Rabu, 03 Juni 2009

KENAPA KITA HARUS MENIKAH?

Menjadi suami yang dicintai istri itu susah-susah gampang. Kalo kita lihat kata “susah-susah gampang”, yang paling banyak kata “susah”-nya daripada kata “gampang”, ya nggak? Kata “susah” diucapkan dua kali, sementara kata “gampang” diucapkan satu kali. Ini menunjukkan tingkat kesulitan menjadi suami yang baik memang “susah”. Ini dialami Anto.

Masih ingat cerita Anto di cerita saya sebelum ini kan? Malam ini pria ini curhat lagi soal hubungannya dengan istrinya.

Sebenarnya setelah kasus foto spontan yang dianggap mesra oleh istrinya, Anto udah mencoba rekonsiliasi. Dia berusaha melakukan ice breaking dengan cara yang menurutnya sopan tapi nggak basa-basi. Maksudnya, dia melakukan pendekatan sebagaimana karakternya. Tentu kita tahu, banyak pria yang sok mau rekonsiliasi dengan pasangan mengunakan cara konvensional. Mengirimkan bunga misalnya. Atau mengajak lunch atau dinner. Atau membelikan barang-barang kesukaan pasangan. Namun semua itu nggak dilakukan Anto.

“Saya mah ngomong apa adanya aja,” kata pria yang sebenarnya bisa saja bunuh diri gara-gara kelakuan sang istri yang selalu mencemburuinya. “Tapi ucapan saya tetap dianggap bohong. Kata istri: kamu mau ngomong apa, tapi dari body languange kamu ketahuan kalo kamu bohong”.

Sedihkah Anto?

Kalo manusia biasa sedih. Tapi buat Anto, hal itu harus diterima. Itu adalah konsekuensi masa lalunya yang buruk di mata istri. Mau jungkir balik kek, mau nungging pantat di atas kepala di bawah kek, atau mau kepala dijedot-jedotin di tembok kek, istrinya nggak akan pernah percaya 100%. Pintu hati sang istri udah tertutup dengan seribu macam omongan Anto. Kalo pun terbuka, boleh jadi hati yang sedang basa-basi.


Dalam setiap perkawinan selalu ada langit yang mendung dan lampu merah. Itu pertanda perjalanan perkawinan nggak semulus jalan tol. Perkawinan juga perlu waktu. Detik demi detik berarti buat masa depan pasangan dan anak-anak.

You don’t have any sense,” kata Anto menirukan gaya bicara sang istri. “Rasa cemburu kamu udah dicabut,” lanjut Anto, masih menirukan ucapan sang istri. “Jangan-jangan kalo aku make love sama suami orang kamu Cuma bilang: oh ya?”

Salahkah kita nggak punya rasa cemburu? Benarkah kita harus memiliki rasa cemburu yang berlebihan?

Menurut Anto, kalimat yang menyatakan “cemburu adalah tanda cinta” adalah bullshit. Memang paket cinta cuma cemburu? Dalam kamus cinta Anto, nggak ada kata cemburu dalam paket cinta. Baginya, cemburu sama saja iri atau dengki. Ada orang punya televisi baru, karena iri akhirnya membeli televisi juga. Ada tetangga membeli mobil baru, tanpa memikirkan akibat dari pembelian mobil tersebut harus mencicil hutang, terpaksa ikut-ikutan membeli juga. Cemburu juga sama. Bedanya pengaplikasian kata itu. Kalo “cemburu” ke masalah hubungan cinta, kalo iri atau dengki ke masalah umum.

Itulah susahnya punya istri yang cemburu berat, sedangkan sang suami cuek bebek. Inilah yang nggak bakalan klop buat selama-lamanya dan memang nggak harus klop. Sebab, sampai kapan pun Mars and Venus nggak bakal ketemu. Sampai kapan pun frekuensi suami dan istri nggak akan sama.

Lalu buat apa dong kita married kalo nggak satu frekuensi? Kenapa harus menikah?

“Iya juga ya? Kenapa kita harus menikah?” tanya Anto dalam hati.

Pertanyaan Anto wajar. Manusiawi. Ketika perubahan yang kita rasakan ternyata dipandang sebelah mata oleh sang istri, tentu pertanyaan tersebut di atas menjadi relevan. Bahwa dari seorang yang pernah berselingkuh menjadi sadar, nggak dianggap sebuah perubahan. Bahwa waktu-waktu yang sebelumnya banyak dihabiskan di luar bersama teman selingkuhannya, dan kemudian kini nggak dilakukannya lagi, nggak dianggap sebuah perubahan. Bahwa jadwal kerja di kantor yang sebelumnya selalu membuatnya pulang larut malam, padahal sampai di kantor selalu pagi-pagi, dianggap bukan sebuah perubahan. Bahwa keterbukaan dari segi finansial, bukan pula sebagai sebuah perubahan. Bahwa pujian yang ingin bisa dilakukan pada sang istri, tapi responnya malah negatif, nggak juga bagian dari perubahan.

Lalu kenapa kita harus menikah?

“Entahlah!”

Anto bilang ke saya, dia juga bingung kenapa kita harus menikah kalo pada akhirnya menikah justru membuahkan perang antarsuami-istri. Menikah justru menjadikan suami diinjak-injak oleh istri. Suami yang sabar dan sederhana nggak menjamin sang isri jadi ngefans kepada sang suami.

Anto cuma berpodoman Allah mewajibkan kita buat married. Tentu atas dasar rasa cinta. Ketika usia kita mencukupi, ketika finansial kita udah mampu membiayai pasangan kita, dan ketika syahwat kita udah semakin terdesak buat disalurkan ke hal yang positif atau halal, maka kita harus segera menikah.

Sadar nggak sadar, apa yang terjadi pada saat pacaran, banyak hal baru yang akan terjadi ketika kita udah married. Maklum, pacaran itu merupakan hubungan cuma basa-basi. Biasanya selalu menampilkan hal yang baik-baik saja. Bahkan kejadian-kejadian nggak terduga, muncul pada saat hubungan kita udah sebagai suami-istri.

Apa saja kejadian yang akan muncul setelah married? Ada suami yang dahulu dianggap santun, kemudian berubah menjadi peselingkuh kelas wahid. Ada istri yang selalu usil dengan pertanyaan-pertanyaan yang nggak penting, mengorek-ngorek masa lalu yang sebenarnya udah ditutup rapat. Ada suami yang nggak punya wibawa menjadi seorang suami, dimana ketika sang istri meminta cerai, namun suami itu nggak berani mengabulkan. Ada pula istri yang nggak peduli kalo suaminya selalu memposisikan sebagai Penengah (menjadi mediator majikan-pembantu, menantu-mertua, tetangga cerewet-warga RT, dan lain-lain).

Idealnya, ketika sepakat menikah, harusnya kita bisa menempatkan diri. Kita harusnya juga nggak usil mengungkit-ungkit masa lalu yang udah dikubur rapat-rapat. Padahal mengungkit masa lalu, sama saja membuka borok lama yang sebenarnya nggak penting lagi buat dibicarakan.

“Padahal saya bisa aja mempertanyakan soal keperawanan,” kata Anto dengan nada sewot. "Tapi saya nggak tega. Ngapain juga mengungkit-ungkit masa lalu yang nggak penting? Saya mencintai istri saya..."

Anto sedih ketika sang istri bisa mengorek-ngorek terus masa lalu soal perselingkuhan itu tanpa ending story, sementara Anto selalu berpegang teguh untuk tidak ikut-ikutan dengan sikap istrinya. “Karena saya nggak peduli. Saya lebih peduli pada masa depan istri saya yang kelak akan menjadi Pengusaha kue terpandang. Saya lebih peduli dengan nasib anak-anak saya yang kelak akan membanggakan kami.”

Memang, menjadi suami yang dicintai istri benar “susah-susah gampang”. Banyak hal yang belum Anto laksanakan. Banyak hal yang belum dia ketahui soal hati dan otak sang istri. Dan agaknya yang diinginkan oleh sang istri jauh lebih sulit dari yang dia bayangkan. Kelihatannya sederhana, tapi ternyata sulit. Namun begitu, kesabaran tetap harus ada. Ujian kesabarang never ending. It always be. Pernyataan “terima kasih” juga harus selalu menjadi paket dalam pernikahan, meskipun sang istri tetap merespon dengan cara yang kekanak-kanakkan.

“Tumben muji? Biasanya juga nggak pernah memuji? Padahal udah pasang aksi dengan baju baru...”

“Terima kasih untuk tidak berubah!”

Sebagai sahabat, saya cuma bisa sok memberikan pendapat. Barangkali pendapatnya terlalu basi, tapi agaknya masih relevan meski zaman udah berubah.

"Sabarlah sobat," kata saya dengan nada sok bijak. "Biar istri loe temperamental, emosional, cemburuan, dan selalu mengorek-ngorek masa lalu yang nggak penting, elo kudu tetap cool. Bukankah elo sayang istri loe?"

"Sayang banget! Meski cara sayang gw sama istri jauh berbeda dengan suami-suami lain..."

"Elo juga sayang sama anak loe kan?"

"Sayang banget! More than everybody else..."

"So, keep patient my brother! God will lead you the way. Berdoa supaya istri loe ngerti diri loe, ngerti pekerjaan loe, ngerti kalo dia beruntung kawin dengan elo karena elo nggak doyan mabuk-mabukan, main judi, main perempuan, main gundu, main galasin, suka narkoba, suka nonton bola, stop smoking...."

"Tapi kayaknya hal-hal yang negatif yang gw nggak lakukan itu masih kurang buat istri gw..."

"Sabarlah bro! Elo juga harus tanamkan ke jiwa raga loe kalo elo beruntung mendapatkan istri loe yang cantik, pintar, bertanggungjawab, detail, nggak ngerokok, celana dalamnya banyak, jago masak, jiwa enterpreunership-nya tinggi, visoner, religius, bisa baca al-qur'an, dan bisa nyupir..."

"Thank's bro! Nanti sepulang kerja gw akan peluk dan cium istri..."

"Bukan istri orang kan?"

"Ya enggak lah yau! Itu mah cari perkara lagi!"


all photos copyright by Jaya

0 komentar: