Sabtu, 25 Juli 2009

MUNGKIN GARA-GARA UDAH NGGAK SAYANG LAGI

Tentu bukan cuma manusia yang punya perasaan cinta. Truk dan bak truk pun mengelami hal yang sama. Mereka punya rasa sayang dan cinta, makanya selalu pergi berdua. Kemana truk pergi, bak truk selalu menyertai. Kalo dianalogikan, mereka kayak pasangan Romeo dan Juliet.

Namun, Sabtu, 25 Juli lalu, mereka udah pada titik klimaks. Mereka udah nggak tahan lagi untuk tetap mempertahankan hubungan cinta mereka. Nggak asyik kalo hubungan udah nggak sehat, tapi tetap dipertahankan. Itu sama saja memaksakan perasaan yang udah nggak enak, menjadi eneg. So, bak truk memaksa truk agar memutuskan hubungan cinta mereka.


Jalan raya Pramuka yang dikosongkan. Seluruh kendaraan bermotor dari arah Pemuda menuju Matraman dialihkan ke jalur lambat, kecuali kendaraan bermotor yang nakal gara-gara memakai jalur busway.


Rupanya, truk masih sayang dengan bak. Dia nggak ingin cinta mereka yang begitu lama lenyap begitu saja bagai angin yang pergi entah kemana. Oleh karena itu, truk mengajak bak truk ke suatu tempat agar bisa refreshing. Namun sekali lagi, bak truk nggak mau. Dia ingin tetap putus. Sekali putus tetap putus. Sekaki merdeka, tetap merdeka. Nggak heran ketika truk menggeber laju mesinnya di jalan Pramuka Raya, Jakarta Timur, bak truk meloncat.

"Aku udah nggak tahan ingin putus, makanya aku meloncat meninggalkan truk," kata bak truk memberi alasan mengapa bak truk bisa lepas dari truknya. "Aku udah nggak sayang sama truk lagi, karena truk selalu memperlakukanku nggak senonoh, semacam KDRT gitu deh. Mentang-mentang aku cuma bak truk kali ya?"

Walhasil, jalan raya Pramuka macet total sepanjang 500 meter. Sebab, seluruh mobil dan motor yang menuju ke arah Menteng atau Kampung Melayu dialihkan ke jalur lambat. Soalnya bak truk nyangkut di jembatan penyebrangan di jalur cepat. Bagi mobil-mobil atau motor-motor yang semula udah masuk ke jalur busway, barangkali beruntung, karena jalur busway nggak terpengaruh oleh kemacetan.

Berikut foto-foto eksklusif dari Reporter FB News yang berhasil merekam kejadian yang kabarnya terjadi dari jam 2 dini hari sampai pukul 18.45 wib. Semoga DLLAJR bisa menindak tegas pelakunya, at least perusahaan truk ini, karena telat merugikan pengguna jalan raya, salah satunya gw.



Ini foto tampak depan, dimana berasal dari arah jalan Pemuka menuju ke Pramuka. Untung isi baknya cuma tanah, coba kalo manusia, wah berapa nyawa yang bakal hilang? Masa gara-gara udah nggak cinta lagi, bak truk tega melepaskan diri dari truk? Norak banget sih!






Ini foto dari arah Pramuka ke arah Pemuda. Lihatlah kawanku, baknya nyangkut di jembatan penyebrangan. Gara-gara nyangkut, jembatan bengkok, bergelombang. Mereka yang jalan terpaksa kudu hati-hati, takut tersandung. Ngomong-ngomong iseng banget ya, bak truk ini sampai nyangkut segala? Jangan-jangan sekarang si bak truk ada hati dengan jembatan penyebangan. Udah nggak cinta truk, sekarang jatuh cintrong dengan jembatan. Huhuuuuyyyyyy!!!







Kejadian terlepaskan hubungan truk dengan bak truk menjadi tontonan yang menarik bagi warga sekitar jalan Pramuka. Mereka pasti berpikir, peristiwa ini mirip kisah cinta Romeo dan Juliet.

all photos copyright by Jaya

MUDA DIMANFAATKAN, TUA DICUEKIN

Begitulah nasib gedung-gedung tua di Indonesia ini. Ibarat pepatah, habis manis, sepah dibuang. Ketika "masih muda", gedung maupun rumah dimanfaatkan baik-baik. Eh, giliran udah tua, boro-boro dirawat, ini mah dicuekin.

Berikut di bawah ini ada beberapa gedung maupun rumah yang kalo bisa ngomong, mereka bakal berteriak minta diperhatikan dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.





Ini gedung Departement Keuangan (Depkeu) yang ada di jalan Garuda, Jakarta Pusat.



Ini kantor Pajak yang ada di Manggarai.

Ini gedung yang juga ada di jalan Garuda.




Ini gedung Jasa Raharja di kota.






all photos copyright by Jaya

Senin, 13 Juli 2009

OH TUHANKU, TUNJUKAN CARA AGAR AKU BISA MENGHINDARI PAJAK...

Suka nggak suka, sebagai warga Negara Indonesia, sekarang ini kita nggak bisa lagi menghindari pajak. Sejak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mewajibkan seluruh warga mendaftarkan NPWP, kita tercatat sebagai Wajib Pajak (WP). Kita masuk ke dalam sistem DJP yang kata sebagian besar orang sebagai “jebakan Batman”.

“Kok jebakan Batman?” tanya gw pada teman gw yang merasa hidupnya dikelilingi oleh pajak.

“Yaiyalah! Dikit-dikit pajak, dikit-dikit pajak,” kata teman gw seraya protes pada keadaan saat ini.

Dari dulu hingga kini, temen gw memang berprinsip, apa yang ada di bumi ini punya Tuhan. Nggak ada mahkluk Tuhan satu pun yang berhak memajakki, selain Tuhan. Memang temen gw tahu, ketentuan Tuhan dan negara itu beda. Tuhan punya aturan, negara punya aturan.

“Apa susahnya sih negara ngikut ketentuan Tuhan?” tanya temen gw lagi. “Bukankah Tuhan udah punya sistem pengambilan dana dari umat manusia sebanyak 2,5%?”

Benar sih pemikiran teman gw. Seharusnya dari 2,5% zakat yang diambil dari penghasilan manusia udah cukup buat membiayai kehidupan di sebuah negara. Cukup pula meringankan orang-orang miskin di seluruh Indonesia, salah satunya di Jakarta. Menurut Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo alias Bang Foke, orang miskin di Jakarta turun. Kalo tahun 2008, penduduk miskin mencapai 376.600 jiwa, di periode Januari-Maret 2009 jumlahnya mencapai 323.170 jiwa atau 14,87%. Nah, dengan semangat mengambil 2,5% dari pendapatan orang, maka penduduk miskin yang katanya turun itu bisa semakin dituruni. Tapi buat negara, satu orang diminta zakat sebanyak 2,5% nyatanya masih belum cukup. Negara masih membutuhkan pajak di luar dari ketentuan Tuhan.

Why?”

I don’t know!”

“Karena pengelolaan keuangan negara nggak profesionalkah?”

“Nggak tahu!”

“Apa karena terlalu sedikit duit yang dikorupsikan?”

“Hush! Elo terlalu tendensius!”

“Lha?! Habis kalo gitu kenapa dong? Padahal lembaga-lembaga zakat independent bisa mengelola zakat yang cuma 2,5% itu buat kebaikan umat. Dengan zakat itu, lembaga-lembaga itu bisa membiayai anak-anak putus sekolah, membangun rumah sakit, dan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah...”

“Iya sih...”

“Lantas why? Why kita harus membayar begitu banyak pajak?”


Supaya menghindari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), banyak Pengusaha cuek bebek mendirikan bangunan. Mereka terlalu pelit mengeluarkan pajak buat membayar IMB. Nggak heran kalo gedung-gedung yang punya IMB langsung disegel. Aneh ya, untuk mendirikan gedung segede-gede gajah bisa, tapi buat membayar pajak IMB nggak mampu. Dasar pelit! Dahulu, nggak pake IMB barangkali masih nggak masalah, karena banyak Oknum yang dengan senang hati memanfaatkan pembangunan tanpa IMB kayak gini. Disogok-sogok gitu, deh! 


Gw nggak bisa ngomong. Gw terasa disudutkan dengan berbagai pertanyaan. Tapi sekali lagi teman gw 100% benar. Kita memang nggak bisa lagi berkelit dari pajak dan dengan begitu, seharusnya kas DJP buat negara kaya raya. You know what? Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, hingga kini jumlah pemilik NPWP per Mei 2009, udah mecapai 14,083 juta WP. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2008 sebanyak 10,68 juta dan tahun 2007 sebanyak 7,14 juta. Dengan angka lonjakan yang luar biasa itu, seharusnya negara mampu menolong warga negara yang membutuhkan pendidikan dan kesehatan. Bukan cuma membangun infrastruktur.

“Lho, kan dana pendidikan udah ada? Yang katanya 20% dari APBN,” kata gw.

“Ah, tetap aja banyak anak yang masih nggak sekolah. Pendidikan yang katanya gratis sampai 9 tahun nggak semuanya menikmati. Nah, kalo orang-orang kaya dipajakin lebih besar, barangkali mereka yang nggak sekolah bisa sekolah. Tapi kalo kenyataannya udah dipajakin tapi banyak orang yang tetap nggak sekolah dan nggak bisa pergi ke rumah sakit, apa kata dunia?”

Apa kata dunia? Yap! Malu-maluin dunia aja, udah dipajakin, kita masih tetap menjadi bangsa melarat. Masih ngutang sana-sini. Minta pinjaman sana-sini. Terakhir Departement PU minta pinjaman dari China senilai US$ 7 miliar buat proyek infrastruktur. Sedih. Miris. Rasa-rasanya percuma juga WP bayar pajak. Oh iya, udah gitu, DJP pun pilih-pilih memajakki WP. Ada usaha yang wajib bayar pajak, ada yang enggak. Ada rumah-rumah di Pondok Indah, Menteng, atau Cempaka Putih yang sebetulnya berwujud kantor. Mereka yang memiliki atau menempati rumah-rumah itu ogah berterus terang soal usaha mereka. Ini demi menghindari pajak.

Seharusnya mereka yang punya kantor di rumah-rumah harus malu. Lihatlah ke Ayam Bakar Mas Mono atau Warteg 21 di Polomas. Kedua usaha tradisional itu justru menjadi WP aktif. Di kasir mereka terpampang sertifikat pajak restoran dengan nomor NPWP. Dimana pajak ini akan disetorkan ke kantor perbendaharaan kas daerah masing-masing dan akan digunakan sebagi biaya pembangunan. Namun ukuran pendapatan Ayam Bakar Mas Mono dan Warteg 21 nggak bisa ditebak. Ukurannya relatif. Apakah banyak orang yang datang buat makan jadi ukuran sebuah tempat makan? Kenapa Tukang mie di samping gereja Menteng nggak dapat sertifikat pajak?


Ini bukti Ayam Bakar Mas Mono juga menyetorkan pajak ke negara. Maklum, menurut kabar rata-rata ayam bakar yang terjual di tiap outlet sebanyak 100 potong. Kalo di Tebet yang merupakan outlet pertama Mas Mono mampu terjual lebih dari 200 potong.
“Oh Tuhanku, tunjukan cara agar aku bisa menghindari pajak....”

“Oh, I don’t think Tuhan mau mengabulkan permintaan elo, deh! It doesn’t make any sense! Sutralah! Terima aja nasib loe tinggal di bumi ini, dimana seluruh pendapatan elo akan dipajakin. Tapi ada satu kebijakan DPJ yang luar biasa...”

“Apaan?”

“Guna membantu warga negara yang kena krisis, sejak bulan Februari 2009 ini, DPJ menggulirkan kebijakan pajak penghasilan 21 atau PPh 21 ditanggung pemerintah, cong!”

“Ah, masa?!”

“Yo’i! Kebijakan ini berlangsung selama sepuluh bulan di tahun 2009 ini...”

“Tapi kenapa selama ini gw masih kena PPh 21?”

“Emang gaji loe berapa?”

“Jadi malu nyebutinnya,” wajah teman gw tiba-tiba merah.

“Berapa? Dua juta?! Tiga juga?!”

“Bukan!”

“Berapa?”

“Tigapuluh juta!”

“Halah! Cong, gaji segitu mah kudu dipajakin kalee! Kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah cuma buat mereka yang bergaji di bawah 5 juta...”

“Masa cuma yang bergaji di bawah 5 juta sih? Nggak fair, ah!”


“Elo ini harusnya bersyukur bisa punya gaji 30 juta. Masih banyak pengangguran di sekitar kita. Masih banyak pula karyawan yang gajinya di bawah standar upah minimum regional (UMR). Nah, elo masih mau menghindari pajak...”

“Hak gw lah yau!”

“Elo punya hak, tapi juga punya kewajiban, ngerti?! Ternyata elo itu pelit ya, cong?! Ya, Tuhan ampunilah temanku yang pelit ini, yang nggak mau bayar pajak padahal gajinya 30 juta. Jangan beri temanku ini jalan buat menghindari pajak...”

“Semprul!!!”

all photos copyright by Jaya

EMANG KALO LAGI NGGAK CERIA BISA IKUT SENAM?

Ada-ada aja ya ngasih judul event. SENAM CERIA! Yang gw tahu, setiap orang yang pengen jadi peserta senam, wajahnya kudu ceria deh. Datang dengan pakaian senam, wajahnya sumringah alias ceria.

Keceriaan peserta senam jelas akibat dirinya nggak terlibat masalah yang bisa membuat wajahnya kusut. Nggak terlibat hutang. Masalah kemacetan buat sementara dilupakan. Inilah yang menyebabkan orang ikut senam. Wajah kudu ceria. Jiwa dan raga pun otomatis ikut ceria.


Ini suasana Senam Ceria yang berlangsung di Carrefour Cempaka Putih tiap Minggu sore.

Terus terang gw belum pernah menemukan orang yang dalam kondisi depresi, stres, dan nggak bisa tidur sepanjang hari, ikut senam ceria. Kalo ada peserta yang nggak dalam kondisi ceria ikut, boleh jadi peserta ini bakal marah-marah. Maklum pelampiasan kemarahan nggak ada lagi. Satu-satunya cara, ya memarahi orang-orang yang kebetulan ikut senam.

Menurut gw aneh, ada judul SENAM CERIA. Soalnya pasti yang ikutan senam ya ceria-ceria semua dong. Yang ikutan senam, meski nggak biasa senam dan bertampang jelek, ya pasti hatinya dalam kondisi nggak gundah gulana.

Eit! Tapi judul SENAM CERIA juga boleh diartikan "memperbaiki diri". Maksudnya, dengan ikut senam, segala persoalan bakal hilang sejenak. Dari wajah yang nge-bete-in, jadi ceria. Hati yang lagi nggak asyik, jadi senang gara-gara ikut-ikutan berlenggak-lenggok mengikuti Instruktur Senam. Ya, moga-moga yang dimaksud SENAM CERIA seperti ini. Soalnya lebih positif, edukatif, komunikatif, dan abdul latif (lho, kok nama orang dibawa-bawa ya?

Rabu, 08 Juli 2009

OH, J-CO! PLEASE DON'T LEAVE ME....

Entah kenapa tiba-tiba gw begitu berduka dengan kepergian Michael Jackson. Padahal gw bukanlah Penggemar pria yang akrab disapa Jacko ini. Memang sih, lagu Jacko banyak yang enak. Bahkan beberapa lagunya kerap menyinggung soal tema-tema kemanusiaan, perdamaian, cinta kasih, dan alam. Memang juga sih, Jacko itu udah mendapatkan julukan King of Pop.

“Tapi so what gitu lho?!”

Memang kalo Jacko dijuluki King of Pop, gw harus jadi fans-nya gitu? Kan enggak?! Memangnya kalo lagu-lagunya Jacko enak-enak, gw juga kudu mengkoleksi seluruh kaset, CD, plus poster-posternya gitu? Kan enggak?! Buat gw -sebelum Jacko meninggal- doi adalah mahkluk Tuhan yang paling nggak percaya diri. Lihat aja wajahnya! Kira-kira menurut loe berapa kali wajahnya dipermak? Dua kali? Tiga kali? Empat kali? Ah, lebih kali! Tapi dalam sebuah interview, Jacko mengaku mempermak wajah cuma dua kali. Itu pun yang dipermak hidungnya biar mendekati kemiripan dengan pujaan hatinya: Peter Pan.

“Maksud loe anggota Peter Pan yang bernama Ariel itu?”

“Bukan kali! Ariel mah wajahnya pasaran orang Bandung. Kebetulan aja di ngetop!”

“Ariel ganteng kalee! Kalo nggak ganteng mana mau Luna Maya jatuh cinta sama doi?”

“Ah, Luna Maya aja yang......”

Hush! Kenapa jadi ngomongin Ariel dan Luna Maya sih? Kita kan lagi ngomongin Jacko. Baiklah, kita kembali ke jalan yang benar ya, ngomongin Jacko the King of Pop. Jadi, Jacko itu memang manusia yang nggak punya rasa pede. Makanya gw nggak suka. Dia bukan sosok yang inspiratif.


Gw nggak sedang berusaha menjadi Michael Jackson dengan melakukan aski breakdance. I'm the one and only. Memang sih, gw lagi mempraktekkan kemampuan gw ber-head spin saat memberikan contoh anak-anak SMU di Padang. Maklum, dahulu kala kata teman-teman, gw jago breakdance alias tarian patah-patah. Mengingat usia gw udah nggak muda lagi, head spin nggak gw lakukan. Takut patah beneran leher gw.
Selain soal permak-permak wajah, Jacko juga punya catatan kriminal yang nggak sedap, yakni pedofil. Gokil nggak sih orang sekaliber Jacko kerjaannya melakukan tindakan asusila terhadap anak-anak? Ini kan nggak bener! Sekali lagi doi bukan sosok yang menjadi tauladan. Berbeda banget dengan kata-kata yang selalu mewarnai dalam tiap lirik lagu-lagunya, yakni soal cinta kasih.

“Pedofilia itu bagian dari cinta kasih bukan?”

“Cinta kasih mengerayangi tubuh anak-anak kecil maksud loe?”

“Emang pedofilia sampai menggerayangi tubuh?”

“Nggak tahu juga sih! Nanti deh gw ceritain kalo gw jadi pedofil ya?”

“Najis!”

Aneka keburukan Jacko membuat gw nggak begitu nge-fans. Gw cuma menikmati lagu-lagunya. Itu pun kalo kebetulan lagunya ada yang membuat hati gw terpincut. Kayak lagu Heal the World misalnya. Itu lagu buat gw dahsyat banget. Bukan cuma iramanya, liriknya pun gokil abis. Mengajak kita “menyembuhkan” dunia ini yang udah kadung “rusak” akibat ulah manusia. Dimana kita juga diajak peduli pada sesama manusia yang kebetulan kurang beruntung.

Heal the world
make it better place
For you and for and the entire human race
There are people dying
If you care enough for the living
Make a batter place for you and for me

Namun sungguh aneh tapi nyata. Ketika Jacko meninggal pada 25 Juni lalu, ketidaksukaan gw berubah. Gw mulai simpatik dengan doi. Makin simpatik lagi ketika liputan-liputan mengenai dirinya ditayangkan terus menerus di televisi dalam negeri maupun luar negeri. Yang makin gw merinding, ketika anak kedua Jacko, Paris Michael memberikan statement di atas panggung Staples Canter saat upacara pemakaman King of Pop itu.

I just want to say that ever since I was born, my Daddy was the best Father that you could imagine. I love him so much”.

Kata-kata Paris membuat gw merinding dan hampir nangis. Lebel buruk yang udah terlanjur diumpatkan sebagian orang terhadap Jacko sebagai pedofil, jadi hilang. Gw bahkan berpikir, lebel pedofil cuma buat menginjak-injak popularitas. Makanya ketika Jacko mendapatkan musibah itu -sempat diadili segala- populitasnya turun drastis. Hidupnya hancur lebur dan bahkan sempat dikabarkan bangkrut.

Gw lebih percaya kata-kata anaknya daripada masyarakat. Kata-kata Paris bukan bualan. Bukan omong kosong. Bukan rekayasa. Itu kata-kata jujur yang diungkapkan oleh anak King of Pop. Itu pula yang membuat gw merasa kehilangan Jacko. Gw merasa menyia-nyiakan hidup gw, karena nggak sayang sama Jacko. Terlepas dari kekurangannya sebagai manusia, ternyata dia adalah Ayah yang luar biasa. Gw yakin seyakin-yakinnya, dewasa ini jarang ada anak yang mengatakan “best father that you could image”. Kalo bukan benar-benar Ayah yang mengasihi anak-anaknya, nggak mungkin statement itu diucapkan anak.

“Jacko! Please don’t leave me!”

Itulah yang gw bisa ucapkan ketika harus melepaskan kepergian Jacko. Meski nggak bisa ikutan dengan 11 ribu Penggemar yang mendapatkan tiket gratis menyaksikan upacara pemakaman Jacko di Staples Center, Los Angeles kemarin (7/7), gw tetap merasakan kesedihan ditinggal Jacko. Meski upacara pemakanan yang diliput oleh puluhan televisi dalam dan luar negeri itu sangat entertaining ketimbang suasana duka, gw tetap merasakan apa yang Paris rasakan. Jacko ternyata Ayah yang baik. Dia ternyata menginspirasikan gw akan suatu hal. Bahwa biarlah orang-orang melebelkan buruk soal diri kita, toh mereka nggak tahu siapa diri kita sesungguhnya. Mereka cuma tahu, sepenggal diri kita dari puluhan juta hal yang kita udah lakukan buat keluarga. Yang penting apa yang kita lakukan nggak melenceng dari norma-norma sosial dan agama. Nggak korupsi, manipulasi, dan makan terasi. Yang penting, anak-anak dan seluruh keluarga kita menyayangi kita dengan tulus. Bukankah ada pepatah: anjing menggonggong khafilah berlalu?


Manusia-manusia ini lagi ngantri. Bukan mau minta tanda tangan atau melihat mayat Jacko. Tapi lagi kelaparan dan ngantri J-CO.
“Gw juga merasa kehilangan nafsu kalo nggak ada Jacko...”

“Maksud loe apa sih, gw nggak mudeng?!”

“Kalo gw kebetulan udah lama ngefans sama Jacko. Soalnya Jacko itu enak sih rasanya. Manis dan ada beberapa jenis donat pula...”

“Donat?!”

“Iya, donat. Memangnya elo belum pernah merasakan donat Jacko?”

“Itu mah J-Co kalee!”

“Emang J-Co. Lha, memangnya gw bilang apa?”

“Jacko!”

“Ah, salah sedikit doang aja kok marah...”

“Ya beda lah! Yang satu dibuatnya dari tepung, yang satu lagi dibuatnya dari tanah...”

“Mana enak donat dibuat dari tanah? Yang ada kalo mau buat donat, bahannya dari tepung aja...”

“Susah deh kalo ngomong sama ember plastik! Bocor terus!”

“Oh J-Co, please don’t leave me! Gw laper berat, nih!”

all photos copyright by Jaya

Senin, 06 Juli 2009

KEMISKINAN DI RUANG PAMER MUSEUM

Anak-anak kecil itu serius sekali di depan sebuah ruang pamer di sebuah museum. Mereka dari rombongan TK sebuah sekolah terheran-heran dengan apa yang mereka lihat. Sementara Guru mereka dan seorang Pemandu dari museum itu saling berpandangan. Mereka tersenyum getir melihat anak-anak kecil yang masih tak percaya dengan diorama yang ada di dalam kaca. Diorama zaman kemiskinan.

“Apakah zaman ini benar-benar ada Bu Guru?” tanya murid A.

“Bagaimana zaman seburuk itu bisa terjadi dalam waktu lama Pak Pemandu?” tanya murid B.

“Tidak adakah orang yang mau membantu orang-orang miskin itu Bu Guru?” tanya murid C.

Ketiga pertanyaan itu sulit dijawab sang Guru maupun Pemandu. Masalahnya begitu kompleks. Memang, seharusnya sebagai Guru atau Pemandu bisa menjelaskan secara detail apa yang terlihat di diorama. Dimana terdapat beberapa patung-patung kecil yang menggambarkan orang-orang miskin yang sedang mengantri minyak tanah, mengemis di perempatan jalan raya, memberi makan anak dengan nasi kering, Pemulung sedang mengais-ngais sampah di gundukkan sampah, anak-anak kecil tanpa alas kaki yang sedang belajar di sekolah yang hampir ambruk, dan aneka pemandangan nggak mengenakan lain.

Anak-anak TK yang sedang mengadakan kunjungan ke museum itu sama sekali buta dengan zaman kemiskinan. Mereka bukan anak-anak orang kaya yang sombong dan bukan pula murid yang bersekolah di sekolah dengan bayaran masuk Rp 30 juta. Sekolah TK mereka biasa aja. Uang masuk TK-nya gratis, begitu pula bayaran per bulannya, nggak dikenakan biaya sepersen pun. Mereka nggak termasuk 5,0% anak balita yang nggak bisa sekolah yang sempat tercatat di data tahun 2009.

Pemerintah memang udah lama menerapkan sekolah yang benar-benar gratis. Bukan cuma kamuflase sekolah gratis di tahun 2009. Udah ada dana BOS (bantuan operasional sekolah) dari Pemerintah, tapi tetap ada sekolah yang memungut biaya dari murid-muridnya. Mereka masih saja diminta membayar duit Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku pelajaran sebesar rata-rata Rp 98,050 di tahun 2006. Lalu 1.208 orangtua siswa dipungut uang pendaftaran sekolah sebesar Rp 70.615 dan 1.180 orangtua siswa diminta uang gedung sebesar Rp 65.289 selama 2006. Padahal dari dana RAPBN tahun 2009, Pemerintah menganggarkan uang pendidikan senilai Rp 207,41 triliun, dimana dari dana segede itu seorang siswa SD di Kabupaten berhak mendapat Rp 397 ribu/ siswa/ tahun dan siswa SD di perkotaan Rp 400 ribu/ siswa/ tahun. Tapi masih aja ada kebocoran dana BOS. Masih aja ada dana BOS senilai 21.801.030.000 yang belum dilaporkan ke Pemerintah.


Ini sebuah lukisan tembok atau biasa disebut mural yang dibuat mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, dimana memprotes realita yang terjadi soal pendidikan di tanah air.
“Jadi anak-anak kecil itu nggak bisa sekolah ya Bu Guru?” tanya murid B.

“Gara-gara Papa-Mama-nya nggak punya uang?” tanya murid A.

Guru mengangguk.

Anak-anak TK itu berasal dari keluarga menengah ke bawah. Keluarga dimana pekerjaan orangtua-orangtua mereka mayoritas Pegawai yang digaji bulanan. Dimana dahulu orangtua-orangtua mereka berjuang mencari uang buat survive. Itulah mengapa, meski kelas menengah-bawah, pada generasi ini, anak-anak TK ini nggak mengerti sama sekali soal kemiskinan. Mereka nggak mengalami masa serbakekurangan. Hidup mereka udah jauh dari lingkungan kumuh, gang-gang sempit, anak-anak kecil menjerit kelaparan, atau Gelandangan yang mati di trotoar jalan.

Mereka cuma bisa melihat data-data kemiskinan yang ada di samping diorama itu. Ada data bulan Maret 2006, dimana penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 39,05 juta jiwa atau 17,75%. Bahkan di tahun sebelumnya, Februari 2005, ada data yang menyatakan penduduk yang hampir miskin berjumlah 30,29%.

Pemerintah kemudian mensurvei lagi tingkat kemiskinan di tahun 2007. Menurut data yang ada di samping diorama di museum kemiskinan itu, tercatat penduduk miskin di bulan Maret 2007 berjumlah 37,17 juta jiwa (16,58%). Selama periode Maret 2006-Maret 2007, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan turun 1,2 juta jiwa. Sementara di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta jiwa.

Data terakhir yang ada di diorama itu menunjukan tingkat kemiskinan di tahun 2008. Bahwa penduduk miskin pada periode Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58%) itu turun menjadi 2,21 juta orang. Kalo di daerah pedesaan berkurang 1,42 juta jiwa, di daerah perkotaan turun menjadi o,79 juta jiwa dari angka sebelumnya 0,93 juta jiwa.

“Ayo anak-anak kita jalan lagi,” ajak sang Guru. “Kita jangan lama-lama berdiri di diorama kemiskinan ini. Bikin memori Ibu kembali ke alam kemiskinan...”

“Lho, mengapa?” tanya murid X.

“Kemiskinan itu seksi, lho, Bu!” ujar murid Y.

Bu Guru dan Pemandu museum kaget. Tahu-tahunya anak TK bilang kemiskinan itu seksi. Mereka nggak nyangka, anak kecil zaman ini ngerti, bahwa zaman kemiskinan itu memang “seksi”. Nggak ada komoditas paling seksi selain kemiskinan. Zaman itu, kemiskinan menjadi bahan memancing iba. Capres-Capres merangkul para Pemilih lewat isu kemiskinan. Media eletronik mengangkat program televisi ber-genre reality show berkonsep kemiskinan dan ratingnya pun menawan. Yang nggak kalah seru, zaman itu beberapa Pemandu Wisata banyak yang membuat paket tur buat Turis Asing yang mempertontonkan kemiskinan dari dekat. Maklum, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN), jumlah orang miskin tahun 2009 meningkat menjadi 33,7 juta jiwa atau 14% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini cuma menurun sedikit dibanding data penduduk miskin sebelas tahun sebelumnya (tahun 1998), yakni sebanyak 49,5 juta jiwa.

“Masih banyak diorama yang bisa kita lihat di museum ini, lho, anak-anak,” ajak Pemandu Wisata.

“Tapi aku senang melihat kemiskinan Pak,” ungkap murid D.

“Lho, kenapa kamu suka?” Pemandu Wisata heran. Kok bisa-bisanya kemiskinan disukai? Dimana-mana orang ingin menjadi kaya, lepas dari kemiskinan. Ini anak bodoh atau tolol sih?

“Aku senang karena aku bisa mempraktekkan rasa sosialku pada orang-orang miskin ini,” murid D memberikan alasan. “Dengan begitu, pahalaku jadi banyak. Tuhan pasti jadi sayang aku. Dan aku akan masuk surga kalo aku meninggal nanti.”

“Aku juga heran, kenapa sekarang nggak ada orang-orang miskin seperti mereka sih, Bu?” tanya murid G yang juga sama cerdasnya dengan murid D. “Bukankah Tuhan sengaja menciptakan orang miskin dan orang kaya? Agar orang kaya bersyukur nggak menjadi orang miskin dan orang miskin termotivasi untuk menjadi orang kaya. Nah, kalo sekarang nggak ada orang miskin, Tuhan udah nggak adil lagi dong, Bu?”


Ini kondisi miskin di bantaran kali Jatinegara. Mereka nggak punya duit buat pindah. Nggak heran kalo tiap tahun mereka pasrah dengan bencana banjir.
Bu Guru dan Pemandu museum diam. Mereka sekali lagi nggak menyangka anak-anak TK udah punya pertanyaan dan pendapat luar biasa, yang sebetulnya dahulu cuma dipertanyakan oleh orang-orang dewasa. Ah, barangkali anak-anak zaman ini tua sebelum waktunya.

“Anak-anak, mari kita lihat diorama Pak Yunus,” ajak Pemandu, mencoba mengalihkan pembicaraan anak-anak tadi. Maklum, baik Pemandu maupun Bu Guru nggak tahu harus menjawab apa atas serangkaian pertanyaan dari anak-anak TK itu. Terlalu sulit!

“Inilah patung Pak Yunus!”

“Siapa Pak Yunus? Kayaknya nggak ngetop deh!”

Bu Guru dan Pemandu tersenyum. Mereka nggak nyangka, ada seorang Bankir yang murah hati yang luput dari pengetahuan anak-anak TK ini. Padahal, Muhammad Yunus (69 tahun) lah salah seorang Pejuang yang menghapus kemiskinan. Pria asal Bangladesh ini nggak lain adalah Pendiri sebuah bank bernama Grameen Bank. Bank yang memberikan pinjaman bagi orang-orang miskin di Bangladesh.

“Diorama kemiskinan yang sebelumnya anak-anak lihat, itu adalah mimpi Bapak Yunus yang menjadi kenyataan,” ujar Pemandu.

“Memangnya mimpi Pak Yunus itu apa?”

“Mimpi melihat tidak ada lagi kemiskinan. Mimpi kemiskinan dan kelaparan nggak ada lagi. Mimpi kalian semua cuma bisa melihat kemiskinan di museum seperti ini...”

“Luar biasa bukan?” Ibu Guru mencoba berinteraksi pada anak-anak TK. Tapi nampaknya anak-anak tetap nggak terpengaruh. Bukan nggak mengapresiasi ajakan sang Guru. Namun anak-anak ini masih nggak percaya tetang sebuah zaman dimana adanya kemiskinan.

“Aku masih nggak percaya kalo kemiskinan itu benar-benar ada!” kata murid G.

“Aku juga nggak percaya Pak Yunus itu manusia beneran atau manusia bohong-bohongan,” tambah murid X.

Pemandu berusaha meyakinkan anak-anak TK itu, bahwa yang namanya Muhammad Yunus itu adalah manusia sunguhan. Mimpinya memang ingin menghilangkan kemiskinan di dunia ini pada zaman itu. Cikal bakalnya menolong orang miskin adalah ketika beliau memberikan pinjaman uang pada seorang Ibu di Chittagong pada tahun 1974 sebesar 27 dolar AS atau senilai Rp 278.748. Ibu itu adalah seorang Pengrajin bambu yang terlilit hutang di lintah darat.

“Lewat Grameen Bank, sedikit demi sedikit Pak Yunus berhasil mengangkat orang-orang miskin lepas dari kemiskinan,” ujar Pemandu. “Gara-gara berhasil mengahapus kemiskinan, Pak Yunus dianugerahkan Nobel Perdamaian pada tahun 2006.”

“Luar biasa kan anak-anak?” tanya Ibu Guru lagi, mencoba mengajak berinteraksi untuk kedua kalinya.

“Maaf Bu Guru, kami tetap nggak percaya ada kemiskinan!” teriak murid A.

“Saya juga!”

“Saya juga!”

“Kami semua nggak percaya!”

“Ibu Guru bohong!”

Bu Guru dan Pemandu saling bertatap-tatapan. Mereka nggak menyangka perjalanan ke museum kemiskinan ini jadi heboh. Jadi membuat pencitraan Bu Guru tercorang moreng. Jadi membuat Pemandu juga ikut-ikutan berkolaborasi melakukan tindakan bohong ke anak-anak TK. Padahal mereka menjelaskan apa adanya.


Kontradiksi antara si kaya dan miskin di zaman kemiskinan begitu terasa. Yang kaya cuma 10% dari penduduk Indonesia. Kalo bisa jadi kaya, orang-orangnya itu-itu aja. Kalo nggak saudaranya Pejabat, Pengusaha, Keponakan, Sepupu, Ipar, dan lingkaran yang itu-itu juga. Mereka yang nggak berada di lingkaran itu, ya wasalam!
“Baiklah anak-anak. Kalo kalian nggak percaya, ada satu mesin waktu di museum ini yang akan membawa anak-anak ke zaman keemasan kemismiskinan. Bukan begitu Pak Pemandu?” tanya Ibu Guru.

“Benar Bu,” jawab Pemandu. “Semoga anak-anak akan meyakini bahwa kemiskinan memang benar-benar ada. Zaman dimana Pemerintah nggak bisa lagi berbohong soal angka kemiskinan. Zaman dimana ada Pengemis di perempatan jalan, Gelandangan yang tidur di emperan, anak-anak yang nggak bisa sekolah, dan Capres-Capres yang berorasi soal kemiskinan...”

Pemandu dan Ibu Guru kemudian menggiring anak-anak TK ke sebuah ruang, dimana ruang tersebut terdapat sebuah kotak besar. Di depan kotak itu tertulis: MESIN WAKTU ZAMAN MISKIN. Sebenarnya, Pemandu nggak boleh mengajak masuk orang ke mesin waktu itu. Sebab, pihak museum melarang. Pihak museum yang diwakilkan oleh Pimpinan museum udah komit, zaman kemiskinan nggak boleh diperlihatkan lagi. Kemiskinan cuma boleh diperlihatkan di diorama museum. Namun, Pemandu museum nekad. Kenekadannya lebih karena penjelasn-penjelasannya soal kemiskinan yang dipertanyaan anak-anak. Dimana citranya bisa hancur gara-gara dilebelkan sebagai Pembohong.

“Anak-anak sudah siap?”

“Sudaaaaaaaaaaaahhh!!!!” teriak seluruh anak.

“Baik! Bapak akan hitung mundur ya?”

“Siaaaaaaaaaaaaapppp!!!!” teriak anak-anak lagi.

“Satu! Dua! Tiiiiiiiii.......ga!”

Sang Pemandu pun memencet tombol berwarna merah itu dan mesin waktu pun bekerja. Kotak mesin berputar-putar dengan cepat. Dalam hitungan detik anak-anak TK mengilang. Cling! Moga-moga mereka kini sedang berada di zaman keemasan kemiskinan. Boleh jadi mereka menikmati, barangkali justru menyesal. Ah, biarlah! Yang penting rasa penasaran mereka udah terobati.

all photos copyright by Jaya

SO WHAT GITU LHO?!

Tiba-tiba birahi Robert muncul. Sekuat-kuatnya fisik, kalo udah masalah birahi, pria berperawakan gede ini nggak tahan juga. Raganya yang segede Ade Rai ini tiba-tiba nggak berdaya. Jiwanya melemah. Memang, antara jiwa dan raga totally diffrent. Body dan birahi itu beda. Artinya, body gede nggak ngaruh sama sekali kalo birahi udah muncul.

“Bolehkah aku memperkosa dirinya wahai Tuhanku?”

Nggak ada jawaban. Tuhan mendengar, tapi nggak bisa menjawab dengan suara. Kalo Tuhan menjawab pertanyaan Robert, jelas-jelas identitas Tuhan akan diketahui oleh Robert dan kemudian akan tersiar ke seluruh umat. Kalo suara Tuhan kayak suara Michael Jordan, maka Tuhan pasti berjenis kelamin pria. Sedang kalo suara Tuhan kayak Krisdayanti, maka Tuhan pasti berwujud wanita.

“Bolehkah aku memegang-megang payudaranya wahai Tuhanku?”

Sekali lagi Tuhan nggak mengeluarkan kata-kata walau sedikitpun. Sehingga Robert nggak memperoleh jawaban yang dia idam-idamkan. Yap! Dia memang ingin sekali Tuhan segera memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Robert udah nggak tahan. Dirinya benar-benar nggak bisa menahan gejolak birahinya yang menggendor-gedor otaknya.

“Bolehkah aku memelintir puting susunya yang sebesar biji kelereng itu wahai Tuhanku?”

Pertanyaan ketiga ini tetap nggak dijawab Tuhan. Kalo pun Tuhan bisa mengeluarkan kata-kata, rasa-rasanya Tuhan nggak akan menjawab pertanyaan ketiga tadi. Kenapa? Pertanyaan Robert udah terlalu jorok. Mengarah ke pertanyaan yang sangat pornografi. Lebih parah dari pertanyaan kedua. Masa Tuhan menjawab pertanyaan kedua dan ketiga? Nanti Tuhan akan terkena Undang-Undang Antipornografi.

“Baiklah kalo menurutmu pertanyaanku terlalu jorok atau porno...”


Mau dekat keranjang sampah kek, so what gitu lho? Sing penting bisa tidur pulas dan nggak ada yang ngegangguin. Ya, paling-paling bau-bau sampah sedikit lumrah lah, wong badan orang yang tidur ini juga bau sampah. Nggak sempat mandi tujuh hari!

Tuhan bingung, kenapa Robert bisa membaca pikiran Tuhan? Dari mana dia tahu kalo Tuhan merasa pertanyaan-pertanyaan Robert terlalu jorok atau porno. Gokil! Jangan-jangan Robert itu Paranormal? Kalo bukan Paranormal, jangan-jangan Robert mendapatkan jawaban dari seorang Joki yang biasa menjadi Perantara antara Tuhan dan Manusia.

Sejak kapan ada Joki yang bisa menjadi Mediator antara Tuhan dengan Manusia? Gawat! Berbicara ke Tuhan kok pake Joki segala? Keterlaluan! Ternyata Joki nggak cuma ada di kawasan 3 in 1. Ternyata Joki nggak cuma ada di Universitas-Universitas. Joki juga nggak cuma ada di sekolah-sekolah atau di kantor-kantor Pegawai Negeri. Joki sekarang juga ada di dunia, di sekitar kita.

“Jangan kira aku nggak bisa mendengar kamu bicara apa wahai Tuhan. Jangan kira aku bodoh nggak bisa membaca pikiranmu Tuhan. Salah sendiri kenapa kamu menciptakanku sebagai mahkluk paling sempurna? Dengan kesempurnaanku ini jelas aku bisa mengetahui pikiranmu dan mendengarkan bisik-bisik suaramu Tuhan....”

Waduh! Sok tahu sekali Robert ini. Sombong sekali pria tambur ini. Pantas saja dia sombong, wong udah berkali-kali diberikan penyakit, tetap aja nggak kapok-kapok berbuat dosa. Udah diberikan berkali-kali cobaan -tertabrak mobil, tertipu ratusan juta, temannya tewas ditusuk Perampok, pesawat terbang yang ditumpangi meledak, dan lain-lain- namun dia tetap cuek dengan kesombongannya, kecongkakkannya.

“Kayaknya aku nggak perlu lagi minta izin untuk memperkosa gadis sexy itu. Gadis yang mengenakan tank top dan hotpants itu sungguh sangat mengundang birahiku. Aku nggak tahan. Nggak kuasa menahan hasrat buat memperkosanya. Salahkah aku?”

“Kamu nggak salah wahai Robert!”

Robert kaget bukan kepalang mendengar suara itu. Suara yang menjawab pertanyaannya. Suara siapakah gerangan? Mungkinkah suara Tuhan? Kenapa tiba-tiba Tuhan bersuara? Seharusnya Tuhan kan nggak bersuara?

“Kamu boleh memperkosa sesuka hatimu. Itu hakmu. Hak birahimu. Apa yang kamu lakukan bukan sepenuhnya salahmu, tapi mereka juga bersalah....”

“Mereka?”

“Iya mereka. Wanita-wanita yang nggak tahu malu itu. Wanita-wanita yang mengenakan pakaian setengah telanjang di hadapan banyak orang. Wanita-wanita yang mengenakan wardrobe di public area dan memberikan contoh buruk pada anak-anak kecil yang ada di situ....”

“Kata mereka itu mode Tuhan...”

“Aku bukan Tuhan!!!”

Robert kaget dibentak kayak gitu.

“Oh, maaf...maaf. Aku salah melebelkan siapa kamu. Ternyata kamu bukan Tuhan. Yasudah kalo begitu Hantu...”

“Terima kasih...”

“Bagaimana lanjutannya?”


Nggak peduli pake jilbab, mereka malam-malam pacaran. Mending pacarannya biasa-biasa aja, yang gw lihat mereka pegangan tangan dan peluk-pelukan. Percaya deh! Mereka itu belum married dan gaya pacaran mereka itu layaknya suami-istri. Tahu nggak sih kalo jilbab itu artinya cuma boleh bersentyuhan dengan Muhrim-nya? "So what gitu lho!" Itu yang terjadi dengan para Jilbaber (sebutan mereka yang berjilbab) yang masih muda-muda dan belum married.

“Memang benar kata kamu, apa yang mereka lakukan adalah sebuah mode. Tapi apakah mode harus kayak begitu? Mengenakan tank top yang mengumbar bulatan payudara atau garis yang memisahkan payudara A yang ada di sebelah kiri dan payudara B yang ada di sebelah kanan? Apakah mode boleh dengan sengaja mempertontonkan tali bra yang sebelumnya sangat risih buat diketahui oleh khalayak ramai? Apakah trend juga harus selalu memperlihatkan paha mulus plus bulatan pantat yang menyembul dari hotpants? Aku rasa nggak begitu...”

“Mereka punya hak. Ini negara bebas merdeka. Nggak ada Undang-Undang yang melarang mereka mengenakan pakaian yang kata kamu itu setengah telanjang...”

“Memang!”

“Kalo begitu so what gitu, lho?!”

So what katamu?”

“Iya, so what?!”

“Kalo begitu, kalo kamu ingin memperkosa mereka, go head! Because so what gitu, lho?! Mereka toh udah tahu risiko memakai pakaian yang mengundang birahi, bukan? Tank top dan hotpants itu. Kalo mereka nggak faham ada hak orang lain di balik kebebasan mereka, ya so what gitu, lho?! Kalo mereka nggak faham kalo negara ini bukan negara liberal yang bisa seenak udel memakai pakaian setengah telanjang yang bisa merusak jati diri bangsa, ya so what gitu, lho?! Silahkan kamu perkosa mereka lah....”

Thanks Tuhanku, eh salah maaf Hantuku....”

You’re welcome my friend Robert!”

Walhasil, Robert berhasil memperkosa beberapa orang. Selidik punya selidik, yang diperkosa adalah berjenis kelamin Pria. Rupanya Robert memang punya kelainan jiwa. Udah diberikan kenikmatan sebagai pria, bukannya menyukai wanita, malah menyukai sesama jenis. Ini mirip kayak kisah di zaman Nabi Luth, dimana terdapat budaya menyalurkan kebutuhan biologis kepada sesama jenis. Sementara wanita-wanita yang seharusnya menjadi pasangan, mereka tinggalkan. Kacau! Edan! Bahlul! Kok jeruk makan jeruk sih?

all photos copyright by Jaya

AKU BANGGA, MESKI AYAHKU KORUPTOR

Kata orang hidup adalah pilihan. Awalnya aku tak percaya kata-kata itu. Sebelum akhirnya membuktikan kebenarannya. Kebenaran tentang hidup yang ternyata bukanlah sebuah pilihan. Kenapa? karena kita sudah dipilih atau terpilih menjadi seseorang. Seperti aku ini, yang terlahir sebagai anak seorang Koruptor.

Sejak kecil, aku diperlakukan seperti anak Raja. Semua yang aku butuhkan, selalu disediakan oleh Kacung-Kacung bergaji murah. Satujuta rupiah sebulan termasuk murah bukan? Murah dengkulmu anjlog! Ya, harga segitu buat keluargaku tidak ada apa-apanya kale! Whatever lah! Yang pasti, dengan gaji segitu mereka -kacung-kacung itu- selalu siap dengan perintahku. Ketika aku lapar, hidangan mewah selalu tersedia di meja bundar, yang terbuat dari kayu jati itu. Mulai dari ayam ala Kentucky sampai babi panggang. Ketika aku haus, minuman aneka rupa dan aneka rasa, berjajar di mini bar yang ada di ruang tengah.

”Yusril!” teriakku memanggil nama seorang Kepala Kacung yang namanya mengingatkaku pada nama seorang mantan Menteri.

”Dalem, Den,” sambut Yusril sambil berlari kecil ke arahku.

Begitu jarak kami tiga meter, Yusril langsung merendahkan badannya dan memberi hormat padaku. Sebuah hormat ala Jepang. Setelah memberi hormat, ia merangkak, mendekat ke arahku. Apa yang dilakukan Yusril, memang sudah menjadi adat istiadat keluargaku sejak dahulu kala. Itulah cara Yusril dan Kacung-Kacungku yang lain dalam mengohormati kami. Persis seperti Abdi Dalem kala menghadap paduka Raja.


Aku bangga anakku rajin sholat dan pandai mengaji.

Aku dan keluarga memang harus menjaga jarak dengan para Kacung. Mengertilah wahai teman-temanku, strata kami berbeda. Kami ini jauh tinggi di langit, sedang mereka jauh berada di bawah bumi. Kami juga diajari untuk selalu dilayani bukan melayani. Jadi jangan heran kalo istilah ”melayani” sangat langka dalam kehidupan kami. Melayani cukup dilakukan oleh Kacung. Tak ada istilah dalam lingkungan keluargaku.

Bukan cuma makan dan minum yang harus dilayani oleh Kacung-Kacung. Ketika aku ingin pup, seorang Kacung dengan sigap menyiapkan tangannya untuk menceboki pantat kami yang ada bekas kotoran. Ketika kami ingin ML, Kacung kami juga ready to search wanita-wanita yang siap untuk kami ML-kan. Termasuk menyediakan kondom-kondom aneka rupa. Ada yang rasa cokelat, stawbarry, durian, mangga, pisang, jambu, sate padang, nasi gila, roti bakar edi, dan rasa-rasa lain.

Maybe I was a bit spoiled. I made it because the circumstance that my Father used to do”.

Kelihatannya keluarga kami memang aneh. Kelihatannya apa yang kami kerjakan menyalahi formalitas yang berlaku di masyarakat. Namun itulah kebiasaan kami. Kebiasaan yang sudah menjadi sebuah format kewajaran. Oh iya, bicara soal kewajaran, buat orangtua kami, apa yang dianggap tidak wajar oleh banyak orang, justru menjadi hal yang lumrah. Misalnya, menitip fee dari pemenang tender, memberi izin Pengusaha-Pengusaha yang menebang kayu tanpa lewat prosedur, menyelundupkan hewan-hewan yang dilindungi, dan masih banyak lagi.

Beberapa kali, aku sempat mendengar Ayahku berbicara dengan Adrian Kiki Ariawan. Kenal dong siapa pria ini? Dia buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tempo hari ditangkap oleh pemerintah Australia atas kerjasama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia adalah salah satu orang berdarah dingin yang membuat Pemerintah jadi kehilangan uang. Padahal uang itu bisa dipergunakan untuk banyak hal, termasuk menyekolahkan anak-anak putus sekolah, atau memberi makan keluarga-keluarga kelaparan.


Aku bangga anakku pintar dan kreatif.

Ayahku juga sempat terlibat pembicaraan dengan tujuh Kepala Yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) soal dana Rp 1,4 triliun. Ayahku juga tahu soal korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu yang berhasil merugikan negara senilai US $ 24.8 juta. Ayahku pun tahu penyimpangan penyaluran dana BLBI senilai Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun serta penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Last but not least, Ayahku sempat berhubungan dengan Joko S. Tjandra sebelum kabur.

Pembicaraan Ayahku dengan para Koruptor itu kencang sekali. Hampir seisi rumah mendengar. Padahal pembicaraan itu sangat sensitif yang sebenarnya aku tak perlu mendengarkannya. Yang sebenarnya sangat-sangat mengajarkan hal-hal negatif. Tapi Ayahku cuek. Ayahku tak peduli apakah aku nantinya akan mengikuti jejaknya atau malah menjadi Pembelot. Bayangkan, apakah wajar seorang Ayah bicara soal sogok-menyogot, tipu-menipu, bahkan bunuh-membunuh didengar oleh anak seperti diriku yang keren ini. Namun, sekali lagi, hal seperti ini sudah lumrah, sudah wajar di keluarga kami.

Mungkin Anda pikir, aku beruntung memiliki kehidupan yang luar biasa. Kehidupan yang semua manusia ingin mendapatkannya. Kehidupan yang selalu dibayangkan oleh banyak orang, dimana orang-orang ini terus mengejarnya dengan cara berkompetisi. Mungkin perasaan Anda, aku tak akan pernah merasakan kepedihan dalam mengarungi kehidupan sesungguhnya. Tak pernah ada tangis. Tak pernah ada kekecewaan. Semuanya happy. Boleh jadi benar!

Aku cukup beruntung. Ya, aku beruntung. Aku bersyukur dengan apa yang telah aku miliki, meski aku tahu harta ini didapat ini dari cara korupsi yang Ayahku selalu lakukan. Anda tak perlu tahu korupsi model apa yang sudah dilakukannya. Pokoknya aneka cara sudah dia lakukan. Dan aku tahu, Ayahku tidak akan pernah menyesal ataupun merasa bersalah, ketika apa orang yang mempertanyakan kehalalan semua harta benda tersebut.

”Ah tahu apa kalian tentang halal?” kata Ayahku suatu hari, ketika seorang Jurnalis bertanya soal asal usul pendapatannya.

”Halal itu relatif! Menurut Ulama haram, kalo menurut saya halal, Anda mau bilang apa?”

Jurnalis bingung.

”Kenapa yang mendapatkan cap halal haram selalu sesuatu yang nggak penting? Rokok, misalnya. Atau soal infotainment dan yoga yang juga dianggap haram. Terakhir soal Facebook yang juga dikatagorikan haram. Aya-aya wae! Kenapa semua minuman keras tidak dicap haram di botolnya? Kenapa rumah-rumah prostitusi tidak diberikan bilboard bertuliskan haram? Masih banyak contoh lagi yang tidak bisa jabarkan satu per satu. Intinya halal haram itu relatif”.

Jurnalis mengangguk. Bukan karena mengerti, tapi makin bingung.

”Lagipula Ulama-Ulama itu kan juga manusia. Mereka bisa membuat halal atau haram berdasarkan pesanan seseorang, kok! Asal ada duitnya....”

Aku memang cukup beruntung, tapi aku bosan. Aku bosan dengan kondisiku sekarang. Semua serba enak. Tak ada yang tak mungkin. Semua bisa dilakukuan oleh keluarga kami. Semuanya mudah aku dapatkan. Tinggal minta, pasti tersedia. Tinggal tunjuk, semua beres. Inilah yang membuatku merasa tak ada tantangan.

Yap! Tantangan! Itulah kata kunci. Sebagai pria, aku memang butuh itu, butuh tantangan, agar eksistensiku bisa terekspos. Bahwa aku adalah survivor! Mampu berdiri dengan segala kekurangan. Bukankah aku masih menjadi lelaki jantan?

”Ayah, mulai besok saya akan kabur dari rumah ini,” ucapku pada Ayah someday and somewhere.

Aku bingung, Ayahku tak shock. Dia tak memperlihatkan kekagetan dengan ucapanku itu. Responnya dingin-dingin saja. Kok bisa? Kok seorang Ayah yang selama ini aku bangga-banggakan ternyata tidak berusaha menahanku agar tidak pergi dari rumahku. Ayah yang selama ini mengasihiku, menyayangiku, dan memanjakanku dengan aneka materi, kok cuma bereaksi dingin atas permintaanku itu. Ketidakheranan Ayahku membuatku malah semakin menggebu untuk kabur dari rumahku.

”Kapan kamu mau keluar dari rumah ini?”

”Mulai besok Ayah,” jawabku masih dalam kondisi bingung dengan sikap Ayahku.

”Kenapa nggak sekarang saja?”

Pernyataanya Ayahku itu makin membuatku terpojok. Membuat aku marah. Sebab, aku merasa kaburnya aku seperti sudah dinanti-nantikan Ayahku. Kenapa begitu? Aku merasa tak dianggap. Aku jadi berpikir macam-macam. Jangan-jangan aku bukan anak kandungnya? Jangan-jangan kasih sayang Ayahku selama ini cuma basa-basi?

”Baik Ayah! Mulai hari ini saya keluar dari rumah ini!”

Aku kabur tanpa cium tangan. Tanpa cipika-cipiki. Kalian sudah tahu jawabannya. Itu karena aku merasa direndahkan oleh Ayahku. Karena aku merasa tak dianggap olehnya. Aku sakit hati. Kata Meggy Z, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Padahal yang namanya sakit, ya tetap aja sakit. Mau sakit gigi kek, sakit hati kek, ya tetap aja sakit. Tapi aku harus kuat. Harus tegar. Bukankah ini termasuk bagian dari ujian pertamaku sebagai manusia normal yang akan kulakukan di luar rumah? Ujian pertama dari anak Koruptor yang selama ini hidup di comfort zone?

”What am I supposed to do?”

Aku belum pernah merasakan keadaan yang menyedihkan ini. Menjadi orang miskin. Tak punya uang. Tidur di bawah kolong jembatan, kehujanan, dan tanpa uang sepersen pun. Aku juga belum pernah merasakan berdesak-desakan di kendaraan umum. Saling serobot tanpa atrean. Mencium keringat anekarasa di Metromini, di Mayasari Bakti. Belum pernah mencium udara kota besar yang sudah berpolusi dan berkeringat karena terkena sinar matahari.


Kini hembusan angin menusuk-nusuk dinding tubuhku. Hari ini hujan disertai oleh angin badai. Dingin sekali. Rasa dingin kini membuat perutku keroncongan. Aku lapar! Kenapa kok aku mulai lemah? Kenapa kok aku mulai mempertanyaakan kekuatanku menghadapi ujian-ujian ini? Padahal banyak orang yang sudah terbiasa dengan kondisi ini. Tak makan seharian. Berpanas-panasan di hujani terik matahari. Kehujanan. Lihatlah Pengemis-Pengemis itu! Mereka di jalanan tak peduli panas, hujan terus mengetuk-ngetukan kaca mobil. Tengoklah Pengamen-Pengamen cilik itu. Mereka tanpa lelah bernyanyi dari mobil ke mobil, meski tak setiap mobil memberikan uang recehan. Tapi kenapa aku kalah? Kalah dengan mereka!

”It is tough for me, because the circumstance want me to survive alone. I know I’m young that never do this way. Find money and the way to live”.

Ternyata aku bukan seorang suvivor. Ternyata aku pria yang mudah putus asa. Ternyata aku pria yang lebih suka dihormati atau dilayani layaknya Raja. Ternyata jauh lebih enak menjadi orang kaya dan hidup serba ada, seperti kehidupanku sebelumnya. Ngapain juga hidup bersama 34,96 juta orang miskin di tanah air ini? Najis! Dalam kondisi depresi seperti ini, aku kangen Ayahku. Aku juga kangen dengan Kacung-Kacungku. Kalau saja ada BlackBerry, akan kuhubungi Ayahku sekarang. Aku akan minta maaf dan mengatakan padanya:

”Ayahku yang kucinta, aku bangga punya orangtua seperti Ayah. I will always support what you do that, till dead do us part. Aku bangga pada Ayah, meski Ayah seorang Koruptor”.

all photos copyright by Jaya

Sabtu, 04 Juli 2009

SAUDARAKU SEBANGSA SETANAH AIR, IZINKAN GW PERGI KE WC...

Seperti pemilihan lalu, pagi ini Pak RT mengantarkan undangan. Sebuah kertas berjudul: SURAT PEMBERITAHUAN WAKTU DAN TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA. Di lembaran itu tertulis lengkap: nama pemilih, no DPT (daftar pemilih tetap), identitas pemilih, no TPS, dan tempat pemilihan.

