Jumat, 28 November 2008

SEPEDA BUTUT UNTUK GURU KAMI

Wajah mereka kusut, seolah tak ada jalan yang bisa ditemukan. Keempat sahabat itu bingung. Bingung mendapatkan cara agar impian mereka terwujud. Untuk saat ini, baik Yorsi, Ira, Agra, maupun Chita tak bisa bicara. Tak mampu mengeluarkan kata-kata, apalagi mengeluarkan gagasan.

Sudah sebulan ini, ya kurang lebih 29 hari kurang satu hari, mereka pusing. Mohon jangan dibayangkan mereka pusing, karena penyakit atau karena stres. Mereka pusing, karena mereka benar-benar pusing. Buat anak seusia mereka yang tinggal di pelosok desa, mencari uang 100 ribu, bukan perkara mudah. Uang jajan mereka dari orangtua saja cuma seribu perak. Yorsi barangkali sedikit beruntung. Ia mendapat uang jajan duaribu perak.

Mereka bukan anak konglomerat, yang uang jajannya ratusan ribu sehari. Mereka bukan juga anak pejabat, yang dengan mudah mendapatkan fasilitas via katebelece. Mereka anak petani, yang tanahnya adalah tanah sewaan. Yang hidupnya serba kekurangan. Masih bisa makan saja, mereka begitu bersyukur pada Allah. Ya, mereka masih percaya Allah sebagai Tuhan mereka.

Mereka anak petani, tapi punya hati. Yang masih memiliki nilai-nilai sosial. Masih siap untuk bekerjasama antartetangga, toleransi, maupun gotong royong. Dan yang tak boleh lupa, mereka masih ngotot untuk bisa merubah hidup. Mereka tak ingin hidup mereka kelak seperti orangtua mereka. Biar mereka miskin, meski mereka tak punya apa-apa, pendidikan menjadi prioritas mereka. Alasan itulah yang membuat mereka berpikir dan menemukan cara mendapatkan uang 100 ribu rupiah. Agar Pak Lukas -guru mereka- bisa tetap mengajar.

Memang cukup jauh Pak Lukas harus mengajar Yorsi, Ira, Agra, Chita, dan murid-murid lain. Perlu menghabiskan waktu 4 jam. Membutuhkan ribuan langkah untuk mencapai 60 kilometer dari tempat tinggal Pak Lucas ke gubuk tua. Gubuk yang difungsikan menjadi sekolahan. Di usia lanjut, kini hampir 65 tahun, fisik Pak Lucas tak segagah dahulu. Yang dengan gagah berjalan, menyusuri perkebunan tebu, sambil bersiul-siul.
Sebagai guru yang sudah puluhan tahun makan asam garam mengajar, yang murid-muridnya sudah besar dan tersebar bekerja, baru kali ini ada sekelompok murid yang punya impian untuk membelikannya sepeda.

"Dengan sepeda, Pak Lucas jadi tak perlu jalan kaki lagi," ucap Yorsi yang pertama kali mengusulkan. "Dengan sepeda, Pak Lucas akan setiap hari mengajar kita. Beliau akan memberi ilmu pada kita. Mengajarkan kita soal apa saja. Tanpa sepeda, Pak Lucas pasti akan sering sakit".

Pak Lucas memang mengajar apa saja. Mulai dari berhitung, sampai soal moral. Mulai dari kesehatan, sampai soal pengetahuan alam. Dari Pak Lucas lah mereka mengerti mana hitam, mana putih. Lewat Pak Lucas, mereka tahu soal karakter rakus, kikir, iri, dengki, munafik, dan sombong. Dan kami dijadikan manusia yang rendah hati.
Tak seperti murid-murid Pak Lucas sebelumnya. Yang bertolak dari ajarannya. Mereka sudah hidup berkecukupan di kota, keluar dari suasana pertanian, alam desa, namun kembali ke kampung dengan nafas beda. Nafas negatif yang tak pernah diajarkan sama sekali oleh Pak Lucas selama di bangku sekolah. Merusak hutan, menjadi penyelundup kayu, memeras para petani, dan berkongsi dengan pemerintah untuk meratakan sawah demi pembangunan vila.

Di ranjang reot di sebuah rumah tua, di situlah Pak Lucas tergeletak pasrah. Ia sakit. Sakit tua, karena fisiknya sudah lemah. Tak ada istri maupun anak yang merawatnya. Hanya Dian dan Iwan, tetangga yang baik hati yang setia menemani Pak Lucas.

Ia memang tak sempat menikah, apalagi punya anak. Buatnya, murid-muridnya adalah anak-anaknya. Sayang, murid-muridnya tak mengakuinya sebagai ayahnya. Meski begitu, tak ada pikirian negatif pada murid-muridnya itu, yang menjadi pembelot dari ajaran kebaikannya. Ilmu hitung-hitungan yang diajarkan Pak Lucas memang diterapkan, namun dalam konsep yang jauh berbeda. Setiap hari harus ada uang yang dihitung. Semua pasti materi. Sementara untuk moral, dikesampingkan.

Di atas bantal putih yang sudah lusuh, Pak Lucas meletakkan kepalanya. Ia tak pernah mendendam. Meski banyak murid yang sudah jadi orang, sudah kaya raya, jadi pengusaha, jadi pedagang di kota, tak pernah terbersit secuil pun keinginan Pak Lucas untuk meminta-minta. Meminta uang, meminta dibuatkan rumah indah, meminta dibelikan mobil, motor, ya seapes-apesnya dibelikan sepeda, seperti impian Yorsi dan kelompoknya.

Ada berita dari dusun lain, seorang petani menjual sepeda. Memang sudah tua, tapi masih layak dibawa. Harganya 100 ribu rupiah. Cukup mahal buat Yorsi dan Chita, cukup membuat takjub Ira dan Agra. Namun mendekati impian mereka untuk membelikan Pak Lucas sepeda. Sebab, tak mungkin membelikan Pak Lucas sepeda baru, yang harganya berlipat-lipat dari harga sepeda yang dijual petani itu.

Uang receh itu kini sudah terkumpul 50 ribu rupiah. Artinya, masih kurang 50 ribu rupiah lagi. Bagi Yorsi, Ira, Agra, maupun Chita, kekurangan itu artinya mereka harus menyisihkan waktu dan tenaga lagi agar mendapatkan 50 ribu rupiah, agar sepeda tua itu bisa terbeli, agar Pak Lucas bisa kembali mengajar mereka setelah sembuh dari sakitnya.

Yorsi menerima 15 ribu rupiah dari seorang Mak pemilik warung makan. Pemuda kurus kering berkacama itu bekerja selama 15 hari menjadi pencuci piring. Lain lagi cara Ira dan Agra mendapatkan uang. Mereka rela berjalan berkilo-kilo untuk menjajakan kue-kue buatan pengusaha Cina. Dari hasil jualan kue itu, Ira dan Agra diberi fee masing-masing 10 ribu rupiah. Sisa 15 ribu rupiah disumbang Chita, karena berhasil menjual pakaian-pakaian bekas milik orangtuanya. Semua itu berarti, mereka berhasil mengumpulkan 50 ribu rupiah yang tersisa, yang kini genap 100 ribu rupiah. Keberhasilan itu yang membuat mereka suka cita.

Dengan penuh semangat, dengan harapan yang tinggi, keempat sahabat itu pergi ke dusun lain. Tanpa peduli jarak, jalanan yang becek, mereka berhayal akan membawa sepeda dan membuat kejutan Pak Lucas. Uang recehan 100 ribu itu dibungkuskan kain putih. Yorsi yang memegang bungkusan kain putih itu.

Tiba di dusun menjelang petang. Hewan ternak yang biasa dilepas, sudah masuk kandang. Kambing, ayam, maupun bebek seolah melihat kedatangan mereka, dari balik kandang yang sempit dan bau. Tak ada tanda-tanda rumah yang punya sepeda, apalagi tulisan sepeda yang dijual.

Beberapa penduduk nampak berjalan menuju suatu tempat. Ada beberapa bendera kuning yang dibawa mereka. Mulut mereka komat-kamit membaca barisan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Yorsi, Ira, Agra, dan Chita mendekat, bertanya pada salah seorang penduduk yang tertinggal di belakang.

"Ada yang meninggal di desa seberang. Orangnya sudah tua. Tak punya istri dan tak punya anak. Kasian sekali dia," kata salah seorang penduduk itu.

Mereka saling berpandangan. Tangan Yorsi, yang memegang uang recehan 100 ribu, gemetar. Ia tak bisa menahan emosinya, seperti Agra, Ira, dan Chita yang tak bisa menahan air matanya. Ada kekecewaan, ada kedukaan. Semua bercampur jadi satu. Tak karuan rasanya. Ada hayalan masa depan yang suram, tak bisa mereka gapai lagi, karena impian mereka hilang.

"Oh, tadi pagi sudah dibeli," tambah penduduk itu lagi, yang sedetik kemudian meninggalkan mereka, dalam kesedihan.

0 komentar: