Minggu, 03 Mei 2009

BEAUTY AND THE BEAST

Romantika percintaan memang sulit ditebak. Di zaman kapitalis kayak begini, cinta udah nggak pake hati. Wajah udah nggak penting lagi. Mau tampang kayak Primus, Tukul Arwana, atau Doel Sumbang, sing penting duit-nya akeh (baca: bejibun). Mau mantan Coverboy tahun 1945 kek, sing penting asalnya dari keluarga konglomerat agar maderah alias masa depan cerah.

Begitulah cinta era Blackberry. Cowok-cowok pasti banyak yang sakit hati kalo jalan ke Mal melihat ada Pasangan yang nggak seimbang: Ceweknya seksi dan cantik abis, sementara cowok-nya jeleknya minta ampun. Mirip vokalis Kangen band. Alamak! Kisah kayak begini dialami oleh cewek bernama Gati.

Di kampungnya di sebuah desa nan jauh di mato, Gati merupakan sosok wanita yang menjadi incaran Penduduk setempat. Bukan karena doi mantan Preman atau Bromocorah asal Bogor. Because she is very beautifull. Kayaknya nggak pantas kalo doi hidup di desa di Bogor kayak begitu. Harusnya doi tinggal di atap apartemen di Jakarta yang metromini ini. Lho kok metromini? Mikrolet kali? Ini pada bego-bego amat sih! Yang dibicarakan itu metropolis. Once again: M-E-T-R-O-P-O-L-I-S.

Kecantikan Gati melebihi Ibu-Ibu di sekitar kampung situ. Sebenarnya bisa dimaklumi, wajah Ibu-Ibu nggak cekap-cakep amat, ya kalo mau disamakan wajah mereka mirip para Petinju legendaris kayak Muhammad Ali atau Mike Tyson. Bahkan ada yang mirip Jimmy Hendrix. Yang paling cakep struktur wajahnya adalah Ibu yang bersebelahan rumahnya dengan Gati. Wajah Ibu itu mirip Ade Juwita.


Dua penganten monyet. Suap-suapan bukannya pake ayam, mereka memilih pake pisang. Maklum, namanya juga makanan favorit


“Aku rela manjat pohon pisang demi mendapatkan Gati,” kata Pria bertubuh kekar yang udah membujang hampir 60 tahun.

“Saya ingin hidup seratus tahun lagi,” ujar Pria yang ngomongnya nggak nyambung ini. Statementnya itu mirip puisinya Chairil Anwar ya?

“Pokoknya tanpa Gati aku nggak akan bisa tidur nyenyak,” papar Pria yang rumahnya kebetulan banyak nyamuk. Kebetulan juga belum punya uang buat beli kelambu dan obat nyamuk. Nggak heran setiap malam selalu menggaruk-garuk badannya dengan sekop.

“Aku cinta Gati forever,” kata Wanita berambut terbelah tujuh. Kok Wanita? Iya, kebetulan Wanita ini lesbong, Bo!

Gati bagaikan bola yang selalu dikejar-kejar kemana pun berada. Ternyata, imagenya udah sampai ke kota besar Jakarta. Koran-koran udah memunculkan foto Gati dengan tulisan: “Dijual dengan harga tinggi! Jika Anda tertarik, silahkan hubungi toko sebelah!”. Foto dan tulisan itulah yang membuat Pria bernama Hakim nekad. Dengan modal kekayaan orangtuanya yang dikenal sebagai Konglomerat tersohor di dunia fana, pria ini ingin menarik hati Gati agar mau menjadi istrinya.

“Hah Hakim mau memperistri Gati? Sejak kapan doi insyaf jadi pria normal?” tanya rekan sekerjanya yang pantatnye gede, melebihi bemper mobil VW.

“Emang Hakim homo? Kenapa doi insyaf sih? Kan gw belum insyaf?” ini kata atasan Hakim yang nggak mau disebutkan namanya, tapi mau diajak kencan oleh siapapun asal badanya bersih, manusiawi, dan berwibawa.

“Hakim kan keteknya bau...”

“Emangnya wajah Hakim udah halus selembut salju gitu?”

“Hakim kan belum bayar hutang-hutang di Warung Bu Brindil...”

Aneka ejekan itu ditujukan pada Hakim. Mending cuma sekali dua kali, ejekan-ejekan itu hadir menghiasi siang maupun malam dalam kehidupan Pria ini. Namun doi ternyata tough. Tahan banting. Maklum, doi dididik oleh Bapaknya yang sebelum jadi Konglomerat adalah Petinju Kelas Bulu Anjing. Selain itu, Hakim juga sempat dikursuskan di Sekolah Piano Tentara, dimana metode mengajarnya kalo salah pencet tuts piano, pantat ditendang. Kalo salah note balok, kepala dijedotin di tembok. Nggak heran kan kalo Hakim dikatakan sebagai Pria tangguh?

Saingan-saingan Gati berguguran. Kebetulan Gati memang melihat Hakim sebagai Pria yang memiliki masa depan cerah. Warisan yang akan diberikan dari Ayahnya pasti akan menyenangkan hati Gati. Doi nggak peduli kalo mayoritas orang menyebutnya sebagai “Beauty and the Beast”.

Upacara penganugerahan AMI Award pun berlangsung. Lho kok AMI Award sih? Dalangnya gimana sih? Punten atuh! Namanya juga manusia, boleh dong salah? Yang dimaksud upacara di sini adalah upacara Pengantenan. Yap! Gati akhirnya bersedia memberikan cintanya pada Hakim. Padahal kita tahu, cintanya Gati nggak sepenuh hati. Ada elemen-elemen yang membuat dirinya menerima lamaran Hakim.

“Mungkin keputusan hakim nggak bisa diganggu gugat kali...”

“Emangnya undian?”

“Mungkin hakim udah ketok palu kali?”

“Si Hakim profesinya bukan di Pengadilan tau?! Kalo di rumah punya palu, itu mungkin...”

“Jadi apa dong?”

“You know lah...”

Mereka mengambil upacara adat Tebet. Dalam upacara ini, sepasang Pengantin akan memakan buah pisang mungkin dengan cara saling bersuapan. Pisang itu syaratnya harus tergantung di atap rumah dan menghadap kotoran rusa berwarna cokelat. Syarat lain, Saksi yang menyaksikan upacara adat Tebet ini nggak boleh pake kolor warna ijo. Sebab, nanti takut dikepung sama Penduduk setempat, karena disangka si Kolor Ijo.

“Semoga perkawinan kita bisa berdurasi lama sepanjang hayat masih di kandung badan ya sayang,” kata Hakim dengan suara serak-serak becek mirip Ikang Fawzi.

“Amin!”

Bersamaan dengan si pisang kerdil masuk ke mulut masing-masing Pengantin, jerawat Hakim pecah tiga biji. Pletok! Pletok! Emang bunyinya pletok? Kalo gitu ganti, bunyinya jadi Mbledos-Mbledos deh! Nah, pas jerawat pecah, si Gati menjerit lirih. Pisang yang berada di mulutnya langsung tertelan tanpa dikunyah 32 kali terlebih dahulu. Kejadian itu menyebabkan Gati kudu masuk UGD, karena pisang masih nyangkut di kerongkongannya.

“Gawat! Belum juga sempat menikmati malam pertama, udah ada kejadian kayak gini? Terpaksa puasa dulu deh gw...”

0 komentar: