Minggu, 07 Juni 2009

RUMAH MAKAN MBAH JINGKRAK: "AKHIRNYA KETEMU MY MBAH JUGA..."

Sedih rasanya begitu melahirkan nggak sempat bertemu kedua orangtua. Aku jadi nggak tahu rupa Papa dan Mamaku ketika pertama kali aku menangis. Aku juga jadi nggak tahu kenapa mereka memutuskan buat melahirkanku ke dunia yang fana ini kalo kemudian aku akhirnya ditinggal juga.

Kata Dokter yang mengeluarkanku dari rahim Mama, Papa nggak ada di Rumah Sakit menjelang detik-detik kelahiranku. Kata Dokter yang dia dengar dari Mamaku, Papaku adalah lelaki yang nggak bertanggungjawab. Papaku lelaki yang bertanggungtanya. Kalo nggak bisa jawab, ya banya tanya, ya nggak? Artinya Papaku memang terlalu banyak tanya, terlalu banyak alasan. Itulah kenapa dia nggak mau bertanggungjawab.

“Kenapa sih kamu melepas spiralmu sehingga kita harus punya anak?” begitu kata Papaku yang menyalahkan Mama.

“Aku kan nggak pake spiral, Pap.” Jawab Mama. “Aku pakai alat kontrasepsi lain.”

“Kalo pakai alat lain, kenapa kamu sampai mengandung? Bukankah BKKBN sekarang ini lagi kebingungan gara-gara terjadi ledakan penduduk di Indonesia ini? Kamu tahu nggak, jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 270 juta! ”

“Aku cuma pake kalender, Pap.”


Inilah Mbah yang aku cari. Setelah Papaku kabur. Mamaku meninggal. Dokter yang melahirkanku mengatakan, "ada seseorang yang masih saudara yang masih hidup. Dia satu-satunya saudara yang bisa menjadi orangtuamu. Kepribadiannya anggun seperti Anggun C. Sasmi dan kecantikannya nggak beda kayak Luna Maya. Bedanya, seseorang ini seringkali jingkrak. Makanya namanya Mbah Jingkrak".

“Pakai apapun kalo kamu bisa mengantisipasi supaya nggak hamil, pasti bisa, ya nggak? Kalo penduduk Indonesia 270 juta jiwa di tahun 2015, itu sama aja bertambah 45 juta jiwa. Ini gara-gara peserta Keluarga Berencana (KB) menurun 0,5% per tahun. Nah, salah satu penduduk yang bikin KB menurun, ya kamu ini, Ma!”

“Habis kalender yang Papa kasih udah nggak update lagi...”

“Maksudnya?”

“Itu kalender tahun 1999. Jadi mohon maaf kalo hitungan Mama soal masa subur dan nggak subur juga nggak update lagi...”

“Mati aku!” Papa langsung memukul jidat kepalanya.

Sejak itu, Papa nggak menampakkan diri lagi. Selama masa kehamilan dan akhirnya lahir, Mama yang mengurus aku sendiri. Sampai akhirnya Mama memilih mengakhiri hidupnya dan membiarkan aku menjadi anak yatim piatu.

NEXT SEVENTEEN LATER

“Kamu cuma punya seseorang yang masih hidup di dunia ini,” kata Dokter yang sempat membantu persalinan Mamaku sebelum aku lahir dan Mama meninggal. “Sesorang itu kini tinggal ada di jalan Setiabudi atau di jalan Bulungan Raya, Jakarta Selatan juga nggak apa-apa. Tapi di Setiabudi aja deh...”

“Setiabudi Jakarta Selatan maksudnya, Dokter?” tanyaku nggak percaya.

“Yap!”

“Dokter sedang tidak main-main kan?”

“Enggak lah yau! Saya bukan dokter dari OMNI International Serpong yang menjebloskan Prita Mulyasari yang nggak bersalah itu ke penjara. Saya juga bukan Dokter jaga yang fans berat dengan antibiotik. Saya dokter kandungan yang punya lisensi international dengan image yang harum menawan...”

“Baiklah kalo begitu, saya akan cari seseorang yang Dokter maksudkan itu...”


Selain di jalan Setiabudi, engkau bisa juga nongkrong di jalan Bulungan. Persis di depan GOR Bulungan. Kebetulan arsitektur di jalan Setiabudi nyentrik punya. Atapnya bauhela. Sementara di samping kiri-kanannya udah banyak rumah-rumah modern.

Masa pencarian pun dimulai. Aku mulai bertanya ke beberapa orang di sekitar Setiabudi mengenai seseorang itu. Memang aneh cara yang aku lakukan, yakni dengan memperagakan seorang yang sedang berjingkrak: tangan kiri ke atas dengan kaki kanan ke atas.

“Bapak tahu nggak orang yang kayak gini?” tanyaku sambil bergaya.

“Kok kayak orang jingkrak?” tanya Tukang Parkir di Ar-Rahman, sekolah yang ada di jalan Setiabudi.

“Yap! Bapak tahu?”

I’m sorry my Friend I don’t know,” kata Tukang Parkir yang ternyata fasih berbahasa Inggris dan katanya berhasil mencapai TOEFL 500 ini.

Aku berjalan lagi.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya itu menggeleng.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya di sebelah orang yang nggak tahu sebelumnya menggeleng lagi.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya di sebelah orang yang sebelumnya menggeleng dan menggeleng, kali ini menggeleng lagi. Artinya, orang ini nggak tahu juga.


Di luar resto, ada sepeda nyentrik terbuat dari kayu. Semuanya serba kayu, termasuk pelek rodanya. Yang naik kayak-kayaknya kudu jingkrak-jingkrakan kali ya? Soalnya kalo joknya bukan dari plastik yang membalut busa yang empuk, buah zakar lelaki bisa-bisa kesakitan dan itu membuat lelaki jadi jejingkrakan.

Aku sedih. Aku lelah. Kayak-kayaknya masa pencarianku sia-sia. Padahal aku ingin sekali bertemu satu-satunya orang yang bakal menggantikan posisi orangtuaku, karena selama ini aku dibina oleh panti asuhan, which is not my family. Namun banyak orang nggak tahu keberadaan orang yang aku cari. Apakah aku harus menghentikan pencarianku ini? Apakah aku terpaksa menjadi orang frustrasi?

Aku lapar sekali. Agaknya aku perlu sesuatu buat dimakan. Aku juga haus. Agaknya aku perlu sesuatu buat diminum. Kata orang, kalo kita nggak makan bisa kelaparan. Tapi masih mending daripada kehausan. Soalnya kata orang, lebih gawat kalo kita kehausan tapi nggak minum. Kalo nggak minum, kita akan dehidrasi, kehilangan cairan, dan mengakibatkan mati. Kalo lapar, tapi nggak minum, masih bisa nggak mati. Paling enggak cuma cegukkan.

Aku menemukan sebuah rumah dengan arsitektur gaya bahuela, yakni dengan atap segitiga. Unik sekali. Kayaknya sejak dibangun, atapnya belum pernah direnovasi. Memasuki rumah itu, ada beberapa botol-botol. Bukan botol minuman, tapi botol kecap atau saus. Di dekat situ, aku melihat beraneka rupa makanan khas Jawa Tengah. Ada ayam rambut setan, yakni ayam yang dimasak dengan cabai hijau dan merah yang dari tampilan fisiknya saja bikin ngeri seperti melihat setan. Ada empal bacem yang lebih mirip empal dari Jawa Barat yang diiris pipih tipis. Ada pula sayur berkuah, mulai dari sayur lodeh rebung, sayur brongkos telur, sampai sayur tempe lombok ijo.


Tinggal tunjuk maunya apa, makanan segera diantar. Minumannya sih kudu pilih-pilih, soalnya namanya aneh-aneh. Ada Es Tobat, Es Insyaf, Es Sorga, dan Es Ganja.

“Pake sambal Pak?” tanya Pelayan yang pakai belangkon itu.

“Boleh! Siapa takut!” jawabku dengan penuh semangat.

“Minumannya mau coba Es Tobat, Pak? Barangkali Bapak mau tobat gitu?”

“Enak aja mau tobat! Situ kali yang mau tobat. Saya setiap hari tobat, tapi tiap hari juga buat kesalahan...”

“Jadi sama aja dong Pak? Pahalanya jadi nol. Impas!”

“Ya begitu deh! Es yang lain aja!”

“Es Kolor Ijo barangkali...”

“Waduh! Kamu ini ngerti nggak sih?! Siang ini saya lagi pake kolor yang warnanya biru. Situ jangan asal nebak ya! Es yang lain aja!”

“Es apa dong Pak? Es Surga kali ya?”

“Nah, gitu dong! Nawarin yang positif-positif aja. Kalo es surga saya mau tuh! Yang dibuatnya pake kelapa muda dan gula jawa kan?”

“Itu mah Es Ganja Pak!”

“Wah, saya nggak mau deh! Udah sediakan saya es teh manis aja!”

“Dari tadi aja Pak kalo mau es teh manis. Pake gaya mau es ini dan itu segala...” Sang Pelayan rada ngedumel. Tapi ngedumelnya dalam hati. Soalnya kalo ngedumelnya dikeluarkan, ini akan membuat image tempat makan ini jadi nggak bagus.


Daya tarik resto saat ini adalah mengakomodir anak-anak. Maksudnya, ada tempat bermain anak-anak, selain cuma tempat makan. Tengok aja di KFC, atau di resto Sunda yang ada ayunan atau perosotan. Nah, di tempat ini, ada tempat main lempar-lemparan bola ke dak perahu. Bola-bolanya dibiarkan bebas di kolam renang.

Aku pun makan dengan lahapnya. Belum juga dua suap, mulutku komat-kamit. Keringat mengucur deras. Mataku merem-melek. Kalo digambarkan kayak orang kepedasan. Memang aku kepedasan sih.

“Sambalnya dahsyat! Gokil!”

Tanpa sengaja, aku melihat ada sosok yang aku cari. Dia berwujud nenek-nenek yang berambut putih. Selama ini aku memang melihat nenek rambutnya putih. Kalo rambut seorang nenak berwarna merah, itu bukan nenek tapi perempuan gaul namanya. Nenek-nenek yang aku lihat ini bergaya sebagaimana orang sedang berjingkrak: kaki kanan diangkat ke atas dan tangan kiri ke atas.


“Itu siapa?” tanyaku pada Pelayan yang ada di pojokan dekat wastafel. Wajah Pelayan itu mengikuti telunjuk yang aku arahkan ke sosok yang ada di tepi kolam renang.
“Itu Mbah Jingkrak, Pak.”

“Hah?! Mbah Jingkrak!”

Spontan aku langsung naik ke meja dan berlari ke arah Mbah Jingkrak. Akibat aku naik ke meja, piring-piring yang ada di meja berhamburan. Ada yang pecah, ada yang cuma jatuh tapi nggak pecah, ada pula yang nggak pecah-pecah meski udah jatuh ke lantai.

Aku nggak peduli. Engkau pasti tahu mengapa aku melakukan adegan norak dan ngawur kayak begitu. Coba posisikan engkau kayak aku, dimana seseorang yang udah lama mencari sanak saudara yang hilang dan tiba-tiba berjumpa. Coba bayangkan, ketika aku tadinya udah sempat frustrasi dan nggak mau melanjutkan pencarian seseorang yang dikatakan Dokterku sebagai seorang yang bisa menggantikan orangtuaku. Seseorang itu sekarang ada di depanku. Wajarkan kalo aku ngawur kayak begini?


Kalo anak-anak dikasih permainan, buat orangtua yang doyan baca buku, disediakan perpustakaan mini. Di situ ada anekabuku, mulai dari buku politik, ekonomi, motivasi, sampai Al-Qur'an. Saya yang doyan buku, matanya jadi berbinar-binar dan berwarna hijau kayak ngelihat dolar atau saham.

Melihat aku melakukan adegan ngawur begitu, para Pelanggan dan Pelayan seketika memperhatikanku. Aku menjadi point of view. Mereka yang sebelumnya fokus pada makanan, pada sambel yang pedasnya gokil abis itu, kini memandangiku dengan penuh rasa penasaran. Mereka pasti berpikir: orang gila dari mana sih ini?

Sakali lagi aku nggak peduli. Mbah Jingkrak itu aku langsung peluk erat-erat. Jidatnya aku cium-ciumi. Rasanya aku nggak mau kehilangan dia, sebagaimana aku kehilangan orangtuaku.


Ada koleksi rokok yang dipajang di tembok. Koleksi rokok ini masih kurang banyak dan komplet dibanding milik koleksi milik temen saya. Nama teman saya Meidi. Tinggalnya di Cireunde, persis di dekat lapangan terbang mini Pondok Cabe. Hobinya naik mobil VW. Gara-gara naik mobil VW, wajahnya jadi hitam gemilang. Lho, apa hubungannya ya?

“Mbah, ini aku Mbah. Aku kangen sekali sama Mbah. Nggak ada keluargaku lagi di dunia ini selain Mbah. Mbah jangan kemana-mana ya?”

Para Pelanggan dan Pelayan melanjutkan aktivitas semula. Mereka cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah lakuku. Mereka tetap konsisten memandangku sebagai manusia gila. Yaiyalah gila! Berpelukan dan mencium-cium si Mbah Jingkrak kayak gitu apa bukan disebut gila namanya? Wong yang dipeluk dan dicium-cium itu cuma sebuah patung yang berada di pinggir kolam renang mini.

"Oh Mbah, I love you! Muaaaah!!!"


all photos copyright by Jaya

0 komentar: