 500 ribu perak.

Biasanya, pengantin yang hubungannya nggak terlalu dekat pasti tidak akan pernah mengundang dengan nama dan alamat di undangan itu. Mereka yang bukan family atau kerabat cukup mendapat undangan kolektif alias undangan rame-rame. Bahkan saat ini dengan teknologi internet, fasilitas jejaring sosial justru menyederhanakan pengantin membuat undangan rame-rame. Tapi itu tidak dilakukan pasangan Ardi-Nia ini. Biar saya nggak terlalu kenal, mereka begitu mengharagi saya. Inilah yang membuat saya merasa undangan resepsi pernikahan mereka kayak tugas negara, dan saya harus melaksanakan tugas negara ini.

Yang namanya tugas negara, tentu kita nggak boleh menyerah sebelum berperang. Setelah saya pertimbangkan buat meluncur ke hotel Mulia bersama istri, saya pun kudu sabar melewati beberapa rintangan sebelum bersalaman dengan sang pengantin di atas podium. Rintangan-rintangan ini harus saya alami dengan penuh kesabaran dan saya nggak boleh menyerah.







Inilah souvenir Ardi-Nia. Begitu selesai mengisi buku tamu dan memberikan kupon souvenir, tiap tamu mendapatkan ini. Saya sempat bingung, dimana kotak ang-pou-nya ya? Eh, ternyata lubang kotak itu tertutup oleh buku tamu. Jadi si penerima tamu sengaja tidak memperlihatkan lubang kotak ang-pou. Artinya, tamu-tamu yang datang tidak diwajibkan memberi uang. Mau ngasih syukur, enggak juga nggak apa-apa.

Rintangan pertama adalah kemacetan. Barangkali kalo kemacetan di jalan dari rumah saya menuju ke Mulia nggak masalah. Yang terjadi justru kemacetan masuk ke dalam parkir hotel. Kalo pernah ke hotel Mulia, pasti Anda tahu di sekitar hotel ada kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang ada di samping TVRI. Anda pasti juga tahu sebelum hotel Mulia dari arah Senayan City, ada lapangan golf. Nah, kemacetan sudah terjadi sejak dari lapangan golf dan juga di depan kantor Menpora. Mending cuma padat merayap, tetapi ini macet-cet! Lumlahlah, sejumlah mobil harus masuk ke pintu hotel mulia dengan dua baris. Jadi bottle neck pun terjadi.

Begitu masuk area pemeriksaan, terdapat 5 jalur mobil, dimana masing-masing jalur terdapat sekitar 4-5 security. Saya yakin, kalo hari-hari biasa nggak mungkin sebanyak ini. Pasti security ekstra. Boleh jadi ada security yang seharusnya libur jadi nggak libur atau diperbantukan security-security baru. Sayang, meski banyak security, tetapi pemeriksaan malam itu nggak ketat. Nggak setiap mobil diperiksa. Mobil saya saja nggak diperiksa sebagaimana prosedur masuk ke dalam hotel. Kayak mereka cuma melihat wajah dan penampilan si pemilik mobil. Kalo wajahnya ganteng dan penampilannya rapi kayak saya, dibiarkan begitu saja. Lucu juga ya?


Supaya teratur, panitia membuat jalur salaman yang dibatasi oleh pagar berwarna emas. Jalur salaman ini dibuat zig-zag. Maklumlah, kalo nggak dibuat zig-zag, antreannya bisa dari gedung Menpora ke podium pengantin. Wong kalo dihitung-hitung panjang anteran lebih dari seratus meter, bo!

Setelah melewati 5 jalur mobil, terjadi bottle neck lagi. Dari lima jalur, mobil dipaksa berbaris membuat 2 jalur. Biasanya kalo antre kayak begini, saya paling kesel kalo ketemu dengan pengendara yang etika mengantrenya nggak pake otak. Dalam aturan, mobil harus bergantian masuk mobil dari kiri, gantian mobil yang kanan masuk untuk antre di belakangannya. Tapi kebanyakan kalo mobil di depan sudah masuk anteran, mobil di belakang sudah nempel di belakang. Mobil ini seolah nggak mau bergantian dengan mobil sebelahnya dulu. Biasanya kalo sudah begitu, saya sih cuma bisa sabar. Ngeladenin pengemudi mobil mewah yang mirip sopir mikrolet atau metromini kayak begitu mah nggak ada untungnya.

Itu baru perjuangan antre masuk ke dalam hotel, belum cari parkir. Nah, mereka yang nggak mau ‘berperang’ melawan itu semua, biasanya cukup parkir di depan gedung Menpora atau lapangan golf setelah Senayan City (Sency). Memang sih jalannya cukup jauh, tetapi nggak bakal ikut lomba antre masuk hotel kayak saya. Tadinya istri saya ingin seperti mereka yang parkir di luar, tetapi saya tolak. Saya bilang, ngapain juga jauh-jauh parkir, trus jalan. Yang ada sampai ke lobi keringetan. Maklumlah, saya kan pakai kemeja dan jas. Jas memang bisa ditenteng, tetapi kalo kemeja kena keringat, yang ada akan terlihat ‘pulau keringat’ di seputar punggung. Lagi pula malu dong kalo kegantengan saya jadi hilang pas di depan para pejabat atau sepasang pengantin? Nggak enak kalo mereka bilang: “Habis fitness dimana bang?”






Foto Ardi-Nia yang ditempelkan di dinding dan lemari berisi pernak-pernik Ardi-Nia. Semua ini berada di kiri dan kanan jalur antrean. Mereka sengaja menempatkan ini supaya tamu yang antre nggak bete.


Alhamdulillah perjuangan saya mencari tempat perkir nggak sesulit dibayangkan. Ternyata masih banyak tempat parkir yang kosong. Memang sih perjuangan masuk ke dalam butuh energi, tetapi kalo sabar, pasti disayang Tuhan dan disayang oleh tukang parkir di dalam hotel Mulia. Jadi enak kan? Nggak perlu keringetan, langsung masuk lobi yang berpenyejuk udara.

Di lobi penuh sekali manusia. Kalo dilihat dari pakaiannya, mereka pasti dari kondangan. Malam ini, nggak ada pesta resepsi selain pesta putra konglomerat Ardi Bakrie-Nia Ramadhani. Saya yakin, mereka pasti tamu dari kloter sebelumnya. Sekadar info, resepsi Ardy-Nia ini dilakukan mulai hari Kamis dan Jumat. Masing-masing dikasih waktu atau shift. Ini bertujuan agar tidak penuh sesak dan sangat segmented. Ada shift khusus politikus, shift pengusaha, shift selebriti, dan shift kroco-kroco kayak saya ini. Saya kebagian shift Jumat pukul 21.00 wib. Kebayang dong resepsi jam segitu? Biasanya kan jam 19.00 wib. Tapi ya saya maklumlah: who am I?

Agar supaya teratur barisannya, oleh panitia dibuat jalur antrean. Jalur antrean ini dibatasi oleh pagar berwarna emas. Jalur ini dibuat zig-zag. Sengaja zig-zag, supaya nggak terlihat terlalu panjang dan menyusahkan hotel Mulia. Saya membayangkan, kalo jalur antrean ini dibuat lurus, bisa jadi panjang anterannya mulai dari gedung Menpora sampai panggung pengantin. Wong kalo dihitung-hitung panjangnya mencapai lebih dari seratus meter, kok. Mirip kayak panjang karangan bunga yang dipajang sepanjang area hotel Mulia tadi.

Selama antre, tamu nggak dibuat bete. Ada ornamen-ornamen yang memanjakan mata kita. Ornamen-ornamen itu cukup artistik. Kita serasa tidak dibuat masuk ke dalam sebuah hotel Mulia, tetapi kayak sebuah museum. Di sebelah kiri dan kanan ada foto-foto Ardi-Nia dalam ukuran dan bentuk yang berbeda. Ada yang berwarna dan hitam-putih. Pose-nya pun beda. Ada mereka yang sedang berada di sebuah jalan besar di malam hari, dimana Ardi duduk di motor Harley Davidson, sedang Nia menggenakan gaun warna merah. Ada foto hitam-putih, dimana Ardi digambarkan seolah mencari sosok Nia. Ia bingung dan sempat menelepon seseorang, sementara ada bayang-bayang Nia di belakang Ardi.

Yang juga nggak kalah keren adalah sebuah lemari berkaca transparan, dimana di dalam lemari tersebut terdapat beberapa pernak-pernik Ardi-Nia. Salah satunya ada sepatu bola dan kaos bola Ardi. Sepatu bola yang digantung seolah menjadi simbol bahwa kini Ardi sudah siap menjadi suami bagi Nia dan meninggalkan masa lalunya.

Selain foto-foto plus pernak-pernik itu, tamu juga bisa melihat apa yang terjadi di atas pelaminan dan juga di panggung sebelah pelaminan via plasma berukuran 45 inci. Saya bisa melihat wajah tamu-tamu yang bisa muncul di televisi berjabatan tangan dengan sepasang pengantin. Saya pun bisa bersenandung, karena malam itu ada Elfa’s Singers yang bernyanyi diiringi oleh Andy Rianto Orcestra.


...........on progresss....

all photos copyright by Jaya

Kamis, 01 April 2010

BINGUNG MAU PAKE BAJU APA...

Betapa surprise hatiku ketika mendapatkan sebuah undangan pernikahan. Tentu bukan karena saya belum pernah diundang dalam sebuah pernikahan, sehingga saya sampai surprise begitu. Bukan, bukan itu masalahnya. Namun yang mengundang itu, lho!

Undangan berwarna krem itu datang dari putra konglomerat pribumi bangsa Indonesia ini. Sungguh saya nggak habis pikir, orang seperti saya yang nggak biasa datang di pesta pernikahan seorang konglomerat, tiba-tiba diundang. Norakkah saya? Terserah! Harusnya Anda maklum, karena saya bukan keturunan konglomerat. Saya anak guru olahraga. Saya saja sekarang ini tinggal di sebuah pemukiman padat di Jakarta Pusat.


Undangan dari putra konglomerat yang membuat saya surprise plus bingung. Mau ngasih duit berapa? Pakai baju apa ya?

Dalam beberapa hari ini, setelah undangan sampai ke tangan saya, saya menjadi bingung tujuh keliling. Barangkali Anda tahu apa yang membuat saya bingung? Baiklah kalo Anda nggak tahu. Saya akan ceritakan kebingunan itu. Bingung pertama, berapa rupiah uang yang akan saya berikan pada putra konglomerat ini? Nggak mungkin duaratus, tigaratus, apalagi seratus ribu dong? Buat dia, uang segitu pasti nggak ada artinya, ya nggak? Ah, barangkali kasih 5 juta kali ya...

Kebingungan kedua, saya harus pakai baju apa ya? Pakai batik, itu kayaknya bakal jadi akternatif terakhir dan umum akan dilakukan. Kalo pakai jas, wah ini dia masalahnya. Saya nggak punya jas yang layak buat dipakai. Jas saya sudah layak masuk ke gudang atau diberikan ke fakir miskin. Beli dong! Itu memang jalan satu-satunya, karena pilihan selain beli adalah buat jas atau pinjam jas. Untuk yang terakhir, pinjam jas, kayaknya gengsi, deh. Masa pinjam jas?

Bingung euy! Ternyata modal buat ikut pesta putra konglomerat banyak juga ya? Mau masukan uang di kotak, nggak mungkin seratus ribu. Pakai batik, hmmmm, kayaknya terlalu umum. Mau bikin jas, nggak cukup cuma duaratus ribu. Begitu pula kalo beli jas. Yang nggak bingung cuma sepatu. Alhamdulillah saya punya sepatu baru yang masih mengkilat dan memang khusus buat kondangan.


Kupon pengganti souvenir ini dibuat untuk mengantisipasi jangan sampai ada orang yang nggak diundang masuk ke ruang resepsi. Sekarang ini banyak orang yang cuma pingin makan gratis, modal batik, masuk ke dalam sebuah pesta.




Terlepas dari ketidakpercayaan saya ini, saya tetap bangga bisa diundang oleh putra seorang konglomerat tersohor di tanah air ini, dan sudah pasti saya akan berjabat tangan dengan konglomerat itu sendiri, selain putra dan pasangan married-nya. Saya tentu juga bangga diundang oleh seorang selebritis yang menjadi calon istri putra konglomerat itu. Saya serasa menjadi bagian kalangan jet set.

Bagaimana akhir kisah kebingungan saya ini? Nantikan di cerita saya di episode kedua, setelah saya hadir di pesta pernikahaan putra konglomerat pada Jumat, 2 April 2010 ini, yang berlangsung di hotel Mulia, Jakarta.