Kamis, 17 September 2009

KITA NGGAK BERANI ASAL NAIKIN HARGA TIKET, PAK

Ucapan pria asal Sumatera Utara itu seketika menghentikan seorang Bapak yang protes gara-gara kaget tarif bus jurusan Pulogadung-Cirebon naik 50%. Adegan ini saya saksikan sendiri di terminal Pulogadung saat mengantar asisten saya mencari bus buat pulang kampung.

”Ah, sebelumnya cuma 150 ribu! Masa lebaran masih 3 hari sudah naik 50%?! Protes sang Bapak.

”Sekali setahun lah, Pak,” jawab enteng pria yang nggak jelas statusnya, entah kondektur – karena pakaiannya resmi: kemeja biru salah satu perusahaan bus antarpropinsi beserta logo- atau calo tiket –karena kumisnya tebal, bertato di dada berlambang burung garuda menukik ke jurang. ”Kemarin aja harga tiket udah 195 ribu,” lanjut pria itu.


Daftar rute aneka bus yang mampir ke terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Nggak semua bus antarkota antarpropinsi masuk daftar. Termasuk daftar calon jemaah haji tahun 2010.


Posisi penumpang bus (baca: konsumen) memang serba salah. Nggak ada yang bisa mengontrol harga tiket resmi atau nggak resmi. Apa yang saya pantau, nggak ada petugas dari Dinas Perhubungan selaku departemen yang menetapkan harga tiket. Kalo pun ada, yang diurus (saat saya ke Pulogadung) bukan tiket, tapi lalu lintas di dalam terminal yang semerawut itu.

”Saya bisa ditangkap Pak kalo melebihi harga resmi,” jawab Ibu si penjual tiket yang ada di balik loket.

Sebagai konsumen yang sulit mendapatkan perlindungan, akhirnya si Bapak dengan sangat terpaksa mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu dan langsung diberikan ke si Ibu. Sebagai ganti, si Bapak diberikan kertas kecil seukuran tiket parkir. Kertas itu nggak lain nggak bukan adalah tiket bus jurusan Pulogadung-Cirebon. Dan sudah bisa ditebak, di tiket itu nggak dicantumkan harga 200 ribu sebagai tarif ’resmi’ sebagaimana pria asal Sumatera Utara itu ngoceh.


Menara pengawas di terminal Pulogadung. Nggak ngerti di menara itu ada yang jaga apa enggak. Selain kesemerawutan bus yang masuk terminal, ada baiknya juga mengawas soal harga tiket bus yang mau mudik. Soalnya nggak ada yang ngontrol. Atau jangan-jangan (maaf!) sengaja nggak dikontrol, yang penting penjual tiket 'tahu sama tahu' aja dengan petugas. Wallahu alam!


”Kita nggak mungkin bohong, Pak! Di sana ada pos petugas, di sana juga ada,” kata pria itu lagi yang mencoba meyakini bahwa tiket yang dibeli si Bapak yang harganya 50% lebih mahal itu benar-benar resmi.

Ya, begitulah konsumen Indonesia yang selalu saja kalah. Tanpa perlindungan. Mau protes, yang diprotes malah lebih galak. Kasihan. Dalam hati saya juga bergejolak dan mempertanyakan hal itu. Soal kontrol petugas yang dikatakan pria ’nggak jelas’ itu juga perlu dipertanyaan: apa memang petugas resmi Departemen Perhubungan benar-benar memantau harga tiket detik per detik, wong saya lihat nggak ada petugas kok? Puasa-puasa kayak begini memang nggak baik se’udzon alias menuduk sembarangan, tapi realita di lapangan ada tiket tanpa harga siapa yang harus dipersalahkan? Kapan ya Indonesia bisa bebas dengan masalah kayak begini? Anyway, right or wrong this is always my country!

0 komentar: