Sabtu, 26 September 2009

TAPI JANGAN BILANG SAMA ALLAH YA...

Sampai di ujung bulan Ramadhan, Bejo belum juga menyerahkan zakat fitrah. Ia merasa uang senilai 17,500 perak atau beras 3,5 liter terlalu berat untuk diserahkan ke masjid. Padahal harta di rumahnya berlimpah. Sebetulnya uang zakat per orang itu baginya cuma buat tips di restoran kelas A. Begitu pun dengan beras. Di rumahnya terdapat beberapa karun beras yang disimpan di sebuah kamar. Tapi mengapa Bejo nggak mau memberikan zakat fitrah?

“Saya nggak ada uang, Pak,” kata Bejo suatu hari ketika Panitia zakat fitrah RT menyodori selembar kertas formulir zakat.

“Beras juga nggak apa-apa kok, Pak Bejo,” ucap Panitia zakat fitrah itu memberikan alternatif lain selain uang.

“Itu pun saya belum belanja ke Carrefour. Nanti kalo sudah belanja, saya pasti akan kirimkan ke masjid, deh.”

Tiba-tiba istri Bejo keluar dari pintu rumah.

“Lho, kok ngobrolnya di pagar? Kenapa nggak masuk ke dalam?” tanya istri Bejo bernama Surti itu. “Bapak Edi ya?”

“Iya, Bu! Assalamualaikum!”

Walaikum salam!”

“Ini, Bu Bejo, kami dari panitia zakat fitrah ingin mengabarkan, bahwa masjid kita bersedia menerima dan menyalurkan zakat. Barangkali Ibu bersedia berzakat gitu...”

“Sssstttt!!!!” Bejo memberi kode ke Pak Edi agar jangan keras-keras. “Kan saya sudah bilang kalo kami belum bisa berzakat. Bapak in gimana sih? Kok maksa banget! Mau saya panggil Suku Dinas Kependudukan ya?”

“Lho, kok Suku Dinas Kependudukan, Pak? Bukannya DLLAJR?” tanya Pak Edi.

Whoever, lah! Pokoknya Bapak harus cabut sekarang juga sebelum Gunung Galunggung meletus lagi?”

Surti bingung kenapa transaksi zakat antara suaminya dengan Pak Edi begitu lama.

“Memangnya Pak Edi belum dikasih uangnya ya?” tanya Surti.

“Belum, Bu! Kata Bapak, Bapak nggak punya uangnya dan belum beli beras di Carrefour,” jawab Pak Edi.

Surti kaget bukan kepalang. Matanya mendelik seperti hendak keluar dari lubang mata. Ia begitu kesal dengan sang suami yang terlalu kirir untuk memberi. Suaminya kurang memahami Surah Al-Baqarah ayat 60.

“Sssstttt!!!!” untuk kedua kali Bejo memberi kode agar Pak Edi jangan bermulut ember alias blak-blakan. “Bapak memangnya mau saya sunat?”

“Saya sudah sunat Pak?”

“Saya juga sudah sunat! Kalo begitu, Bapak mau saya kasih kartu merah?”

“Memangnya Bapak wasit sepakbola?”

“Anggap saja begitu!”

“Baiklah kalo begitu, saya pasrah apa kata Rudy Hadisuwarno, eh maksudnya kata Bapak.”

Surti mendekat ke arah Bejo. Wajahnya marah sekali, karena tahu kalo Bejo belum memberikan zakat pada Pak Edi. Sebagai istri yang jelek, ia ingin agar suaminya tetap melaksanakan Rukun Islam yang ke-3, yakni mengeluarkan zakat. Allah berfirman di Surah At-Taubah: 103: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ketika Surti melangkah mendekat ke dirinya, Bejo berpikir keras. Ia mencoba mencari jalan agar Surti nggak mengganggu ketentraman dirinya dengan marah-marah, dan Pak Edi juga bisa tersenyum puas. Dan gagasan aneh pun tiba-tiba turun dan masuk ke otak Bejo.

“Pak Edi, karena saya nggak bisa memberikan apa-apa, bagaimana kalo saya menzakatkan istri saya ini pada Bapak?” papar Bejo.

Wajah Pak Edi tiba-tiba cerah ceria. Perjaka tua ini begitu antusias mendengar tawaran Bejo yang aneh tapi realistis itu. Sementara Surti kaget mendengar suaminya mengatakan hal itu tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Saya tahu, istri saya punya banyak keinginan yang nggak bisa terkabulkan selama bersama saya. Belakangan ini ia ingin sekali melakukan hubungan badan, tapi saya nggak bisa memenuhinya, karena satu dan lain hal. Kebetulan istri saya dahulu adalah Pelacur yang mencoba untuk tobat tapi nggak tobat-tobat, karena masih suka dugem ke diskotik, pakai pakaian minim, dan shopaholics. Lebih dari itu, Pak Edi saya lihat belum pernah merasakan kenikmatan melakukan hubungan badan. Nah, di bawah langit nan cerah ceria, saya menceraikan istri saya dan menzakatkan istri saya pada Bapak....”

Mulut Pak Edi terbuka. Air liurnya menetes bak tetesan embun pagi. Lalat yang hendak masuk ke mulut Pak Edi tiba-tiba jatuh pingsan begitu mencium aroma yang keluar dari mulutnya. Sementara Surti masih terbengong-bengong dengan pernyataan suaminya. Secara kebetulan saat scene bengong ini, seorang Penghulu dari Cempaka Putih lewat dengan sepeda lipat (seli) kebanggaannya. Bejo memberhentikan Penghulu itu.

“Pak, tolong catatkan mereka di KUA setelah masa Iddah, empat bulan dari sekarang, karena mereka akan menjadi pasangan suami istri,” kata Bejo.

Really?” kata Penghulu.

"Reli? Siapa yang ngajakin reli?"

"Maksudnya, benarkah demikian my friend?"

“Yap!”

Yes! Yes! Yes! Ane dapet job lagi, nih! Dapet amplop lagi, nih! Memang jadi Penghulu enak, deh! Tapi lama juga ya nunggu sampai tiga bulan?”

“Memang Bapak bisa menikahkan mereka sekarang juga? Kan saya belum diputuskan cerai oleh Pengadilan Agama?”

“Ah, itu bisa diatur! Tapi jangan bilang sama Allah ya?”

“....”

0 komentar: