Senin, 22 Desember 2008

MALAM PERTAMA OH BERJUTA RASANYA

Akhirnya Raj Kumar dan kekasihnya Kanti Devi menikah juga. Sebenarnya pernikahaan mereka bisa dibilang cukup telat, terutama buat Devi. Maklum usia mereka sudah hampir kepala tiga. Bahkan Devi sendiri sudah mendapat julukan yang tak menyenangkan: Perawan Tua!

Lain dengan teman-teman Kumar atau Devi. Banyak yang sudah menikah. Usia pernikahan mereka pun sudah lama, ada yang anaknya sudah hampir masuk SMP, salah satunya Kedar Prasad, bahkan ada yang sudah kawin-cerai sampai 3 kali persis Dessy Ratnasari dan Ulfa Dwiyanti. Sedangkan Kumar dan Devi, baru memutuskan married setelah mereka memang terpaksa harus married. Jangan salah duga! Mereka bukan karena MBA alias married by accident, bukan pula pula dijodohin orangtua. Namun alasannya simple dan terkesan norak: mereka sudah bosan berdua-duaan tanpa status yang jelas.

Akhirnya Kumar dan Devi married juga. Dan malam ini mereka akan menjalani malam pertama. Malam, dimana sangat dinanti-nantikan banyak pengantin dan banyak orang, terutama orang-orang di kampung tempat tinggal Kumar dan Devi. Sebab, ada kebiasaan unik di kampung itu, yakni aktivitas pengantin baru, boleh diintip oleh semua warga di malam pertama.

Buat Kumar, malam pertama tak beda dengan malam-malam sebelumnya. Maklum dia biasa melewatkan malam demi malam dengan Pelacur-Pelacur, jika birahinya muncul. Mulai dari pelacur kelas duapuluh ribuan rupiah, sampai kelas duaratuslimapuluh ribu rupiah, pernah dia kencani. Termasuk Pelacur-Pelacur yang biasa mangkal di rel kereta api, sampai yang bermukim di kompleks Pelacuran, semua pernah dirasakan Kumar. Ajaibnya, dia belum pernah kena spilis atau penyakit kelamin lain, termasuk AIDS. Memang beruntung sekali si Kumar ini, pria berhidung mancung yang sering diejek masih saudaraan dengan pelawak Tomtam Grop yang sekarang melawak di DPR: Komar.

Kumar memang tipe lelaki yang haus seks. Dia tak pernah tahan godaan wanita, entah itu wanita yang buruk rupa (baca: jerawatan, hidungnya pesek, atau rambutnya ubanan), apalagi yang cantik sekelas Tamara Blezinsky. Begitu melihat paha mulus, begitu melihat payudara besar, kemaluannya langsung ereksi. Ujung-ujungnya birahi. Kalau sudah begitu, Pelacur jadi pelampiasan. Padahal dia sudah punya pacar dan dengan pacar-pacarnya pun dia juga sudah terbiasa melakukan hubungan intim alias ML, jika birahinya tak tertahan. Tapi rupanya kuantitas hubungan seksnya dianggap masih kurang.

Dengan Devi, Kumar tak pernah berhasil merayu untuk berbuat mesum satu kali pun. Jangankan ML, mencium dengan penuh nafsu pun Kumar belum pernah berhasil. Jangan heran sebelum menikah, Devi masih dinyatakan sebagai perawan ting ting.

”Kita kan belum resmi, Bo,” kata Devi pada Kumar suatu ketika saat Kumar sudah terlihat nafsu. Matanya sudah memerah. ”Burung”-nya sudah naik turun. Tangannya sudah siap menerkam payudara Devi.

Jadi kenapa Kumar mau-mauan married dengan Devi? Rasa penasaran itulah yang membuat Kumar terpaksa menjadi suami Devi. Ia ingin merasakan kenikmatan wanita yang (mohon maaf) vaginanya belum tersentuh penis lelaki. Soalnya, saat ini wanita itu teralu ”murah”. Belum married, tapi sudah bisa diajak cium-ciuman yang penuh nafsu, bahkan sampai ML segala. Soalnya juga, saat ini wanita yang dibilang anggota masyarakat kosmopolitan sudah biasa menjual tubuhnya di khalayak ramai, yang jelas membuat pria seperti Kumar cepat ereksi. Nah, Davi tak seperti wanita ”murah” metropolis saat ini. Dia berhasil menjaga vagina-nya. Selain alasan penasaran, tentunya termasuk alasan usia, dan sudah bosan berdua-duaan tanpa status yang tak jelas itulah yang membuat Kumar terpaksa mau married.

Malam ini, orang-orang kampung, khususnya anak-anak muda, sibuk. Mereka juga sudah siap begadang. Ada yang membawa Autan agar tak digigit nyamuk. Ada yang menyumbangkan tangga kayunya, supaya bisa dipergunakan untuk memanjat dan melihat dari atap rumah Kumar. Salah seorang dari mereka ada yang membawa sabun yang bisa difungsikan untuk melakukan onani on the spot. Biasanya ada saja penduduk yang tak tahan melihat adegan ranjang, so sabun adalah solusinya. Supaya tak terlalu mencolok, sabun itu dimasukkan ke dalam kantong plastik warna hitam.

Buat yang punya otak bisnis, ada warga kampung yang mencoba mengkomersilkan peristiwa ini dengan menbuat tiket. Biasanya warga yang punya bisnis oriented ini sudah lebih dulu survey mencari spot yang baik untuk bisa menyaksikan ”atraksi” Kumar vs Devi. Oleh karena spot untuk ngintipnya terbatas, maka harganya bergantung dari durasi ngintip. Semakin lama ngintip, maka harga tiketnya mahal. Ironisnya, masih ada aja calo tiket yang beredar di sekitar kampung situ.

Malam itu memang sudah menjadi malam kesekian kali buat anak-anak muda ini mengintip. Entah sudah berapa puluh pasang pengantin yang mereka intip. Meski banyak resiko yang ditimbulkan, misalnya mata jadi bintitan, ”burung” jadi cepet lecet, atau genteng si pengantin jadi bocor. Tapi mereka tak pernah jera. Untungnya lagi, mereka tak pernah ketahuan. Hansip yang ada tutup mulut, pura-pura tidak tahu. Mereka memang sudah menyumpal mulut hansip dengan uang seratus ribuan. Kalau ada Hansip sok menolak nilai segitu, terpaksa bukan disumpal uang lagi, tapi disumpal pakai kain pembalut wanita.

Seorang pria berusaha mengatur tangga agar aman dan nyaman bisa sampai ke atas genting rumah Kumar. Ada dua orang yang siap melihat pengantin baru itu menjalani malam pertama di atas genting. Dua orang lagi saling bekerjasama membuat lubang kecil sebesar kelereng dari bilik kamar.

Malam semakin larut. Entah kenapa udara di luar rumah Kumar dingin sekali, padahal saat itu sedang musim kemarau. Di kamar pengantin, Kumar sudah mulai pasang aksi. Ia mulai mencopoti satu per satu apa yang ada di tubuh Devi. Selain, bra ukuran 40, Kumar sudah lebih dulu membuka pakaian Devi yang jumlah kancingnya ada 43. Kumar juga sempat membuka celana dalam Devi yang cara membukanya dengan menggunakan kunci pengaman. Acara buka-bukaan ini hampir membuat Kumar frustrasi. Namun, rasa penasarannya yang sudah klimaks, Kumar tetap sabar dan mereka pun akhirnya bercinta.

“Punyaku berdarah!”

Tiba-tiba saja Kumar berteriak dengan kencang. Teriakan itu membuat kaget seorang pria yang kebetulan berada di genteng, yang sedari tadi menikmati adegan ranjang secara live itu. Keseimbangan si pria goyah. Dia terjatuh. Tubuhnya menimpa pria lain yang ada di bawah, yang sebelumnya juga sedang asyik melihat pengantin baru itu lewat lubang dinding. Bruk!

"Punyaku berdarah!"

Anak-anak muda yang tadi mengintip kamar pengantin itu lari pontang-panting. Seperti juga Kumar, para pemuda kampung situ juga kaget bukan kepalag melihat darah di ”burung” Kumar. Mereka pikir itu adalah awal dari wabah penyakit yang berbahaya. Sebab, beberapa tahun belakangan ini, mereka tak pernah lagi melihat -lebih tepatnya mengintip- ada pengantin-pengantin yang mengeluarkan darah dari vaginanya. Mereka sudah terbiasa melihat wanita-wanita pengantin baru di kampung yang tak mengeluarkan darah di malam pertama mereka.

Kumar kaget berat. Seumur hidupnya belum pernah mengalami ada darah di kemaluannya. Ketika ML dengan pacar-pacaranya, tak ada satu pun yang menghadiahkan darah. Darah segar! Termasuk selama berkencan dengan para pelacur.

Malam pertama itu menjadi malam pertama yang istimewa. Istimewa buat seluruh warga, maupun Kumar. Peristiwa ini adalah sebuah mukjizat yang diturunkan Tuhan kepada Kumar. Tak heran malam itu diabadikan sebagai peristiwa nasional yang tiap tahunnya akan dirayakan dengan cara membakar para wanita yang terlihat mengeluarkan darah dari vagina. Sebagai upacara pertama, para warga kemudian membakar hidup-hidup Devi.

Kumar tak bisa apa-apa. Dia hanya diam mematung, melihat istrinya menjerit, karena dibakar hidup-hidup. Sebuah aksi kebodohan terjadi di depan puluhan mata penduduk di kampung itu. Warga kampung memang terlalu bodoh membedakan mana yang benar mana yang salah. Mereka terlalu tolol mempersepsikan darah segar seorang perawan dianggap sebagai wabah yang menakutkan.

ISTRI YANG LUAR BIASA

"Percayalah, sampai detik ini aku mencintaimu sayang. Tak ada wanita lain yang aku sayangi selain kamu. You are the Best, honey. Kamu cantik. Smart. Bagiku, tak ada wanita lain secantik kamu. Itu yang membuat teman-temanku cemburu, kala aku berjalan denganmu. Kamu mirip seperti Inneke Koesherawaty, bomseks tahun 90-an yang sekarang sudah insyaf itu..."

Surat itu tergeletak di lantai marmer warna krem. Dengan diterangi oleh cahaya bulan yang menusuk masuk lewat jendela.

"Ketika aku memutuskan untuk menikahimu, tak ada keraguan di hatiku kalau kamu memang wanita yang aku tunggu-tunggu selama ini. Kamu bukan cuma pacar, tapi kekasih yang siap menjadi istri yang luar biasa.

Kamu bisa memasak masakan kesukaanku. Malai dari sayur asam, sampai sayur lodeh. Kamu juga jago masak cap cay, juga puyung hai. Kamu benar-benar tahu apa keinginanku. Ketika aku sedang diam, aku jadi penghibur. Ketika aku semangat, kamu terus menyulutkan kobarannya. Ketika aku ingin bercinta, kamu sudah siap dengan tubuh yang harum, seharum mawar yang aku pernah berikan padamu.
Sejak kuliah aku memang memutuskan untuk tidak mau pacaran dengan wanita yang tak jelas. Yang kuliah hanya sebagai formalitas. Aku ingin menikah dengan wanita calon Dokter. Tak perlu kaya, tapi seksi. Tak perlu punya darah biru, tapi hidungnya mancung. Tak perlu punya punya mobil Hammer, tapi cukup Honda Accord..."

Badan Lina masih disandarkan ke tembok. Ia nampak lemah tak berdaya. Ada buliran air mata yang keluar dari sudut kelopak matanya. Sementara surat berwarna putih dengan tinta merah itu masih tetap tergeletak di lantai. Namun kondisinya sudah bergeser beberapa sentimeter dari posisi semula, karena tertiup angin.
Pintu jendela di ruang tengah itu memang terbuka lebar. Angin yang menerpa dari luar membuat gorden jendala melambai-lambai. Terkadang jendela menampar-nampar kusen kayu, ketika angin dari luar meniup dengan dahsyatnya. Lina tak sempat menutup rapat jendela itu.

"Aku masih ingat saat pertama kita jumpa, banyak rencana yang kamu buat. Rencana untuk masa depan. Kita memutuskan untuk tidak tinggal di Pondok Mertua Indah, tapi kita akan mencicil rumah, meski uang kita pas-pasan. Aku tahu itu berat, berat sekali dengan kondisi keuangan kita yang belum stabil.
Aku juga masih ingat kamu punya rencana luar biasa untuk memiliki lima anak dan itu akhirnya sudah kita miliki. Dan rencana terakhir yang sampai sekarang belum kita wujudkan adalah, menjadikan anak kita seorang pengusaha, karena kamu tak ingin anak kita menjadi anak biasa..."

Air mata Lina menetes lagi. Tetasannya jatuh ke lantai, menciprat sampai mengenai surat yang masih tergeletak di marmer itu. Marmer yang diekspor dari Italia saat Lina dan suaminya merenovasi rumah mereka. Tak jauh dari tempat Lina, ada sosok tubuh yang harum parfum L'eau Bleu masih tercium wangi.

Sosok yang Lina kenal dihadapannya. Sosok yang begitu tampan, yang semasa kuliah menjadi favorit mahasiswi-mahasiswi di Trisakti. Bohong sekali kalau tak ada yang mengenal sosok pria yang berhidung mancung, berwajah oval, dan berambut potongan masa kini ini. Bohong pula kalau tak ada gadis yang tak mau dijadikan pacarnya. Karena secara fisik ia sempurna. Karena secara akademis, ia cukup pandai.

Pria yang berada di hadapan Lina juga dikenal juga jago basket. Setiap kompetisi basket, ia dikenal sebagai playmaker yang handal, yang selalu memberi angka fantastis lewat three point shooting. Wajahnya yang tampan dan jago basket jadi mengingatkan Larry Bird.

"Apa kamu masih ingat sayang? Kita pernah mandi bareng di sebuah hotel kecil di Bali? Seminggu sebelum terjadinya bom Bali. Kamu pasti juga tak akan pernah lupa betapa kita pernah ML di jalan tol. Sebuah perbuatan stuppid yang pernah kita lakukan. Banyak mobil yang melaju dengan kencang pasti terheran-heran melihat mobil kita yang gelap gulita tapi bergoyang-goyang..."

Harum L'eau Bleu begitu menusuk hidung Lina. Keharumannya itu tak lagi membuat Lina tersangsang, sebagaimana tahun-tahun masa pernikahan mereka. Dimana mereka bisa ML dimana mereka suka, seperti di jalan tol tadi. Mereka juga pernah melakukan ML di ruang-ruang yang tak biasa pasangan lakukan: di toilet, di atas meja makan, di atas grand piano, maupun di tangga. Dimana hidup mereka begitu sempurna, sehingga membuat pasangan lain cemburu.

Yap! Lina dan suaminya bagai dongeng-dongeng waktu tidur. Sebuah penokohan sempurna seorang Pangeran tampan dan Permaisuri cantik yang selalu happy ending. Ada burung-burung dan binatang lain di sekeliling mereka. Ada sinar matahari atau cahaya rembulan yang masuk ke jendela istana. Ada musik klasik yang dimainkan di beranda oleh para pemusik istana. Begitu indah. Namun kesempurnaan itu kini tinggal bayang-bayang...

Karena saat ini, suaminya tergeletak tak bernyawa. Ada darah yang keluar di pergelangan tangan kanannya. Banyak sekali. Aliran darah tersebut perlahan-lahan mengalir dari pingiran lantai marmer, yang kini hampir menyentuh surat itu. Nadi suaminya memang sudah dipotong oleh pisau bedah, yang diambil dari tempat praktek Lina.

"Andai saja kamu tak menuduhku meniduri temanmu. Andai saja aku tak melihat kamu bergandengan tangan di hotel bintang lima bersama seorang anggota DPR terkenal itu. Andai saja aku tak tahu seluruh harta-harta itu ternyata atas namamu. Andai anak-anak kita tak kau push untuk menjadi dirimu, melampiaskan segala keinginanmu. Padahal mereka masih kecil, masih punya masa kanak, masih haus akan imajinasi. Andai saja aku tak menemukan sebuah surat cinta di tas Burbbery. Andai...Andai...dan Andai... Kamu pasti akan tetap menjadi istriku yang luar biasa sayang. Maafkan aku..."

HATI-HATI: VIRUS!!!

Akhirnya aku terpilih menjadi Presiden! Jabatan ini sebenarnya sudah diprediksi dari awal dan bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan oleh banyak orang. Sebagaimana Obama, aku dianggap akan membawa perubahan besar. Sesuai slogan di tiap kampanye kepresidenannku, aku selalu menyerukan: change! Apa “change” yang aku maksud adalah mengubah strategi agar bisa membunuh manusia dengan cara menggunakan 3M: menguras, menyusup, dan melawan.

Aku terlahir sebagai virus. Keluargaku adalah keluarga tentara virus. Tak heran kalo sejak kecil aku sudah dididik secara militer, diberikan dogma-dogma bahwa masuh kami adalah manusia. Manusia harus dimusnahkan dengan berbagai cara. Kami tak boleh menyerah sebelum titik darah penghabisan.

Ketika maju sebagai calon Presiden, aku sudah lebih dulu melakukan gerakan-gerakan yang membuahkan banyak pengikut. Aku juga dikenal sebagai pro pemerintah. Jika ada golongan separatis, yang menghendaki manusia tetap awet di muka bumi ini, aku tak segan-segan akan menculiknya. Menyiksa kaum separatis itu di sebuah kamp yang tak boleh satu masyarakat virus tahu.

Selain berani membela yang benar, aku juga dikenal akrab dengan kaum jetset virus. Itu selah satu cara aku dikenal dikalangan selebritis, sehingga aku bisa masuk ke jaringan infotainment, diinterview stasiun televisi berita, bahkan menjadi cover sebuah majalah virus terkenal. Keakraban aku dengan selebritis virus, masyarakat miskin, maupun pro pemerintah membuahkan hasil: menjadi Presiden Republik Virus.

Semenjak menjabat Presiden, aku langsung membentuk beberapa Menteri yang harus kerja 24 jam non stop. Mereka di antaranya bertugas menyebarkan virus di segala sektor, mulai dari virus komputer, virus HIV, virus flu, dan virus lain. Tentu semua virus itu sudah mendapatkan pembekalan yang nantinya akan mempraktekkan cara 3M itu tadi.

Virus komputer bertugas untuk menyusup ke seluruh jaringan komputer. Misinya akan berhasil jika seluruh komputer manusia tak bisa lagi berfungsi dengan baik. Sering mati-mati, hang, dan aneka trouble lain. Setiap waktu, aku selalu menyarankan agar virus komputer update ke-virus-annya agar selalu punya pilihan untuk menghancurkan data-data manusia. Sebab, dengan menghancurkan data-data, maka tak akan ada lagi penjualan saham atau mata uang yang selalu fluktuatif, yang menyebabkan manusia jadi hilang akal.

Terkadang manusia sudah lebih jago dari virus komputer itu sendiri. Giliran aku ada jenis virus baru, pasti ada yang buat pencegahnya. Giliran data-data sudah sempat hilang, ada aja manusia yg jago di bidang IT bisa benerin. Emang manusia itu akalnya banyak banget. Tapi kadang-kadang, gara-gara akalnya banyak jadi sering keblinger.

Virus lainnya yang gak kalah hebat memberantas manusia adalah virus HIV bertugas untuk menyusup ke organ manusia agar manusia mati. Virus ini bekerja hanya kepada manusia-manusia yang gila seks, mereka yang rindu dengan pergaulan bebas, perselingkuhan, sering “jajan”, entah “jajan” di tempat-tempat pijat eksklusif maupun di rel kereta api. Tentu saja aku minta virus HIV membuat strategi penusupannya, tak cuma lewat kemaluan, lewat jarum suntik, darah, tapi lewat jigong. Maksudnya, jigong yang keluar dari mulut akan mengandung virus HIV. Ini supaya politikus yang seringkali umbar jigong akan ditinggalkan manusia yang tak mau kena virus HIV.

Virus yang tak kalah berarti adalah virus flu. Kelihatannya enteng, tapi virus flu selalu update. Update agar cara-cara menyusupnya ke manusia bisa lewat mana saja. Lewat pegangan pintu, lewat remote control, lewat bersalaman, dan yang paling hot lewat ciuman.

Aku juga meminta satu Menteri lagi untuk menyebar virus dengan cara menguras, yakni menguras uang manusia. Virus yang ditularkan adalah virus shopaholic. Tugasnya agar manusia jadi gila belanja. Setiap produk yang ditawarkan di media cetak maupun eletronik harus dibeli manusia. Belakangan virus shopaholic ini cukup senang dengan munculnya mal-mal, banyaknya media, yang semuanya itu mengajak manusia berlomba-lomba belanja. Mengkonsumsikan uang mereka. Dengan demikian, manusia jadi lebih konsumtif dan lupa kalo ada manusia lain yang perlu sekolah, perlu pakaian, perlu tempat tinggal, bahkan pelu makan.

Pemerintahanku hampir saja goyah dengan kehadiran LSM yang menamakan diri Republik Cinta. Biasanya kami tahu LSM itu ujung-ujungnya cuma cari uang. Awalnya sok ngasih kritik, tapi gak pernah ngasih solusi. Kami sering dipojokkan dengan berbagai kritik oleh LSM itu. Kalo kritik gak ditanggapi, kami akan disebarkan ke media. Nah, kehadiran Republik Cinta ini sempat membuat diriku ngeri. Sebab, konon misi Republik Cinta adalah menyebarkan virus-virus cinta. Itu artinya, virus-virus yang aku akan sebarkan bersama Menteri-Menteriku, yang akan membuat manusia mati, bisa saja gagal dengan virus-virus cinta itu.

Nyatanya Republik Cinta gagal menyebarkan virus-virus cinta. Yang ada menyebarkan virus-virus amarah. Entah itu amarah kepada kaum perempuan, maupun kepada sesama rekannya. Yang seharusnya seorang istri disayang, dibelai, dihormati, eh malah dimaki-maki, ditonjoki, disiksa, bahkan menyelingkuhi temannya. Yang seharusnya sesama profesi saling mendukung, saling support, malah gontok-gontokkan. Buat aku, kegagalan itu membuat hati kami senang. Republik Virus yang aku pimpin masih ada kesempatan emas untuk menghancurkan manusia. Jika ingin membantu kerja kami menyebarkan virus, silahkan ketik REG 7887. Bantuan Anda, harapan kami.

Minggu, 21 Desember 2008

ROMANTISME BIOSKOP LOKAL - Part 2

Suatu malam di tahun 1989, tepat dihari Valentine. Sejak pukul 6 sore, gw udah ready dengan kemeja baru yang baru beli di Tanah Abang. Sengaja gw pilih warna pink supaya matching dengan hari kasih sayang. Hari ini gw memang niat mo menyatakan cinta sama sang pacar.

Namanya Widi (nama sebenarnya). Nama itu mengingatkan gw pada salah satu vokalis trio AB-Three: Widiantoro, eh salah Widi doang. Bedanya dengan Widi pacar gw, dia nggak bisa nyanyi, tapi bisa deklamasi. Selain hobi deklamasi, juga suka nonton. Gara-gara hobi satu itu, gw punya ide buat ”nembak” doi di bioskop. Dan film yang gw pilih kebetulan pas banget: ”Catatan Si Boy” sekuel 3 yang masih diperankan Ongky Alexander, Didi Petet, dan Mariam Berllina.

Sebenarnya gw sengaja milih film ”Catatan Si Boy” (dulu disingkat ”Cabo”). Buat yang bukan gereasi gw, udah pasti nggak tahu. Gw kasih tahu ya, Boy di film itu adalah nama tokoh yang baik hati dan tidak sombong. Orangnya ganteng jental jentul. Udah gitu rajin sholat. Persis gw! Bedanya tipis, Boy biasa bawa BMW, gw bawa BMW juga, tapi Bajaj Merah Warnanya. Nah, tiap abis nonton ”Cabo”, gw seolah sebagai seorang pahlawan yang selalu melindungi kaum wanita, terutama sang pacar.

Di tahun 80-an sampe 90-an, film ”Cabo” memang mempengaruhi jagat kaum muda. Sampe sekarang pun pengaruhnya masih ada. Tahu nggak apa? Tasbih yang digantung di kaca spion mobil. Kalo elo liat di mobil seseorang digantung tasbih, boleh jadi si pemilik mobil penggemar ”Cabo”. Coba aja elo tanya: ”Mas-mas...mas ikut fans club-nya Catatan Si Boy ya?” atau elo tanya begini: ”Mas-mas... kalo mo ke Cililitan naik bus nomor berapa ya?”

Itulah kehebatan sebuah film. Karena gw nggak punya mobil, apalagi BMW, gw nggak terpengaruh menggantungkan tasbih. Gw lebih terpengaruh ke body. Boy itu punya body yahud. Ada six pack di perutnya. Gara-gara nggak mo kalah, saban pagi dan sore, gw mompa air trus angkat air ke bak. Saking tergila-gila mo punya body yahud, ada tetangga yang perlu jasa pompa-memompa, gw ladeni dengan iklhas. Sayang, bukan body yahud or six pack yang gw dapat, gw masuk rumah sakit sebulan, karena over training.

Back to me and my girlfriend. Sampailah gw di sebuah bioskop di bilangan Sahardjo. Bioskop itu nggak lain nggak bukan bernama Wira yang fotonya elo lihat ini. Di situlah my first date dengan si Widi berlangsung.

Bioskop Wira adalah salah satu dari sekian puluh ribu bioskop yang udah gulung tikar. Menurut Marco Kusumawijaya (mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta), salah satunya penyebabnya adalah ada alternatif prasarana, selain nonton film. Tahu dong saat ini bioskop disatukan dengan Mall. Nah, dengan adanya Mall, penonton lebih suka hang out dulu keliling Mall ketimbang langsung nonton. Beda dengan bioskop kelas pinggiran seperti bioskop Wira yang cuma bisa nonton aja, meski belakangan ada fasilitas permainan ding-dong dan games.
Bioskop-bioskop kelas bawah biasanya memang terpisah dengan Mall. Banyak contoh bioskop-bioskop seperti ini yang sudah almarhum: Jotet (di Sention, Jakpus), Tawang (di Pramuka, Jaktim), Lenteng Agung (di Lenteng Agung, Pasar Minggu), Slipi Theater (dulu di depan lapangan bola Slipi), dan masih banyak lagi.

Sebenarnya rintisan bioskop menyatu dengan pusat perbelanjaan udah muncul lama. Ide ini dicetus sama PD Pasar Jaya yang membuat alternatif orang untuk berkunjung. Bioskop Pasar Rumut dan bioskop Palmerah misalnya. Tapi kalo dibandingkan dengan Mall, jelas banget. Kalo penonton di Mall, belanja di toko dulu, entah toko sepatu ato baju. Setelah belanja, sambil membawa tas plastik bermerek toko tersebut baru masuk ke bioskop. Sedang bioskop di PD Pasar Jaya, agak ribet juga kalo harus belanja dulu sayur-sayuran ato ayam trus masuk ke bioskop. Yang ada begitu ada adegan tembak-tembakan, ayam yang dibeli di pasar berkotek-kotek.

Penurunan jumlah penonton juga berpengaruh pada operasional bioskop. Penurunan jumlah penonton di Indonesia sudah terjadi tahun 70-an. Data jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton. Jumlah itu menurun lagi sampai 50% di tahun 1992. Bahkan di Jakarta di tahun 1991, dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton.
Penurunan penonton juga berbarengan dengan jumlah film. Jika sebelumnya rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih dari 50 %. Sebab penurunan ini karena banyaknya film impor masuk, apalagi dengan ditiadakannya kuota impor film asing pada 1998. Sejak tahun itu, film Hollywood dan Mandarin mampu menguasai lebih dari 80 persen box office Indonesia setiap tahun. Pada 2002 saja, dari 175 judul film yang dirilis beredar di bioskop-bioskop Indonesia, 100 judul film Amerika.

Sejak film ”Petualangan Sherina” meledak, pekerja film nasional mulai aktif produksi lagi. Meski tumbuh, jumlah produksi film lokal masih tertinggal, dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal ini bisa loe lihat data produski film tahun 2007, dimana jumlah produksi film cuma 77 judul. Bandingan dengan Thailand di tahun yang sama memproduksi 353 judul, dan Korea 400 judul. Yang menakjubkan, jumlah produksi film Hollywood kalah dengan Bollywood, yakni 630 judul film Amrik dan India 877 judul film Bollywood. Meski begitu, prospek jumlah produksi film Indonesia bakal terus meningkat. Sekali lagi bisa dilihat dari data tahun 2006 yang cuma 34 judul meningkat jadi 78 judul di tahun 2007. Tahun 2008 ini sudah lebih dari 100 judul film beredar di bioskop Indonesia.

Judul produksi film tumbuh, jumlah penonton Indonesia pun tumbuh pesat. Keberhasilan “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang berhasil ditonton oleh 3,7 juta orang menunjukan pertumbuhan itu. Pembuktian yang dahsyat ditunjukan oleh film “Laskar Pelangi” produksi Miles Film. Data terakhir menunjukan film ini udah ditonton 4.360.000 orang. Angka ini akan terus bergerak, karena film yang disutradarai Riri Riza ini masih diputar di beberapa bioskop di tanah air.

Belum juga limabelas menit diputar, pacar gw ngajakin pulang. Padahal scene ”Cabo” lagi seru-serunya. Gw berusaha membujuk pacar gw agar sabar dan stay watch to movie. Tapi bujukan gw nggak berhasil. Pacar gw tetap ngotot minta pulang.

“Kenapa sih kamu minta pulang?” tanya gw heran. ”Elo nggak suka filmnya?”

”Bukan Bang,” jawab pacar gw.

”Lah, lantas kenapa kamu minta pulang?”

”Abang liat aja di samping bangku saya..”

Saking penasaran, gw terpaksa kudu melihat bangku yang ada di samping pacar gw, yang kebetulan kosong. Ternyata eh ternyata ada seekor tikus gede banget. Gw kaget, tikusnya pun kaget. Sebelum meninggalkan bangku kosong, sang tikus sempat tersenyum. Ah, sialan tuh tikus! Gara-gara doi, pacar gw ngajakin pulang, padahal gw belum sempat ”nembak”. Gw baru sadar, setiap nonton di bioskop Wira, gw memang emang selalu ketemu mahluk-mahkluk menyebalkan itu, yang selalu membuat onar di atas loteng bioskop.

”Apes deh gw. Bisa-bisa gw diputusin si Widi nih,” pikir gw beberapa menit sebelum keluar. ”Padahal susah banget menemukan cewek sekaliber Widi di zaman sekarang, yang punya tampang rada kecowok-cowokan itu”.

Rabu, 10 Desember 2008

HOTPANTS MAKIN HOT

Betapa ngilernya gw begitu sampai di Mal. Keinginan gw beli sepatu Adidas hilang seketika. Bukan karena gw pindah jurusan alias dari pingin beli sepatu jadi pengen es krim. Bukan, bukan itu! Gw ngiler gara-gara pantat gadis-gadis yang berseliweran pake hotpants. Saking ngiler, air liur gw menetes dengan deras.

Belakangan, hotpants makin menggila. Makin hot! Wanita-wanita dari berbagai usia banyak yang berani pake hotpants. Ngomong-ngomong elo tahu kan hotpants itu apa? Mungkin sebagaian besar udah tahu. Bagi yang belum tahu, nih gw kasih tahu!

Sejarah hotpants (ingat! Nulis hot pants kudu disambung) dimulai abad 19 dan awal abad 20. Dari dulu hotpants ini adalah celana super pendek. Perkembangan selanjutnya, hotpants dipakai sama wanita yang karakternya ke-pria-pria-an alias tomboy. Tapi waktu itu, hotpants cuma digunakan oleh anak laki-laki sampai dia mencapai umur tertentu. Belakangan, semua jenis kelamin menggunakan.

Begitu hotpants dipakai oleh para wanita juga, pria-pria ngga mo lagi pake. Malu lah yau, masa laki disamain sama wanita? Emang kita apaan? Nah, sejak hotpants ditakdirkan dipakai wanita, hotpants mulai dipakai oleh para Pekerja seks komersial (awas jangan salah sebut jadi PKS, tapi PSK ya! Ntar diomelin salah satu Partai, lho!). Tepatnya di awal tahun 70-an, Pelacur-Pelacur pakai hotpants sebagai pengganti miniskirt.

Wajarlah kalo yang pake hotpants itu para Pelacur. Sebab, hotpants jadi terlihat seksi. Paha jadi terlihat lebih menerawang. Pantat jadi terlihat aduhai: bulet-buletannya kadang ngintip, kadang bersembunyi, tergatung cara jalannya. Di Amrik sana, hotpants dipopulerkan oleh klab baseball Philadelphia Phillies dengan Hot Pants Patrol-nya.

Di Indonesia, hotpants juga dipopulerkan oleh para Palacur. Nggak cuma Pelacur di gang Dolly atau Keramat Tunggak (dua tempat ini sudah almarhum), tapi para Pelacur kelas rel kereta api Manggarai juga pake hotpants. Sedikitnya ada tiga alasan kenapa Pelacur-Pelacur ini pake hotpants. Pertama, gara-gara alasan cuaca.
”Habis gerah mas kalo kita pake jins ato rok,” jelas seorang Pelacur berinisial X yang gw temui di stasiun Manggarai.

”Kalo kegerahan kenapa nggak dikipas aja Mbak?” tanya saya sok memberi usul.

”Gimana ngipasnya Mas? Entar ’barang’ saya jadi ketahuan dong?”

Iklim tropis Indonesia memang memberikan harapan bagi para Hotpantser (istilah untuk mereka yang pakai hotpants). Malam yang seharusnya udaranya dingin, tetap aja hawanya panas, apalagi di siang hari. Buat mereka yang nggak terlalu sering mengeluarkan keringat, mungkin nggak masalah soal udara panas. Namun buat mereka yang mudah berkeringat, wah cuaca panas sangat mengganggu. Bayangin kalo Pelacur yang mudah berkeringat, belum juga ”diapa-apain” udah keringetan, ya males lah Pelanggan untuk melakukan ”pergerakan nasional”.

Alasan kedua pakai hotpants bekaitan dengan nilai jual. Seorang Pelacur jelas akan menarik jika memiliki nilai jual tinggi. Tampang cantik aja nggak cukup, kudu dipermak. Misalnya payudara dibesar-besarkan (ini beda dengan istilah masalah kecil dibesar-besarkan, Bro). Begitu udah besar, pake tank top sehingga payudara terlihat ”luber” dan terarah. Tank top-nya cari yang super ketat dan kekecilan, sehingga struktur body terekspos dan juga memperlihatkan bodong. Selain treatment terhadap payudara, pantat juga kudu diperhatikan. Supaya nggak tepos, pantat disuntikin supaya moleh. Supaya kemolehan itu dilihat banyak orang, dipakailah hotpants. Hot, kan?

Para Pelacur menggunakan hotpants supaya cepat membuka celana. Nah, ini menjadi alasan terakhir. Kalo pake jins, menurut mereka rada ribet bukanya, apalagi kalo pake jins ketat. Kadang sering ada masalah sama resleting yang macet terus. Kebayang dong, si Pelanggan sudah nafsu, eh Pelacurnya sibuk dengan resleting yang macet itu. Walhasil, Konsumen menunggu dengan sabar plus sebel si Pelacur memakaikan ’gemuk’ (cairan padat tapi lembek untuk membuat sesuatu jadi lancar). Sayang, begitu resleting sudah lancar, Pelanggan keburu kabur.

Pake long dress juga ribet. Namanya juga dress yang long, jadinya sangat panjang kainnya. Merumbai-rumbai kalo angin lagi puyuh. Kalo lagi nunggu Pelanggan, si Pelacur seringkali masuk angin, kadang-kadang pula masuk anjing. Nah, karena serba salah, pake jins nggak enak pake long dress juga nggak nikmat, si Pelacur memutuskan pake hotpants.

Trend pake hotpants sekarag sudah menjamur di negeri kita tercinta ini. Nggak cuma di Mal, tapi di gedung bioskop, dan tempat dugem. Sulit membedakan apakah wanita-wanita yang pake hotpants itu Pelacur apa bukan. Soalnya (maaf!) belakangan wanita yang nggak berprofesi sebagai Pelacur, tapi kelakuannya kayak Pelacur. Mereka marah kalo dibilang Pelacur. Pas lagi marah, jambak-jambak rambut orang, banting-banting pintu. Padahal (sekali lagi) attitute-nya, how to dress, look-nya, percaya nggak percaya mirip seperti hooker.

”Enak aja ngatain Pelacur! Gw ini pake hotpants karena udara di luar panas tau?!” kata wanita berinisial ”Y” yang mau disebutkan namanya, tapi nggak mau ditulis namanya, agak sedikit ngotot.

Buat gw, udara panas boleh jadi alasan. Tapi seinget gw, para pemakai hotpants adalah mereka yang turun-naik mobil, yang jelas-jelas mobil pakai penyejuk udara. At least pake taksi. Udah gitu, perginya ke Mal, pusat perbelanjaan, bioskop, yang semua tempat itu jelas-jelas pakai penyejuk ruang. Lha, berarti mereka ini nggak berjumpa atau lebih tepatnya merasakan panasnya matahari (udara panas maksudnya) dong? Wong turun-naik ke tempat-tempat sejuk. Coba tunjukin ada Mal yang cuma pake kipas angin? Coba ajak gw ke bioskop yang para Penonton-nya dikasih kipas dari kayu?

Beda kalo si wanita pemakai hotpants itu naik bus Mayasari Bakti 300 jurusan Rawamangun-Blok M yang penuh orang plus copet itu, atau naik Metromini 47 jurusan Pondok Bambu-Senen, ato naik bemo jurusan RSCM-Manggarai. Kalo memang itu alasan memakai hotpants, ya make sense, Bro! Kenapa? Karena wanita itu melewati jalur-jalur berhawa panas dan kendaraan yang ditumpanginya pun nggak ada penyejuk udaranya.

Tiba-tiba pacar gw muncul dengan pakaian yang seksi abis! Pake tank top dan hotpants. ”Oh, my God!!” kata gw agak kaget, tapi dalam hati. Padahal pacar gw nggak perlu pake hotpants udah hot kok. Dengan hidung yang mancung bak Petruk. Dengan body yang seksi bak Minanti Atmanegara. Dengan tinggi semampai bak Charles Jourdan. Pacar gw memang sudah sempurna. Bahasa Jawa-nya: perfect!

”Kenapa sih kamu pakai tank top? Pake hotpants pula?” tanya saya agak marah.

”Habis di luar gerah,” jawab Pacar saya enteng.

”Kamu tuh menjual diri cuma sama saya aja, bukan sama khalayak ramai...”

”Tapi di luar itu kan panas sayang. Kamu mau Pacar kamu ini kegerahan?”

”Lha, kan kita pergi naik mobil? Lha, kan kita mau ke Mal? Bukan ke pasar tradisonal. Kamu mau disamain sama Pelacur?”

Pacar saya diam. Dia agak sedih, karena pemampilannya nggak direspek oleh saya. Dia kemudian meninggalkan saya sedih-sedih. Jalannya jental-jentul (maksudnya megal-megol ke kiri-kanan). Gw melihat hotpants yang dikenakannya, antara celana dalam dan celana luar (hotpants) balapan. ”Mungkin begitu kali ya kalo wanita baru pertama kali pake hotpants,” pikir gw. Bukankah kalo pake hotpants lebih baik pake jistring? Ato enakkan nggak pake kolor sekalian?

Sepeninggal Pacar, gw dikejutkan lagi.

”Cu, Nenek pantes nggak pake ini?” tanya Nenek gw yang minta pendapat gw. Sambil menunggu pertanyaan, Nenek gw memutar-mutarkan badannya bak boneka dari India. Kondenya yang sebesar speaker salon bergoyang-goyang. Selain kelakuan anehnya yang nggak biasa-biasanya, penampilannya bikin gw pusing. Nenek gw pake hotpants! ”Alamak!” gw langsung menepuk jidat. Plok!

PRESIDEN REPUBLIK OF JILBAB

Begitu terpilih menjadi Presiden, gw segera membentuk Kabinet. Nggak seperti Negara-Negara lain yang punya banyak Menteri, di Republik gw cukup punya tiga Menteri. Ini sebagai antisipasi agar nggak terlalu banyak Departement yang korup. Adapun Menteri Kabinet gw adalah Menteri Ekonomi Jilbab, Menteri Pemuda dan Olahraga Jilbab, dan terakhir Menteri Politik dan Keamanan Jilbab. Kenapa di belakang semua Menteri ada kata ”jilbab”? Karena gw adalah Presiden yang concern dengan masalah perjilbaban.

Sebelum jadi Presiden, gw gemes banget dengan wanita-wanita berjilbab, tapi nggak konsisten dengan hakikat menggunakan jilbab. Bahwa jilbab bukan cuma aksesori yang diwajibkan Allah kepada wanita. Tapi jilbab adalah sebuah konstruksi positif luar maupun dalam diri seseorang. Simple-nya, elo kudu bersih lahir maupun batin kalo sudah pake jilbab. Makanya, ketika istri gw mau pake jilbab, gw tanya berkali-kali: ”Kamu udah siap pake jilbab? Nggak akan pernah dicopot? Akan patut dengan regulasi yang diwajibkan Tuhan kita?”

Sementara di Republik ini yang terjadi, tentunya sebelum gw jadi Presiden, jilbab dianggap sebagai pakaian segmentasi CD alias kelas orang miskin. Lalu jilbab selalu diremehkan. Kemudian jilbab dijadikan sebuah pelarian. Last but not least, jilbab cuma dijadikan trend supaya disamakan dengan Inneke Koesherawaty, Ratih Sanggarwati, ato Bambang Pamungkas (yang ini kebetulan belum pakai jilbab). Trend di sini termasuk musiman. Giliran Ramadhan pake jilbab, selesai Ramadhan pake bikini.

Persepsi sadis jilbab sebagai pakaian orang kampung memang masih terjadi. Ini sebenarnya gara-gara para Pembantu dari kampung yang sebagian besar pakai jilbab. Salah satunya Pembantu gw. Jilbabnya sering nggak matching dengan pakaian maupun roknya sehingga terlihat norak. Pernah jilbabnya warna kuning, pakaiannya warna pink dipadu dengan rok putih polkadot, mirip bulu anjing Dalmations. Suatu ketika, pernah juga memakai jilbab warna hijau Army, eh pakaiannya warna cokelat polisi dan roknya warna biru security yang shift malam. Kalo kejadinnya begini, biasanya si Pembantu sudah siap untuk dinas keamanan.

Gw selalu memberi pengertian, jilbab bukan cuma pakaian orang miskin. Temen-teman gw yang pengusaha juga pakai jilbab, kok. Meski jilbabnya jilbab kodian dari Tanah Abang yang semuanya putih, tapi kalo beliau pake jilbab, kelihatan aura cantiknya memancar. Apalagi kalo pakai kalung yang segede-gede gembok pagar, wah sinar dari kalung itu akan menyalah terang, karena kebetulan kena pantulan sinar matahari sih. Clink!

Bisa jadi kenapa jilbab dibilang pakaian kampung, salah satunya gara-gara para pemakai jilbab sering nggak sadar diri, soal ”keharuman” bau badannya. Mentang-mentang pake jilbab, keteknya nggak dipakein deodoran. Mentang-mentang seluruh badannya ditutup sama kain jilbab, nggak pernah pake parfum. Padaha banyak temen-teman gw yang berjilbab tapi harumnya tujuh turunan. Takut? Iya sih banyak parfum yang pakai alkohol, tapi kan banyak juga parfum yang halal. Kalo nggak ada, ya tanya kiri-kanan cara membuat parfum dengan daun-daun di kebon elo kek, supaya hati loe plong. Waktu kampanye Capres, gw sering ngasih demo how to make good parfume, yakni dari daun kamboja dicampur daun cingcau. Pokoknya, inti permasalahannya, wanita berjilbab kudu matching dalam berbusana, trus jangan lupa pake parfum, supaya nggak dibilang kampungan.

Para wanita pemakai jilbab seringkali diremehkan. Nggak dianggap. Selalu dipandang sebelah mata. ”Ah, elo jilbab. Mending elo tahu apa sih? Paling-paling elo tahu soal agama”. Begitu ejekan wanita-wanita lain yang sungguh menyakitkan, yang kebetulan belum berjilbab. Padahal para wanita yang belum sadar berjilbab itu, pengetahuannya lebih cetek dibanding wanita berjilbab.

”Apa nama ibukota negara Sao Tome & Principe?” tanya juri Cerdas Cermat dalam suatu kesempatan Kompetisi Cerdas Cermat antarpropinsi.

Wanita yang nggak pake jilbab yang kebetulan menjadi peserta Cerdas Cermat, garuk-garuk kepala. Kebetulan dia nggak tahu jawabannya, kebetulan juga dia nggak sempat keramas selama dua minggu ini.

”Sao Tome, Pak!” jawab peserta berjilbab dengan kencang dan penuh keyakinan.

”Betul!”

Seluruh hadirin bertepuk tangan. ”Prok! Prok! Prok!”

”Siapa juara tunggal putra dan juara tunggal putri Tenis Wimboldon tahun 1963?” tanya juri Cerdas Cermat lagi.

”Rudy Hartono dan Susi Susanti, Pak!” jawab wanita yang tadi garuk-garuk kepala.

”Goblok! Rudy Hartono kan pemain catur! Susi Susanti itu kan juara angkat besi!” ujar juri agak sewot dengan jawaban wanita garuk-garuk itu. ”Hayo siapa yang bisa jawab?”

“Saya, Pak! Juara tunggal putranya Chuck McKinley dari Amerika Serikat dan juara tunggal putrinya Margareth Smith dari Australia!” jawab si jilbab lagi.

”Bentul! Eh, betul!!!”

Kelihatannya jilbab memang kampungan, tapi otaknya ternyata metropolis dan well educated. Pengetahuannya luas bak Samudera Hindia. Ya begitulah kebanyakan sikap seorang berjilbab: humble. Rendah hati. Nggak sombong. Mirip karakter si Boy dalam ”Catatan Si Boy”.

Yang menyebalkan, kalo jilbab diposisikan sebagai sebuah pelarian. Pakai jilbab cuma kampuflase. Biar dianggap sudah tobat. Biar dianggap sudah alim. Biar dianggap sudah kembali ke jalan yang benar. Padahal, kelakukan the jilbabers (istilah mereka yang pakai jilbab) seperti itu cuma tricky, tipuan ajah. Mengelabui persepsi khalayak ramai. Dan ini dianggap masuk katagori pembohongan ummat.

Dari seorang bintang seks yang wujudnya sering muncul di bioskop-bioskop kelas teri, tiba-tiba pakai jilbab. Dari seorang bomseks yang selalu menggoda birahi para pria, tiba-tiba pakai jilbab. Trus ada wanita yang sebelumnya dikenal sebagai freesexer (istilah mereka yang menganut faham free sex) tiba-tiba pakai jilbab karena hamil di luar nikah dan pria yang menghamilinya pun nggak jelas siapa. Ada juga para wanita baik-baik yang pakai jilbab setelah married. Pada saat pakai jilbab, mereka ngomong sana-ngomong sini soal kehebatan jilbab, merasa mendapat hidayah, selalu dapat rezeki dengan jilbab, dan kata-kata bulshit lainnya. Namun begitu cerai, statement yang sudah dipublikasikan itu, seketika hangus tanpa kesan. Dasar!

Kalo tadi di atas dalam hal membangun new image, jilbab sebagai pelarian juga diwujudkan dalam bentuk fisik. Gara-gara kepalanya pitak, buru-buru pake jilbab. Gara-gara malu rambutnya mulai ubanan, segera menggunakan jilbab. Banyak lagi contoh-contoh persembunyian fisik di balik jilbab yang gw nggak perlu sebut satu per satu.

Terakhir yang gw amati sebelum jadi Presiden, jilbab cuma dijadikan trend. ”Ih, lucu juga kali ya pake jilbab kayak si Inneke,” kata seorang Ibu-Ibu muda yang mukanya udah terlihat tua dari umur sesungguhnya. Lain lagi komentar Ibu toko sebelah: ”Duh, anggunnya C sasmi kalo aku pakai jilbab, seperti Pak Tino Sidin”.

Banyak sekali komentar-komentar, yang menjadikan jilbab bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai trend. Ini juga dialami ketika Ramadhan tiba. Wanita-wanita yang biasa pake hot pants, baju you can see, eh tiba-tiba menutup aurat. Nggak apa-apa sih kalo alasannya “untuk sebuah perubahan”. Namun yang terjadi, alasannya adalah “demi uang”, karena dipastikan mereka ini akan laku keras jadi Host di televisi. Kalo ketahuan ada wanita yang pake jilbab cuma alasan untuk ikut trend, gw sebut dia sebagai ”WJB” atau kepanjangan dari “Wanita Jilbab Brengsek”.

Sekarang gw dah resmi jadi Presiden. Udah disumpah di atas Al-Quran, dihadapan para anggota DPR, Mahkamah Agung, dan para Pengusaha Jilbab Nasional. Begitu selesai, gw langsung menugaskan Menteri Ekonomi Jilbab untuk mengurus masalah bisnis jilbab, tata jual-beli jilbab, eksport maupun import jilbab, dan beberapa current matters yang belum dirumuskan mengenai perjilbaban.

Untuk Menteri Pemuda dan Olahraga Jilbab, gw memerintahkan untuk segera membuat rancangan dan rencana mengenai kegiatan pemuda berjilbab. Ini bertujuan agar mereka jangan mo kalah dengan yang nggak berjilbab. Di kegiatan itu juga dimasukkan agenda bagaimana merawat diri agar jilbab nggak dianggap kampungan lagi. Sementara di kegiatan olahraganya, akan dibuat aktivitas olahraga yang layak untuk orang berjilbab. Jangan sampe pake jilbab, tapi begitu olahraga pake baju “you can see”. Atau berjilbab tapi pake baju ketat atau hot pants yang tetap memunculkan struktur tubuh, sehingga membuat para pria terangsang.

Menteri terakhir adalah Menteri Politik dan Keamanan. Nah, Menteri satu ini kerjanya agak berat. Selain merazia kantor-kantor yang ketahuan nggak memberi izin wanita berjilbab, tugas Menteri ini adalah merazia wanita-wanita berjilbab yang ketahuan memiliki attitute minus. Maksudnya? Banyak wanita, terutama wanita muda berjilbab yang belum resmi married tapi gaya pacarannya gokil-gokilan. Mending pacarannya di tempat yang nggak terlihat khalayak ramai, ini mah jelas-jelas mempertontonkan kemesraan mereka di depan umum.

”Agar menjaga stabilitas nasional aman, maka saya akan membuat sebuah peraturan...”

Aturan yang dimaksud direalisasikan dalam bentuk sebuah akronim. Sedikitnya ada lima akronim: ”BM”, ”UM”, ”UJ”, dan ”CS”. Semua akronim ini wajib dikenakan wanita berjilbab. Caranya dikaitkan dileher, persis seperti ID Card. Wajib dikenakan supaya para Tramtib yang berada di bawah naungan Menteri Politik dan Keamanan bisa melihat akronim itu. Untuk mendapatkannya cukup minta ke RT maupun RW di kampung masing-masing.

Akronim ”BM” kepanjangannya ”Belum Married”. Akronim ini ditujukan pada wanita yang belum married. Jadi kalo ada pasangan yang terlihat bergandegan tangan, peluk-pelukan, bahkan ciuman di depan umum, Tramtib akan menanyakan tanda yang dipakai wanita berjilbab itu. Kalo akronimnya ”UM”, maka pasangan itu aman, karena ”UM” singkatan dari ”Udah Married”. Tapi kalo tandanya ”BM”, Tramtib akan segera membawa wanita berjilbab itu ke Polsek terdekat.

Akronim ”UJ” kepanjangan dari ”Udah Janda”. Meski udah janda bukan berarti bisa seenaknya pacaran dengan pria yang bukan muhrimnya. Oleh karena itu, begitu si wanita berjilbab resmi jadi janda, selain dikasih lebel ”UJ”, dia juga mendapat lebel ”BM”, yang artinya ”Udah Janda” tapi ”Belum Maried”. Itu kalo si janda belum mau married lagi. Kalo mau cepet-cepet married lagi, supaya nggak dosa, si janda dipasangin lebel ”UJ’ dan ”CS”, yang artinya ”Udah Janda” dan lagi ”Cari Suami”.

Supaya nggak dibilang memihak, nggak dianggap pilih kasih, untuk para pria juga kudu memakai gantungan akronim. Selama berada dekat dengan wanita jilbab, pria-pria itu kudu menggantung ID. Namun khusus untuk pria, akronimnya cuma satu, yakni ”SBJ”. Yang artinya ”Siap Bertanggung Jawab”. Namanya pria, mo janda mo perawan, tetap kudu bertanggung jawab. Kalo nggak, siaps-siap dihukum tembak seperti Amrozi atau Kusni Kasdut.

Sebagai Presiden, gw benar-benar mau menerapkan peraturan itu. Sekali lagi, gw concern banget dengan masalah perjilbaban ini. Bukannya gw mo sok-sokan, tapi ini memang syiar yang kudu gw wajibkan. Gw nggak peduli dengan wanita yang masih belum mau pake jilbab. Yang penting buat gw, kewajiban itu udah disosialisasikan secara konsisten. Tinggal urusan mereka dengan Tuhan aja deh.

ROMANTISME BIOSKOP LOKAL - Part 1

Cling! Bukan sulap, bukan sihir, gw dibawa lagi menerawang ke suasana tahun 80-an. Di bawah sinar rembulan dan angin sepoi-sepoi, gw lagi ngantri bioskop sama Nyokap. Tepatnya di bioskop Pramuka, Jakarta Timur. Saat itu penuh banget antrean penonton. Maklumlah, yang diputar film Warkop DKI: ”Pokoknya Beres”. Padahal ini hari ketiga pemutaran film komedi yang dibintangi Dono, Kasino, dan Indro.

Begitu loket dibuka, terjadi dorong-dorongan. Biasalah, orang Indonesia dari dulu sampe sekarang modelnya begitu. Kalo nggak nyelak antrian, ya dorong-dorongan, karena takut tiket kehabisan. Memang benar, cuma dalam tempo hitungan menit, tiket nonton film di jam pertama ludes des. Penonton yang nggak kebagian tiket, terpaksa nonton di jam berikutnya. Untung gw dapat di jam pertama.

Tanpa bawa soft drink, tanpa pop corn, gw duduk di bangku bioskop. Bukan bangku empuk berwarna merah yang empuk. Tapi bangku reot yang kalo kita pindah posisi akan menimbulkan bunyi-bunyian yang mengganggu penonton lain.

Romantisme gw pada bioskop kelas teri belakangan muncul. Ah, lucu juga mengenang saat kita ngantri dengan HTM (baca: harga tanda masuk) yang cuma limaribu perak. Lucu juga mengenang apesnya gw nonton dekat dengan orang pacaran, dimana mereka mengganggu konsentrasi gw dari mo lihat film jadi pengen liat mereka pacaran. Bioskop oh bioskop...

Peliknya persoalan bioskop sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1966. Dalam kumpulan artikel tokoh perfilman Usmar Ismail yang dibukukan dengan judul ”Mengupas Film”, Usmar menulis, Indonesia cuma punya 700 biokop. Waktu itu jumlah penduduk Indonesia kurang lebih masih 100 juta jiwa. Bandingkan dengan Malaysia. Dengan jumlah penduduk 6 juta jiwa, di tahun yang sama -tahun 1966- sudah punya 600 gedung bioskop.

Masalah yang muncul dari dulu sedikitnya ada dua: investasi dan kompetitor. Untuk membangun sebuah bioskop, diperlukan dana Rp 750.000 ato kalo waktu itu ada Rp 700.000, nilai investasinya adalah Rp 525 juta. Mungkin kalo kita bandingkan sekarang, untuk membangun sebuah gedung bioskop diperlukan dana Rp 10 miliar. Nah, oleh karena investasinya gede, nggak heran kalo 75% bioskop dikelola oleh warga non-pribumi (maksudnya bukan WNI, Bo!). Pengusaha asli Indonesia cuma sanggup mendirikan 15% dari 700 gedung bioskop itu tadi.

Terjadi pasang surut jumlah bioskop. Kalo dulu hitungannya fisik gedung (maksudnya jumlah gedung, Bo!), tahun 90-an dihitung berdasarkan jumlah layar. Kenapa begitu? Soalnya, zaman dulu nggak ada yang namanya multipleks. Satu gedung bioskop cuma putar 1 film per hari, karena layarnya terbatas. Contohnya bioskop di Pasar Palmerah, Pasar Cempaka Putih, ato Pasar Rumput (semua bioskop ini sudah almarhum) yang cuma punya layar terbatas. Biasanya film-film lain yang mau diputer di bioskop itu ditulis dengan kata-kata: ”segera”, ”akan datang”, ”baru datang”, ato ”kapan datang”.

Selain title-title itu, ada juga title ”midnight show” yang khusus malam Minggu. Film-film yang masuk kategori midnight show, biasanya film-film action ato film esek-esek. Ini sebenarnya strategi pengusaha bioskop buat orang yang mo pacaran di dalam bioskop. Tahu dong, kalo bumbu-bumbu film action ada cium-ciumannya, bahkan bisa sama adegan ML-ML juga, apalagi film esek-esek. Dengan bumbu-bumbu itu, otomatis si penonton yang pacaran itu terpancing, selanjutnya.... terserah mereka lah yau!

Pada tahun 90-an, mulailah era sinepleks, multipleks, tripleks, blek-keblek-keblek. Di tahun 1990 tercatat ada 6800 layar. Buat bioskop yang nggak punya banyak layar, kondisi ini berat. Sedikit demi sedikit mulai gulung tikar. Ada pula sih yang gulung karpet, tapi karpet masjid. Penonton jelas pengen nonton film baru, nggak mo nunggu film yang masih di-title-in ”akan datang” ato ”baru mo datang” itu.

Ada bioskop kelas teri yang coba me-rehab gedung bioskopnya ikut-ikutan jadi multipleks, meski mutipleks ala ”kampung”, contohnya Grand Teater yang fotonya elo liat di atas itu, yang lokasinya persis di seberang pusat perbelanjaan Senen. Dari gedung gede yang jumlahnya duaratus seat (bangku), dibagi menjadi dua studio. Seratus seat di studio pertama, seratus lagi di studio sebelahnya. Pemisahan satu gedung jadi satu kadang cuma disekat ala kadarnya. Makanya jangan heran waktu itu ada bioskop yang studionya bisa mendengar film yang ada di studio sebelahnya.

”Bo, kayaknya film di sebelah lebih asyik deh,” kata si X sambil menempelkan kupingnya ke dinding.

”Ya udah, abis film ini kita nonton lagi aja ke studio sebelah,” kata si Y enteng.

Gara-gara krisis jumlah bioskop menurun. Banyak bioskop gulung tikar, terutama bioskop kelas teri. Ini terjadi karena, banyak alternatif hiburan. Pertama, televisi nasional nggak cuma TVRI, dimana televisi juga menyiarkan film-film box office. Kedua, menjamurnya VCD ato DVD bajakan. Namanya bajakan, harganya pasti murah meriah lah. Kalo di toko yang jual VCD ato DVD original harganya bisa sampe 100 ribuan, di Glodok elo bisa beli dengan harga 5 ribuan. Kualitasnya kadang elo bisa dapet yang nyrempet-nyrempet ori (istilah untuk original).

Alasan ketiga kenapa bioskop kelas teri gulung tikar, ya biaya operasional. Mau bioskop kelas teri maupun kelas elit, biaya operasional paling besar ada pada listrik. Percaya nggak percaya, bioskop di Cianjur dan Tasikmalaya, biaya listriknya sama dengan bioskop di Senayan City, Hollywood 21, maupun Pondok Indah.

Distribusi yang lambat juga menjadi faktor bioskop kelas teri kehilangan penonton. Ujung-ujungnya bangkrut deh. Padahal bioskop kelas teri ini sudah bersedia bikin banyak studio, namun karena distrubusinya lambat plus jumlah copy film itu terbatas, studio yang banyak itu jadi percuma. Bayangkan aja, film baru tiba di bioskop kelas teri 1 bulan setelah diputar di bioskop kelas elit. Ya jelas penonton malas dong nunggu. Masa temen-temennya udah nonton, penonton bioskop kelas teri itu baru cerita soal film baru itu satu bulan setelahnya.

”Film Kuntilanak keren baget ya? Udah ceitanya mendebarkan, efek-efeknya juga canggih, ” jelas si Penonton bioskop kelas teri dengan penuh semangat 45.

”Eh, Tong! Elu kemane aje? Itu kan film udah sebulan lalu. Kuntilanaknya sekarang udah punya anak kalee,” goda temannya yang rada kaya yang sempat nonton Kuntilanak di bioskop 21.

Akhirnya selesai juga film ”Pokoknya Beres”. Gw keluar dengan perut yang sakit. Bukan kekenyangan makan kali Bo, tapi kekenyangan ketawa. Itu film kocak abis. Kisah mahasiswa kost yang nge-kost di rumah yang pemiliknya sok galak (diperankan Abah Us Us). Nggak heran film produksi tahun 1984 yang juga dibintangi bomseks Eva Arnaz dan Lidya Kandou ini tercatat sebagai film terlaris dengan jumlah penonton mencapai 500 rb.

Di perjalanan pulang, gw merenggek ke Nyokap. Berharap bisa nonton lagi minggu depan, karena ada film komedi lagi.

”Ketawa itu kan katanya sehat, Bu,” renggek gw. ”Jadi, kita harus ketawa terus”.

”Iya, kamunya bisa ketawa, duit Ibu yang nggak bisa ketawa tahu?!”.

Diomelin begitu, gw cuma bisa nyengir kuda. Gw baru sadar kalo Nyokap gw itu cuma Pegawai Negeri alim yang nggak pernah mo disogok sama para Pengusaha. ”Pantesan nggak kaya-kaya”.

Selasa, 02 Desember 2008

THE BUDGET MAN

Entah kenapa Bokap n’ Nyokapnya memberi nama Irsan. Nggak kayak nama anak-anak lain yang keren-keren dan punya makna. Ali Oncom misalnya. Nama itu pasti diberikan ortunya karena tampangnya mirip Muhammad Ali sang Petinju legendaris dan kebetulan suka makan Oncom.

Ada lagi nama yang mentereng misalnya Laksamana Robert. Bokap si anak ini ingin anaknya gagah seperti Jenderal bintang di Angkatan Laut. Tanpa perlu jadi tentara udah dapat pangkat Laksamana. Trus soal nama Robert di belakang Laksama supaya terlihat gagah dan kebule-bulean. Perkara nantinya orang ini kolesterolan atau asam urat yang tinggal menghitung hari untuk mati, ya urusan lain. Sing penting nama Laksama Robert terlihat gagah.

Tapi Irsan? Wah, nggak keren. Terlalu lembek. Gw coba buka-buka sejarah manusia primitif, ternyata Irsan itu diambil dari bahasa Jepang. Kata “san” di belakang kata “ir” mengandung arti “tuan”. Jadi, Irsan berarti “tuan Ir”. Silahkan persepsikan kata “Ir” di sini. Ir bisa berarti gelar Insinyur. Ir bisa singkatan dari “Ih Rebyek deh kamyu”. Ir bisa juga akronim dari “Ike Runyam”.

Kata “Ike Runyam” mungkin lebih cocok untuk menempatkan kata Ir untuk “tuan Ir” atau “tuan ike runyam”. Runyam yang dimaksud di sini adalah masalah perbudgetan nasional di produksi. Tiada hari tanpa budget, ini yang membuat runyam otak pria yang baru laku tahun ini. The Budget Man, begitu panggilan khusus untuk dirinya.

Sebenarnya nggak beda dengan Superman atau Batman. “Tuan Ike Runyam” ini juga cocok jadi superhero. Dan nama superhero yang pantas ya The Budget Man itu. Dengan kemampuan analisis soal budget, hitung-hitungan keuangan, ketelitian soal laporan, dan masalah finansial lain, The Budget Man pasti hadir membantu. Tak ada satu orang pun yang bisa memperdaya dirinya dalam soal budget-budgetan.

“If you cheat, you’ll be death!” katanya seperti seorang superhero memberi ultimatum kepada penjahat. Dalam hal ini, penjahat yang dimaksud adalah mereka yang me-mark up honor atau pembelanjaan, misalnya honor artis atau beli paku untuk kebutuhan set.

“Oh, you are my hero The Budget Man!” begitu kebanyakan para Executive Producer berucap. Tiap akhir bulan, dengan iklas dan sukarela yang memang tanggungjawabnya, The Budget Man membuat budget yang akan dikirimkan ke bagian finance. Budget ini akan dipertanyakan jumlahnya dan jika udah ACC seorang Manager, dia rela terbang ke sana-kemari untuk mencari beberapa tanda tangan.

Saat ini The Budget Man belum memiliki kostum khas. Padahal sebagai superhero, dia harus sudah memikirkan kostum. Banyak yang menawarkan diri disain kostumnya, tapi ditolak olehnya mentah-mentah. Ada sih yang udah menarik hatinya. Yakni kostum berwarna merah dengan lambang “Rp” sebagai ciri khas mata uang rupiah yang juga menandakan uang sama dengan budget. Seperti Superman dan Batman, kolor tetap dipakai di luar. Warnanya putih polkadot. The Budget Man nggak perlu topeng. Tapi rambutnya dicukur beda, yakni diponi. Dengan atribut yang maha dasyat itu, The Budget Man siap terbang keliling Pulogadung.

Anyway, tanpa adanya The Budget Man produksi akan timpang. Kalo Robert nggak ada, sangat masih nggak apa-apa. Tapi The Budget Man is very VIP. Kalo dia risign, belum ada calon yang cocok menggantikan The Budget Man. Ada beberapa alasan. Pertama, celana kolornya belum tentu sama ukurannya. Kedua, poni rambutnya belum tentu sekeren The Budget Man yang sekarang. Terakhir, kemahirannya membawa mobil ngebut dengan satu tangan dan ke Yogya Cuma 8 jam belum terkalahkan. Terlalu gokil untuk dikalahkan. Tapi terlalu tolol juga kalo ada yang mau mengalahkan. Masuk Guiness Book of Record, enggak. Masuk Musem MURI, enggak juga. Mending, datang dan saksikan sendiri kehebatan The Budget Man dalam kesehariannya. Dia akan tersenyum dan mengucap: “i love you too”.

“Udah ah ngelawaknya! Gw mo dipanggil Pak Firman nih!”

Dan terbanglah The Budget Man. Semoga Tuhan memberkatimu. Amin!

BAJAJ: MOVING FORWARD

Buat gw, kendaraan satu ini msk dlm salah satu kendaraan yg menyebalkan, selain Metromini. Brbagai alasan yg menempatkan bajaj msk dlm kategori "Most Ngeselin Vehicle". Yang paling sering, belok kanan ato kiri seenak jidat. Biasanya, mrk yg udah tahu kelakuan para Bajaj Driver ngerti, bajaj yg mepet2 kendaraan kita, itu tandanya doi mo belok.

Lampu sen yg ada di blkng kendaraan sbenarnya cuma buat "pemanis" aja. Biar gaya, tp jg biar gak ditangkep DLLAJR. Krn lampu sen cuma sekadar hiasan, kalo mo belok kanan ato kiri, sang Driver memfungsikan kakinya: kalo mo belok kanan, yg diangkat keluar jendela adalah kaki kanan, begitu sebaliknya. Jd lucu bgt kalo ngeliat Bajaj Driver mo belok, yg kelihatan dari blkng jempol kakinya yg melambai2.

Ada juga sih yg agak "sopan". Kalo belok pake tangan. Sayang kadang2 tangannya itu sering nampar kepala orang: plok! Gara2 sang Driver terlalu semangat utk belok plus ngambil momentum belok yg rada2 sulit di tengah keramaian.

Cara manggil bajaj beda2 menurut KUBMB alias Kamus Umum Bahasa Manggil Bajaj.

"Bang! Bang! Bajaj," ada yg manggilnya rada sopan begitu.

Ada yg manggilnya begini: "Jay! Jay!" Kalo manggilnya model begitu, please be carefull yg nongol bkn bajaj, tapi kalo gak Jay Subiayakto ya Dimas Jay deh.

Yg salah kalo manggil bajaj dg begini: "Baj! Baj!" Itu sama saja melakukan perusakan nama kendaraan. Lagi pula intonasinya jg jd gak asyik didengarnya.

Bajaj jg memekakkan telinga. Buat Nenek2 & Kakek2 yg sdh lbh dulu budeg, akan semakin budeg kalo naik kendaraan asli India ini, krn "sound system" yg dihasilkan dr engine bajaj memberikan nuansa indah di kuping. Jgn heran kalo kita lg conversation di bajaj sering teriak2. Yg paling enak kalo lg pacaran. Di bajaj gak perlu jurus merayu, stop speaking, yg aktif bekerja adalah tangan dan bibir.

Kalo gw baca di sejarah gokil karya Prof. Brill, bajaj mngkin sdh ada sejak zaman PD ke-2 kali. Selain jeep, bajaj jd kendaraan perang yg membawa tentara Amrik menembus Vietnam. Kalo biasanya bajaj cukup tiga penumpang, buat tentara Amrik cuma cukup satu bajaj satu orang. Maklum badan tentara kan gede2. Udah gitu bw senjata kaliber pula. Komplet seseknye deh! Coba bayangkan kalo satu peleton naik bajaj, menembus jln Hon Chin Minh, meliat-liuk mengindari bom. Wih! seru bgt! Persis pembukaan film James Bond: Quantum of Solace.

Selain sbg kendaraan perang, bajaj jg jd kendaraan elit di era 60-an. Kalo naik bajaj serasa naik Innova tipe V. Gemuk dan menggemaskan. Rasanya pengen nyubit-bit! Bedanya, Innova ada penyejuk ruang, bajaj ada angin sepoi2 yg masuk lewat jendela2 yg lebar2 itu. Dg pendingin & pengharum ruang, mrk yg naik Innova jd bisa ngorok. Sementara kalo bajaj, tidur gak akan pernah pules, apalagi sampe ngorok, krn setiap saat sang Driver bs menikung tajam. Sometimes kalo bajaj dilewati truk sampah, "keharuman" sampah2 itu akan tercium dg seketika.

Friends, elo boleh sebut gw ambigu. Di satu sisi gw sebel bgt dg kendaraan yg dari dulu sampe skrng rodanya msh tiga ajah, gak nambah2 ini. Di sisi lain, ada kerinduan kalo bajaj gak ada di jln pas gerimis tiba. Soalnya, buat gw, bajaj kendaraan penganti ojek kala wkt hujan. Buat nyelip2, putar haluan menerobos jlnan verboden, bajaj sama kalibernya dg ojek. Gak mungkin dong taksi spt itu? Nah, di sinilah positioning bajaj jd okeh pny. Dg uang yg pas2an, kita bs menikmati kendaraan gokil sampe kuping kita budeg. Moving forward duhai my Bajaj! Keluarkan jempol kakimu selagi tangamu gak mampu.

MAYASARI BAKTI 57: PUAS SAMPE NGILER

Boleh jadi, umur bus Mayasari no 57 ini sebanding dengan usia Dinosaurus Pitekantropus Elektus. Kebenaran soal ini bisa elo-elo baca di buku PMP jilid 2 terbitan tahun 1876, dimana bus ini sudah beroperasi sejak Perang Majapahit. Gw bangga banget masih bisa ngerasain naik bus berwarna hijau kemerah-merahan ini.

Barangkali ada yang belum tahu kenapa bus ini disebut bus Mayasari dan kenapa pula bus ini nomornya 57. Begini, Bro, ceritanya si pemilik punya anak namanya Maya. Anaknya cantik jelita bak putri Raja. Maya ini kebetulan dijodohin sama pria bernama Bram.

Nama boleh sangar, tapi ternyata Bram berkepribadian feminin, bacaannya aja Femina. Bram lebih ngerti cara duduk yang baik, cara makan yang baik pake sendok dan garpu, dan cara mem-blow ketek yang baik. Sebagai seorang wanita baik-baik, Maya nggak terima dengan perjodohan itu. ”Masa cewek macho kayak gue dikasih cowok klemar-klemer? Harusnya jodohin gw dengan Bratt Pitt kek ato Adlof Pusumah kek, masa dengan dia? Huh?! Nggak sudi daku!” Walhasil, Maya kabur dari rumah sambil bawa baju 3 stel pakaian.

Orangtua Maya nangis tujuh hari tujuh malam. Tiba-tiba di tengah kegundahan itu datang sosok wanita muda nan ceria. Namanya Sari. Dia bukan sodara Sarinila ato Sarimin. Dia nggak lain adalah keponakan dari abang iparnya kekek ayahnya Maya. Eng...ing...eng!!!

Kehadiran Sari membawa angin segar. Kenapa? Sari diamanatkan untuk mencari Maya yang hilang entah kemana. Singkatnya, Maya berjumpa dengan Sari. Setelah curhat-curhatan sejenak, Maya memeluk Sari sambil meneteskan air mata. Crot! Namun sayang seribu kali sayang, pada saat mereka berpelukan, datang Bram sambil membawa pistol kaliber 9. Dengan berang, Bram menembaki Maya dan Sari tanpa rasa kemanusiaan dan prikeadilan.

Tewasnya Maya dan Sari membuat duka yang mendalam bagi keluarga besar mereka. Sebagai rasa belasungkawa yang besar dan rasa cinta mereka, keluarga besar membuat prasasti berupa bus yang mereka namai bus Mayasari. Sementara nomor 57 merupakan angka keberuntungan keluarga mereka, karena bertepatan dengan tahlilan, nomor buntut yang mereka pasang berhasil meraih hadiah senilai 6 milion dolar. Nilai itu mengingatkan kita pada film The Six Million Dollar Man.

Gw mengenal bus 57 sejak SMP, bahkan mungkin SD kali ya. Kisah pertemua itu nggak sengaja, ketika bus itu sering hilir mudik lewat sekolah gw yang lokasinya kebetulan di depan jalan Pemuda, Jakarta Timur. Namun pada masa itu gw nggak care dg bus ini. Sebab, emang gw belum butuh, kok. Trayeknya nggak lewat rumah gw yang di Cempaka Putih. Bus ini rutenya Pulogadung ke Blok M, lewat Cawang, MT. Haryono, dan TB Simatupang. Jauh juga ya, Bo?!

Bus ini benar-benar berjasa buat gw dan umat manusia lain yang kebetulan rumahnya dilintasi oleh bus ini. Banyak sekali kejadian yang gw alami di bus ini dan itu memberikan pelajaran yang berharga, juga kisah menarik buat anak, cucu, dan cicik gw kelak.

Gw masih ingat jelas bagaimana para pencopet beraksi dari MT Haryono sampai akhirnya turun di daerah Cawang. Copet yang berjumlah sepuluh orang itu pura-pura makan kuaci, trus nawarin Ibu-Ibu yang kebetulan bawa Blackbery. Dengan semangat ibu-ibu itu senang dong. Kebetulan lagi chatting-chattingan, eh ada orang yang nawarin kuaci. Ketika Ibu itu lengah, seorang teman copet langsung beraksi untuk mengambil dompet yang ada di tas Ibu-Ibu itu. Wush!! Begitu dapat apa yang dimaui, para copet langsung turun.

”Kok ngambilnya cuma dompet sih? Kenapa bukan blackbarry ya?” tanya Ibu keheranan. ”Padahal dompet itu isinya kan cuma celana dalem saya yang belum dicuci...”

Gw juga masih ingat betapa baunya ketek-ketek para penumpang pada saat tangan mereka menggantung di sebuah tiang bus. Ada di antara mereka tetasan keringatnya menetes mengenai wajah penumpang. Sampai-sampai penumpang itu ketagihan menjilati tetesan keringat itu. Ada pula penumpang yang berusaha mencabuti bulu keteknya dengan semangat, sampe-sampe sikutnya menyikut kepala penumpang sebelah.

Buat gw yang paling seru naik Mayasari 57 ini adalah bisa tidur dengan pulas sampe ngorok dan ngiler. Maklum, gw termasuk manusia yang mudah sekali tidur. Dimana pun gw berusaha untuk tidur. Maklum Bro, gw penganut faham: ”bisa tidur adalah sebuah kenikmatan tiada tara”. Maklum juga, jarak tempuh gw dari naik pertama menuju ke kantor cukup jauh, ya sekitar 2 hari lah. Dengan durasi cukup berbobot seperti itu, gw sempat bisa punya waktu makan, tidur, ganti baju, tidur lagi, ngorok, ngiler, kawin, punya anak, dan ngiler. Hmmm... betapa nikmatnya naik 57, euy!

JAMU GALIAN SINGSET: SEBUAH REKONSTRUKSI SEJARAH

Politik yang memanas tahun 1965 membuat gerah masyarakat tanah air. Jendela-jendela rumah yang biasanya tertutup rapat, dibuka lebar-lebar. Bahkan banyak rumah yang sebelumnya nggak berjendela, terpaksa dibongkar dan dibuatkan jendela agar angin sepoi-sepoi bisa mengademkan suhu politik yang panas itu tadi.

Akibat panas, kipas angin laku keras. Penjualannya yang sebelumnya lesu dan lemah seperti kurang darah, tahun itu terjual bak kacang goreng. Sovenir pengantin yang tadinya cuma asbak atau korek api, berubah menjadi kipas kayu.

Pemerintah bingung mau berbuat apa. Sebab, jika salah langkah, rakyat akan bisa menyerang Pemerintah. Sebaliknya Pemerintah tentu dengan mudah juga bisa menyerang via tentara. Baik raykat maupun Pemerintah jadi main serang-serangan. Gara-gara bingung melangkah dan nggak ada kerjaan, Pemerintah atas Komando Presiden menginstruksikan beberapa instansi untuk bikin kerjaan. Mending kerjaannya jelas, ini nggak jelas, yakni menggali.

PLN diinstruksi untuk menggali saluran kabel. Tiang-tiang yang sudah dibuat, dibiarkan berdiri. Pokoknya selama di situ ada tanah, ya silahkan digali. PDAM juga nggak ada kerjaan, ikut-ikut menggali. Tujuan penggalian adalah memasang saluran air. Last but not least, Departemen Pekerjaan Umum juga ikut-ikutan menggali. Lagi-lagi nggak jelas mo menggali apa. Yang penting kelihatan ada kerjaan.

Tahun demi tahun berlalu. Setiap tahun ada aja galian yang digali oleh beberapa instansi. Yang paling sering ya tiga instansi itu, kalo nggak PLN, ya PDAM. Kalo nggak PDAM ato PAM, ya dinas PU. Pokoknya para pemimpin ketiga instansi itu memang nggak punya visi. Goblok-goblok! Ya dong! Kalo punya visi ya nggak mungkin ada penggalian tiap tahun? Nggak mungkin bikin macet jalan? Ini mah gali lubang tutup lobang. Mirip lagu Nicky Astria: ”Jarum Neraka” yang ada di album Jikustik.

Setiap ada penggalian, Ibu Singset selalu lewat. Ibu Singset adalah penjual jamu gendong yang bahenol bin kecantol. Struktur badannya sangat singset. Kalo nggak tahu singset, itu artinya berbody aduhai. Kata orang, mirip body gitar ukulele-nya Mang Udel. Selain body, yang nggak tahan dari Ibu Singset adalah kondenya yang indah menawan. Besar kondenya persis parabola Astro. Kebayang dong bagaimana cihuinya kalo Ibu Singset jalan, pasti kondenya akan mengenai sasaran muka-muka orang.

Setiap kali lewat, Ibu Singset selalu di-suit-suit-in sama kuli-kuli yang sedang sibuk menggali. Maklum namanya kuli, mereka pasti langsung ”tegang” melihat Ibu Singet jalan megal-megol yang persis bebek bercula dua itu. Mana yang bikin ”tegang” lagi, baju kebaya yang dikenakannya transparan banget, sehingga sering mempertontonkan jaket kulit yang dikenakan olehnya (maksudnya sebelum pake kebaya, Ibu Singset pake jaket kulit anti peluru dulu, Bro!). Udah gitu, kain yang menutupi pantat sampai kakinya seringkali melambai-lambai, sehingga memperlihatkan betis yang putih bersih dan berbulu domba.

Ketika instansi-instansi nggak punya visi, Ibu Singset malah punya. Dia melihat ada setitik peluang yang belum digarap oleh para Penjual jamu gendong lain. Visinya adalah menggarap para kuli agar mau minum jamu hasil olahannya. Tujuannya nggak lain nggak bukan agar badan kuli-kuli itu nggak cepat rontok, bisa tahan sampe tahun 2008. Karena Ibu Singlet yakin 100%, pastilah instansi-instansi ini akan selalu cari-cari proyek menggali. Mo sampe tahun 3011 pasti di negeri ini masih akan ada proyek gali menggali. Lihat saja foto di atas. Itu proyek galian dinas PU di dekat rumah gue yang sekarang bikin macet parah.

Hanya dalam tempo satu malam, Ibu Singset akhirnya berhasil membuat formula canggih. Formula itu kemudian dipatenkan dengan nama Jamu Galian Singset ato diakronimkan dengan sebutan JGS. Sebelum itu, nama jamunya adalah Galian Singlet. Namun berkat arahan sang Sutradara, Singlet diganti jadi Singset sesuai nama penemunya. Ya, nggak enaklah, konotasi singlet kan negatif: bau, jorok, dekil, atau mas-mas yang pakai. Kita bicara banchmark soalnya, Bro!

Penemuan jamu ini jelas memberikan kontribusi yang indah rupawan bagi instansi-instansi yang ingin terus mempekerjakan para kuli galian. Sekarang mau bikin proyek galian apa aja, sudah nggak akan kawatir lagi, karena produk JGS sudah dibuat saschet-nya, lebih instan. Minum dimana aja, okeh! Cukup cari air hangat, disedu, diaduk-aduk, dan diminum deh. Saingan JGS waktu itu cuma Jamu Mentjos (baca: Mencos) yang saat ini masih berdiri tegak di samping RS Thamrin, Salemba.

JGS ini pun mudah di dapat. Selain di apotik, JGS juga bisa dibeli di Toys R’Us atau di Aquarius Mahakam dengan kemasan yang berbentuk kapsul. Oh iya, khasiat jamu ini juga bisa untuk menghilangkan jejak, lho. Jadi, produk home industry Ibu Singset ini pasti bakalan diminati oleh para Koruptor yang punya rencana mau menghilang. Bener-bener visioner!

Senin, 01 Desember 2008

TANPA BEBAN

Lihatlah perlahan-lahan wajahnya. Di waktu tidur, ia nampak tenang. Seolah tak ada beban yang memikul pundaknya. Di saat bekerja pun, tak ada satu kata keluhan, yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tahu pasti, banyak sekali masalah yang sedang dia hadapi.

Perhatikan baik-baik, kerut-kerut di wajahnya. Ia sangat terlihat tua dari usia sesungguhnya. Padahal aku yakin, umurnya baru 40 tahunan. Itu artinya, empat tahun lebih muda dibanding aku. Mungkin kulitnya yang hitam legam yang membuat tampangnya jadi nampak tua. Mungkin karena tulang-tulangnya yang terlihat menonjol, yang hampir terlihat keluar dari kulitnya yang kasar dan kering itu, yang menambah rona-rona di wajahnya jadi look old than his age.

Beda dengan aku. Umurku 44 tahun jalan dua bulan. Kata orang, wajahku jauh lebih muda dari usiaku. Kulitku halus dan bersinar. Kulit-kulitku juga kenyal. Maklumlah, aku pakai salah satu produk kecantikan, yang sudah terbukti membuat wajah jadi muda dalam waktu 15 hari. Itu gara-gara anjuran istri. Kata istriku: “cermin kepribadian, juga bisa terlihat dari bagaimana kita bisa merawat diri or not”.

Yap! Kemiskinan membuat pria itu seperti itu. Namun lewat kemiskinan, pria ini hidup tanpa beban. Tanpa rasa bersalah. Tanpa dibayang-bayangi oleh KPK, ato Polisi, ato Tentara, ato aparat kelas kambing lain. Karena ia bukanlah manusia yang berada di segmentasi kaum pendosa. Karena ia termasuk manusia yang selalu berada di rel kebenaran. Karena itulah ia hidup tanpa beban.

Kemiskinan menjadikan dirinya jauh dari kemaksiatan, lilitan dosa, atau kriminalitas. Ia cukup tahu diri dengan keadaannya kemarin, hari ini, dan mungkin akan datang. Bahwa hidupnya akan seperti ini: miskin. Makan sekali saja dalam sehari. Itu pun hanya dengan sebuah lauk, entah itu tahu atau tempe, ato paling mahal telor dan ikan asin. Yang penting ada sebumbung nasi. Kalau pun terpaksa tak makan, yang penting dahaga tak pernah membuat kerongkongan kering.

Beda dengan aku. Aku terlalu rakus untuk segala urusan. Aku biasa mengambil semua tender-tender yang di-pitching oleh Depertemen. Tak peduli pitching itu aku makan sendiri atau aku sub-kan lagi ke perusahaan lain. Tak peduli fee yang aku terima cuma recehan. Yang penting buatku adalah uang, uang, dan uang.

It’s all about money, indeed. Karena I must have much money, whatever it takes. Karena aku punya istri yang suka shooping dan koleksi produk-produk branded. Karena aku harus memasukkan anak-anakku di sekolah termahal, yang iuran per bulannya 10 juta. Karena aku sudah punya komitmen sebulan sekali harus liburan ke luar negeri. Karena aku juga (please for this matter, don’t tell my wife) punya pacar yang cantik sekali, seperti Dian Pisesa, dan juga pintar bahasa Inggris seperti Miss Indonesia 2006: Nadine Candrawinata, dan juga tinggi seperti Dian Sastro.

Lihatlah kedua anak-anaknya yang tertidur di sisinya. Wajah mereka senaif pria itu. Tanpa beban. Padahal seluruh tetangganya tahu, kedua anak itu selalu membantu pekerjaan ayahnya yang sebetulnya cukup berat untuk ukuran anak-anak. Tapi mereka dengan riang gembira melakukan itu, mengumpulkan kardus-kardus bekas, botol-botol air mineral, gelas pelastik, dan barang pecah belah lain.

Dengan kaki telanjang, dengan kaos oblong compang-camping, dengan tubuh yang dekil, mereka keluar masuk kompleks perumahan yang rata-rata berpagar besi setinggi 2 meteran. Mereka sudah pasti tahu di dalam rumah, tinggal keluarga-keluarga berada yang juga memiliki anak seusia mereka. Kedua kakak beradik ini juga pasti mengerti kenapa mereka tak akan pernah mau mengajak anak-anak mereka bergaul dengan anak gembel.

Namun banyak hal yang mereka juga tak tahu, maksudnya kedua anak gembel dari orangtua yang gembel pula ini. Mereka tak tahu kalo New Kids on The Block tahun 2008 ini reuni lagi. Mereka tak mengenal siapa itu Hannah Montana, apalagi High School Musical yang barusan merilis trilogi filmya. Mereka juga tak tahu dari mana para penghuni rumah gedong itu mendapatkan uang-uang mereka. Kok bisa negera yang dianggap miskin seperti ini masih bisa beli mobil mewah seharga 1 milyard (seperti aku ini)? Kok bisa anak-anak mereka dimasukkan ke sekolah yang biayanya 30 juta per bulan (seperti aku ini)?

Itu bukan protes mereka. Itu bukan suara hati mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah ilusiku pada diri mereka, karena aku gemes mereka tak pernah protes sedikit pun pada keadaan yang menghimpit mereka. Bahwa harusnya anak itu punya hak untuk bersekolah gratis. Tapi mana program wajib belajar (wajar) 9 tahun yang didengung-dengungkan pemerintah? Kok tak sampai ke mereka? Apakah wajar hanya berlaku untuk golongan tertentu? Haruskah aku masukkan anaknya ke seolah anakku? Maaf, aku terlalu gengsi untuk bisa melakukan itu.

Keluarga miskin itu tanpa beban. Orangtuanya tak pernah menargetkan apa-apa pada anaknya untuk jadi anak ini dan itu. Untuk jadi seorang pengusaha, musisi, politikus, atau apa. Semua diserahkan kepada jalan hidup dan iklas pada Yang Maha Kuasa. Sementara kedua anaknya juga tak pernah merengek-rengek minta pergi ke Kidznia atau setidak-tidaknya melihat binatang di Ragunan. Padahal paling-paling tiket masuk Kebon Binatang Ragunan berapa sih? Untuk hal elementer (bersekolah) pun anaknya tak punya nyali untuk meminta orangtuanya.

Tapi sekali lagi mereka tak punya banyak uang. Sama sekali tak punya uang. Apakah mereka tak berusaha? Tidak juga! Siapa bilang mereka tak ada usaha? Setiap pagi sehabis sholat berjamaah, mereka selalu menyertakan peralatan mulung mereka. Tak lupa pakaian dekil yang setia beberapa tahun ini menempel di tubuh mereka.

Siapa bilang mereka tak pernah berdoa. Kata orang yang aku dengar, mereka bersujud lima kali dalam sehari. Kata orang juga, pada saat bersujud mereka menangis, tapi pasrah. Dalam doa tak ada satu kalimat matrialistik yang mereka minta pada Tuhan. Sebuah doa sederhana.

"Ya Tuhan, kuatkan keluarga kami agar tak tergoda dengan segala bentuk kematrialistikan, kemunafikan, iri, maupun dengki. Tetapkan kami jadi keluarga sederhana yang tak rakus dengan uang, tahta, maupun jabatan. Jadikan anak-anak kami menjadi anak-anak yang wajar seusianya. Penuh dengan keria sebagaimana anak-anak seusianya, meski harus tetap bekerja. Dengan begitu semua, kami bisa hidup tanpa beban seperti sampai sekarang ini dan akan datang. Amin"

Kalau memang kata orang itu benar, pria itu beda sekali dengan aku. Tanpa berdoa, aku tetap diberikan harta yang melimpah kok. Siapa bilang menjadi kaya raya harus berdoa, bolak-balik bersujud. Ah, kalo mo kaya ya kerja, usaha, sikut sana-sini, jilat sana-sini, bunuh sana-sini. Tak perlu berdoa. Sudah tak musim berdoa. Aku banyak juga kok bukti-bukti yang memperlihatkan orang sukses tak pernah berdoa: anak Kongomerat, Direktur, anak Menteri Agama, Sutradara Film, Manager Bank, pemilik bioskop Megaplex, dan masih banyak contoh lain.

Tiba-tiba lampu teplok di rumah itu mati. Itu artinya minyak tanah sudah habis. Itu sama saja mereka harus beli minyak tanah lagi. Antri lagi dengan ratusan orang miskin lain. Yang berpanas-panasan, berdekatan dengan jalanan yang berseliweran mobil-mobil mewah dengan penyejuk ruang serta audio set super canggih. Aku melihat dari balik mobil Hammer-ku yang berkaca gelap.
“Emang nggak enak jadi orang miskin”.