Kamis, 11 Juni 2009

DEMI SETAN MERAH

Cuma dirinya saja yang tahu apa yang akan dilakukan. Ketika tahu kalo panitia cuma punya 25.000 lembar tiket yang akan didistribusikan buat Penonton umum, dia langsung memutar otak. Konsep: how to get that ticket? Apapun yang terjadi tiket harus didapat! Selama ini dalam kamusnya, nggak ada istilah gagal.

Kabar jumlah tiket yang minim itu dia dapat dari Tim Komersial Panitia Tur Asia Manchester United (MU), Herman Ago. Tulis Kompas (17/05/09), dari 65.000 tiket yang dicetak, sekitar 40.000 lembar udah habis dipesan oleh mitra dan sponsor.

Oh my God! What should I do?” ujar salah seorang Penggemar fanatik MU.

“Mengapa begini, mengapa begitu?” ucap Penggemar lain.

“Tak ada gading yang tak retak!”

“Tuhan, maafkan hambamu ini...”

“Kasih sayang Ibu sepanjang zaman...”

“Don’t worry be happy!

Tentu jumlah tiket yang seemprit nggak sebanding dengan jumlah Penggemar fanatik MU di Indonesia ini. Konon berdasarkan survey, penggemar MU mencapai 10.000 orang. Lah kok kecil? Lebih kecil dari jumlah tiket yang tersisa? Salah tuh! Iya salah saudara-saudara. Yang benar, penggemar MU berhasil menembus kurang lebih 28 juta orang.


Ini bukan tim Manchester United (MU) yang bakal ke Indonesia. Tapi ini tim futsal kampung yang lagi main di jalan Pramuka. Mereka memanfaatkan jalan Pramuka yang lagi dikosongkan dalam rangka car free day alias hari bebas berkendaraan.

“Itu orang semua?”

“Yaiyalah! Masa ada yang berwujud harimau atau babi?”

“Gw lupa! Harimau nggak tahu bola ya? Babi juga nggak suka nonton MU. Kalo manusia berhati dan bermulut harimau, pasti suka bola. Begitu pula manusia berwajah babi...”

“Maksud loe Babi Face?”

“Yo’i!”

Demi “Setan Merah” (sebutan buat MU), dia pasti punya cara canggih untuk mendapatkan satu dari 25.000 tiket yang akan diberikan ke penggemar fanatik MU lain. Kalo nggak kebagian, dia udah mempersiapkan second plan, third plan, fifth plan, dan seterusnya. Baginya, mumpung MU hadir di Indonesia, ini momentum yang baik buat menarik dukungan dari penggemar fanatik.

Sebenarnya cukup wajar kalo 40.000 lembar tiket cuma diberikan ke mitra dan sponsor. Panita udah mengeluarkan duit 900.000 dollar US$ atau sekitar Rp 9,5 miliar. Kabar terakhir, panitia meminta tambahan tiket lagi sebanyak 5000. So, total tiket yang masih tersisa dan akan dijual di pasaran sebanyak 20.000 dari total 77.688 (Warta Kota/ 12/06/09).

“Lho mana yang bener? Kompas atau Warta Kota nih?” kata salah seorang Penggemar Juventus yang tiba-tiba beralih jadi Penggemar MU gara-gara kedatangan tim MU ke Indonesia ini. “Kompas bilang total tiket 65.000, Warta Kota tulis 77.688. Kok media satu grup di Gramedia bisa beda?”

“Hush! Jangan macam-macam! Nanti kamu bisa dituntut pencemaran nama baik?”

“Lah, gw kan ngomong berdasarkan fakta? Lagipula yang gw bicarakan bukan Rumah Sakit, tapi media cetak alias koran!”

Dia nggak mau menanggapi rekannya itu. Takut kena pasal pencemaran nama baik. Dia cuma tanya balik, kalo memang yang benar Warta Kota, apakah temannya tetap akan berangkat ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada tanggal 20 Juli nanti?

“Memang harga tiketnya berapa sih?”

“Yang paling mahal 3,5 juta.”

“Ah, nggak level!”

“Itu VVIP. Kalo VIP Barat harga tiketnya 1,7. Itu udah termasuk kaos MU.”

“Kaosnya asli dari MU atau buatan Bandung? Kalo buatan Bandung mah gw bisa beli...”

“Asli! Harga satu kaos Rp 250 ribu!”

“OK! Kalo tiket yang paling murah berapa?”

“Cuma seratus ribu rupiah!”

“Nah, gw beli tiket yang paling murah aja deh!”

“Halah!”

“Lho, why? Toh, judulnya gw tetap nonton MU di Stadion Senayan kan?”


Ini juga bukan MU. Mereka anak-anak dari belakang jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta yang juga sedang memanfaatkan momentum car free day.
Dia cuma tersenyum. Dia tahu kalo tiket seharga 100 ribu pasti kayak kacang goreng dan cepat terjual habis. Begitu tiket dijual Senin (15/06) di Pintu I Senayan, kantor Badan Liga Indonesia (BLI), dan outlet-outlet lain, orang-orang pasti pada kesetanan membeli tiket yang seratus ribuan. Moga-moga saja sih nggak terjadi kekisruhan. Soalnya, orang-orang Indonesia nggak biasa ngantri. Hukum rimba masih berlaku. Siapa yang kuat, dia yang menang.

Pemilik tiket seratus ribuan ini pun pasti punya kesulitan buat nonton punjaan hatinya. Pasti duduk mereka di ujung stadion sambil makan kacang gorang atau pisang kayak Monyet. Mereka pasti cuma melihat kepala para Pemain “Setan Merah” yang berkaos merah itu. Badannya kecil-kecil karena lihatnya dari jauh, kecuali pakai kekeran. Mereka nggak tahu apakah Cristiano Ronaldo ada di situ. Soalnya, menurut banyak media, kemungkinan besar pemain yang udah ditransfer 80 juta poundsterling (senilai Rp 1,4 miliar) itu bisa nggak datang. Kenapa begitu? Soalnya dia tengah menderita penyakit turun berok alias hernia. Wah, kata orang jadul, turun berok itu disebabkan oleh karena nggak pake kolor alias celana dalam. Kok pemain sekelas Ronaldo nggak pake celana dalam ya? Ah, tapi duitnya banyak, kok! Dia bisa operasi biji pelirnya segera mungkin agar bisa main bola lagi.

“Paling nggak kalo Ronaldo nggak datang, yang lain datang lah. Carlos Tevez misalnya. Lalu Edwin van Der Sar, Michael Carrick, Ryan Giggs, Wayne Rooney, dan Park Ji-Sung.”

Demi “Setan Merah”, segala cara memang bakal dilakukan. Mau jual kolor kek, atau motor bebek butut kek, sing penting tiket bisa didapat. Tapi jangan sampai jual diri. Najis berat cuma gara-gara “Setan Merah” jadi kesetanan sampai mengorbankan harga diri dan harga-harga kebutuhan pokok segala.

“Kalo nggak punya duit, gw mah mending nonton tvOne!”

“Lah, apa hubungannya nonton MU dengan tvOne? Emang gw cowok apaan?”

“Tunggu tanggal mainnya ya.. Tanggal 20 Juni besok, ada program yang akan menjawab misteri ini. So sabar-sabar aja!”

“Ah, elo! Bikin penasaran gw ajah!”


all photos copyright by Jaya

2 komentar:

Lucky I. Ismail mengatakan...

MU datang
= semua gempar
= semua rebutan tiket
(tapi hanya segelintir orang yang dapat menikmati keuntungan monopoli tiket).


Fenomena MU memang lagi melanda kita di Indonesia akhir-akhir ini, tapi kelihatannya struktur manajemen penjualan tiket di masih belum siap untuk menunjang acara-acara besar semacam ini. Walau secara resmi bisnis per-calo-an ditentang, tapi kenyataannya selalu ada perantara, agen atau calo yang menguasai volume jalur penjualan tiket dan menyebabkan tingginya harga tiket suatu acara dari yang seharusnya dibayar oleh penonton.

Saya tidak tahu, apakah model 'moneyless ticket' atau 'online ticket' bisa memperbaiki situasi akut di bidang per-calo-an ini.

diary si tukang gowes mengatakan...

Moga2 nanti ada sistem yg elo bilang moneyless ticket itu ya, Luc! Wong belanja via internet yg moneyless aja bisa...hehehehe...