Jumat, 28 November 2008

EX-BOYFRIEND

“Yang ini dibuang gak, Non?” tanya Mbok Sum, sambil mempelihatkan sebuah surat bersampul pink bergambar hati, pada Dinar.

“Buang!”

“Yang ini, Non?” Mbok Sum bertanya lagi. Kali ini, yang dipegang Mbok Sum sebuah boneka beruang mini. Di leher boneka itu tergantung kartu kecil. Tulisannya: “Happy Valentine’s Day to Dinar. Love Rendy”.

“Buang!”

“Benar, nih, Non?” Mbok Sum menggoda. Matanya melirik-lirik nakal. Pembantu berusia setengah abad yang sudah menemani Dinar sejak kecil ini memang punya kebiasaan seperti itu: menggoda.

Barangkali kebiasaan itulah yang membuat dirinya masih tetap tegar sampai sekarang. Padahal track record hidupnya begitu lirih. Tiga kali ditinggal kabur sang suami yang kawin dengan wanita lain. Menyakitkan lagi, kelima anaknya tak ada seorang pun yang pernah menemuinya. Anak-anaknya semua dibawa ketiga suaminya ke tempat yang sampai saat ini tak diketahui.

“Iya, buang!” Dinar sedikit membentak.

“Gak nyesel?” Mbok Sum masih nakal menggoda Dinar.

“Ihhh! Si Mbok! Kalo aku bilang buang, ya buang!” Dinar geram.

“Buat Mbak Sum aja, ya, Non,” pinta Mbok Sum.

“Buat apa?”

“Buat cucu, Mbok. Habis, bonekanya lucu,” jelas Mbok Sum, sambil memperhatikan boneka yang ia pegang.

“OK, boneka itu boleh Mbok Sum ambil, tapi boneka itu jangan sampai kelihatan di depan mataku ya, Mbok?”

“Beres, Non!”

Dinar sebenarnya suka banget sama boneka beruang mini. Habis, selain lucu, kebetulan beruang adalah binatang favoritnya. Trus kenapa juga boneka itu dibuang? Memangnya gak sayang? Jawabannya: nggak! Kalo sudah terlanjur sakit hati, apapun bisa jadi dibenci, termasuk sama boneka beruang mini itu.

Dinar memang sedang sakit hati. Gak heran, kalo hari ini lagi ada pembersihan besar-besaran. Bukan bersih-bersih kamar, yang rutin biasa dilakukan Dinar saban minggu. Tapi pembersihan kali ini, edisi khusus. Maksud? Demi melupakan masa lalu yang menyebalkan, Dinar membersihkan segala hal yang ‘berbau-bau’ Rendy Ia berharap, hal ini mampu mengubur rasa sakit hatinya.

* * *
Kantin Fakultas Sastra sudah nampak sepi. Beberapa warung sudah tutup. Padahal, waktu masih belum begitu sore. Matahari saja masih memancarkan sinarnya tepat di atas kepala, terik sekali. Satu per satu mahasiswa, meninggalkan bangku kantin. Cuma ada dua atau tiga pasang mahasiswa, yang masih betah di kantin, yang letaknya persis dekat rektorat.

Para mahasiswa biasa menyebut kantin itu sebagai “kantin cinta”. Entah sudah berapa puluh pasang mahasiswa, merasakan kemanjurannya. Kemanjuran mendapatkan cinta, tentunya dong. Kalo perkara menyatakan cinta, dan kemudian pacaran, itu mah sudah biasa. Atau yang paling sering, kenalan, tukar-tukaran HP, kencan, dan selanjutnya jadian. Ada juga kejadian, mengucap janji, pacaran, putus, dan akhirnya berhasil nyambung lagi, gara-gara mereka makan di kantin ini. Ajaib, kan?!

Makanan yang paling ngetop di “kantin cinta” ini adalah, siomai dan es sekoteng. Hmm, yummi! Sudah enak, murah pula. Gara-gara terkenal enak dan murah, siomai dan es sekoteng itu, jadi cepat ludes. Mereka seharusnya sudah tutup dari tadi. Tapi gara-gara Bayu dan Dinar, para pedagang ini terpaksa harus menunggu. Sebab, siomai dan es sekuteng yang dipesan Bayu dan Dinar, masih banyak.

“Maaf, mas...mbak, siomainya sudah?” tanya pedagang siomai, untuk yang kesekian kali. Berharap Bayu dan Dinar segera menyelesaikan makan somainya. Tapi dasar tak tahu diri...

“Belum, mas. Bentar ya,” jawab Bayu.

Sambil menggerutu, pedagang siomai terpaksa mundur. Setelah beberapa langkah pedagang siomai mundur, giliran maju pedagang es sekoteng. Kali ini pedagang sekoteng berharap gelas berisi sekotengnya bisa segera diambil dan dicuci. Dengan penuh keyakinan...

“Es sekutengnya sudah kan, Non?”

“Belum, mas. Bisa tunggu sebentar lagi, kan?” kali ini Dinar yang merespon.

Dua wajah pedagang cemberut. Mereka gak berhasil mengambil piring dan mangkuk. Serba salah juga, siomai dan es sekoteng memang kebetulan masih belum habis, tapi durasi mereka makan sudah melebihi deadline. Udah gitu, Dinar adalah salah satu pelanggan setia dua pedagang itu. Menurut mereka, kalo pelanggan dikecewakan, pasti gak akan mau beli lagi, dong. Biar cuma satu orang pelanggan, kalo pelanggan itu bisa promosi ke teman-temannya alias getok tular, bukan gak mungkin akan ada pelanggan-pelanggan lain yang mencoba somai dan es sekoteng. Lagipula bukankah ada moto: pelanggan harus diperlakukan dengan baik? Pelanggan adalah raja.

“Maafin aku, Din, please...”

Entah sudah berapa kali, Bayu mengucapkan kata please. Kalo mau dihitung, cuma dalam waktu tigapuluh menit, sekitar delapan kali, Bayu kira-kira mengucapkan kata itu. Dinar bosan mendengarnya. Apa gak ada kata lain aja?

“Sudahlah, Bay. Kamu kan bilang sendiri, kalo hubungan udah gak fun, ngapain lagi dipertahankan? Ngabis-ngabisin waktu, bukan?”

“Iya. Tapi aku gak pingin kita putus...”

“Lalu mau kamu apa?”

“Hmm...”

“Tuh, kan?! Kamu aja gak tahu mau apa? So, buat apa hubungan kita dipertahankan lagi? Percuma!”

“Please, Din. Jangan putusin aku...”

Oh my God, please lagi, please lagi. Bosen! Rupanya Bayu gak ngerti juga, kalo Dinar benar-benar bosan sama kata berbahasa Inggris itu (please maksudnya). Dinar ngerti, Bayu sangat berharap, kata permohonan itu, bisa meluluhkan hatinya. Tapi yang ada, Dinar justru bete. Persis lagunya Dewiq sama Ipank yang lagi ngetop sekarang ini.

“Aku tahu, aku yang salah. Aku janji gak akan mengulang kesalahan itu lagi...”

“Gini aja deh. Kita cool down aja dulu,” Dina memotong penjelasan Bayu. Tujuannya supaya pembicaraan mereka cepat selesai, supaya kata please gak ia dengar lagi. Bosan tahu! “Kita introspeksi diri kita masing-masing. Kalo nanti memang berjodoh, pasti kita akan bersatu lagi...”

Bayu terdiam. Kali ini gak ada kata please-please-please lagi, yang keluar dari mulutnya. Kayaknya, keputusan Dinar itu, lebih bijak, lebih masuk ke hati Bayu, ketimbang benar-benar harus putus cinta.

Bayu sadar, barangkali Dinar benar. Ada baiknya, mereka vakum pacaran dulu. Daripada ‘perang’ terus menerus? Gak enak kan ‘perang’ terus. Dikit-dikit ‘perang’, dikit-dikit marahan. Hmm...apa asyiknya pacaran kayak begitu, yak gak? Bukankah pacaran itu tujuannya cari pasangan yang cocok? Yang bisa buat have fun?

Bayu tahu, mayoritas kesalahan hubungan mereka, itu karena dirinya. Ia dikenal Mr. Ngaret. Sering melanggar janji. Mending dua kali, tiga kali. Bayu mah, sering banget! Janji jam tujuh, eh baru muncul jam delapan. Selain Mr. Ngaret, Bayu juga mendapat cap Mr. Batal. Tahu dong maksudnya? Yap! Bayu memang sering membatalkan janji. Alasan pembatalan, yang paling sering dan mengecewakan Dinar, gara-gara urusan kantor mendadak.

“Menurut kamu begitu?” tanya Bayu.

“Ya, lebih baik kita cool down dulu,” Dinar yakin.

Bayu akhirnya setuju, dengan berbagai pertimbangan. Ia berharap, selama melakukan introspeksi diri, ia dan juga Dinar bisa mereformasi diri. Maksudnya, setelah introspeksi, Bayu harus bisa membuktikan, kalo ia gak lagi mengecap Mr. Ngaret atau Mr. Batal. Sementara itu sebaiknya, Dinar harus bisa menjadi cewek yang lebih sabaran dan gak selalu jadi Mrs. Perfect, karena nobody;s perfect.

“Tapi selama cool down, kamu janji gak akan pacaran sama cowok lain?”

“Moga-moga begitu...”

“Kok jawabannya begitu?”

“Habis kamu maunya gimana jawabanku?”

“Aku mau, janji gak pacaran selama introspeksi, bagian dari komitmen...”

“Gimana kalo kita jalanin aja dulu masa vakum pacaran ini dulu...”

“Baik!”

* * *

“Kriiiiiing! Kriiiiiiing!”

Ring tone HP-nya, tiba-tiba menghentikan lamunan Dinar. Padahal, sebelum HP-nya berdering, ia tengah membayangkan Bayu. Sedang apa ya cowok itu? Kangen juga, gak dapat SMS dari dia seharian ini. Hiks! Namun, semua bayangan tentang cowoknya, hilang sekejap, gara-gara bunyi HP-nya itu.

“Halo, bisa bicara dengan Dinar?”

“Hmm...dari siapa ya?”

“Apa kabar, Din?”

Suara itu begitu familiar. Unsur bas-nya begitu kental, penuh wibawa. Artikulasinya juga sangat jelas. Dinar coba mengingat-ingat. Kayak-kayaknya, ia pernah kenal, sama pemilik suara ini. Tapi gak tahu dimana dan kapan.

“Ini aku, Rendy...”

“Rendy? Kamu gak becanda kan?”

“No, I’m not, Din. Aku benar-benar Rendy..”

“Ya ampun! Apa kabar Ren? Aku gak sedang mimpi, kan?”

“Gak, Din. Kabarku baik-baik aja. Kamu gimana?”

“Aku baik-baik juga, Ren...”

“Long time not see ya?”

“Iya-ya. Sudah ada dua tahun kali ya?”

“Lebih...”

“Oh my God! Gak terasa ya, Ren. Kamu lagi dimana sekarang?”

“Kita bisa ketemu gak, Din?”

Rendy dulu sempat mengisi hari-hari Dinar begitu indah. Nonton bioskop, makan di restoran, nongkrong di kafe, atau sekali-kali ke diskotek. Hmm...rasanya begitu indah. Hampir setiap hari, Rendy juga menjemput dan mengantar pulang sekolah. Tentu, setelah Rendy resmi menjadi cowok Dinar. Sebenarnya, Dinar gak pernah meminta Rendy, buat melakukan kebiasaannya itu. Tapi Rendy sendiri yang ingin, ya mau bagaimana lagi?

Rendy selalu mengirim SMS, yang sebenarnya isinya sudah ‘basi’, habis itu-itu terus. Kalo gak kalimat: “Selamat pagi sayang”, pasti yang Rendy kirim kalimat: “Sudah makan belum?”. Buat Dinar, SMS-SMS-nya, dianggap sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang.

Namanya juga sedang pacaran, apa yang dilakukan kekasih, dianggap no problem. Ngerti dong? Selain sebagai bentuk perhatian, buat Dinar, SMS-SMS ‘basi’ itu juga dianggap sebagai motivasi. Yang namanya motivasi, tentu memberi semangat. Kalo sudah semangat, hidup akan terasa indah.

Baik Dinar, maupun Rendy, gak peduli sama ‘angin-angin’ sirik yang berhembus kencang, seirama dengan perjalanan hubungan mereka. ‘Angin’ yang paling kencang, justru datang dari teman-teman Dinar. Mereka memprediksi, hubungan Rendy dan Dinar, gak bakal awet. Usia pacaran mereka, pasti cuma seumur jagung, alias sebentar. Kalo pun awet, pasti ada keajaiban yang terjadi.

“Ayo taruhan?”

“Ah, ada-ada saja loe, orang pacaran kok dijadiin taruhan?”

“Takut?”

“Hmm...gimana ya?”

“Gue yakin mereka cuma pacaran sekitar tiga bulan. Kalo bisa bertahan sampai enam bulan, wah itu sebuah keajaiban...”

“Segitu yakinnya loe?”

“Berani taruhan gak?”

“Taruhan lagi, taruhan lagi! Cape, deh!”

Begitulah teman-teman kuliah Dinar. Hubungannya sama Rendy, jadi pasar taruhan. Sebenarnya apa sih yang menyebabkan teman-temannya begitu negatif? Mengapa juga teman-temannya memprediksi hubungan cinta mereka gak awet? Konon, gak lain, gak bukan, gara-gara kepribadian Rendy dan Dinar, jauh beda. Yang satu Mr. Over Protective dan Mr. Jelous, yang satu lagi Mrs. Perfect.

Dinar baru sadar, apa yang dilakukan Rendy, sebenarnya merupakan upaya pengekangan diri. Maksudnya begini, lho, kelihatannya Rendy memang perhatian, selalu mengantar dan menjemput, mengirim SMS, atau mengecek SMS dari teman-teman Dinar. Tapi apa yang Rendy lakukan itu keterlaluan, over protective! Latar belakang itulah yang menyebabkan Rendy dicap Mr. Over Protective. Selain itu, Rendy juga punya julukan Mr. Jelous.

Kini, Rendy hadir lagi. Siapa yang menyangka, di saat Dinar menjalankan waktu introspeksi, ex-boyfriend-nya hadir kembali. Pengalaman pahit pacaran bersama Rendy, hilang. Posisi wajah Bayu, kini tergantikan oleh Rendy. Dinar gak sadar, kalo pertemuannya ini, akan menjadi awal dari penyesalanya kelak. Tapi...

“Deal! Sampai ketemu besok ya, Din,” Rendy coba mengkonformasi ulang lagi.

“OK!”

* * *

Sore ini Dinar tampil ala Hippie. Pakai ethnic dress warna cokelat, dipadu jins Levi’s 501 biru muda. Gak lupa, tangannya memakai bangles motif bintang warna hitam dan perak. Ditambah, kalung berbentuk ‘biji-bijian’, menguntai lehernya. Ia dandan se-perfect mungkin. Tahu dong kalo ia punya julukan Mrs. Perfect?

Kalo buat penampilan sendiri, bolehlah perfect. Tapi kalo buat ngasih pendapat ke orang lain, itu yang berbahaya. Nah, Dinar kadang gak bisa tahan, memberi komentar pada teman-temannya, yang kebetulan penampilannya gak perfect. Komentar-komentar kayak begini, yang sering diucapkan Dinar, “Kayaknya elo gak pantes deh pakai baju merah”, “Bedak elo kemenoran banget sih”, atau “Elo beli parfum dong, supaya badan loe gak bau”.

Buat cowok, komentar-komentar kayak begitu, barangkali bisa dimaafkan. Tapi kalo buat cewek, sungguh menyakitkan. Begitulah kebiasaan Dinar, si Mrs. Perfect! But anyway, sore ini, Dinar tempil cantik sekali. Penampilan ala Hippie ini, sebenarnya sudah pernah ia lakukan, saat pertama kali kencan sama Rendy.

Mereka janji bertemu di kafe Liebe, yang ada di sebuah Town Square. Mengapa memilih kafe ini, sebenarnya gak sengaja. Tiba-tiba saja, mereka sama-sama menyebutkan kafe Liebe, sebagai tempat pertemuan. Sekedar info, kafe ini adalah kafe pertama kali mereka jadian.

“Din, aku sayang kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”

“Kamu yakin mau pacaran sama aku?”

“Seratus persen!”

Kalimat di atas itu, terjadi sekitar tiga tahun lalu. Saat Rendy dan Dinar, meresmikan hubungan cinta mereka. Memori itu masih jelas dalam ingatan Dinar, mungkin juga Rendy. Kapan harinya, tanggalnya, bulannya, tahunnya, bahkan jamnya, masih Dinar ingat. Maklum, Mrs. Perfect! Kini, kita masuk ke zaman sekarang, dimana saat ini Rendy sedang duduk sendirian, menunggu Dinar.

“Hai, Ren! Sudah lama?”

“Baru sepuluh menit, kok...”

“Maaf ya telat..”

“It’s OK, Din...”

Rendy memandangi wajah dan penampilan Dinar. Dipandangi begitu, gak biasanya Dinar jadi grogi. Padahal, saat pacaran, Rendy juga sering memandangi kecantikannya. Selain itu, ia pun yakin seratus persen, penampilannya sudah sempurna. Namun, entah kenapa, saat ini ia merasa seperti sedang ditelanjangi.

“Ada yang salah dariku Ren?” Dinar coba mengorek.

“Ah, enggak, kok!”

“Lalu kenapa kamu melihat aku seperti itu?”

“Kamu cantik sekali, Din...”

“Ah, kamu bisa saja, Ren,” wajah Dinar tiba-tiba memerah.

“Iya, benar, kamu cantik sekali, Din!”

“Thanks, Ren..”