Apakah gw harus jingkrak-jingkrak setelah mendapatkan surat undangan dari Pak RT gw yang berkumis tebal itu? Ah, kayak-kayaknya nggak perlu lah yau! Gw kan nggak harus mengikuti jejak mbah Jingkrak yang udah Nenek-Nenek masih jingkrak-jingkrak kayak anak muda, toh akhirnya mbak Jingkrak dikutuk jadi patung. Tapi kayak-kayaknya boleh juga jingkrak-jingkrak. Ya, hitung-hitung olahraga, cong!

“Hore! Gw masuk dalam DPT! Hore gw bisa pilih Presiden! Hore!!!”

Begitu bersemangatnya gw mendapat undangan pemilu Pilpres. Sampai-sampai lupa umur gw yang udah 80 tahun ini. Kok kayak anak kecil banget sih gw ajrut-ajrutan di kasur pegas. Nggak heran kalo nafas gw ngos-ngosan. Nggak biasa berlompat-lompatan 100 kali kayak anak kecil main trampolin. Yaiyalah! Terakhir kali gw lompat-lompatan sejak PKI diberantas oleh Presiden Soeharto tahun 1965.

Dalam masa ngos-ngosan, transisi dari nafas yang cepat menuju nafas normal, gw berpikir. Ngapain juga ya gw jingkrak-jingkrak? Ngapain juga ya gw ajrut-ajrutan buat memilih seorang Presiden yang belum tentu mengakomodasi seluruh atau nggak usah seluruh deh tapi 70% keinginan rakyat? Bego amat sih gw!


Inilah undangan DPT yang gw terima pagi ini. Undangan ini diantar langsung oleh Ketua RT kampung gw. Pada saat mengantar, doi menggunakan t-shirt warna merah kinclong kayak warna salah satu partai yang menggusung Capres di Pilpres ini. Moga-moga nggak ada maksud tersembunyi di balik kehadiran Ketua RT gw ini dengan t-shirt-nya itu. Bukankah Ketua RT kudu netral, supaya warganya bebas memilih siapa Capres yang layak jadi Presiden. Kira-kira siapa ya? Gw aja belum menentukan pilihan. Pusying! Pusying!

Sebagai intelektual muda, mantan aktivitas mahasiswa, profesional muda, dan Penjual kelapa muda, gw bertanya-tanya: bener nggak sih dari ketiga Capres ini salah satunya bakal menjadi Presiden yang membawa Indonesia menjadi negara mandiri? Mungkinkah seorang Pengusaha yang kemudian jadi Presiden bisa lepas dari conflict of interest dari kelompok usahannya? Mungkinkah Presiden yang dahulu udah sempat jadi Presiden akan memenuhi janji-janji politiknya, meski udah teken kontrak politik? Mungkinkah Presiden yang digosipkan sebagai pelanggar HAM akan menjadi Presiden pro-HAM? Mungkinkah Presiden yang antineoliberalis akan pro-Pengusaha yang notabene juga turut menggerakkan perekonomian dan membuka lahan pekerjaan? Atau mungkinkah Presiden yang jaim bisa tegas membangkitkan era pemberantasan korupsi di negeri yang udah mendapat cap Negara Terkorup di dunia era Antasari? Mungkinkah yang mengelak dikatakan penganut faham neoliberalis benar-benar akan pro rakyat?

Sebagai manusia beriman yang masih percaya pada agama, gw dibuat pusing tujuh keliling. Masih banyak lubang-lubang yang gw kudu pikirkan sebelum menentukan pilihan. Lubang yang terakhir soal kecurangan dalam DPT. Menurut Tim Kampanye Nasional (Timkamnas) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden M. Yusuf Kalla-Wiranto dan Timkamnas Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, ada sekitar 11,22 juta pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali. Ini gila! Ini crazy! Ini gokil! Ini juga menindikasikan kalo hasil Pilpres nanti bakal dianggap curang.

Pusying! Pusying! Terserah elo mau bilang gw tolol, bodoh, atau sejuta makian lain. Tapi gw punya prinsip, gw ini “subjek”. Yang namanya “subjek” itu kudu berpikir rasional dan tepat sasaran. “Subjek” nggak boleh berpikir emosional. Nah, sekarang-sekarang ini nggak jelas mana yang hitam mana yang putih. Mana yang benar-benar memenuhi syarat, mana yang memenuhi syarat buat membohongi 200 juta lebih penduduk Indonesia yang kita cintai ini.

Memenuhi syarat-syarat berbohong? Yap! Kampanye-kampanye hitam dari calon lawan belum tentu benar, belum tentu salah juga. Artikel-artikel di koran yang memuji habis-habisan atau sebaliknya mencaci maki gila-gilaan pasangan Capres-Cawapres, itu juga belum tentu benar dan perlu diselidiki juga. Jangan-jangan memang benar? Nah, lho! Inilah tugas gw sebagai “subjek” yang kudu berpikir secara rasional.

“Tolol banget sih loe! Hewan liar! Sejuta topan badai! Bahlul!”


Bendera SBY-Boediono yang berwarna-warni ini dimaksudkan agar warga negara tahu kalo no 2 itu nggak pandang latarbelakang partai politiknya. Mau warna kuning kek, merah kek, biru kek, sing penting bersatu padu. Kalo gw mah masih abu-abu. Tapi sayang, nggak ada bendera warna abu-abu yang mewakili gw.

Umpatan alias makian teman-teman gw, musuh-musuh gw, bersemi di kuping gw. Cuma minoritas yang memuji konsistensi gw buat tetap objektif. Objektif memilih Capres-Cawapres di tanggal 8 Juli 2009 besok. Nggak berdasarkan orangtua memilih no X. Nggak berdasarkan Bos gw yang menyarankan memilih pasangan no Y. Nggak juga memilih istri gw yang lebih memilih pasangan dengan nomor urut O. Gw tetap murni pilihan hati. Tanpa beban. Tanpa sogokan dari sebuah “serangan fajar” dari salah satu Timkamnas yang besok lusa bakal muncul di kampung gw. Ya, lumayanlah duaratusribu buat nonton di Blitz Megaplex. Tapi enggak! Enggaklah! Gw nggak butuh duit sogokan. This is about future, cong! Pemilu ini buat mementukan masa depan bangsa kita! Our President!

“Tapi siapa?! Siapa yang pantas jadi Presiden tahun 2009 ini?!”

Sekali lagi, sebagai “subjek”, gw harus bepikir keras. Mengajak otak ini melakukan exercise tentang siapa yang pantas gw pilih. Sebagai tempat berpikir, gw selalu punya tempat favorit, which is WC. Yes! Moga-moga, dari WC ini, pilihanan gw tepat. Presiden yang gw pilih akan menuntaskan 40 kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp 3,67 triliun dan US$ 26,37 juta. Presiden yang gw pilih akan mengurangi angka kemiskinan yang di bulan Maret 2008 ini masih berjumlah 34,96 juta (15,42%) ini. Presiden yang gw pilih nanti kudu bisa mencairkan aset Robert Tantular Cs senilai Rp 10,7 triliun dan 16,5 juta dolar US$ yang berada di Hong Kong dan Jersey (Eropa). Lumayan kan buat membayar hutang negara yang tiap tahun konon meningkat rata-rata Rp 80 triliun.

Dalam perenunggan di WC nanti, gw juga ingin Presiden yang gw pilih nanti kudu bisa menangkap Joko S. Tjandra yang bisa-bisanya kabur. Kalo perlu bung Joko ini dieksekusi hukuman mati (at least penjara seumur hidup lah) atau dipaksa buat bunuh diri kayak Presiden Korea. Last but not least, Presiden yang gw pilih nanti kudu membuat jalur khusus bike to work agar jumlah para Pengendara sepeda semakin banyak. Polusi udara di kota-kota besar udah gokil, cong! Menurut Petugas pengukur kualitas udara BPLHD DKI, tingkat pencemaran akibat CO (karbon monoksida) di weekdays 2-3 ppm, sementara kalo ada car free day (hari bebas berkendaraan) cuma 0,4 ppm. Sedangkan kadar nitrogen oksida turun menjadi 2 ppb. Padahal kalo lalu lintas macet bisa mencapai 20 ppb. Jauh kan bo?!

Nah, saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Izinkan gw sekarang pergi ke WC. Selain gara-gara perut udah sakit, gw kudu melakukan kontenplasi, memprakteksan sebagai “subjek” yang sesungguhnya.