Selasa, 26 Mei 2009

IT MIGHT BE HARD LIFE, BUT IT WAS GREAT EXPERIENCES

Sebut saja dia Zaldo. Usianya kira-kira 50 tahunan. Kulitnya hitam dan nampak sedikit kusam. Kalo kita perhatikan, warna kulitnya yang hitam, bukanlah warna kulit asli sejak dia lahir. Namun itu adalah hasil sebuah tempaan masa lalu di jalanan. Yap! Dia memang sempat hidup bertahun-tahun di terminal Blok M sebagai seorang Preman.

Nasib memaksa dirinya hidup seperti ini. Mengutip seperak dua perak dari setiap bus yang masuk ke terminal Blok M, Jakarta Selatan. Semua orang pasti akan mengecap dirinya hina. Bukan hanya Kondektur bus yang merasakan sebuah bentuk “ganguan” dengan kehadiran Zaldo itu, namun pastilah keluarga besarnya akan mencibir profesi yang dilakukannya.

Apakah Zaldo menginginkan pekerjaan sebagai Preman terminal Blok M?

“Nggak ada satu orang pun yang tertarik menjadi Preman,” papar Zaldo, putra kelahiran Padang, Sumatera Barat ini. “Saat itu gw terpaksa melakukannya”.

Kata “terpaksa” boleh jadi akhirnya menjadi bentuk lain dari “melegalisasikan” aktivitas Zaldo yang mulai dilakukan sejak tahun 1988. Saat itu terminal Blok M nggak seperti sekarang ini yang “modern”, dimana kalo ingin berganti bus harus masuk lewat alley atau terowongan bawah tanah. Zaldo yang nggak punya sanak saudara di Jakarta, terpaksa hidup tanpa tempat tinggal. Kala itu, terminal Blok M lah yang menjadi incaran pertama sebagai tempat tinggal.


Katanya, meski jadi Preman Blok M, namun seumur-umur belum pernah mencopet atau mencuri barang orang lain. Ketika masih menguasai terminal Blok M, justru dia membenci Pencopet. Selain Pencopet, dia dan teman-temannya akan mengusir orang-orang dari luar Blok M yang mabuk di wilayah terminal maupun di dalam bus.

“Gw makan, tidur, berak di terminal itu (maksudnya Blok M),” jelas pria yang saat ini bekerja sebagai Unit Superviser di salah satu televisi swasta nasional. “Modal gw cuma baju tiga stel yang ditaro di belakang WC umum tempat gw biasa mandi dan berak. Kalo tidurnya mah gw sembarangan aja. Kadang di halte, kadang di lantai. Pokoknya suka-suka gw”.

Buat sekadar makan dan minum, Zaldo terpaksa menjadi Preman di terminal Blok M. Di terminal yang terdapat ratusan bus ini, dia mengutip Rp 50,- setiap bus yang masuk ke terminal. Kala itu tahun 1988, ongkos bus masih Rp 200. Coba bayangkan kalo bus yang dikutip ada sekitar 100 bus per hari, maka dalam sehari dia mendapat duit Rp 5.000. Angka ini masih harus dibagi dua, karena dalam menjalankan profesinya sebagai Preman, dia dibantu seorang rekannya. Surat namanya.

Bersama Surat, Zaldo begitu kompak. Ketika bus masuk ke terminal, salah satu dari mereka naik ke atas bus. Misalnya Zaldo yang naik ke bus, Surat yang nggak naik dan menunggu di bawah. Di atas bus, Zaldo akan minta duit ke Kondektur. Kalo Kondektur nggak mau ngasih, maka tugas Surat yang akan menggeretak Kondektur. Hal tersebut akan dilakukan Zaldo kalo kebetulan Surat ada di atas bus, sementara Kondektur nggak mau ngasih duit.

Terkadang, sebelum diberikan duit, Kondektur akan minta tolong Zaldo atau Surat buat mengusir orang mabuk yang nggak mau turun di atas bus. Atau orang-orang rese yang memang menyusahkan Kondektur atau Supir bus buat mengusirnya ketika udah sampai di terminal.

“Waktu itu memang nggak ada Preman yang mengutip di terminal. Preman sih banyak, tapi yang di terminal cuma gw sama Surat”.

Menurut Zaldo, Preman di kawasan terminal Blok M itu udah terbagi-bagi di beberapa wilayah. Ada yang di wilayah buah-buahan. Ada yang beroperasi di wilayah Pedagang pakaian. Ada pula yang menjadi Preman di blok khusus Pedagang tas dan sepatu. Pokoknya konsentrasi wilayahnya terpecah-pecah. Mereka satu sama lain nggak saling berebut wilayah. Apalagi masing-masing wilayah itu udah berdasarkan suku. Mulai dari suku Jawa yang diwakili oleh orang-orang Surabaya dan Malang, maupun Medan yang terdiri dari Batak Medan, Padang, Palembang, dan Jawa Deli.

Kalo dipikir-pikir, pemasukan Rp 5.000 per hari di tahun 80-an, sangat bernilai. Ingat! Saat itu 1 US$ masih di kisaran Rp 1.600 dan harga minyak per berel US$ 16. Tepatnya pada tahun 1988, 1 US$ Rp 1.686; tahun 1989 (Rp 1.763); tahun 1990 (Rp 1.836); tahun 1991 (Rp 1.941); dan tahun 1992 (Rp 1.994). Namun buat Zaldo, hidup bukan buat masa depan, tapi cuma buat hari esok. Maksudnya, dia dan rekannya nggak mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya buat ditabung. Targetnya cuma sampai Rp 2.500 per hari. Setelah itu buat makan dan...

“Minum!”

Yang dimaksud minum di sini bukan minum air putih sehabis makan atau minum teh manis hangat. Minum di sini adalah menenggak minuman keras. Biasalah, katanya Preman kalo nggak minum nggak afdol kepremanannya. Ini juga berlaku buat tato. Mayoritas orang nggak akan mengakui seorang itu Preman atau bukan kalo di anggota tubuhnya nggak ada tato.


Pernah menjadi Tukang Obat di sekitar terminal Blok M. Diakui olehnya, mayoritas Pedagang Obat di situ membohongi orang-orang. "Tapi orang bodoh," katanya. "Kalo orang pintar mau mau dibohongi dan kemudian membeli obat". Salah satu obat yang pernah dijual, obat sakit gigi. Padahal bukan obat, tapi cuka yang ditaro di sebuah botol kecil. Cuka itu dites di gigi Penderita sakit gigi dengan mengunakan pingset dan kapas yang udah digulung dan dikasih cuka. Kapas itu diletakkan ke gigi, setelah itu ditaro di sebuah piring kecil. "Gw bilang, sakit gigi ini gara-gara ada cacingnya," kata Zaldo. Padahal cacingnya udah ada di piring kecil itu. Cacingnya diambil dari terong.


Sejak resign jadi Preman, Zaldo beralih profesi, yakni jadi Kantau. Saya nggak menemukan kata yang cocok buat menggantikan posisi kata Kantau ini. Namun lebih baik kita sebut saja sebagai Perantara. Kenapa Perantara? Sebab, tugas Kantau adalah menjadi Perantara antara Konsumen dengan Pedagang. Barangkali mirip kayak Sales. Tapi Sales di sini nggak digaji. Dapat duitnya dari fee yang didapat dari pembelian si Konsumen.

Kantau akan langsung melayani Konsumen ketika si Konsumen tertarik dengan produk yang mau dibeli. Semisal Komsumen hendak membeli sepatu. Kantau akan mencarikan nomor sepatu yang dibutuhkan Konsumen. Ketika Konsumen menawar, Kantau akan menyebutkan angka-angka sampai minimal keuntungan yang bakal didapat. Lho si Pedagang aslinya kemana? Ada di situ. Namun yang getol melayani atau merayu Konsumen, ya Kantau itu.

Bagaimana pembagian hasil antara Kantau dan Pedagang?

Kalo sepatu terjual Rp 100.000 dan ongkos produksinya Rp 50.000, maka 50%-nya buat Pedagang. Jadi Rp 50.000 diberikan langsung ke Pedagang agar ongkos produksi udah terbayar. Sisanya dibagi lagi, yakni 25% buat keuntungan (Rp 25.000) dan 25% buat Kantau (Rp 25.000). Kalo kebetulan Kantau-nya ada dua orang, ya dari Rp 25.000 harus dibagi lagi menjadi dua.

“Seorang Kantau harus tahu setiap harga barang yang akan ditawarkan ke Konsumen,” jelas Zaldo. “Kalo nggak tahu bisa berbahaya! Kita nggak bisa dapat untung, karena nggak tahu ongkos produksi produk itu berapa dan berapa fee yang akan kita dapat”.

Ada Kantau tipe lain (gw sebut Kantau tipe B), yang melakukan kebohongan pada orang lain. Tugas Kantau tipe ini lebih menjadi seorang Provokator yang menggerjain Konsumen. Konsumen yang dikerjain Kantau ini disebut Ornak (bacanya Orna tanpa huruf “k”). Gara-gara eksistensi Kantau tipe B, Konsumen bisa langsung membeli tanpa berpikir kalo mereka sedang dibohongi.


Ketika di terminal, dia mengutip duit dari Kondektur. Ketika sempat jadi Kondektur, giliran dia yang dipalakin Preman. Nggak cuma jadi Kondektur, dia juga sempat jadi Timer legal. Dia ngaku lebih sering berantem semasa jadi Preman di Blok M. Untungnya nggak sempat membuatnya tewas.

Modus Kantau tipe B sangat terkonsep. Ornak nggak sadar kalo dia terjebak dan dikelilingi oleh para Kantau. Sebagai contoh Pedagang jam tangan. Pedagang jam mempromosikan jam tangan yang seolah terbuat dari emas, padahal emas palsu. Si Pedagang berteriak-teriak tentang kehebatan jam tangan tersebut. Setelah membeberkan kehebatan jam tangan, dia langsung menawarkan ke Konsumen secara rendom.

“Saya jual dengan harga seratus ribu, Bapak mau,” kata Zaldo menirukan gaya bahasa pada saat menawarkan jam tangan ke Konsumen.

Tawaran buat membeli dari si Pedagang bisa direspon Konsumen secara positif, bisa pula enggak. Nah, tugas Kantau tipe B menjadi Provokator. Kantau ini memprovokasi Konsumen agar membeli. Kantau akan mengeluarkan statement kalo nggak beli produk itu bakal rugi. Bahkan Kantau sok-sokan mengeluarkan duitnya buat memancing supaya terlihat adanya transaksi. Padahal duitnya yang dikeluarkan Kantau adalah duit pribadi milik si Pedagang. Sekali lagi, Konsumen nggak tahu Kantau ini bekerjasama dengan Pedagang atau nggak. Faktor suksesnya akan tercatat kalo hasil provokasinya berhasil memakan korban. Korban-karban ini disebut Ornak.

Lalu bagaimana pembagian feenya?

Nggak kayak Kantau, fee jadi Kantau tipe B tergantung dari Pedagang. Nggak ada tarif persentasi-persentase-an. Si Pedagang akan menghitung berapa jumlah Kantau yang kompak memprovokasikan Ornak membeli sebuah produk. Kalo ada enam Kantau, dari keuntungan Rp 100.000 ya dibagi empat (masing-masing Rp 25.000). Oh iya, biasanya Kantau ini terjadi di dagangan yang produknya terbuat dari emas palsu, kayak jam tangan. Pernah tahu dong ada jam tangan merek terkenal (Rolex salah satunya), tapi bisa beli di Blok M dengan harga Rp 200.000?

“Coba kau beli arang” kata Zaldo menirukan rekannya yang udah lama menjadi Pedagang di seputar terminal Blok M. Yap! Pedagang juga menjadi profesi lain si Zaldo ini. Salah satunya, ya pedagang arang tumbuk ini.

Arang kemudian dihancurkan dan ditumbuk sampai halus. Selain Arang, Zaldo juga diminta buat mengumpulkan batere bekas dan batere baru. Batere baru itu digosok-gosok agar terlihat seolah batere bekas. Awalnya terus terang gw nggak tahu Arang dan batere itu mau dibuat apa. Tapi you know what? Kedua barang itu digunakan buat membohongi Konsumen!!! Arang yang udah dihasuluskan itu digunakan seolah sebagai isi batere. Pernah lihat dong isi batere itu mirip arang?

Ketika menjalankan aksinya, Zaldo mempraktekan dengan cara membolongi lubang kecil di bawah batere baru. Melubanginya menggunakan jarum semacam suntikan. Isi batere yang mirip arang itu dikeluarkan dan kemudian diisi arang. Ketika dites dengan menggunakan listrik dan bohlam, batere itu seolah berfungsi.

“Lihat kan! Batere yang lama ini berfungsi! Bohlam jadi menyala,” kata Zaldo mengulangi kata-kata mirip kala waktu itu menjadi penjual isi batere. “Nah, isi batere ini sangat membantu batere anda jika batere udah mulai soak”.

Lain soal kalo yang diuji coba adalah batere bekas. Maka lampu bohlam nggak akan menyala, karena memang baterenya udah lama. Bubuk batere palsu yang terbuat dari arang itu dijual per 3 kantong. Pada tahun 80-an, dijual sekitar tigaribuan.

Nggak ada yang pernah protes?

“Kalo protes, alasan kita sederhana: pasti batere Bapak memang bocor!”

Itu adalah bagian masa lalu yang suram, kata Zaldo. Katanya, dia nggak mau lihat lagi masa lalu yang benar-benar kelam. Kalo diibaratkan it was a hard life, but it was great experiences in his life. Betapa tidak, tanpa melewati sisi hitam, Zaldo nggak bakal menikmati hidup seperti sekarang ini. Meski dia masih merasa serba kekurangan, namun duit yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit jelas lebih halal ketimbang duit yang dia hasilkan puluhan tahun lalu di terminal Blok M itu. Bukan begitu bung Zaldo?


(*) kisah ini kisah nyata sebagaimana diceritakan Zaldo ke gw.

Minggu, 24 Mei 2009

BEST SCHOOL OF ATTITUDE'S MONKEY

Setiap semester, para Wakil Rakyat negeri Omong Kosong (selanjutnya kita singkat aja ya dengan akronim Mongkos supaya nggak mubazir) melakukan studi banding. Tujuan studi banding adalah melakukan studi dan melakukan perbandingan. Kalo di negeri Mongkos begini, sementara di negeri lain begitu. Berharap dengan melakukan studi banding, maka negara Mongkos bisa mengikuti ide dari negara yang dibanding-bandingkan itu.

Sejatinya memang begitu. Setelah melakukan studi banding, maka hasil studi diaplikasikan alias diterapkan. Ini kayak yang pernah dilakukan negara tetangga Mongkos, yakni Indonesia, dimana Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sempat melakukan perjalanan ke Bugotta. Katanya kota itu semerawutnya mirip Jakarta dalam hal kemacetan lalu lintasnya. Namun sejak diberlakukan mass transportation alias transportasi masal buat warga, yakni bus berjalur khusus, kemacetan lalu lintas di Bugotta jadi teratasi hampir 50%.



Setelah balik dari Bugotta, Sutiyoso langsung menerapkan mass transportation. Pertama yang dilakukan mengoperasikan busway. Kendaraan umum ini konon dianggap sukses, meski kemacetan juga belum bisa ditanggulangi. Yaiyalah! Wong penjualan kendaraan bermotor nggak diatasi, gimana nggak macet? Kalo busway lewat jalur khusus di darat, maka Sutiyoso juga waktu itu mau mengoperasikan monorel. Sebenarnya kalo saja monorel bisa beroperasi, menurut para Pakar transportasi, ini jauh lebih baik daripada busway. Soalnya jalurnya nggak di darat, tapi nggak mengganggu kendaraan bermotor di jalan. Tanpa harus menunggu traffic light pula. Sayang, monorel bermasalah! Kini cuma tiang-tiang aja yang kokoh berdiri. Konsorsiumnya nggak jadi meneruskan proyek ini.

Wakil Rakyat Mongkos berharap, dalam studi banding kudu mendapatkan ide segar dan tentu saja langsung diaplikasikan di lapangan. Setelah melakukan serangkaian rapat, diputuskan perjalaan studi banding semester ini ke Sekolah Monyet yang ada di negeri Monyet.

Awalnya mayoritas Wakil Rakyat negeri Mongkos protes. Lumrah saja, masa Manusia belajar sama Monyet? Ini namanya dekadensi mahkluk hidup! Yang ada seharusnya Monyet belajar sama Manusia, sehingga Monyet yang udah belajar dari Manusia biasa disebut Monyet Manusia atau Monyet yang kayak Manusia. Kalo Manusia yang belajar sama Monyet maka jadinya Manusia Monyet. Siapa yang mau dipanggil Manusia Monyet?

Nobody!!!!

“Ini penghinaan namanya!” kata salah satu Wakil Rakyat yang biasa tidur di ruang rapat. “Memangnya nggak ada negeri lain yang bisa kita datangi buat studi banding? Yang bener aja coy!”

Pendapat-pendapat sinis soal Monyet boleh muncul. Namun setelah Ketua Wakil Rakyat menjelaskan mengapa memilih Sekolah Monyet sebagai lokasi yang digunakan sebagai tujuan utama studi banding, seluruh Wakil Rakyat akhirnya setuju. Ketuk palu sebagai aklamasi bentuk persetujuan bersama pun dilakukan.

“Tok! Tok! Tok!” begitulah bunyi palu yang diketuk Ketua Wakil Rakyat.


Apa sih yang menyebabkan seluruh Wakil Rakyat akhirnya setuju?

Ternyata banya fakta empiris yang memungkin Monyet menjadi objek yang patut distudikan. Monyet adalah mahkluk Tuhan yang setia. Pada Januari 2004, Tim Peneliti dari Universitas Wisconsin-Madison mengungkapkan fakta terhadap Monyet, terutama Monyet jenis marmoset. Bahwa Monyet akan mempertimbangkan dalam memilih pasangan.
Para peneliti menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) buat melihat fungsi-fungsi otak Monyet asal Brazil itu. Dalam tulisan di Journal of Magnetic Resonance Imaging, mereka mengatakan, otak monyet menjadi “sibuk” ketika hewan ini tersebut mencium bau lawan jenisnya.

"Kami terkejut melihat tingginya aktivitas saraf di wilayah otak yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, pengendalian kesadaran, juga di bagian reaksi seksual, saat monyet menanggapi isyarat bau-bauan," kata Profesor Charles Snowdon, peneliti yang mempelajari psikologi (Kompas Cybermedia, Kamis, 29 Januari 2004).

Monyet jenis marmoset ini hidup dalam sebuah kelompok dengan sistem kekeluargaan. Monyet ini nggak kawin secara bebas dengan lawan jenis sesuka hati. Mereka biasanya memilih pasangan dengan ekstra hati-hati.



Selain itu soal loyalitas, Monyet juga dijadikan figur dalam dunia horoscope Timur, selain binatang Kambing, Kuda, Ular, Kerbau, Macan, Naga, Kelinci, Tikus, Ayam Jago, Anjing, dan Babi. Menurut horoscope, Shio Monyet selalu nampak bersemangat tinggi, cerdas, dan banyak akal. Selalu membuat orang lain tertawa dan senang. Pintar bergaul dan jujur. Banyak Manusia sukses yang bershio Monyet, antara lain Leonardo da Vinci (Pelukis), Elizabeth Taylor (Bintang film), Mick Jagger (Penyanyi), dan Lyndon B. Johnson (Politikus).

Singkat cerita, para Wakil Rakyat sampai juga di Sekolah Monyet. Nama Sekolah Monyet itu keren abis, yakni Best School of Great Attitude’s Monkey. Di sekolah ini, Monyet-Monyet diajarkan prilaku yang baik dan sesuai kaidah-kaidah yang diberlakukan oleh Sang Pencipta Monyet, yang juga sama sebagai Sang Pencipta Manusia.

Monyet harus saling hormat-menghormati, saling berbagi pada sesama, jujur, dan antikekerasan. Ketika punya makanan, Monyet wajib memberi kepada Monyet lain yang kelaparan. Ketika ada Monyet yang puasa, Monyet lain harus toleransi dengan cara ikut puasa. Kalo nggak kuat, Monyet itu harus push up. Ketika mengadakan Pemilihan Presiden Monyet, selalu menggunakan kata-kata jujur. Nggak boleh membual alias bohong. Keburukan selama periode menjabat sebagai Presiden kudu diutarakan secara detail, sebagaimana prestasi kerja. Rencana-rencana kerja di masa mendapat juga kudu dijabarkan secara realistis. Nggak cuma lip service, menyenangkan hati warga Monyet.

“Kita juga diajarkan legowo,” kata mantan Presiden Monyet yang sekarang mengajar di Sekolah Monyet itu. “Setiap ada Monyet yang kalah dalam sebuah pertandingan, kudu memberikan ucapan selamat kepada Pemenang. Nggak ada Monyet yang selalu mencari-cari kesalahan ketika dirinya udah kalah dalam pertandingan”.


Budaya antri udah nggak ada lagi dalam dunia Manusia. Di Sekolah Monyet, diajarkan saling menghargai, toleransi, dan sikap sopan santun. Kalo Monyet aja bisa sopan, kenapa Manusia nggak bisa ya?
Prinsip ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani juga diterapkan dalam bagian kurikulum Sekolah Monyet. Bahwa kalo jadi Pemimpin kudu menjadi suri tauladan, membangkitkan semangat dan dinamika, serta menjadi Pembimbing sekaligus bertanggungjawab.

“Kami sebagai kaum Monyet akan malu kalo ada lulusan kami yang nggak memberikan contoh baik ketika jadi Pemimpin,” jelas mantan Presiden Monyet itu. “Nggak tahu diri, mengejar jabatan, korupsi, selalu mengkritik sesama dan merasa diri benar, serta nggak bersyukur pada Sang Pencipta adalah bentuk antiprinsip ing ngarsa sung tuladha itu tadi”.

Pelajaran terakhir dari Sekolah Monyet soal kekerasan. Meski Monyet masuk dalam kategori binatang liar, namun Monyet sesungguhnya antikekerasan. Sesama Monyet dilarang melakukan tawuran. Haram, hukumnya. Sesama Monyet juga dilarang melakukan tindakan culik-menculik, apalagi sampai menghilangkan nyawa. Sesama Monyet harus rukun dan damai.

“Kalo ada ketidakcocokan, biasanya kami sesama Monyet selalu melakukan dialog dari hati ke hati buat mencapai kemufakatan,” lanjut mantan Presiden Monyet.

Nggak mudah membentuk attitutte menjadi luar biasa sebagaimana yang udah dimiliki para alumni Sekolah Monyet. Butuh waktu kurang lebih 10 tahun potong masa tahanan (karena ada Monyet yang seringkali dikurung dalam kandang oleh Manusia). Ini yang membuat beberapa Wakil Rakyat mulai gerah.

“Kok lama bener ya?” kata salah satu Wakil Rakyat dari Partai Cinta Duit (PCD).

Rupanya para Wakil Rakyat nggak sabar mentransfer otak Monyet ke otak mereka. Wakil-Wakil Rakyat nggak suka terlalu lama belajar di sekolah. Mereka lebih suka langsung terjun ke lapangan dan cari duit sebanyak-banyaknya. Nggak heran, supaya cepat belajar, para Wakil Rakyat memotong kepala Monyet yang masih hidup dan otaknya yang masih hidup langsung diseruput dengan menggunakan sedotan.

“Slup! Slup! Slup! Hmmm...nyumi!”

Melihat beberapa rekan-rekan Monyet diperlakukan kayak gitu, Monyet-Monyet yang lain kocar-kacir. Mereka takut otaknya dimakan oleh Manusia. Padahal ada Monyet yang berusaha memberikan penjelasan, bahwa mengkonsumsi otak Monyet bisa menyebabkan AIDS, Ebola, atau Marburg.

“Kalo AIDS tahu dong?” kata Monyet yang profesinya memang jadi Penyuluh itu. “Kalo Marburg itu sejenis virus yang ditemukan di Afrika tahun 1979. Virus ini masih saudaraan sama Ebola Sudan dan Ebola Zaire. Nama Marburg sendiri pertama kali populer di kota Jeman Tengah pada tahun 1967, tepatnya di pabrik Behring Work. Pabrik tersebut merupakan produsen vaksin dengan bahan dasar sel ginjal monyet hijau dari Uganda”.



Penjelasan tinggal penjelasan. Ketika Manusia ingin mendapatkan sesuatu, segala upaya harus segera dilakukan. Inilah sifat asli Manusia. Ketika merasa butuh cepat menjadi Manusia dengan attittute Monyet, dengan pragmatis Manusia menyeruput otak Monyet-Monyet yang masih hidup. Nggak heran nasib Monyet Penyuluh sama seperti Monyet-Monyet lain. Menariknya, buat mendapatkan otak-otak Monyet, Manusia saling berebutan satu sama lain. Saling gontok-gontokan. Situasi tersebut mirip ketika Buaya memakan binatang lain.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Monyet Penyuluh menggeleng-gelengkan kepala.

“Dasar Manusia! Ternyata kelakuannya lebih rendah daripada bangsa kami...”


All photos and video copyright by Jaya

PASTI GARA-GARA DI MENARA BANDARA NGGAK ADA YANG NGAWASIN...

Ibarat kayak disamber gledeg, Sentot tiba-tiba marah. Dia menendang baskom yang ada di dapur di rumahnya. Koran baru yang sebelumnya dibaca, disobek-sobek. Kucing yang nggak bersalah, yang biasa duduk di depan pintu utama ditendang seperi Maradona menendang bola ke gawang lawan. Untung kucing itu nggak kenapa-kenapa, cuma nyangsang di pohon duren tetangga.

"Gw nggak bisa terima!"

Pagi ini kelakuan Sentot memang aneh. Keanehannya gara-gara dia sebel dengan tragedi jatuhnya pesawat Hercules tanggal 20 Mei 2009 lalu. Pesawat milik TNI AU ini jatuh dan terbakar di areal persawahan Desa Geplak, Kecamatan Karas Magetan. Pesawat yang dikemudikan oleh Pilot Mayor Danu, dan co-Pilot Kapten Younan ini mengangkut 120 penumpang. Dari jumlah itu, 93 orang di antaranya meninggal dunia dan sisanya luka-luka.



"Gw sedih, cong! Kenapa pada saat mau diterbangkan pesawat nggak diperiksa dulu," ucap Sentot sok tahu.

"Udah kalee!" kata temannya yang juga sok tahu.

"Elo yakin udah diperiksa?"

"Kalo belum diperiksa, gebleg aja kali si Pilot mau mengendarai pesawat. Logikanya kalo Pilot tahu pesawat nggak layak terbang dan doi memaksa terbang, itu sama aja bunuh diri!"

"Iya juga sih?"



Lepas dari masalah layak dan nggak layak terbang, peristiwa tersebut buat Sentot sangat mengenaskan. Apalagi, sepanjang bulan ini saja, nggak cuma sekali ini pesawat Hercules TNI-AU bermasalah. Sebelumnya, pesawat C-130 Hercules juga mengalami kecelakaan, yakni saat mendarat di Lanud Sentani, Papua. Beruntunglah, peristiwa itu nggak sempat menelan korban jiwa.

"Kalo bukan gara-gara soal kelayakan terbang, ini pasti gara-gara nggak ada yang mengawas selama pesawat terbang!"

"Maksud loe?"

"Pengawasnya pada tidur kayak anggota DPR," kata Sentot. "Dengan nggak diawasi, pesawat jadi nggak tahu kemana arah mendaratnya atau mendaratnya udah betul atau belum..."

"Wah, ngaco loe!"

"Cong, temenin gw buat menyelidiki kejadian ini! Kita pergi ke menara pengawas pesawat terbang!"

"Dimana?"

"Di Kemayoran!"

Sentot dan Gunawan kemudian pergi ke Kemayoran. Sebenarnya Gunawan nggak mau, karena doi tahu di Kemayoran udah nggak ada lagi pesawat yang mendarat. Lagipula apa ada menara pengawas di situ? Tapi Gunawan ternyata nggak bisa protes. Tangannya keburu ditarik-tarik oleh Sentot.



Dari rumah Sentot ke Kemayoran nggak makan waktu lama. Ya, kira-kira dua hari dua malam lah. Eh, bohong ding! Cuma seperempat jam. Dengan gaya sok Detektif, Sentot mulai pasang aksi. Kalo Detektif bahuela menggunakan kaca pembesar, Sentot menggunakan netbook alias laptop mini. Lho apa manfaatnya?

"Netbook ini serba bisa," jelas Sentot. "Netbook ini bisa mencari jejak masa lalu. Bisa tahu berita-berita terkini atau berita-berita zaman dahulu kala. Bisa melakukan komunikasi secara cepat dengan orang yang kita inginkan. Semua itu bisa kita lakukan cuma dalam satu klik..."

"Klik apa?"

"Klik internet!"

"Yaiyalah! Lewat internet semua elo bisa dapatkan kalee!"

"Ssssttt!" Sentot meminta Gunawan jangan berisik. Ini ditandai dengan jari telunjuknya yang ditempelkan ke mulutnya. "Kita sekarang klik Google. Kita cari kenapa menara pengawas ini nggak ada orang. Jangan-jangan alibi gw soal jatuhnya Hercules gara-gara nggak ada Pengawas yang mengawasi pesawat benar..."

Gunawan menggelengkan kepala. Sentot mengklik google. Di Wikipedia, Sentot mendapatkan info, bahwa menara pesawat di Kemayoran ini pernah dipakai ketika Kemayoran masih menjadi bandara udara. Bandara udara ini adalah bandara udara pertama di Indonesia yang dibuka buat penerbangan internasional.



Bandara Kemayoran dibangun pada tahun 1934 dan secara resmi dibuka pada tangga 8 Juli 1940. Padahal dua hari sebelumnya, yakni tanggal 6 Juli 1940, bandara ini udah mulai beroperasi. Pesawat pertama yang mendarat di sini jenis DC-3 Dakota milik perusahaan penerbangan Hindia Belanda, KNILM (Koningkelije Nederlands Indische Luchtvaart Maatschapij).

Bandara Kemayoran punya dua Landasan pacu yang bersilangan, yakni landasan pacu utara-selatan (17-35) dengan ukuran 2.475 x 45 meter dan landasan pacu barat-timur (08-26) dengan ukuran 1.850 x 30 meter. Di landasan inilah sempat dilaksanakan pameran udara (Air Show) pada tanggal 31 Agustus 1940, tepat di hari ulang tahun Raja Belanda. Pameran udara itu menjadi pameran kedirgantaraan pertama di Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengambil alih bandara ini dari pihak Belanda pada tahun 1950-an, setelah selesai perang kemerdekaan. Sejak tahun 1958 mulai dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil. Antara tahun 1962-1964, pengelolaan diserahkan kepada BUMN yang bernama Perusahaan Negara Angkasa Pura Kemayoran.

Dalam rangka mengembangkan bandara, pemerintah melakukan investasi. Modal awal pembangunan bandara sebesar Rp 15 Juta Rupiah. Hah?! cuma 15 juta?! Hi, cong! Zaman itu 15 juta itu gede kalee! Modal ditambah lagi buat membangun bangunan penunjang lain, runway, taxiway, apron, hanggar dan peralatan operasional lain.



Sebagai bandara, Kemayoran banyak disinggahi pesawat dalam penerbangan domestik dan internasional. Kepadatan jumlah pesawat, memaksa pemerintah memindahkan jalur internasional ke bandara Halim Perdanakusuma yang resmi dibuka pada 10 Januari 1974.

Pada 31 Maret 1985, bandara Kemayoran berhenti beroperasi. Bener-benar resmi berhenti beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1985. Yang menjadi pengganti bandara Kemayoran adalah bandara Internasional Soekarno-Hatta yang dibuka secara resmi pada tanggal 1 April 1985 dan juga bandara Halim Perdanakusuma. Kalo bandara Soekarno-Hatta buat penerbangan komersial, sedang bandara Halim buat pangkalan militer dan VVIP serta bandara sipil terbatas.



"Jadi kecelakaan pesawat Hercules di Magetan itu nggak ada hubungannya dengan menara bandara di Kemayoran ini cong!" papar Gunawan.

"Jadi memang udah kosong lama ya?"

"Lah, iya lah! Nah elo lihat sendiri di Wikipedia, bandara ini udah nggak beroperasi sejak tahun 1985. Itu artinya udah 24 tahun! Anak gw aja sekarang udah 25 tahun..."

"Lho, elo emangnya umurnya berapa?"

"Tigapuluh tahun..."

"Tigapuluh tahun?! Emang elo kawinnya umur berapa?"

"Hehehehe...itu anaknya orang ding! Bukan anak gw..."

Akhirnya Sentot dan Gunawan memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, mereka sempat menikmati berada di puncak menara bandara, dimana di menara tersebut, kita bisa melihat arena Pekan Raja Jakarta (PRJ)yang sebelumnya berada di Monas dan sejak tahun 90-an diselenggarakan di Kemayoran.

Di atas menara, mereka juga bisa menikmati beberapa kondominium yang berjajar di jalan raya Kemayoran. Nggak ketinggalan, melihat lapangan golf. Sayang, nggak bisa ngeliat para caddy sedang berhubungan dengan para Golfer. Soalnya terlalu kecil dari jarak pandang mereka berdua.

Sejak ada Keputusan Presiden RI no 53 tahun 1985 jo Keppres no. 73 tahun 1999, seluruh opersional Kemayoran ditangani oleh Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK). Badan ini menunjuk pihak swasta di Indonesia buat melakukan pembangunan. Pembangunan dimulai tahun 1990-an, dimana dimulai dengan pembangunan rumah susun sederhana tahun 1992 di bekas Apron bandara. Setelah itu barulah bermunculan kondominium-kondominium.



"Itu rumah gw," kata Sentot sambil menunjuk ke arah sebuah titik kecil di antara kondominium.

"Yang mana?" Gunawan merasa nggak melihat titik itu berupa rumah tinggal.

"Itu! Masa elo nggak kelihatan?"

"Lah, itu kan pos hansip!"

"Emang!"

"Jadi selama ini elo tinggal di pos hansip cong?!"

Sentot tersenyum.

"Gara-gara gw diusir sama istri gw. Kata istri gw, makan tuh netbook! Istri gw memang cemburu gw terlalu sayang sama netbook daripada sama istri. Karuan aja gw diusir..."

"Elo sih!"

"Habis netbook ini gw beli murah cong, padahal feature-nya banyak dan cangih!"

"Oh ya?"

"Berapa loe beli?"

"Lima juta!"

"Hah?! Lima juta buat netbook merek Toshiba terbaru? Wah, gw harus beli!"

Tanpa ba-bi-bu, Gunawan langsung menarik tangan Sentot untuk segera turun dari menara. Kejadian ini mirip kayak Sentot menarik tangan Gunawan ketika mau pergi ke Kemayoran. Agaknya Gunawan nggak sabar buat membeli netbook. Sentot nggak bisa ngomong, karena udah terlanjur ditarik-tarik tangannya. Padahal Sentot mau ngomong sama Gunawan kalo netbook ini belinya di Amrik. Di Indonesia belum ada. Baru ada kira-kira 6 bulan lagi. Tapi bodo ah!


all photos copyright by Jaya

Sabtu, 23 Mei 2009

AIR MATA BUAYA

Sudah berkali-kali dinasehati, wanita berinisial G tetap aja jadi anak Nakal. Disuruh begini salah begini nggak mau, disuruh begitu apalagi. Nggak heran kalo atasannya menunda untuk mengangkatnya jadi Karyawan di perusahaan parbrik jengkol. Buatnya, diangkat atau nggak dianggat jadi Karyawan nggak penting. Sing penting kasih sayang!

“Ah, bodo!”

Begitu saja selalu jawaban wanita yang saat ini sedang menjadi incaran Ahli Pengobatan alternatif. Boleh dimaklumi kalo jawaban “ah, bodo” itu selalu keluar dari si Nakal. Sebab, Mamanya si Nakal dahulu sempat berlangganan Bobo. Tahu dong kalo Bobo itu majalah favorit anak-anak kecil. Boleh tanya, dari anak-anak kecil sekarang sampai orangtua yang bentar lagi meninggal, pasti kenal dengan majalah Bobo.

Biasanya kebanyakan orang langganan majalah Bobo sama Gadis. Kalo ada yang langganan dua majalah itu, pasti gedenya jadi Playboy, at least jadi digemari oleh kaum remaja belia. Kok bisa? Habis, Bobo-nya sama Gadis, gimana dong? Ah, becanda cong! Nanti diprotes sama Gramedia Group dan Femina Group, lho!



Back to si Nakal. Nah, tiap kali mau tidur, si Nakal selalu minta dibacakan cerita yang ada di Bobo. Anehnya, cerita yang diminta soal perceraian, perselingkuhan, dan kematian Selebritis. Lah, memangnya di Bobo ada artikel gosip kayak gitu?

“Pokoknya aku nggak mau kalo nggak diceritin! Aku benci! Aku rindu! Aku benci tapi rindu!”

Kelakuan si Nakal memang begitu. Permintaannya selalu harus dituruti. Meski di Bobo nggak ada berita-berita gosip, si Nakal selalu maksa. Terpaksalah Mama-nya si Nakal melakukan terobosan membuat cerita baru alias gosip baru. Tujuannya supaya si Nakal bisa cepet tidur. Supaya cerewetnya berhenti.

Inilah cerita yang akhirnya harus di-create oleh Mama-nya si Nakal. Perkawinan Raja Dangdut Rhoma Irama dengan Diana Papilaya; Dewi Persik yang nggak bisa bergoyang lagi gara-gara pantatnya kempes; perselingkuhan Dewi Sandra dengan Adlof Pusumah; retaknya hubungan Mayangsari dengan Gatot Kaca; perselingkuhan Annisa Tribanowati dengan Agung Styanto; dan terakhir gosip perceraian Adjie Pangestu dan Angelina Sondakh.



Begitulah si Nakal, selalu menyusahkan orang banyak, mirip kayak Jihan. Udah tahu rumahnya di Bogor, bukannya nge-kos malah nekad pulang-balik Jakarta-Bogor. Mending kalo dapat tugas pagi, bisa pulang pergi. Kalo giliran dapat shift malam? Yang susah Driver-nya dipaksa-paksa buat ngaterin ke Bogor. Coba kalo Drivernya nggak ganteng, si Jihan pasti muntah-muntah. Lho, apa hubungannya ya Driver ganteng dengan nggak ganteng? Wong urusannya nganterin pulang kok? Entahlah!

Si Nakal kemudian beranjak dewasa. Bibirnya yang sebelumnya tembem, menjadi tipis setipis buku tulis AA. Alisnya yang sebelumhya nggak teratur, satu per satu dikumpulkan dan kemudian membentuk alis yang tebal, mirip kumis Pak Raden. Matanya yang lonjong kayak kue cubit, dibentuk menjadi satu kesatuan hingga kayak sekarang ini. Si Nakal kini menjadi manusia normal.

Tibalah pada hari bersejarah dalam hidupnya. Si Nakal ulang tahun. Nggak teman-temannya yang diundang pada perayaan kali ini. Sebelumnya, doi mengundang Gajah, Monyet, Jerapah, Kura-Kura, Anjing, Monyet, Enrico, Faiz, Nanda, Silvy, Ria, Beruang, Macang Tutul, dan Yati Pesek. Namun ulangtahun ini nobody comes. Inilah yang membuatnya sedih. Air matanya pun menetes pelan. Tes..tes...tes. Kok air mata menetes kayak orang lagi nyobain mikrofone ya?

Hatinya hancur berkeping-keping. Sakit sekali. Saking sakitnya, perutnya nggak bisa menahan laju kentut yang ingin bebas lepas. Si Nakal pun terkentut-kentut. Aroma kentutnya mengisi seisi ruangan yang sebenarnya menggunakan penyejuk ruangan plus parfum. Sayang, bau kentut lebih mendominasi. Tapi si Nakal cuek.

Tiba-tiba makluk berbadan besar datang. Dia adalah Pembantu rumah tangga yang sejak kecil sudah mengasuh si Nakal. Dia bernama Direx.

“Non, ini bau apa?” tanya Direx nggak sadar soal aroma bau kentut di kamar si Nakal. “Non, pakai parfum baru ya? Baunya saya suka nih, Non! Kayak bau parfum Luna Maya!”

Si Nakal nggak bergeming. Sementara si Direx terus ngoceh dari A sampai Z. Doi cerita bagaimana pengalamannya menjadi Pembantu rumah tangga para Selebritis. Doi pernah menjadi Pembantu Tamara Blezinsky, Sophia Latjuba, Cahtrine Wilson, Ateng, dan Iskak. Yang menarik dari pengalamannya, Direx sempat mau dipaksa kawin dengan Tamara Blezinsky tapi nggak mau. Padahal cowok ini ngebet banget kawin. Lagipula siapa cowok normal yang nggak mau sama Tamara?

“Habis saratnya banyak banget kalo kawin dengan doi,” jelas Direx. “Tiap kali mau ketemu, gw disuruh mandi dulu pake sabun Lux. Katanya biar bersih. Yang ada gw nggak bersih, tapi kulit gw jadi kudisan. Yaiyalah! Itu kan sabun mandi para Pembantu! Masa gw yang udah jadi Pembantu dipaksa sabunan pake sabun Pembantu? Nggak usyah ya!”

Syarat yang lain, kondom nggak boleh bocor kemana-mana; pakaian kudu seksi, kalo perlu celana kolor ditaro di luar kayak Superman; kudu pake topi buat menutupi kekurangan rambut kepala; last but not least jangan pernah kentut di sembarangan tempat. Syarat-syarat itulah yang membuat Direx emoh kawin dengan Tamara.

“Mending gw kawin dengan Inem Pelayan Seksi deh!”

Di saat Direx masih asyik membeberkan pengelamannya menjadi Pembantu, tiba-tiba si Nakal membuka mulut.

“Rex, would you help me?” tanya si Nakal.

“Untuk Non, I’ll do anything. Name it!”

“Tolong bacakan cerita buat saya. Ceritanya dari majalah Bobo...”

“Majalah Bobo?” Direx heran. Majikannya yang udah setengah dewasa ini kenapa mau dibacakan cerita dari majalah Bobo?

“Tolong ceritakan soal Buaya Darat...”

“Hah?! Buaya Darat?!” Direx heran lagi. Mana ada cerita di Bobo soal Buaya Darat? Kalo cerita soal Lubang Buaya mungkin masih make sense. Atau cerita soal Buaya Keroncong. Atau Buaya di Ragunan.

Direx bingung tujuh keliling. Sebagai Pembantu, ternyata ada job desk baru, yakni kudu kreatif. Nggak heran doi mencari ide soal Buaya Darat. Semenit...dua menit... tiga menit. Akhirnya Direx mendapatkan berhasil!

“Once upon a time, tersebutlah wanita bernama Maia. Dia cantik dan jago buat lagu. Di awal-awal perkawinannya, Maia begitu menyayangi sang kekasih. Nama kekasihnya Dani. Hubungan mereka kayak Romeo and Juliet...”

Si Nakal tersenyum. Doi agaknya sedang membayangkan dirinya kayak Maia yang memiliki hati berbunga-bunga memiliki kekasih yang menyayanginya.

“Namun sayang, Dani mengingkari janji suci,” lanjut Direx. “Ada wanita lain yang menarik hatinya. Wanita itu bernama Mulan. Ternyata benar apa yang dinyanyikan Angun C. Sasmi, mata laki-laki katanya begitu. Hubungan cinta Maia-Dani pun retak...”

Si Nakal marah mendengar cerita itu. Matanya merah. Merahnya bukan karena kelilipan atau kena debu. Kalo kena begituan, sebaiknya memang cepat dikasih obat tetes mata. Namun, mata merah si Nakal lebih karena kegemesannya pada si Dani yang nggak setia. Cowok agaknya memang tercipta nggak setia.

“Oleh karena si Maia jago menciptakan lagu, maka doi menciptakan lagu ‘Buaya Darat’. Buaya di lagu itu adalah personifikasi Dani, mantan kekasih Maia yang udah membuatnya sakit hati...”

Si Nakal tiba-tiba meneteskan air mata. Kisah Maia yang dikhianati Dani menggugah perasaannya. Padahal seharusnya si Nakal nggak boleh menangis, karena hari ini adalah hari istimewa. Hari ulang tahunnya yang ke-67. Tapi dirinya lebih fokus pada Dani si Buaya Darat itu.

“Rex, would you help me?”

“Anything, Non...”

“Would you sing for me?”

“Sing what song, Non?”

“Buaya Darat...”

“Hah?! Buaya Darat?! Nggak hafal liriknya, Non?”

“Refren-nya aja juga nggak apa-apa...”




Dipaksa menyanyi, Direx akhirnya menurut juga. Padahal suaranya lebih baik disimpan di kaleng kerupuk dan baru dibuka setelah lebaran monyet. Namun, oleh karena si Nakal adalah majikan Direx, mau nggak mau kudu diikuti juga perintahnya. Dan nyanyilah Direx...

“Lelaki buaya darat! Busyet aku tertipu lagi...Uouououo....”

Si Nakal makin meneteskan air mata. Air mata buaya.

Jumat, 22 Mei 2009

DILARANG KENCING DI SINI!

Perkara buang hajat memang bisa bikin runyam. Ini dialami oleh Rusatiningrum Hasibuan atau biasa disapa Rusa. Ketika doi ingin membuang hajat dan pipis, nggak ada tempat buat dirinya.

Ketika masuk WC, ada tulisan kencing bayar Rp 1.000, berak bayar Rp 2.000. Lah, mana ada duit segitu? Apalagi di dunia binatang nggak mengenal alat transaksi yang namanya duit. Yang ada daun. Mana mau Manusia dibayar pake daun?

Ketika mencari tembok, selalu ada tulisan "Dilarang Kencing di sini kecuali Anjing". Lha, Rusa itu kan bukan anjing. Rusa itu memang binatang, tapi bukan Anjing. Masa gara-gara mau kencing di tembok kudu berubah jadi Anjing? Atau mengatakan kepada si Pemilik tembok kalo Rusa adalah Anjing. Kebetulan wujudnya Anjing kali ini mirip kayak Rusa. Kayak-kayaknya Manusia susah dibohongi kayak gitu, wong Manusia itu Rajanya Pembohong kok!

So gimana dong?



Kebetulan Rusa hidup di sebuah rumah ahli terapi diabetes. Harusnya Rusa ini mati di tempat panas kayak di Jakarta ini. Tapi anehnya, oleh si Pemilik yang ahli terapi ini si Rusa bisa hidup. Nah, di tempat inilah si Rusa bisa dengan seenaknya membuang hajat, baik hajat kecil maupun hajat besar. Kalo hajatan? Itu mah beda lagi!

Kini Rusa udah puas. Sebagai bintang yang selalu merawat kebersihan, dia menjilat-jilat lubang bekas kencing dengan lidahnya. Lalu merapikan bulunya agar tetap tampil rapih, masih dengan lidahnya. Namun yang bikin pusing, tokainya nggak sempat doi tutupi. Padahal tokai itu berbahaya sekali.

Berbahaya pertama, akan mengundang lalat untuk hadir. Kalo lalatnya hinggap di tokai, maka lalat akan mencicipi tokai. Kalo setelah itu lalatnya hinggap di makanan milik manusia, udah pasti rasanya rasa tokai. Manusia bisa sakit perut. Mencret-mencret. Mending cuma mencret, kalo sampai diare dan kekurangan cairan, itu akan mengakibatkan dehidrasi dan bisa mengalami kematian.

Berbahaya kedua, tokai Rusa mirip pisang molen. Kalo nggak segera ditutupi, manusia akan salah lihat dan memakan tokai itu. Maklum, kalo kelaparan biasanya manusia sering main hajar aja. Nggak lihat apa makanannya, fungsi makanannya apa, atau bergizi atau nggak. Nah, kalo kejadiannya si manusia memakan tokai yang mirip pisang molen itu, udah pasti manusia akan sakit perut. Kalo sampe sakit perut, bisa mencret-mencret. Mending cuma mencret, kalo sampai diare dan kekurangan cairan, itu akan mengakibatkan dehidrasi dan bisa mengalami kematian. Lho, kata-katanya kok sama kayak sebelumnya ya?

"Makanya jangan buang hajat sembarang, cong!"


video copyright by Jaya

Kamis, 21 Mei 2009

AKU YANG SELALU DIKELILINGI WANITA CANTIK

Sebenarnya nggak ada yang patut dibanggakan dariku kecuali otak yang ada di dalam kepalaku. Kata mayoritas orang, otakku hampir sama seperti Habibie. Ada lagi sebagian orang mengatakan, otakku sejajar dengan Rinto Harahap. Sisanya berucap, aku punya otak yang nggak jauh dari otak milik udang alias otak udang.

Otak udang, bolehlah disebut seperti itu. Namun, dari otakku yang otak udang ini udah banyak wanita yang klepek-klepek. Maksudnya klepek-klepek adalah menyayangiku. Seolah kalo nggak ada aku, mereka panas dingin dan panas dalam. Ada satu bagian yang hilang kalo aku nggak ada di sisi mereka. Bahkan mereka sempat menyebutkan: “You are my Hero!”



Aku nggak menggunakan jimat khusus buat menaklukkan para wanita. Nggak ada yang namanya jimat-jimat pemberian mbah Dukun. Nggak ada pula parfum atau wewangian yang dibeli di toko parfum dengan harga mahal. Aku cukup menggunakan keadaan yang aku miliki sekarang. Ketiak yang bau amis, rambut keriting yang nggak jelas mau dibelah pinggir atau belah tengah, bau mulut yang aromanya lebih dahsyat dari bau tumpukan sampah di Bantargebang, dan tentu aja kantong isi kantong yang nggak pernah tebal alias banyak duit.

“Me is just the way I am,” ucap diriku ketika ditanya soal resep selalu dikelilingi wanita-wanita cantik.

Menjadi diri sendiri memang sulit minta ampun. Kita selalu ingin menjadi orang lain. Ketika orang lain merubah rambut dari kerinting menjadi lurus, kita ikut. Ketika hidung orang lain lebih mancung daripada Petruk, kita ikut-ikutan pergi ke Haji Tjeje. Pun ketika orang lain beli Blackberry, kita ikut beli Blackberry meski gaji kita nggak mencukupi buat beli cash atau tunggakan hutang kita sebetulnya udah menumpuk.

Itulah mengapa aku selalu mengambil sikap untuk menjadi diri sendiri. Aku pertahankan pemberian Tuhan ini sampai mati. Mataku yang sipit, alisku yang nggak teratur, bibirku yang tebal kayak Mick Jagger, hidungku yang pesek enggak mancung enggak, mobilku yang lampu kanannya sering mati-mati terus, handphoneku yang koleksi zaman Gajah Mada, serta celana dalamku yang udah sobek tengah-tengahnya. Semua aku pertahankan keasliannya.



You know what? Wanita lebih suka kejujuran. Hiprokrit adalah penyakit yang paling dibenci wanita. Dalam soal kejujuran, aku adalah orangnya. Aku jujur pada fisikku yang nggak ganteng ini. Aku jujur terhadap gajiku yang sebenarnya cukup buat beli motor dan handphone Nokia bananan. Aku juga jujur jarang memakai parfum, lebih suka pakai minyak nyong-nyong.

“Engkau memang Pria yang aku cari-cari darling,” kata wanita berambut panjang dan berpunggung bolong itu padaku someday.

Terus terang, kata-kata kayak gitu udah seringkali aku dengan pada wanita-wanita yang selalu ada di sekelilingku. Mereka merasa aku masih orisinil, belum tersentuh, punya prinsip, dan tentu saja jujur. Yang mengatakan “pria idaman”, bukan cuma Sundel Bolong kayak yang memberikan statement di atas itu. Tapi wanita-wanita normal yang bodynya aduhai juga mengatakan hal yang sama.

“You are under arrested!”

Nah, kalo yang mengatakan itu tentunya bukan wanita dong! Itu pasti profesi yang kerjaannya menangkap orang. Kalo nggak mengerebek cafe-cafe, pasti menghentikan kendaraan bermotor di jalan. Profesi apa lagi kalo bukan Penjinak Bom. Lho, kok Penjinak Bom? Eh, salah bukan Penjinak Bom, tapi Anjing Penjinak! Itu lebih nggak masuk akal. Yang bener adalah Polisi, cong!



Memang nggak masuk akal, pria yang punya otak udang, nggak punya banyak uang alias kere, dan fisik nggak rupawan selalu dikelilingi wanita-wanita “edan”. Nggak masuk akal! Impossible! Kalo nggak pake jimat, impossible! Guys, sekali lagi aku katakan sejujurnya, aku nggak pake apa-apa. Modalku yang udah aku ceritakan tadi: orisinalitas, berpegang teguh dengan sikap, dan jujur. Nggak ada kan orang kayak diriku ini?

Sekarang ini mayoritas orang hipokrit alias munafik. Orang miskin, mengaku kaya. Gaji cuma 3 juta, memaksa diri memiliki blackberry yang harganya melebihi gaji. Gara-gara nggak punya duit dan pingin banget punya blackberry, si miskin ngutang dengan bank atau kartu kredit. Yang terjadi, si miskin terjerat hutang. Anehnya, hutang itu nggak menjadi beban. Si miskin cuek dan tetap asyik dengan gedget barunya.

Yang menyebalkan yang hiprokit itu para Pemuka agama. Di atas mimbar, sang Pemuka agama berkotbah soal kebaikan, jangan mencuri (maksudnya korupsi), jangan berbohong, jangan berbuat zinah, dan jangan-jangan samakan dia dengan yang lain (lho? Ini kan lagu Elvi Sukaesih?).

Apa yang dikatakan Pemuka agama itu jelas sangat positif. Bahwa kita memang wajib melakukan kebaikan dalam tiap aktivitas kita. Kalo ada mobil yang menabrak pengendara sepeda motor, kita kudu bantu mengangkat sepeda motornya, meninggalkan si pengendara, dan menggebuki supir mobil. Eh, itu ajaran ya salah ya? Maaf! Soalnya kebiasaan orang Indonesia begitu sih. Aku enggak begitu lho! I’m defferent! The one and only!



Apa yang dikatakan juga Pemuka agama soal dilarang berbuat zinah juga luar biasa. Bahwa kita nggak boleh merebut melirak-lirik suami orang. Itu katanya termasuk zinah kecil. Kalo kemudian merebut dari genggaman istri sang suami, itu lebih parah lagi. Kita juga dilarang sering-sering berkunjung ke panti pijat. Soalnya di panti pijat seringkali tujuan akhirnya bukan memijat, tapi malah melakukan perzinahan. Panti pijat-panti pijat yang ada sekarang ini mayoritas cuma kamuflase. Mungkin ceritanya akan beda kalo kita masuk ke panti pijat tuna netra.

“Kalo kejadiannya begitu, orang yang masuk panti pijat pasti serius mau dipijat, wong yang memijat tuna netra kok,” jelas salah seorang yang antipijat di panti pijat.

“Belum tentu!”

“Lho, kok?”

“Kalo tuna netra cuma mijat 10 menit dan kemudian digantikan oleh wanita cantik yang matanya normal gimana?”

“Wah, bisa-bisa konak juga, cong!”



Saat ini memang susah mendapati orang jujur. Hiprokrasi udah mendarah daging di bangsa ini. Aku adalah sosok yang masih murni. Masih nggak tersentuh oleh kondisi munafik yang terjadi di negeri ini. Itulah kenapa aku selaludikelilingi wanita-wanita cantik.

“Kamu kentut ya?” kata salah seorang wanita cantik yang kali ini sedang gencar-gencarnya mendekatiku.

“Ah, enggak. Kenapa kamu menuduh aku?”

“Habisnya aku merasa ada bau-bau nggak sedap yang berbeda dengan bau tubuhmu atau ketiakmu. Bau itu mirip kayak bau kentut atau bau tokai...”

“Tapi bukan aku yang kentut,” jawabku dengan nada bergetar.

Wanita cantik itu meninggalkanku. Sepeninggal dia, aku langsung menuju ke WC. Aku tutup pintu WC rapat-rapat. Sebelum menutup pintu, aku sempat celingak-celinguk ke kiri dan kanan, melihat situasi di sekeliling WC.



Perlahan-lahan aku membuka celanaku. Aku menemukan ada bekas mencret di celanaku. Aku sadar, tadi aku sudah melakukan kesalahan pertama dalam hidupku. Aku telah berbohong kalo aku tadi memang benar kentut dan berak di celana. Tapi apakah aku nggak boleh berbohong untuk sebuah kebaikan? Aku ngeri wanita itu akan menganggapku anak kecil, karena udah besar masih berak di celana. Malu kan kalo aku harus mengatakan terus terang ketika wanita cantik itu bertanya soal kentut?.

Senin, 18 Mei 2009

LEBIH BAIK PEDE DARIPADA MALU-MALU (IN)...

Surat Tuhan kepada Aura Kasih

Aura yang saya kasihi, wajahnya memang menunjukan aura yang cemerlang.

Tak ada yang memungkiri itu.

Aura yang saya kasihi, kulitmu yang berwarna putih itu membuat hatiku deg deg ser ketika melihatmu.

Tak mungkin hatiku membohongi rasa itu.

Kulit wajahmu mulus

Betismu aduhai

Bibirmu tipis

Rambutmu rapih

Semua itu tak ada yang bisa memungkiri.





Kasihku Aura, engkau memang bukanlah Bidadari, karena engkau diciptakan dari tanah. Lalu dibungkus oleh daging, dialiri darah, dan ditiupkan nafas.

Semua manusia mengerti, Bidadari cuma rekayasa manusia. Tapi sebagian orang barangkali menyebut engkau Bidadari. At least di keluargamu, engkau masuk kategori Bidadari.

Bolehlah engkau disebut-sebut sebagai Bidadari, tapi sebaiknya jangan nyanyi. Suaramu masih perlu latihan lagi.

Tapi kamu luar biasa Aura.

Kamu sungguh luar biasa.

Kamu beruntung bisa berduet dengan legenda hidup dalam musik bernama Fariz RM.

Harusnya sebelum berduet kamu latihan dahulu dengan Pranajaya. Kalau Pranajaya sudah meninggal, kursus lah di Purwatjaraka atau Elfa Scicoria. Dan pasti suaramu bisa menyaingi Nene Warisman ketika membawakan lagu Nada Kasih.


Surat Tuhan kemudian dijawab Aura Kasih

"Ah, pede aja lageee!!!"

Surat Aura Kasih dijawab lagi oleh Tuhan
"Boleh sih pede. Tapi kamu itu malu-maluin!!!"
Surat Tuhan dijawab lagi oleh Aura Kasih

"Lebih baik pede daripada malu-malu!"

***

Sampai dengan 2020, baik Tuhan maupun Aura Kasih saling surat-suratan. Namun lambat laun mereka sudah tidak saling mengkritisi. Mereka malah berteman. Aura mengajarkan Tuhan bagaimana cara menyanyi yang nggak bagus, sementara Tuhan mengajarkan Aura agar mengikuti jalan yang benar supaya masuk sorga.


video copyright by Jaya

Minggu, 17 Mei 2009

TUHAN MARAH NGGAK KALO KITA NGGAK BAYAR PAJAK?

Tarjo nggak menemukan istilah dalam bahasa Inggris sunset policy. Doi udah mengutak-atik kata itu berkali-kali, tapi nggak ada yang pas di hati. Di kamus mana pun nggak ada istilah sunset policy.

"Rambut gw yang gondrong kemayu kayak gini bisa-bisa botak nih!"

Protes Tarjo soal istilah sunset policy beralasan juga. Maklum, lulusan LIA, Pramuka yang sekarang sering ngasih les private khursus bahasa Arab ini nggak negrti. Doi ngeri cuma gara-gara sunset policy, rambutnya bisa botak kayak profesor.

"Ngomong-ngomong kenapa ente jadi ngasih les bahasa Arab? Katanya ente lulusan LIA? LIA itu kan tempat kursus bahasa Inggris bukan?"

"Gw ini ternyata lebih banyak nongkrong di masjid, di pesantren, cas-cis-cus sama Ustadz atau Kiai, jadinya ya bahasa Arab lebih unggul. Harusnya kalo mau jago bahasa Inggris nongkrongnya di British Council atau jalan-jalan ke sabang buat kenalan sama bule kere, atau at least nongkrong di WC lah..."

"Kok di WC?"

"Sambil ngeden buat ngeluarin tokai, kita baca-baca buku bahasa Inggris kaleee..."


Kelihatannya kerja kalo selama diberlalukan sunset policy, orang-orang Pajak jemput bola. Jemput bolanya nggak cuma di Mal atau di gedung-gedung perkantoran, di kantor yang ada di Kawasan Industri pun dijemput "bola"-nya. Ini semua demi apa? Demi duit! Yaiyalah, kita-kita semua bakal dipajakin di segala lini. Padahal kita bernafas nggak pernah dipajakin sama Tuhan ya?


Back to istilah sunset policy. Kalo dipilah-pilah, sunset itu artinya sun alias matahari yang yang lagi set. Matahari tengelam, maksudnya. Sedangkan policy itu artinya kebijakan. Kalo disambung sunset policy, arti harafiahnya kebijakan matahari tengelam. Waduh! Ini sama aja Pemerintah menganggap dirinya Tuhan! Betul nggak? Yaiyalah! Yang memberikan kebijakan matahari terbenam dan bersinar kan Tuhan. Yang memerintahkan matahari nggak terbit lagi dan digantikan bulan cuma Tuhan. Berarti, sunset policy ini geblek banget!

Tarjo nggak suka Pemerintah yang menggulirkan sunset policy. Sebagai orang yang sekarang lebih banyak ngobrol dengan Ustadz dan Kiai, doi sebel Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak (selanjutnya disingkat "orang-orang Pajak"), yang sok jadi Tuhan. Sok bisa membuat kebijakan matahari terbenam.

Seorang teman Tarjo akhirnya mencoba menjelaskan soal sunset policy ini. Kebetulan temannya yang bernama Tarji ini orang Pajak. Katanya, sunset policy itu adalah kebijakan yang diberikan kepada Wajib Pajak karena adanya ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang baru berupa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Undang-undang yang dimaksud di sini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan nomor 28 tahun 2007.

Berdasarkan rasa penasaran, Tarjo membuka-buka UU pajak. Eh, ternyata tetap aja nggak ada istilah sunset policy. Yang selalu dicantumkan di situ, orang yang tinggal di Indonesia disebut Wajib Pajak. Artinya, orang yang wajib membayar pajak. Kata Wajib Panjak selalu dikumandangkan di UU tersebut. Kata itu juga yang menginspirasi Tarjo kembali bertanya.

"Kenapa kita wajib membayar Pajak? Wong Tuhan aja nggak pernah memajakin kita, kok?"

"Selama kita tinggal di sebuah negara, kita wajib membayar pajak my Friends," jelas Tarji.

"Kira-kira Tuhan marah nggak kalo kita nggak bayar pajak?"

Tarji bengong. Doi nggak berani menjawab kalo percakapannya udah mengarah ke soal Tuhan. Doi takut kualat dan masuk neraka. Padahal Tarjo bisa aja jawab, urusan di dunia jangan dikaitkan ke masalah akhirat. Padahal kalo Tarji ngerti, di dalam kitab, Tuhan udah ngatur juga kok urusan dunia agar selamat di dunia dan akhirat. Tapi kayak-kayaknya si Tarji lebih suka memajakin orang.

"Kayak-kayaknya kalo kita udah bayar zakat 2,5%, Tuhan nggak akan marah lagi kalo kita nggak mau bayar pajak di dunia ya?" tanya Tarho.

Tarji tambah bengong. Bisa-bisa kalo ketemu dengan orang model Tarjo, banyak yang bakal menunggak pajak, nih! Gara-gara banyak yang menunggak pajak, bisa-bisa negara Indonesia terancam gulung tikar.

"Ah, nggak juga dong! Sekarang gw tanya, mending gw menunggak pajak atau kalian-kalian ini mengemplang Konglomerat yang selalu terlambat bayar hutang ke Negara? Atau menangkap Koruptor-Koruptor yang sudah bawa banyak uang negara?"

Tarjo jadi menceramai Tarji. Kata Tarjo, Tuhan itu sangat baik. Dia nggak pernah menyuruh umat-nya buat bayar pajak. Dia cuma minta rezekinya diberikan 2,5% aja. Nah, orang-orang pajak nggak cuma 2,5%. Semuanya dipajakin. Pendapatan dipajakin. Beli barang dipajakin. Nggak ada lagi ruang-ruang sisa buat manusia yang nggak dipajakin. Padahal kalo Tuhan punya kebijakan, bisa aja Dia meminta Manusia buat membayar udara yang mereka hirup, air yang mereka ambil dari bumi, dan matahari yang dimanfaatkan buat apa saja, dan juga tubuhan yang hidup. Untunglah, Tuhan bukan orang pajak.

Nggak bisa jawab, Tarji akhirnya terkentut-kentut.




video copyright by Jaya

Sabtu, 16 Mei 2009

SI ABANG BUANG-BUANG DUIT AJE NIH!

Entah apa yang ada di otak Pemda dahulu kala ketika membuat jembatan busway ini. Ini yang membuat Paijo bingung mikirin. Doi banyak berasumsi. Asumsinya: apakah yang ada di otak Pejabat Pemda sing penting proyek selesai sesuai target? Ataukah dana udah ada kudu buru-buru dibangun jembatan? Atau asumsi yang lebih sadis dari otak si Tarjo: jangan-jangan gara-gara periode salah seorang Pejabat Pemda udah mau rampung, proyek segera dijalankan agar duit bisa cair?

"I don't know for sure!"

Namun dari asumsi-asumsi Tarjo tersebut, satu hal yang pasti proyek pembuatan jembatan busway ini cuma buang-buang duit aja. Yaiyalah! Pastinya jembatan kayak gini nggak cukup 50 juta perak kan? Coba ente tebak berapa kir-kira pembuatan jembatan plus halte busway yang keren kayak gini?

"Gw tebak-tebak buah manggis sih kira-kira 500 jutaan," ujar Tarjo sok tahu.



Sebagai cowok normal, Tarjo sedih dengan kondisi ini. Why? Because seharusnya kalo busway-busway belum ready, mbok nggak usah dibuat jembatan dan haltenya. Ini kan jelas-jelas nggak ada perencanaan yang matang antara pihak Pemda dengan Pimpinan Proyek. Eit, tapi kalo dua-duanya untung mah memang lain cerita.

Tarjo sedih, praktek-praktek yang nggak memihak pada kepentingan rakyat kayak gini sungguh menyayat hati. Doi yang kerja di sekitar Gatot Subroto harusnya udah lama menikmati fasilitas busway. Soalnya, busway sangat membantu kantongnya yang nggak begitu tebal, yang tiap tanggal 15 udah kembang kempis. Bayangkan, cuma dengan 3.500 perak, kita bisa keliling-keliling Jakarta selama masih ada rute busway di daerah itu.

Kalo Tarjo hitung-hitung, jembatan dan halte udah dianggurin sekitar setahun lebih. Ini membuat infrastruktur tersebut bisa hancur gara-gara nggak dipergunakan. Ngerti dong kalo barang nggak digunakan bisa berdebu, dimakan rayap, dan bisa jadi ada "penunggunya". Otak iseng Tarjo malah menganalogikan jembatan dan halte yang nggak dipergunakan kayak janda muda yang belum dapat jodoh. Si janda udah lama nggak mendapatkan kehangatan dari pasangannya. Gara-gara nggak ML, vagina si janda udah bulukan, berdebu, bahkan menjadi sarang laba-laba.

Di musim kompetisi sepakbola PSSI kayak gini, Tarjo selalu berdoa. Bukan berdoa pada Pemimpin PSSI yang nggak tahu malu, karena nggak mau ganti kepengurusan atau direshuffle itu. Tapi berdoa agar jembatan dan halte bisa segera dipergunakan. Kalo udah dipergunakan, jelas akan men-support kepentingan banyak warga Jakarta. Selain itu, bisa mengusur mobil atau motor yang udah terlalu lama menggunakan jalur busway, dimana pembatasnya yang berwarna kuning udah mulai gompal-gompal.

"Oh Tuhan, kabulkanlah permintaanku ini. Amin!"


video copyright by Jaya

DIMANAKAH ENGKAU WAHAI TUHANKU?

Ketika dahaga terasa di kerongkonganku ini, Engkau tak ada dekatku. Padahal aku butuh Engkau mencarikan setetes air agar bisa membasahi rongga-rongga yang sudah terasa kering ini.

Ya Tuhan, aku tak punya sedikit pun uang untuk membeli minuman. Kalau pun aku punya uang untuk membeli Teh Botol atau Coca-Cola, atau Aqua, itu tidaklah mungkin. Sebab aku sekarang ada di tengah hutan. Di suatu tempat yang tidak ada Pedagang kaki lima yang menjual minuman. Di sini pun tak ada yang namanya minimarket, supermarket, apalagi hypermarket. Pohon-pohon yang sebetulnya aku andalkan untuk meneteskan air via daunnya pun ternyata sudah gundul.

Turunkanlah hujan. Biar wajahku kuarahkan ke udara dan mulutku kubiarkan terbuka lebar agar tetesan hujan itu bisa segera menyegarkan kerongkongan ini. Tapi Engkau nampaknya terlalu pelit menurunkan hujan. Engkau juga terlalu pelit memperlihatkan mata air di tanah yang sudah gundul dan kering ini.

***

Ketika perut ini sudah menjerit untuk minta diberi makan, Engkau tak ada di sisiku. Padahal aku butuh sesuatu yang bisa mengenyangkan agar rasa perih yang ada di perutku ini bisa segera hilang. Aku tak punya uang wahai Tuhanku. Lagi pula di hutan tak ada warteg seperti warmo, atau kantin, atau food court, apalagi restauran multijajanan.


Kita seringkali memperlakukan Tuhan seenak udel. Tuhan diposisikan kayak sampah, yang udah nggak perlu dibuang. Nggak ada harganya. Padahal susah dan senang, kita kudu dekat Tuhan. Yang pasti, nggak ada Tuhan yang sama. Nggak ada agama yang memiliki konsep yang sama. Pluralisme cuma buatan manusia yang nggak mau cape dengan konsep dan formalitas dalam sebuah agama.

Turunkanlah beras dari atas langit Tuhan. Sebaiknya beras produk lokal hasil bumi negeri kami yang indah ini. Atau kalau beras terlalu berat dan bisa menimpa tubuhku yang mungil ini, kirimkan aku burger dari D-Jons via delivery service atau Bebek Kaleo yang garing itu.

Nampaknya Engkau terlalu pelit untuk memberi. Ternyata Engkau sangat kikir untuk berbagi. Padahal katanya kami adalah Mahluk ciptaanmu yang paling disayang, karena punya akal. Karena punya budi. Ah, rasa sayang Engkau cuma lip service. Ucapanmu cuma basa-basi, mirip kayak Politikus-Politikus.

***

Mana? Mana? Katanya Engkau ada dimana-mana? Katanya Engkau selalu dekat dengan Mahkluk seperti kami? Aku kehausan, nih! Aku kelaparan, nih! Bukan cuma aku. Hampir separuh penduduk dunia ini miskin. Mereka kehausan dan kelaparan pula. Tak jarang gara-gara dua hal tersebut, mereka mati sia-siap. Tidakkah Engkau sedih? Tidakkah Engkau punya empati sedikit saja?

Wahai Tuhan, di mana sesungguhnya Engkau berada?

Aku jadi tak percaya Engkau wahai Tuhan. Aku semakin bimbang akan keberadaanmu wahai Tuhan. Ketidakpercayaan dan kebimbanganku ini jelas mendasar. Engkau tak pernah ada selagi aku membutuhkan. Engkau tak pernah mewujudkan diri ketika aku ingin curhat padamu.

***

Tiba-tiba SMS masuk.

”Hi, manusia tolol! Jangan pertanyakan dimana Tuhan berada. Ketika Tuhan memanggil, kalian tidak segera menjumpai-Nya. Engkau terlalu sibuk untuk urusan dunia. Engkau terlalu sibuk menumbuk harta benda. Sampai detik ini pun kalian belum memutuskan Tuhan kalian sebenarnya yang mana? Kalian pikir dengan mengaplikasikan hal-hal sosial yang sifatnya duniawi tanpa menjalankan perintah Tuhan kalian layak masuk surga? Kamu pikir pluralisme itu luar biasa? Itu cuma alasan agar kita tidak perlu ber-Tuhan atau menjalankan perintah Tuhan....”

Jumat, 15 Mei 2009

SITU LEMBANG, KALO SITU SIAPA?

Cerita-cerita keindahan soal Situ Lembang udah Tuti dengar lama. Bahwa Situ Lembang merupakan venue yang sangat romantis. Pohon-pohon yang ada di sekitar situ, kicauan burung, dan tentunya ketenangan air jelas masuk dalam kategori romantis. Nggak heran kalo di tempat itu, kita bisa mengikat tali kasih dengan lebih harmonis dengan sang kekasih.

Bahwa kemudian di Situ Lembang juga banyak Pedagang nasi gila, Pedagang asongan, Pedagang kopi, dan Pedagang-Pedagang lain, itu mah udah bukan rahasia lagi. Tempat ini udah jadi salah satu tujuan wisata pagi, siang, dan malam buat redenvouz. Namun semua itu cuma didengar oleh Tuti. Maklum, Tuti belum pernah ke Situ Lembang.

"Padahal Tuti cantik, lho!"

"Apa hubungannya cantik sama belum pernah ke Situ Lembang?"

"Ya diada-adain dong!"

"Ah, ngaco loe!"



Dan berangkatklah Tuti ke Situ Lembang naik Kopaja S 66. Naiknya dari Blok M. Nggak tahu siapa yang memberitahu Tuti kalo ke Situ Lembang naik Kopaja dengan nomor itu? Padahal Kopaja jurusan Blok M-Manggarai itu nggak lewat Situ Lembang. Lewatnya Sudirman, Gatot Subroto, Kuningan, Pasar Rumput, dan Manggarai.

Setelah diurut-urut, ternyata yang memberitahu Tuti adalah Pemulung. Sebenarnya prinsip Tuti bertanya sebelum melakukan sesuatu udah dilakukan. Namun, it doesn't work well. Nggak heran kalo Tuti bertanya ke Pemulung. Sayangnya si Pemulung nggak nyambung jawabannya.

"Bang numpang tanya kalo ke Situ Lembang itu naik apa ya?"

"Situ Lembang? Nah, situ siapa tanya-tanya?"

"Saya orang yang ingin ke Situ Lembang, Pak!"

"Iya saya tahu! Situ siapa?"

Tuti mulai kesal.

"Pak, saya cuma mau tanya. Kalo ada orang tanya, Bapak seharusnya menjawab. Bukan balik tanya saya lagi..."

"Iya saya ngerti. Adik tanya Situ Lembang kan?"

Tuti mengangguk.

"Kalo situ tanya soal Situ Lembang, nah situ siapa? Preman? Anak konglomerat? Anak Pejabat? Atau anak TK?"

"BAPAK! SAYA CUMA INGIN TANYA SITU LEMBANG DIMANA?!!!"

"Nah, gitu dong! Saya kan jadi tahu. Situ Lembang itu adanya di sana, Dik! Adik tinggal jalan kaki. Belok kanan, lalu belok kiri. Kalo ada jalan ke kanan, adik belok ke kanan. Kalo ada belokan ke kiri, adik jangan belok kanan, tapi belok kiri. Kalo udah ketemu, telepon-telepon ya, Dik! Bapak punya blackberry, lho..."

Tuti bengong, Pemulung aja punya blackberry.

"Oh iya, nama situ di Facebook apa sih? Situ Lembang ya?"


video copyright by Jaya

Kamis, 14 Mei 2009

PANTESAN KIJANG NGGAK BISA HIDUP DI MONAS...

“Inilah puncak Monas,” jelas Bapak setengah baya yang bertugas sebagai Tour Guide kami siang itu. Ketika menjelaskan, keringatnya mengucur deras. Udah gitu, nafasnya kembang kempis, kayak bentar lagi mau mati. Maklum, buat mencapai puncak Monas, doi kudu naik tangga darurat. Namun semangat beliau sebagai Tour Guide tetap menyala bak api yang tak kunjung padam.

“Di puncak ini terdapat cawan yang menopang patung berbentuk nyala obor perunggu,” lanjut Bapak ini sambil melirik ke sebuah lembaran kecil yang sedari tadi ada digengaman tangan kirinya.



“Wowww!!!!”

“Berat obor ini mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg....”

“Wowwww!!!”

“Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan...”

“Wowwww!!!”

“Kok dari tadi kalian wow-wow terus sih?” Protes Bapak ini.

“Habis kita harus bilang apa Pak?” jawab salah seorang teman kami yang wajahnya mirip obor Monas.

“Ya bilang apa kek? Aha, kek! Uhu, kek! Atau Aha-Uhu...”




Tour Guide kami itu menjelaskan kembali soal Monas. Menurut catatannya, tugu ini dibangun di areal seluas 80 hektar. Arsiteknya bernama Pak Soedarsono dan Pak Frederich Silaban (ini orang Indonesia atau orang bule ya? atau orang Indonesia yang kebule-bulean?), sementara konsultannya Pak Ir. Rooseno.

Monas mulai dibangun pada bulan Agustus 1959. Berarti udah 50 tahun yang lalu ya, cong?! Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1961, Presiden RI perdana, Ir. Soekarno meresmikan monumen tersebut. Namun Monas baru resmi dibuka buat umum pada tanggal....

“Tanggal berapa ya?” Bapak Tour Guide itu lupa. Kertas contekan yang dibawanya ternyata nggak ada tanggal pembukaan Monas buat masyarakat umum. Jidatnya berkali-kali dipukul sebagai rasa menyesal.

“Hayo tanggal berapa?” Goda teman kami.

“Makanya jangan cuma nyontek, Pak! Kalo cuma nyontek, ya resikonya begini deh. Begitu contekan hilang, Bapak kelabakan kan?”




“Tanggal berapa dong?” Bapak itu masih penasaran.

“Mau nggak saya kasih tahu?”

“Ya jelas mau dong...” Begitu mendapatkan tawaran dari salah satu teman kami, wajah Bapak itu semringah alias cerah ceria. Ibaratnya, doi melihat ada enlightment alias pencerahan.

“Tapi bayar dulu dong...”

Wajah si Bapak berubah. Kalo kita lihat secara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, perubahan wajah Bapak Tour Guide kayak bunglon yang merubah kulitnya, dari warna cerah ke warna pudar.

“Yasudah, nanti turun dari Puncak ini kamu saya gendong. Selain saya gendong, nanti kamu saya belikan es krim Woody...”

“Ok, sip! Tanggalnya 12 Juli 1975, Pak!”

“Itu tanggal apa ya?” Tanya Bapak itu tolol.

“Ya amplop! Itu tanggal dimana Monas dibuka buat umum, Pak!”

Bapak Tour Guide cengegesan dan mengangguk tanda setuju. Sementara para Peserta Tour de Monas gerendengan gara-gara gemas melihat kelakuan si Bapak. Kondisi itu membuat si Bapak jadi malu hati. Malu juga gara-gara nggak hafal soal sejarah Monas. Tapi malunya cuma sebentar. Begitu udah ketahuan dibilang biang nyontek, begitu para Peserta Tour de Monas nggak gerendengan lagi, doi nggak segan-segan lagi membaca buku contekan yang sejak tadi disembunyikan.




“Bentuk Tugu peringatan ini memang sangat unik. Kenapa? Yang kita lihat, batang yang tinggi menjulang ini adalah sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer. Batu ini berbentuk lingga yoni, yakni simbol kesuburan. Tingginya mencapai 132 m....”

“Berarti Monas itu lambang kejantanan laki-laki ya Pak?”

“Katanya sih begitu...”

“Penis ya Pak?!”

“Hush!!!! Jangan porno gitu ah! Nanti kita kena UU Pornografi dan Pornoaksi, lho!” sergah Bapak Tour Guide kayak ketakutan.

“Pantesan kijang nggak mau hidup di sekitar Monas ini...”

“Lho, apa hubungannya?”

“Iya, karena kijang-kijang di sini dahulu konon berjenis kelamin Betina semua. Bisa-bisa hamil terus kalo tinggal di Monas. Kalo penis ketemu alat kelamin wanita biasanya kan bisa halim, eh hamil, Pak...”

"Waduh! Saya kok baru tahu soal itu ya, Dik?"

"...."



all photos copyright by Jaya

Selasa, 12 Mei 2009

AKU BUKAN SIAPA-SIAPA...

Sungguh mati aku tak pernah mengharapkan balas jasa dari kalian semua. Tahta, harta, atau wanita. Itu tidak aku butuhkan saat ini, bahkan sampai kapan pun. Buatku itu semua hanya kenikmatan semu. Tidaklah abadi. Aku pun tak minta kalian mengasihaniku. Aku cuma minta satu permintaan: penghargaan!

Buat kalian, aku memang tak ada artinya. Aku juga bukan siapa-siapa. Nothing and also nobody. Aku hanya sekumpulan kotoran yang tersimpan di dalam perut. Dimana ketika aku sudah terlalu penuh di dalam perut, kalian akan merasa mulas. Meski tak mau, aku tetap dipaksa untuk keluar. Dan oleh karena itu membuat kalian susah untuk memberikanku penghargaan.

Aku tak perlu penghargaan berupa piala, plakat, piagam, ijasah, atau bahkan amplop berisi uang. Listen my friends, aku ini jangan disamakan dengan wartawan amplop. Wartawan yang selalu menerima amplop dari klien, pejabat, atau pimpinan perusahaan yang ingin beritanya ditulis dengan sangat positif. Aku ini selalu menjaga objektivitas. Ketika memang aku harus keluar dari lubang anus dengan baik, ya bentuknya akan baik. Tapi jika harus berceceran, ya mohon maaf bentuknya absurd.


Ini tokai-tokai Rusa yang mirip sekali kayak pismol alias pisang molen. Kalo ada orang nggak tahu, banyak orang ketipu dan makan tokai-tokai ini. Tapi katanya enak, lho? Itu kata Orang Gokil, cong!

"Apakah kalian pernah lihat lukisan yang cara melukisnya cat minyak diciprat-cipratkan ke kanvas? Nah, cipratan-cipratan cat minyak itulah yang disebut absurd..."

Terkadang aku merasa kesepian di tinggal di berbagai tempat yang sebenarnya tak layak buatku. Kadang di pojok tembok rumah kosong, pinggir rel kereta api, pinggir sawah, dan tempat-tempat lain. Jika itu terjadi, aku merasa terbuang, dikucilkan, atau didiskriminasikan. Itu tanda bahwa kalian memang tak berniat sedikit pun menghargaiku.

Aku merasa dingin ketika harus berlama-lama terendam dalam air. Mengapung. Aku juga merasa panas ketika dibiarkan terjemur matahari, sehingga menyebabkan kering. Tidakkah kamu berpikir aku bisa terkena dehidrasi? Tapi kalian semua acuh. Aku dibiarkan sendirian kedinginan dan kepanasan. Kalian tak biasa melayaniku sebagaimana kalian biasa melayani mahkluk hidup lain. Diskriminatif!

Penghargaan penting buatku agar aku bisa membantu kalian tetap sehat. Jangan-jangan kalian belum mengerti pentingnya diriku dalam hidup kalian? Jangan-jangan karena ketidaktahuan kalian semua yang menyebabkan aku tak dihargai? Jangan-jangan kalian tak tahu kenapa warnaku ada yang kuning pucat, kuning tua, dan hitam?

Padahal jika kalian tahu, banyak teman kalian sesama manusia akan tersiksa, jika aku tidak bisa dikeluarkan dari perut kalian. Aku tahu berbagai cara dilakukan agar aku bisa keluar. Jika tak memungkinkan di lubang anus, aku dibuatkan lubang di perut atau dibuatkan saluran via pipa plastik. Ketika kalian berhasil menemukan cara bagaimana diriku bisa keluar, kalian tak banyak bersyukur. Kalian tak menghargaiku. Begitukah cara kalian padaku? Is that the way you treat me?

Baiklah, sekarang aku tunggu reaksi kalian. Aku menunggu apa tindakan kalian padaku. Apakah kalian ingin memperbaiki sikap kalian padaku? Apakah kalian akan meminta maaf padaku dan mengajakku berdamai? Aku sangat berharap kalian sadar dan menghargaiku. Menghargaiku sebagai sesuatu yang cukup penting, meski aku cuma seonggok Tokai.

MENGAPA AKU LESBIAN?

Nggak ada satu manusia pun di dunia ini yang nggak mau hidup normal. Begitu juga denganku. Aku yang terlahir sebagai wanita, tentu saja ingin hidup sebagaimana wanita normal lain. Mencintai dan dicintai oleh pria. Namun Tuhan mencetakku sebagai seorang wanita yang ternyata suka dengan sesama jenisku. Yap! Aku seorang lesbian.

Sungguh mati sebenarnya aku nggak mau menyalahkan Tuhan. Aku nggak ingin memasukkan Tuhan dalam penyelewengan nafsu yang ada pada diriku ini. Dimana rasaku terhadap pria sudah nggak ada lagi. Dimana cintaku pada pria yang seharusnya muncul, nggak terasa lagi. Dan itu semua aku anggap sebuah sebuah penyelewengan. Dan ini pula yang aku anggap sebagai sebuah kesalahan cetak. Siapa lagi Tuan Besar yang mampu mencetakku selain Tuhan?

“Kalo bukan Tuhan siapa lagi?”

Pertanyaan-pertanyaan soal ketuhanan yang membuatku jadi begini seringkali muncul dan tenggelam. Benarkah dia yang menjerumuskanku ke penyelewengan ini? Benarkah dia sama sekali nggak membantuku untuk mengubah nafsuku agar bisa normal? Ketika aku bermesraan di ranjang dengan sesama jenisku, ada nafsu yang bercampur dengan kegelisahan. Jerit lirih ketika pesta seks sesama jenis memuncak, seringkali menjadi hambar begitu aku ingat Tuhan. Salahkah aku ini? Salahkah perbuatanku ini?

“Kalo aku salah kenapa Tuhan nggak membenarkanku? Bukankah Tuhan bisa melakukan segala-galanya?”

Susungguhnya aku nggak sendirian menjadi lesbian. Banyak wanita yang juga tumbuh seperti aku. Nggak nomal. Sejarah mencatat, Karl-Maria Kertbeny udah mendengung-dengungkan kata homoseksual pada tahun 1869. Kata ini kemudian dipopulerkan penggunaannya oleh Richard Freiherr von Krafft-Ebing via bukunya yang berjudul Psychopathia Sexualis. Lho kok homoseksual? Yap! Homosekual adalah prilaku menyukai sesama jenis. Kalo pria menyukai pria itu namanya gay. Sedang wanita tertarik dengan sesama wanita, namanya lesbian.

Susungguhnya aku sudah berusaha mematikan rasa sayangku pada sesama jenis. Aku nggak mau dibilang manusia sakit. Artinya, aku ingin bertobat. Aku berusaha mengubur masa laluku yang pernah menusuk-nusuk hatiku, yang sebenarnya sangat perih kalo kukenang.

Pacarku yang ganteng dan mirip Ariel Peter Pan itu sangat menyakitkan hati kalo aku ingat. Namun wajah gantengnya kerapkali membayang-bayangiku. Padanya aku sudah berikan segala-galanya, termasuk keperawananku. Bahkan dari spermanya kumembiarkan bertemu dengan telurku, sehingga tumbuh janin dalam perutku. Dan finally lahirlah bayi mungil nan cantik jelita, dimana bayi ini aku sembunyikan identitas ayahnya. Aku tahu, pacarku itu nggak akan pernah bertanggungjawab, karena dia terlalu sibuk mencari pacar-pacar barunya. Aku juga tahu, istrinya yang dinikahi dan kemudian diceraikan cuma perkawinan kamuflase. Sebab, pacarku tetap kembali pada pacar lamanya, yang wajahnya mirip Luna Maya. Semua kisah pacarku aku tutup rapat-rapat. Ini karena rasa cintaku pada pacarku yang ganteng nggak ketulungan itu.

“Dia telah aku kubur dalam-dalam. Deritaku telah aku timbun. Aku mau coba bangkit untuk hidup normal. Namun...”

Rasa benciku ternyata terlalu besar. Semua pria tiba-tiba aku anggap anjing. Brengsek. Cuma mau mementingkan diri sendiri. Egois. Habis manis, sepah dibuang. Sementara wanita bagai surga. Wanita seolah memberikan oase dalam kehidupanku. Ketika aku jatuh di sebuah lubang, dia menjulurkan tangan dan menarik ke atas. Ketika aku menangis, dia siap menjadi keranjang sampah dan menyediakan shoulder to cry.

“Itu nggak aku dapatkan dari pria. Wanita lebih memanusiakan wanita, ketimbang lelaki...”

Aku sebanarnya sudah memohon ampun pada Tuhan agar diizinkan menjadi wanita normal. Namun selalu saja hati ini tertutup. Nggak percaya? Sehabis sholat, aku selalu berdoa. Sehabis makan aku berdoa. Begitu juga ketika keluar WC, aku juga berdoa. Edannya lagi, ketika berada di Mekkah, aku menangis dan meminta dengan amat sangat: "Ya Tuhan, kalo ada pria yang mengajakku kawin hari ini juga, aku bersedia. Aku nggak peduli wajahnya jelek kayak vokalis band Kangen atau ganteng kayak Nicholas Saputra. Aku juga nggak peduli tinggi fisiknya kayak Nasrul yang dikenal sebagai manusia tertinggi di Indonesia. Yang penting buatku, aku harus kembali normal".

Namun sayang.... aku tetap ditakdirkan menjadi seorang lesbian. Di Ka’bah, aku justru dipertemukan dengan seorang wanita cantik. Cantiiiik sekali. Mengalahkan kecantikan gadis-gadis Lux. Dia begitu care padaku. Dan aku baru tahu kalo dia menyayangiku juga dan luar biasanya ingin menjadikanku pasangan sehidup semati. Bahkan di depan Ka’bah, dia mengajakku untuk married. Hah?! Married?!

Pasti semua orang menganggap kami gila. Kenapa di tempat suci kayak begitu kami menodai dengan perbuatan terkutuk kami ini? Tidakkah kami sadar kalo kami adalah manusia sakit yang menjalankan seks menyimpang? Namun justru kami balik bertanya, mungkinkah dengan memberanikan diri married di depan Ka’bah Tuhan akan memporak porandakan cinta kasih kami dan selanjutnya mengutuk kami menjadi normal kembali?

“Kalo mau jujur, aku merasa rendah hidup sebagai lesbian. Wong menjadi wanita normal saja kerap terpingirkan, didiskriminasikan, apalagi sekarang menjadi seorang lesbian yang jelas-jelas dianggap oleh masyarakat sebagai amoral dan berprilaku asusila. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu...”

Sebenarnya ada hal lain yang membuatku nggak normal. Kali ini bukan karena prilaku sadis pria, namun orangtua penyebabnya. Hah?! What wrong with them? Anda pasti bertanya-tanya, mengapa orangtua jadi yang disalahkan. Bukankah yang memutuskan jadi lesbian adalah diriku, bukan mereka?

That's right! Memang akulah yang memutuskan diri buat menjadi lesbian. But wait, you don't know exactly behind the story yet. Tentu ada sebab-musababnya. Dan seperti yang kukatakan tadi, selain soal pacar yang mengkhianat, orangtua yang juga menjadi penyebab. Bahwa sejak kecil aku selalu dipaksa untuk sesuatu yang aku nggak suka. Kalo pun aku bisa, aku nggak mau.

Orangtuaku ingin diriku kayak Indra Lesmana atau David Foster. Tapi aku nggak mau. Aku nggak suka piano. Aku nggak suka musik. Aku lebih suka menggerjakan Pariwara yang selalu dipaksa shooting mepet, melewati prosedur H-3. Aku lebih suka menggerjakan program blocking-an dari departemen-departemen daripada harus belajar piano. Aku lebih suka melihat teman-temanku mendapatkan insentif dari hasil ngejar sales bulanan daripada harus les piano. Dan aku lebih suka menunggu Internal Office Memo (IOM) dari gedung Standard Charter agar production cost bisa segera diurus ke finance. Namun orangtuaku memaksaku dengan berbagai cara agar aku mau les les dan les.

Aku disiksa. Aku dipukul dengan menggunakan tripod kamera. Kepalaku dijedot-jedotkan ke VTR yang ada di pannel control. Tanganku disetrum oleh kabel yang mengaliri listrik dari genset berkekuatan 150 ribu KVA. Setiap kali berjumpa dengan orangtua, wajahku selalu memar. Mending cuma memar, seringkali bahkan sampai berdarah-darah. Orangtuaku memang kejam. Buat mereka, aku harus jago main piano.

Aku menangis. Di depan kaca aku berhadap-hadapan dengan bayanganku sendiri. Di bayangan itu aku mencoba bertanya. Sebetulnya perbuatan tolol ini nggak perlu kulakukan. Tapi aku sayang pada dirikku. Namun aku nggak bisa menuruti perintah orangtuaku untuk les piano.

“Mending aku lesbian daripada dipaksa harus ikut les piano atau duduk lesehan di tengah rel kereta api...”