Selasa, 12 Mei 2009

GW KUDU SIAP-SIAP MUDIK DONG!

Air mata Tedy bercucuran. Kalo dihitung-hitung volume airnya, udah mencapai sekitar dua ember. Lumrah saja, cowok ganteng kelahiran Padang Ilalang ini menangis sejak dari sumbuh hingga sekarang udah menjelang magrib. So, bukan cuma volume air yang bisa jadi pembahasan, soal mata yang bengkak pun tentu menarik buat diperbincangkan.

“Kenapa sih elo menangis my friend? Yang gw tahu elo itu lelaki tough. Antibocor. Antipeluru.”

“Emang gw robot?” Protes Tedy pada rekannya yang bernama Bajuri.

“So, what’s wrong?”

Tedy menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi. Ternyata eh ternyata, doi menangis untuk sesuatu yang nggak benar. Ada satu kesalahan informasi yang membuatnya jadi nggak mudeng. So that, seharusnya doi nggak menangis. Ya beginilah kalo orang nggak nanya dulu. Lebih memilih nangis dulu, baru nanya. Bego nggak sih?

“Jadi stasiun kereta api Tanjung Priuk ini nggak bisa ke Manado?” tanya Tedy mengkonfirmasi.

“Ya nggak bisa kalee!

“Bisanya ke mana dong?”

“Mungkin bisa ke Kalimantan, Sumatera, Sulawesi....”

“Kalo bisa ke Sulawesi, berarti bisa ke Manado juga dong, cong?”

“Lho, Manado itu ada di Sulawesi ya?”

“Sulawesi Utara kaleee!!!!”

Bajuri memang rada goblok kalo soal pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Otaknya mirik kayak Bajuri yang ada di sinetron Bajaj Bajuri. Sok pintar, tapi ternyata bego.




Gara-gara Bajuri nggak ngerti soal IPS dan sejarah, terpaksa Tedy mencoba mengajarkan. Sejarah pertama yang dipaparkan adalah soal stasiun kereta api Tanjung Priuk. Kenapa soal itu ya? Ya, kebetulan lokasi pertemuan Tedy dan Bajuri di stasiun kereta api Tanjung Priuk, cong! Jadi momentumnya tepat bukan?

“Stasiun kereta api ini dibangun tahun 1914. Pembangunannya dilakukan pada masa Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (1909-1916). Tahu nggak loe?”

“Enggak! Yang gw tahu Ali Sadikin...”

“Kirain tahunya cuma Sutiyoso doang...”

“Lho, memangnya Sutiyoso pernah jadi Gubernur ya?”

Teddy pusing. Di tengah kepusingan itu, doi mencoba meneruskan penjelasan soal stasiun kereta api Tanjung Priuk. Lanjut Teddy, buat menyelesaikan pembangunan stasiun ini, dibutuhkan kurang lebih 1.700 tenaga kerja. Di antara tenaga kerja itu ada 130 TKA alias Tenaga Kerja Asing. Mereka berkebangsaan Eropa. Perusahaan Belanda yang membangun adalah Holland Beton Maatschappij. Sementara arsitek yang merancangnya adalah CW Koch, yakni seorang Insinyur Kepala di perusahaan kereta api Belanda: Staatsspoorwegen.

Nyatanya bukan cuma soal pembosoan tenaga kerja yang membuat pemerintahan Belanda protes. Namun soal pembangunan 8 peron yang mubazir. Kenapa begitu? Dengan 8 peron, stasiun ini dianggap terlalu besar. Besarnya nyaris kayak stasiun kereta api Jakarta Kota (dahulu bernama Batavia Centrum). Padahal fungsinya nggak terlalu banyak kayak Batavia Centrum ini. Bayangkan, beberapa kereta api yang menghubungkan kota-kota seperti Bandung dengan kapal-kapal Stoomvaart Maatschappij Nederland dan Koninklijke Rotterdamsche Lloyd, langsung menuju ke dermaga pelabuhan. Artinya, nggak menggunakan stasiun kereta Tanjung Priuk ini. Stasiun ini cuma digunakan buat kereta rel listrik yang baru mulai digunakan di sekitar Jakarta pada tahun 1925.



Stasiun kereta api tanjung priuk memang nggak bisa dipisahkan dari pelabuhan tanjung priuk. Maklumlah, jarak antara stasiun kereta api dan pelabuhan nggak sampai 1 kilometer. Kalo pembangunan stasiun kereta api sempat diprotes, karena nggak terlalu banyak fungsinya dan boros tenaga kerja, sebaliknya justru pelabuhan jadi venue kebanggaan di masa Hindia Belanda. Ngerti dong, kalo pelabuhan berperan sebagai pintu gerbang kota Batavia serta Hindia Belanda.

Bandar pelabuhan dibangun pada 1877 di masa Gubernur Jendral Johan Wilhelm van Lansberge. Doi berkuasa di Hindia-Belanda pada tahun 1875-1881. Tadi udah dijelaskan kalo pelabuhan menjadi primadona, gara-gara jadi pintu gerbang. Memang benar, sejak dibuka, pelabuhan menjadi paling ramai di Asia, apalagi setelah Terusan Suez dibuka.

“Tapi segala produk yang turun dari kapal kudu didistribusikan ke daratan dong, ya nggak? Nah, salah satu sarana distribusi ya kereta api itu...”

Itulah alasan mengapa stasiun kereta api Tanjung Priok dibuka, yakni menghubungkan pelabuhan Tanjung Priok dengan Batavia yang berada di selatan. Pada masa itu, wilayah Tanjung Priok sebagian besar adalah hutan dan rawa-rawa yang berbahaya. Siapa yang berani menerobos rawa-rawa kala itu? Serem, cong! Nah, pada tahun 1914, dibuatlah jalur kereta api agar bisa mengangkut produk-produk yang sebelumnya dari pelabuhan, yang mau didistribusikan ke sekitar Batavia.

Sayang seribu kali sayang, sejak tahun 1978, stasiun kereta api ini udah nggak difungsikan sebagai kereta Penumpang. Padahal sebelumnya, para Penumpang yang mau pulang ke Jawa, bisa mudik lewat sini. Kalo bisa lewat stasiun ini, pasti konsentrasi Penumpang yang mau mudik nggak cuma di Senen atau via Gambir.

Entah kenapa, sejak nggak lagi mengangkut Penumpang, stasiun kereta api Tanjung Priuk hanya memfungsikan sebagai stasiun pengangkut barang. Gara-gara ini, pemasukan dana dari tiket peron semakin berkurang. Inilah yang menyebabkan PT Kereta Api (Persero) terpaksa menyewakan ruangan yang ada di depan bangunan stasiun. Buat apa lagi kalo bukan agar bisa mendapat pemasukan biaya operasional stasiun. Nggak heran kalo kemudian bagian depan stasiun terdapat pemandangan kantor-kantor jasa, mulai dari kantor travel agen buat tiket kapal laut, pengiriman barang, sampai kantor money changer alias jasa penukaran uang asing.

“Sejak itulah stasiun kereta api Tanjung Priuk ini jadi terlihat kumuh. Nggak terawat!”

Kaca-kaca jendela banyak yang pecah. Tembok terkelupas sehingga memperlihatkan batu bata merah aslinya. Besi-besi serta jalur kereta banyak yang berkarat. Padahal ketika pertama kali dibuka tahun 1914, stasiun ini begitu indah. Bangunan artistiknya bikin ngiler, yakni perpaduan gaya neo klasik dengan kontemporer. Ada yang bilang art deco gitu deh. Bahkan di era akhir abad ke-18, stasiun ini menjadi stasiun kereta api kebanggaan warga Batavia, cong!

“Yang menyedihkan, kalo malam banyak tenda-tenda dadakan di pingir rel kereta,” kata Teddy.

“Tenda pramuka?”

“Bukan tolol! Itu tenda prostitusi!”

Yap! Saat malam menjelang, banyak Wanita yang menjajakan tubuh mereka ke Pria hidung belang. Pasaran saat itu sekitar 25 ribu-an. Gokil nggak tuh?! Cuma dengan harga segitu, seorang Wanita bisa “digituin”. Murahan banget! Oh iya, kenapa prostitusi tumbuh di situ, ya karena dekat dengan pelabuhan, dimana banyak kuli-kuli pelabuhan yang ingin memuaskan hasrat seks mereka.

“Akibat ada tenda prostitusi, maka banyak tumbuh bangunan-bangunan liar di pinggir rel kereta api. Bahkan banyak pendatang gelap yang mencoba mengadu nasib di Jakarta tidur di dalam stasiun ini...”

Alhamdulillah, pada 28 April 2009 lalu, Presiden SBY dan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal meresmikan stasiun kereta api Tanjung Priuk ini. Dalam peresmian itu, SBY naik kereta dari Tanjung Priuk menuju ke Senen. Tentu saja, sebelum diresmikan, stasiun ini udah lebih dulu direnovasi. You know biaya renovasinya, cong? Nggak tanggung-tanggung menelan biaya kurang lebih 41 milyar rupiah yang diambil dari dana APBN 2008.

Stasiun ini akan melayani rute Jabotabek hingga Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Bagi warga Jakarta, dibukanya kembali stasiun ini jelas menggembirakan. Soalnya, mereka yang biasa menggunakan transportasi kereta api keluar daerah bisa sedikit lega. Stasiun ini menjadi stasiun alternatif selain stasiun Senen atau Gambir. Apalagi terdapat delapan jalur kereta. Much better lah!

“Wah, gw kudu siap-siap mudik dong kalo gitu...”

“Emang elo mau mudik kemana, cong?”

“Ke Irian Jaya...”

“Ya kagak bisa kalee!”

“Nggak bisa?!”

“Iya!”

Begitu tahu kalo stasiun kereta api Tanjung Priuk nggak bisa membawanya ke Iran Jaya, Bajuri menangis tersedu-sedu. Kali ini suaranya lebih keras dari tangisan yang sebelumnya udah dilakukan oleh Tedy. Melihat Bajuri menangis kayak gitu, Tedy jadi ilfil. Doi nggak mau melanjutkan tangisannya lagi. Doi memutuskan pulang ke Manado naik pesawat aja. Daripada naik kereta api, mungkin baru sampe tiga tahun kemudian kali ya....

0 komentar: