Sabtu, 29 November 2008

IBUKU SEORANG WARIA

Tiba-tiba kampung tetangga kami menjadi heboh. Kampung yang sebelumnya sepi sepoi dari gosip, selalu aman dan tenang, sekarang begitu populer. Koran-koran lokal maupun nasional meletakkan berita soal kampung itu sebagai headline berita.

Semua itu berawal dari kehamilan anak Kepala Desa kampung itu. Kalau sekadar kehamilan tentu tidak istimewa. Namun yang membuat news value adalah kehamilan tanpa seorang suami, terlebih lagi yang terjadi pada seorang anak Kepala Desa, yang seharusnya menjadi panutan warga kampung itu. Apalagi belum lama ini Kepala Desa berjanji akan memberantas kemaksiatan di kampungnya.

"Mulai hari ini, saya berperang pada kemaksiatan," begitu pidato Kepala Desa itu saat kampanye Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades sebulan lalu.

"Segala bentuk perjudian, pelacuran, maupun penjualan minuman keras, akan kami berantas!" Sebuah janji yang ternyata cuma isapan jempol saja, sama seperti janji pejabat-pejabat lain di kampung ini, di kampung kami, maupun di negeri ini.

Anak Kepala Desa yang imut itu, yang cantik, naif, tak neko-neko, mantan putri kampus, sekarang perutnya membuncit. Kalau tak salah, sekarang sudah telat delapan minggu. Artinya, anak Kepala Desa itu sudah hamil dua bulan.

"Siapa pria yang harus bertanggungjawab ini, Nak?"

Pada ayahnya, anak Kepala Desa itu tak mau jujur. Tak mau mengaku siapa orang yang menghamilinya, yang seharusnya bertanggungjawab, mau mengawininya, menjadi ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Anak Kepala Desa itu tak mau membuka mulut. Mungkin dia malu jika mengatakan orang yang sudah 'membuang' sperma di kantung telurnya. Mungkin dia ragu apakah ayahnya -yang Kepala Desa- itu akan terima dengan kata-katanya jika dia mengaku siapa orang yang menghamilinya. Atau mungkin ayahnya tak percaya -sama tak percayanya dia dengan siapa yang menghamilinya- jika dia mau berterus terang.

Ayahnya sekarang memang sedang pusing tujuh keliling dengan kejadian ini. Bertahun-tahun ia menjaga image-nya demi mendapatkan jabatan sebagai Kepala Desa, sekarang dengan mudah hancur begitu saja. Sudah ratusan juta rupiah ia keluarkan -untuk melakukan money politic, sogok sana sogok sini- sampai akhirnya mendapatkan jabatan Kepala Desa seperti sekarang ini, eh masa harus mempertaruhkan jabatannya. Mana mau dia? Kepala Desa itu kan belum sempat mendapatkan keuntungan dari jabatannya itu, apes-apesnya balik modal gitu deh.

Awalnya, setelah tahu anaknya hamil, sang Kepala Desa sempat menutup rapat-rapat masalah ini, seoleh membentuk barikade agar tak ada orang yang tahu, termasuk musuh-musuhnya yang dulu bersaing untuk memperebutkan jabatan Kepala Desa. Namun sayang, barikade itu tak sekokoh yang dia kira. Seluruh warga tahu masalah internal yang dialami Kepala Desa.

Sebenarnya interogasi itu tertutup untuk umum, termasuk wartawan lokal. Namun siapa yang mengabari, siapa yang memberi tahu, sampai mereka semua jadi tahu, tak ada yang tahu pasti. Hebatnya mereka tahu dengan detail, baik dimana tempatnya dan kapan waktunya. Walhasil, sebelum pacar putri Kepala Desa masuk kantor Kepala Desa, sebelum Sekretaris Desa datang, sebelum sopir Kepala Desa hadir, sejumlah warga dan wartawan lokal sudah berkerumun di depan kantor Kepala Desa. Untung saja dua hansip dengan cekatan berhasil menjaga kantor agar kantor yang sudah reot itu rubuh.

Begitu satu per satu masuk kantor, termasuk Kepala Desa, desak-desakan warga makin kuat. Dua hansip yang tadi masih sok kuat, sekarang jadi keteteran diserbu warga yang berusaha ingin masuk ke dalam kantor dan mendengar jalannya acara interogasi itu. Sekali lagi untung saja ada hansip. Dengan tenaga yang masih tersisa, satu-satunya pintu sebagai akses masuk ke kantor itu berhasil dijaga, meski harus mengorbankan satu engselnya yang rusak.

Pacarnya merasa tak mungkin bisa membuat putri Kepala Desa itu hamil. Sebab, ia tak pernah melakukan hubungan badan sama sekali. "Paling jauh saya cuma mencium dan meremas-remas buah dada putri Bapak," aku pacar anak Kepala Desa itu dengan jujur tanpa rasa bersalah. Pengakuannya itu membuat shock Kepala Desa. Seketika jantung Kepala Desa berdetak dengan cepat. Wajahnya memerah. Ingin marah tapi tak kuasa.

Kepala Desa geleng-geleng kepala mendengar cerita pacar putrinya. Jujur, tapi kurang ajar. Kepala Desa gak habis pikir, zaman ini begitu mudahnya pria mencium bibir wanita. "Apa wanita-wanita itu gak tahu kalo banyak penyakit bisa menular lewat air liur?" pikir Kepala Desa dalam hati. Yang paling gak masuk akal lagi, begitu mudahnya status pacar bisa punya kesempatan meremas-remas payudara, padahal yang namanya pacar itu belum resmi menjadi suami dan belum tentu juga suami pula. "Dasar wong gendeng!"

Seperti juga sang pacar putri Kepala Desa, Sekretaris Desa juga tak mau bertanggungjawab dan memang tak ada alasan untuk bertanggungjawab. Karena memang ia tak merasa meniduri dan menghamili. "Gimana bisa hamil kalo saya ini cuma mencium tangan anak Bapak? Memang sekarang gara-gara cium tangan perempuan bisa hamil apa?"

Ditanya begitu oleh Sekretaris Desa, Kepala Desa gak bisa jawab. Memang gak mungkin gara-gara mencium tangan jadi hamil. Kecuali di bibir Sekretaris Desa ada sperma, trus sperma itu nempel di tangan putri Kepala Desa, tangannya menggaruk-garuk kemaluannya. Kalo kejadiannya seperti itu, bisa jadi sperma akan bertemu dengan indung telur.

Yang terakhir diinterogasi adalah Sopir Kepala Desa. Ia juga tak merasa menghamili. Tugasnya tak sampai melayani urusan seks. Tugasnya cuma mengantar dan menjemput. "Sebetulnya kalo anak bapak ngajak saya ngeseks sih, saya mau-mau aja. Masa ditolak sih? Tapi selama ini enggak, kok. Sumpah deh, Pak. Anak Bapak gak pernah ngajak ngeseks".

Kepala Desa makin shock mendengar penjelasan Sopir pribadinya. Kemudian Sopir itu mengaku hal yang pernah dilakukan terhadap putri Kepala Desa cuma mencolek lengannya.

"Itu gara-gara si Non ketiduran di mobil," akunya. "Masa membangunkan orang tidur ditiup, ya harus pakai tangan kan, Pak? Makanya saya colek putri Bapak".

Di rumah, anak Kepala Desa itu duduk sendirian di sebuah kursi jati di ruang tengah. Kursi itu umurnya lebih tua darinya. Produk lokal yang dibuat zaman Belanda. Kedua tangannya memeluk kakinya yang dilipat. Dagunya diletakkan di ujung dengkul kakinya.
Dia tak menyangka akan mengalami kejadian seperti ini. Setelah bertahun-tahun dia juga baru tahu rahasia yang disembunyikan ayahnya, sang Kepala Desa itu. Bahwa ayahnya telah mengawini seorang waria. Yap, ibunya adalah seorang waria. Yang kemaluannya belum dioperasi. Yang malam-malam beberapa bulan lalu masuk ke kamarku. Yang beberapa kali meniduriku dengan penuh nafsu.

0 komentar: