Rabu, 01 April 2009

EMANG SITU OK?

Nggak biasanya wajah Kokom bermuram durja. Kalo ada Manusia yang bisa membaca aura wajah, di wajah cewek bahenol jental jentul ini akan tergambar sebuah langit berwarna kelabu. Kayak mendung gitu deh. Trus di langit itu banyak kelelawar terbang. Terbangnya dari Pantai Indah Kapuk ke Pantai Anyer. Entah para kelelawar itu cuma mau berjemur di Pantai atau gara-gara takut kena tetesan air hujan.

Padahal sehari-harinya, Kokom selalu cerah ceria. Kayak matahari pagi yang menyinari tumpukan sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Wajahnya selalu menunjukan aura positif. Sehingga orang-orang di sekitarnya sangat senang dekat-dekat dengannya. Nggak tahu juga sih dekat-dekat karena pengen merasakan empuknya body doi, atau sengaja pengen mencium harum parfum minyak Nyong-Nyong-nya, atau memang punya niat mau mencopet dompetnya.

“Bete banget deh sama Faizal!”

Itulah sebab musabab mengapa Kokom bermuram durja. Faizal, anak kemaren sore itu udah menyinggung kesenangannya. Emang Kokom senang apa? Emang si anak kemaren sore itu menyinggung soal apa? Katanya sih persoalnya nggak penting. Tapi buat Kokom penting. Jadi penting atau nggak penting nih?

“Kalo gw perhatikan elo itu udah addict banget sama Facebook,” kata Faizal, sehari sebelum Perang Dingin berlangsung.

“Maksud loe?”

“Kalo sehari nggak buka Facebook kayak elo nggak makan 7 hari 7 malam...”

Dalam hati Kokom, Faizal itu Manusia yang banyak nggak ngertinya. Tolol. Doi nggak update. Nggak gaul. Nggak ngerti persoalan globalisasi. Nggak faham soal social networking. Faizal itu terlalu naif.

“Elo itu ngerti nggak kalo gini hari social networking itu penting? Elo tahu nggak kalo era globalisasi butuh pertemanan dari mana pun? Lagipula emang elo mau kerja terus, nggak ada fun-fun-nya? Kalo gw sih ogah! Hidup ini cuma sekali, Cin!”

Faizal tersenyum, Kokom cemberut. Kalo Kokom nganggap Faizal naif ke arah ketolol-tololan, sebaliknya justru si Faizal nganggap Kokom too much. Addicted. Memposisikan sesuatu yang seharusnya nggak “begitu”, jadi “begitu”. Bahwa Facebook adalah media social networking via dunia maya, emang benar. Nggak ada yang menyangkal kenyataan itu. Bahwa Facebook menjadi media membuka pertemanan dari mana pun plus mencari teman lama, itu benar juga.

“Tapi kalo elo mah udah keterlaluan, Cin! Masa bangun tidur nyalahin komputer yang dibuka Facebook? Sampai di kantor, yang dibuka Facebook lagi. Pulang kerja, sampai di rumah, buka Facebook lagi. Ada suara Adzan, bukannya ke majid, malah asyik ngebalesin status updates. Isn’t it too much?”

Kokom diam. Pantatnya kembang kempis. Itu tanda apa yang dikatakan Faizal benar. Meski benar, tetap doi nggak terima. Oh iya, sebenarnya ada satu fakta lagi yang nggak sempat diungkapkan Faizal soal kegilaannya Kokom pada Facebook. Kokom senang kalo Faizal nggak tahu. Apakah itu?

“Gw juga tahu kok. Elo juga beli Blackbarry cuma gara-gara mo updates status Facebook loe kan?”

Anjrit! Si Faizal tahu juga. Dasar anak kemaren sore! Doi ngerti banget kalo Blackbarry gw nggak banyak berguna selain cuma buat main update Facebook, chatting-chatting-an, ngirim voice ke Blackbarry teman lain, foto instan deh yang langsung bisa diupload. Ngecek email? Ah, itu juga nggak penting-penting juga. Maksudnya nggak urgent. Di komputer rumah atau kantor masih bisa, kok. Tapi si Faizal canggih banget! Doi ngerti banget! Padahal doi kan nggak punya Blackbarry? Even Facebook!

“Gw nggak habis pikir, buat elo status update di Facebook begitu penting,” tambah Faizal yang keterusan berceramah di depan Kokom. Doi nggak peduli teman sekantornya udah pasang muka cemberut. “Mending loe berbuat sesuatu dengan Facebook loe ketimbang melakukan sebuah kenorakan yang nggak penting...”

“Heh! Faizal!” Tiba-tiba Kokom menggebrak meja. Suaranya keras. Kayak-kayaknya doi udah naik pitam gara-gara Faizal terlalu lama menceramahi soal Facebook dan teman-temannya Facebook.

“Emang situ siapa?! Emang situ ok?! Mau gw nungging kek! Mau gw punya Blackbarry rasa cokelat kek! Mau gw muntah kek! Emang apa urusan loe?! Facebook itu diciptakan buat kita fun! Ngapain main Facebook serius-serius? Kita kan udah jenuh di kantor. Januh di rumah. Jenuh menjalani hidup ini. Nah, Facebook adalah obat. Dengan begitu, status updates adalah kewajiban yang gw kudu lakukan setiap menit, even setiap detik. Ngerti loe?!”

Meski dibentak-bentak begitu, Faizal tetap cool. Ibarat kata pepatah, anjing mengonggong, kafilah berlalu. Nah, si Kokom dianalogikan kayak anjing yang lagi menggonggong. Namanya juga anjing, pasti Binatang najis itu nggak ngerti apa-apa. Pikirannya negatif.

Faizal setuju dengan apa kata Kokom. Mau melakukan apa aja, itu haknya. Lagipula Faizal juga nggak punya niat usil dengan mengganggu kesenangan atau privacynya. Tapi sebagai teman, Faizal cuma kasihan, kalo hidupnya nggak punya nilai. Hidupnya seolah udah nggak bisa menolak ajakan Facebook. Addicted. Padahal Kokom punya anak, punya orangtua, punya saudara, punya tetangga, punya temannya teman, dan punya-punya lainnya.



Dan Faizal tahu soal hari-hari Kokom, bahwa membuka Facebook pagi, siang, malam, pagi lagi, siang lagi, malam lagi, lebih penting dari ususan dunia yang lain, apalagi akhirat. Faizal juga tahu, Kokom lebih mementingkan meng-update status daripada ngobrol sama suaminya, main sama anak-anaknya, atau silaturahmi ke rumah orangtua atau saudaranya yang lagi sakit atau ngebantuin korban Situ Gintung. Namun...

“Gw ini apa sih? Buat elo, gw ini kan nggak penting banget. Tapi gw cuma mau meninggalkan wasiat yang diturunkan oleh Kakek-Nenek gw. Moga-moga wasiat ini berguna....”

“Wasiat apaan?”

“When the smoke is going down...”

“Maksud loe?!”

“Itu lagunya Scorpions...”

0 komentar: