Sabtu, 06 Juni 2009

PENCEMARAN NAMA BAIK

Begitu girangnya Bejo mendengar Prita Mulyasari bebas. Lelaki itu loncat-loncat di atas sofa warna pink. Tanpa sadar, sofa yang udah berumur lima tahun itu jebol. Maklum, berat bejo kalo ditimbang hampir seberat 10 karung beras yang beratnya @ 10 kilgram. Gara-gara jebol, Bejo pun terjerembab.

Istrinya kawatir Bejo udah syaraf alias gila. Istri Bejo yang bernama Siti juga mengawatirkan suaminya itu kena santet. Maklumlah, gini hari nggak dapat undian berhadiah tapi jejingkrakkan, itu namanya gokil. Yaiyalah, ngapain juga menyusahkan diri kalo nggak mendapatkan reward yang sepadan? Lagipula Prita Mulyasari itu bukan siapa-siapa alias nobody bagi keluarga Bejo maupun Siti.

“Mamaku sayang, Prita itu something!” ujar Bejo dengan tampang berapi-api yang membuatnya hampir kebakaran. “Tanpa Prita, konsumen Rumah Sakit akan selama-lamanya bungkam. Nggak berani mengungkapkan fakta yang terjadi di Rumah Sakit. Fakta mengenai dokter yang bandel-bandel. Tanpa keberanian Prita, konsumen Rumah Sakit cuma ngedumel sendirian dan selanjutnya menerima ketidakberesan yang terjadi di Rumah Sakit...”


Ini anak saya saat masuk RS. Saat masuk RS, istri sempat jengkel gara-gara, hampir tiap pagi tangan anak kami ditusuk-tusuk buat saluran infus. Mending cuma sekali-dua kali, ini beberapa kali. Si suster kayak-kayaknya masih amatir mencari urat nadi dan main tusuk aja. Kalo orang dewasa sih nggak apa-apa. Nah, yang ditusuk anak-anak. Gimana nggak trauma anak kami kalo masuk ke RS?
Siti bengong. Ada dua hal yang pertama yang membuatnya bengong. Pertama, kalimat-kalimat yang diutarakan suaminya itu terlalu tinggi. Kata-kata seperti “konsumen” dan “fakta” terlalu asing buat dirinya. Wajarlah, Siti itu cuma lulusan Sekolah Dasar di daerah pedalaman nan jauh di mato. Kedua, Siti nggak nyangka suaminya sekarang jago berorasi, jago mengeluarkan pendapat sebagaimana layaknya Politikus-Politikus yang wajah-wajahnya kayak tikus itu.

“Sejak kapan suamiku ini jadi jago ngomong ya?” tanya Siti dalam hati. “Padahal dia itu sama-sama lulusan SD. Nggak tamat pula. Waktu sekolah dulu pun sering ngutang bayaran sekolahnya.”

Rupanya Bejo rajin membaca koran. Dia mengamati kasus Prita sejak awal sampai terakhir ibu dari Khairan Ananta Nugroho itu diizinkan pulang pada Rabu (3/6) lalu. Bejo mulai tertarik dengan e-mail berisi keluhan pelayanan di RS Omni International, Serpong yang dikirimkan Prita tanggal 15 Agustus 2008. Judulnya “Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang”.

Dalam e-mail itu, Prita menyebut-nyebut nama dokter Hengky Gozal dan dokter Grace Hilza. Isi e-mailnya masih Bejo simpan. Bahkan print out-an e-mail Prita sempat dibingkai segala. Ini isi e-mailnya...

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.




Ini Rumah Sakit Pertamburan, Jakarta Barat. So far sih kami belum pernah mendapatkan perlakuan yang asyik di RS ini. Bukan takut dianggap melakukan pencemaran baik, lho. Kalo memang ada sesuatu yang kami alami sebagaimana Prita Mulyasari, kami pasti akan membuat curhat, entah itu via e-mail atau blog ini. Anyway, RS Pertamburan ini konon katanya "lebih international" daripada RS-RS yang katanya international. You know what? meski belum punya ISO, beberapa prosedur RS Pertamburan "lebih international", bahkan di sini terima operasi beberapa pasien dari RS yang berlebel international.


Dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.


Ini RS Persahabatan. Sama kayak RS Pertamburan, saya belum pernah mendapatkan perlakuan yang nggak menyenangkan di RS yang lokasinya di Rawamangun ini. Kalo soal ada orang-orang yang tidur di sekitar kamar pasien kayak-kayaknya semua RS di Indonesia ini "mengizinkan" kali ya? Meski mengganggu pemandangan dan kelihatannya udik banget, baik di RS bertaraf international maupun taraf kampung, para keluarga pasien yang gelar tikar dan tidur di lantai udah biasa. Barangkali yang kudu jadi perhatian, masih banyak keluarga atau penjenguk pasien yang merokok di sekitar RS. Nggak cuma di RS Persahabatan ini, tapi di hampir semua RS. Padahal udah ada tanda dilarang merokok. Barangkali Security RS harus lebih berani. Kalo perlu tembak di tempat.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.


Istri saya pernah sedikit kesal dengan suster di RS Thamrin ini. Gara-gara udah datang tepat waktu, jam praktek dokter dibilang dokternya udah ada. Begitu lewat limabelas menit, kita diminta tetap sabar menunggu. Duapuluh menit, suster itu ngasih tahu kalo dokternya masih diperjalanan. Begitu 30 menit, kita baru disuruh milih: mau tetap sabar menunggu atau mencari dokter lain. Halah! Kenapa nggak dari tadi sih sus? So far sih RS Thamrin ini baik-baik aja. Seluruh keluarga saya rata-rata berobat di RS ini.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og (Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.


Ini Rumah Sakit Cipta Mangunkusomo (RSCM) yang katanya tempat praktek dokter Hengky Gozal. Aneh, masa ada Konsumen yang menginfokan soal perlakuan yang kurang baik dibilang mencemarkan nama baik. Lah, bukankah itu malah justru sangat menolong calon Konsumen lain yang hendak pergi ke RS agar berhati-hati? Coba kalo saya nggak tahu siapa dokternya dan dimana tempat prakteknya, barangkali dengan gobloknya saya akan menjadi pasien dokter itu.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.


Meski ada dokter Hengky Gozal, RSCM beberapa tahun ini dikenal sebagai RS yang melayani pasien miskin yang mau berobat gratis via kartu orang miskin. Hebatnya, operasi sampai 100 juta sekalipun, orang-orang miskin ini bisa berobat tanpa mengeluarkan duit sepersen pun. Tapi, nah ada tapinya nih, kartu pengobatan gratis ini seringkali salah sasaran. Yang seharusnya cuma dimiliki orang miskin, eh orang-orang mampu pun banyak yang punya kartu miskin, lho. Nggak fair banget ya?

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera


Ini apotik kuno di Salemba. Nggak ada hubungannya dengan kasus Bejo yang selalu mendapatkan obat antibiotik tiap kali ke dokter. Ini memang realita yang terjadi. Dokter lebih suka pakai cara instan, memberikan antibiotik supaya cepat sembuh. Kalo pasien cepat sembuh, disangka dokternya jago, padahal belum tentu. Itu bukan dokter yang jago, tapi dokter yang nggak mau repot dan pengen dianggap dokter canggih, sehingga banyak pasien yang mau ke dokter itu lagi. Dokter-dokter antibiotik itu nggak update, bahwa saat ini udah banyak pasien pinter. Nggak tertarik dikasih antibiotik.

Terus terang Bejo nggak ngerti mengapa Prita dianggap melakukan pencemaran nama baik. Lah? Kalo memang faktanya begitu gimana? Kalo dokter-dokternya memang badung-badung gimana? Sebagai anak lulusan SD, otak Bejo cukup cerdas. Dia pikir, yang namanya pencemaran nama baik itu kalo kejadiannya nggak benar-benar ada, sehingga kisahnya dibuat-buat, diplintirkan menjadi nggak akurat.

“Nah, kejadian yang menimpa Prita memang kejadian nyata kan?!”

Siti menggangguk. Dia kaget ucapan Bejo “kenceng” juga di arahkan padanya. Seolah Siti itu dokter-dokter yang memeriksa Prita. Seolah Siti itu perwakilan Manajemen RS Omni International yang protes atas tindakan Prita yang dianggap mencemarkan nama baik. Seolah-olah Siti adalah Jaksa Pengadilan Negeri Tangeran yang menuduh Prita melanggar pasal di Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Mumpung momentum Prita, mari kita menggugat dokter-dokter yang memeriksakan kita, Ma!” ajak Bejo pada istrinya yang cantik dan seksi mirip Julia Perez itu.

“Menggugat? Menggugat itu apa Mas?” tanya Siti dengan lugu.

“Menggugat itu protes! Menggugat itu juga berarti mengungkapkan uneg-uneg terhadap apa yang kita rasakan!”

“Emang boleh?”

“Ini negara demokrasi sayang! Kita memiliki Undang-Undang kebebasan berpendapat! Ini ada di UU ITE no 11 tahun 2008! Mereka yang membungkam hak kita berpendapat sama saja melanggar HAM!”

“HAM itu apa? Semacam daging gitu?”

“Aduh! Kamu ini cantik-cantik goblok amat sih?!” Bejo kesal.

“Kok kamu gitu sih? Mbok dikasih tahu kalo orang nggak tahu. Kayak Prita gitu, toh! Dia juga nggak tahu kalo apa yang dia lakukan di e-mail bukan cuma curhat, ternyata dianggap pencemaran nama baik...”


Kalo pelayanan Puskesmas masih kampungan, barangkali masih wajar, ya nggak? Maklum, yang datang orang-orang kampung dan pelayanannya terpaksa mengikut aturan kampung, meski harusnya nggak kayak gitu juga sih. Tapi kalo pelayanan RS yang berlebel international bergaya kampungan, wah itu memang kudu dikritisi. Kita jangan mau diam diri. Wong kita udah bayar mahal,kok, ya nggak?

Bejo bengong. Dia kayak kena kick sama istrinya. Nggak heran kalo kemudian nada bicaranya diturunkan. Ucapannya nggak “kenceng” lagi.

“Baiklah saya bersalah. Tapi bagaimana kalo kita tetap protes pada dokter-dokter yang geblek-geblek itu...”

“Dokter geblek itu dokter seperti apa?”

“Dokter yang seringkali memberikan antibiotik tiap kali kita sakit. Dikit-dikit antibiotik, dikit-dikit antibiotik. Kayak-kayaknya penyembuhan penyakit cuma antibiotik. Itu kan geblek! Kita juga menggugat dokter-dokter yang nggak punya waktu buat curhat...”

“Maksud kamu?”

“Seharusnya dokter itu kan bisa membuat pasiennya pintar. Ketika pasien bertanya tentang penyakit yang diderita, dokter bisa menjelaskan dengan detail. Yang terjadi dokter udah nggak punya waktu lagi buat menjelaskan. Targetnya cuma duit dan duit. Kejar setoran. Makanya aku nggak suka kalo kita pergi ke dokter yang pasiennya banyak. Dokter itu memang ngetop, tapi justru malah nggak punya banyak waktu buat curhat, menjadikan kita pintar...”

“Lalu...”

“Aku juga mau menggugat dokter yang nggak pernah mau mengungkapkan diagnosa pasien-pasiennya. Dimana-mana hak pasien mandapatkan diagnosa. Jangan kayak Prita yang minta apa penyakitnya, apa diagnosanya, eh main suntik-suntik aja. Ini kan geblek! Oleh karena itulah, mari kita menggugat dokter!”

Tuti tersenyum. Suaminya yang semanggat jadi ragu-ragu buat menggugat.

“Kenapa kamu tersenyum?”

“Sayang mending kita nggak usah menggugat deh. Gimana kalo kita benerin sofa kita yang kamu jebolin itu...”

“Lho kenapa?”

“Apa yang kamu ucapkan itu seringkali nggak sesuai kenyataan..”

“Maksud kamu?”

“Soal dokter yang sering memberikan antibiotik, kamu nggak pernah protes. Kamu merasa jadi cepat sehat dengan antibiotik, ya nggak? Lagipula pada saat dokter memberikan resep, kamu nggak pernah tanya diberikan antibiotik atau enggak. Kamu cuek, ya nggak?”

Bejo diam.

“Soal dokter nggak punya waktu buat curhat, lah kamu sendiri nggak pernah mau tanya. Yang banyak tanya justru aku, ya nggak? Kamu malah prospekin dokter agar bisa gabung di Multi Level Marketing kamu...”

Bejo diam.

“Terakhir soal memberikan diagnosa juga begitu. Kamu juga jarang minta diagnosa. Buat kamu yang penting bisa cepat sembuh dan cepat pulang. Nggak peduli obat yang disuntikan ke badan kamu. Nggak peduli isi infus yang mengaliri obat lewat selang dan masuk tubuh kamu. Ya kan?

Bejo mulai menggangguk.

“Lebih baik kita betulkan sofa gimana?”

Dalam kondisi lemas, Bejo menuju ke arah sofa. Semangatnya yang beberapa saat tadi membara buat memprotes dokter-dokter geblek itu, mulai sirna. Agaknya ajakan istrinya buat membetulkan sofa, diamini. Dia pun menggangkat sofa yang jebol itu.

Siti tersenyum, sebagaimana senyum Prita yang berhasil menghirup udara kebebasan setelah keluar dari LP Wanita Tanggerang.

all photos copyright by Jaya

4 komentar:

iRHoTeP mengatakan...

Apa²an lagi nih? Kritisme menyoal pelayanan kesehatan? Would you guys ever seek and comprehend the whole big picture?

#iR#

diary si tukang gowes mengatakan...

the whole big picture-nya itu apa sih? Di Reader Diget Indonesia (RDI) saya bahkan membaca, di Indonesia ini cuma ada 1 (satu) RS yg berlebel internasional, tp RS itu tdk mencantumkan lebel internasional. Waduh! Ini tandanya RS-RS yg berlebel internasional bohong dong? Itukah yg namanya 'the whole big picture' yg Anda maksud? Kalo 'iya', gawat!!!!! Parah!!!!

Anonim mengatakan...

permisi, boleh nggak saya ambil beberapa fotonya untuk referensi background komik saya? saya komikus
trims

diary si tukang gowes mengatakan...

Boleh, dengan senang hati. Tapi bisa kan menulis inisial saya "Brill"? Ya sebagai bentuk penghargaan hasil foto saya. Trims! Oh iya, nama Anda siapa ya? Kok, anonim? hehehe...Salam kenal!