Sudah lama banget, ia gak dengar ada cowok yang memuji kayak begitu. Perkara pujian itu tulus atau gak, itu mah gak penting. Yang penting dipuji. Maklumlah, bahasa cinta Dinar adalah pujian. Gara-gara pujian, hatinya bisa melayang-layang tinggi di awan. Gara-gara pujian, semangatnya bisa terpompa sepuluh kali lipat.

“Kamu mau pesan apa, Din?”

“Hmm...apa ya?”

“Pasti cinnamonroll!” kata Rendy.

Dinar tersenyum. Ia senang, Rendy masih ingat makanan favoritnya di kafe ini. Buat Dinar, cinnamonroll, makanan ringan, yang mengandung kayu manis, brown sugar, dan dihiasi lemon frosting begitu yummy! Nikmat banget! Biasanya, kalo makan cinnamonroll, minumannya pasti teh...bukan! bukan itu, tapi ice lemon tea.

Sambil menikmati makanan, Dinar dan Rendy bercerita dari A sampai Z. Dengan sedih, Rendy cerita soal pacarnya, yang belum lama ini meninggal karena kecelakaan. Dinar bisa merasakan kesedihan Rendy, amat memilukan. Kalo saja gak sadar diri, air matanya bisa-bisa mengucur deras. Hiks!

“Ah, sudahlah, gak usah ingat ceritaku yang itu. Nanti kamu tambah sedih. Aku gak mau kamu ikut-ikutan sedih...”

“Thanks, Ren..”

“O iya, aku turut prihatin soal hubungan kamu sama Bayu,” ucap Rendy. Ucapannya itu, mengagetkan Dinar.

“Kamu tahu darimana?”

“Biar kita sempat putus, bukan berarti aku putus infomasi tentang kamu, kan, Din?”

Sejak mengungkapkan hubungannya sama Bayu, Dinar jadi dekat lagi sama Rendy. Mereka jadi sering janji ketemu. Curhat-curhatan. Entah kenapa, hati Dinar mulai ‘klik’ lagi sama Rendy. Rasa cinta yang dulu terkubur, mulai muncul lagi. Ia gak sadar, kalo ini yang namanya CLBK, cinta lama bersemi kembali.

* * *

“Perlu gak sih gue balik lagi ke sama Rendy?” tanya Dinar pada Mia.

Sejak pertemuan pertama dengan Rendy, Dinar mulai mendapat gangguan jiwa. Maksudnya bukan Dinar jadi gila, lho. Namun, hatinya sekarang ini terbagi dua. Sementara masih sayang sama Bayu, tapi jadi mulai sayang lagi sama Rendy. Waduh!

“Usul gue, gak usah deh!” Mia mengulirkan gagasan.

“Kenapa?”

“Jawabannya elo udah tahu sendiri kan?”

Dinar diam. Itu artinya, pertanyaan Mia gak perlu lagi dijawab. Dinar sudah pasti tahu jawabannya. Bahwa Rendy pernah membuat Dinar merasa terkekang, merasa dikuntiti terus menerus, karena Rendy over protective. Bahwa Rendy terlalu cemburu, sehingga seringkali mereka ‘perang’ cuma gara-gara masalah kecil, yang sebenarnya gak penting, cuma salpeng aja, alias salah pengertian.

“Mending elo balik lagi aja ke Bayu..”

“Hah?! Apa?! Balik lagi sama Bayu? Ngapain?”

“Ya pacaran, lah, masa belanja?”

“Elo yakin hubungan gue bakal fun lagi sama Bayu?

“Memangnya elo yakin, dengan elo pacaran lagi sama Rendy elo bakal fun? Bakal gak ada kejadian-kejadian yang bikin elo sebal?”

“Hmm..yakin gak yakin sih?”

“Sudahlah, Din, ngapain juga elo cari penyakit..”

“Memang Rendy penyakitan apa?”

“Bukan, maksud gue, elo harus lihat masa lalu elo, pacaran sama Rendy. Jangan sampe elo menyesal lagi...”

“Rendy sudah beda, Mi. Dia gak kayak dulu lagi...”

“Dinar...Dinar, segitu yakinnya elo sama Rendy. Baru juga sekali dua kali ketemu sama mantan boyfriend elo, eh elo sudah men-judge cowok kayak Rendy berubah...”

“Bener, Mi, Rendy itu sudah berubah!”

“Sutralah!”

“Rendy itu gak kayak dulu...”

“Darimana elo tahu?”

“Hmm...ya, feeling gue begitu, Mi,”

“Please, deh! Gini hari main feeling. Gimana elo tahu kalo ex-boyfriend loe itu gak over protective, gak jelouse-an lagi? Pakai feeling darimana?”

“Pokoknya, feeling gue Rendy gak begitu lagi, Mi. Gue yakin itu!”

“Cape, deh!”

Semalaman Dinar gak bisa tidur. Bukan karena di rumahnya banyak nyamuk, tapi ia masih memikirkan percakapannya dengan Mia, tadi siang. Ada pertentangan batin. Meneruskan hubungannya sama Bayu, atau pacaran lagi sama Rendy? Persentase hatinya fluktuatif, naik turun. Kadang 50:50, atau limapuluh persen hatinya ke Bayu, limapuluh persen lagi ke Rendy. Kadang 30:70, cuma tigapuluh persen hatinya ke Bayu, sisanya ke ex-boyfriend-nya.

Sebenarnya berat rasanya meninggalkan bayang-bayang Bayu, dalam kehidupan Dinar. Apalagi mereka sudah punya komitmen, belum putus, tapi introspeksi diri masing-masing. Namun, wajah Rendy saat ini begitu kuat membayangi pikiran dan hati Dinar. Gak heran, Dinar akhirnya mengambil keputusan yang sangat kontroversi: pacaran sama Rendy lagi! Dinar...Dinar, seharusnya pengalaman-pengalamannya bersama Rendy, dijadikan pelajaran berharga. Jangan sampai ia masuk ke lubang yang sama lagi, ya gak?


* * *

Hari ini tumben-tumbenan, Pak Sihombing, gak masuk. Menurut info, dosen sejarah kebudayaan Jerman itu, gak masuk gara-gara sakit. Bukan cuma Dinar yang heran, tapi teman-temannya juga heran sama gosip itu. Pak Sihombing sakit? Tumben! Seumur-umur Dinar kuliah, dosen asli Medan itu, gak pernah sakit.

“Gue pikir, badannya benar-benar kayak Rambo,”

Di tengah-tengah ngegosip soal Pak Sihombing, tiba-tiba HP Dinar berbunyi. Ada nama Bayu di layar HP-nya. Dinar sebenarnya ogah mengangkat. Ia pikir, buat apa lagi Bayu menghubunginya. Lagipula, hatinya sudah gak fokus lagi ke Bayu, tapi ke Rendy. Gak heran, bunyi HP-nya, dicuekin.

“Siapa, Din? Kok gak dianggat?” tanya Karina.
“Gue tahu! Pasti dari Bayu!” celetuk Gladys.

“Sotoy amat sih loe, Dys?!” protes Dinar.

“Mana ada sih berita yang gak gue tahu? Benar kan, yang telepon itu Bayu?” ucap Gladys.

“Ada apa sama Bayu, Din? Kenapa elo gak angkat telepon dari pacar loe itu?”

“Dinar lagi marahan sama Bayu, Rin, makanya dia gak mau angkat telepon dari Bayu,” Gladys menjelaskan. Matanya melirik ke Dinar, berharap mendapat respon atau konfirmasi kebenaran pernyataan Gladys tadi.

“Gue pikir hubungan elo sama Bayu aman-aman aja, soalnya gue gak pernah lihat elo berantem, deh...”

Dinar diam, gak tergoda untuk menanggapi pernyataan Karina.

“Sudahlah, Din, angkat saja telepon Bayu itu. Ya, siapa tahu dengan kamu menjawab teleponnya, hubungan kamu jadi normal lagi,” saran Karina.

Dinar belum juga mau menjawab panggilan Bayu. Ia membiarkan, HP-nya berdering lagi. Padahal, sudah tiga kali, ring tone-nya berbunyi, dan nama Bayu muncul di layar HP Dinar. Dengan berat hati, Dinar akhirnya memencet tombol answer.

“Apa kabar, Din?”

“Alhamdulillah, baik. Ada apa, Bay?”

“Hmm...kita bisa ketemu, Din?”

Dinar berdiri, menjauh dari tempat nongkrong teman-temannya. Berharap pembicaraannya sama Bayu, gak ada nguping. Soalnya, kalo Gladys sampai dengar, bisa-bisa berbahaya. Sebab, cewek satu ini, dikenal sebagai bigos, biang gosip. Begitu ada info, seluruh dunia pasti akan tahu.

“Aku sibuk!”

“Sibuk apa?”

“Sibuk apa kek? Mau tauuuu aja,”

“O, maaf. Tapi boleh kan aku waktu kamu untuk ketemu, sebentar aja,”

“Aku sibuk! Kenapa sih gak di telpon ini aja? Kamu mau ngomong apa sih?”

“Aku siap untuk jadi pacar kamu lagi. Kesalahan-kesalahan yang dahulu, aku gak akan ulang lagi,”

“Sudah lah, Bay, kita gak jodoh,”

“Kata kamu kita introspeksi dulu?”

“Iya, dalam introspeksiku, aku rasanya gak cocok dengan kamu,”

“Ada cowok lain yang sudah menggantikanku, Din?”

“Kamu ini mau tahu aja sih?”

“Ada, Din?”

“Buat apa kamu tahu?”

Dinar menengok ke arah Karina dan Gladys, memastikan suaranya gak terlalu besar. Mereka pura-pura sibuk, saat Dinar menengok ke arah mereka.

“Siapa dia, Din?”

“Kamu gak perlu tahu kan?”

“Siapa, Din?”

“Maksa amat sih kamu?”

“Please, Din, siapa cowok itu?”

“Mulai lagi plas, please, pas, please...”

“Siapa Din?”

“Kenapa sih kalo aku gak ngasih tahu?”

“Rendy kah?”

Dinar kaget. Ia gak nyangka tebakan Bayu benar. Lagi-lagi Dinar menenggok ke arah Karina dan Gladys, meyakinkan mereka gak tahu kenapa ia kaget. Sekali lagi, mereka pura-pura sibuk.

“Sudah ya, aku mau pergi...”

“Din, please jawab dulu pertanyaanku. Rendy kah cowok itu?”

Dinar gak mau menjawab. Diam.

“Kamu rupanya kembali sama dia lagi?”

“Sudah ya, Bay, aku mau pergi. Maafkan aku...”

Telepon akhirnya ditutup. Dinar membuang nafas panjang. Tanda sebal, plus puas menghentikan obrolannya sama Bayu.

“Kamu tega banget sih, Din. Mutusin Bayu, cuma gara-gara ex-boyfriend kamu itu,” ucap Gladys.

Terus terang, Dinar kaget bukan main, Gladys bisa tahu isi percakapan Dinar sama Bayu. Kayak-kayaknya, jaraknya berbicara, dengan tempat Karina dan Gladys nonkrong, sudah cukup jauh. Begitu pula suaranya. Yang Dinar tahu, suaranya sudah cukup kecil, dan gak mungkin terdengar. Dasar bigos, kupingnya ternyata lebih panjang, dari apa yang Dinar pikir.


* * *

Menyenangkan sekali, Dinar bisa jalan sama Rendy lagi. Terus terang, bersama Rendy, Dinar merasa aman. Sebenarnya sih, waktu masih jalan bareng sama Bayu, perasaan Dinar juga sama: merasa aman dan tenang. Bahkan Bayu punya nilai plus. Selain jago karate, body-nya tinggi besar. Ya, namanya juga CLBK, so Dinar merasa jalan sama Rendy, beda banget.

“Kita pergi ke mana, Din?” tanya Rendy.

“Terserah kamu,” ucap Dinar.

“Hmm...gimana kalo hari ini kita ke ber-cafe latte ria?”

“Setuju!”

Jadilah Rendy dan Dinar meluncur ke sebuah kedai kopi. Mereka memilih salah satu kedai kopi yang cukup tersohor, yang saat ini jadi tempat hang out para executive muda, pada jam-jam happy alias hapy hour.

Perjumpaan Rendy dan Dinar, bukan baru pertama kali ini saja. Tapi sudah mereka lakukan beberapa kali. Sejak gak jalan lagi sama Bayu, Dinar selalu menerima tawaran Rendy buat jalan. Kalo gak jalan ke cafe, makan di restoran, mereka sempat nonton bioskop. Padahal kalo dipikir-pikir, Randy itu sibuk berat. Maklum, dia kan Produser di salah satu stasiun televisi swasta. Hari-harinya dilewati, kalo gak bikin proposal, ya shooting. Belum cukup, seorang Produser juga biasa ikutan presentasi ke klien dan liat hasil edit, kali-kali aja perlu direvisi.

“Saya ulangi lagi ya, Mas,” ucap Pramusaji kedai kopi itu. “Satu cafe latte, satu cafe mocha, ya...”

Pada saat Pramusaji membacakan kembali order-an, mata Rendy gak berkedip sama sekali, melihat Pramusaji itu. Dinar melihat sendiri, sikap Rendy itu. Inikah kebiasaan Rendy terbaru? Pramusaji itu memang cantik. Barangkali lebih cantik Pramusaji, dibanding Dinar. Beda nasib aja.

“Jangan lupa tiramisu-nya ya, Mbak,” Dinar mengingatkan Pramusaji tadi.

“Oh, iya, satu tiramisu. Ada lagi?”

“Segitu aja dulu, deh, Mbak. Nanti kalo kurang, tinggal nambah lagi,” kata Dinar, sedikit mengusir. Berharap Pramusaji segera pergi, agar mata Rendy fokus ke Dinar.

“Baik. Mohon ditunggu ya, Mbak, Mas,”

“Iya, ya,” Dinar mulai kesal.

Dinar gak sangka, Rendy ternyata punya kebiasaan baru, memandangi cewek cantik. Padahal sebelumnya, ia gak punya kebiasaan ini. Tahu dong, apa cap yang menempel pada Rendy sebelumnya, Mr. Overprotective dan Mr. Jelous. Dengan kebiasaan baru ini, ia patut mendapat cap lagi, yakni Mr. Jelalatan!

Dinar sebal sekali sama Rendy. Sebelum mereka bertemu di kedai kopi ini, tanda-tanda Rendy memperlihatkan kebiasaan baru, sebenarnya sudah tampak. Setiap kali ada cewek cantik melintas di depan matanya, matanya langsung memperhatikan dengan seksama, tanpa bekedip. Ini barangkali kebiasaan seorang Produser yang kini menjadi kebiasaan Rendy, dimana kerap melakukan casting untuk bintang-bintang muda kalo mau buat program televisi.

“Cewek yang pakai t-shirt biru itu cantik, ya, Din?” tanya Rendy pada Dinar.

Maksud hati memuji, tapi ternyata salah tempat. Kok memujinya cewek lain bukan ke Dinar? Dinar benar-benar sakit hati. Ternyata pujian Rendy pada Dinar, di awal perjumpaan, cuma pujian sesaat. Selebihnya, Rendy gak pernah memuji lagi, tapi lebih suka memuji orang lain.

Puncak dari kekesalan Dinar, saat Rendy berani memukul wajah Dinar. Ini terjadi, saat Dinar mempertanyakan soal hubungan mereka.


* * *

“Pokoknya, segala yang ada hubungannya sama Rendy, dibuang saja, Mbok!” perintah Dinar.

“Baik, Non!”

“Sekarang aku mau ke warnet dulu, ya, Mbok?”

“Apa Non? Kornet?” Mbok Sum mengulang kata Dinar, tapi salah. Maklum, kuping Mbok Sum sudah perlu di-service. Lagipula, Mbok Sum kan bukan anak kota, yang tahu istilah warung internet alias warnet. Tahunya, ya makanan kornet itu.

“Warnet, Mbok. Warung internet..”

“O....”

“Mbok mau ikut ke warnet?”

“Gak mau ah, Non. Pasti rasanya gak enak deh,” Mbok Sum masih menyangka warnet ada hubungannya sama kornet.

“Mbok, Mbok. Cape, deh!”

Selain membuang segala hal yang ada hubungangnya sama Rendy, hari ini Dinar juga berniat akan menghapus email-email. Bukan semua email, lah yau, tapi email-email, yang dikirim Rendy. Selain itu, Dinar akan men-delate nama Rendy sebagai daftar temannya di Friendster maupun di Facebook.

“Duh, segitu bencinya?” goda Mia.

“Ternyata elo benar, Mi, si Rendy itu brengsek! Seharusnya gue ikutin kalo elo ya?”

“Biasa, kalo belum terjadi, gak akan pernah menyesal,”

“Maafin gue ya, Mi,”

“It’s OK, Din. Betewe, elo gak akan delete gue, kan dari daftar temen elo di Friendster?”

“Ya, enggak lah! Gila kali gue?!”

Selama cool down sama Bayu, Dinar gak pernah mengutak-atik Friendster. Termasuk waktu berhubungan kembali sama Rendy. Friendster-nya masih utuh, seperti sediakala. Jumlah temannya masih sekitar 200-an orang. Yang memberikan testimoni, juga belum bertambah, masih Winny, Mia, Andre, Karina, dan Gladys.

Di Friendster, ada blog. Iseng-iseng Dinar membuka blog Bayu.

Air mata Dinar sempat menetes. Baris-baris kalimat yang ditulis Bayu di blognya, benar-benar menyentuh. Hiks! Ternyata Bayu benar-benar cinta pada Dinar. Cowok itu memang sering ngaret, juga sering batal, tapi kebiasaan itu lebih baik daripada kebiasaan Rendy.

Dinar merasa bersalah. Namun, penyesalannya seolah percuma, karena Bayu gak mungkin bersamanya lagi. Ia pasti sudah sangat kecewa, dengan apa yang Dinar lakukan. Hiks! Seandainya Dinar gak lagi menuruti perasaan, pasti gak akan ada lagi Rendy dalam kehidupannya. Seandainya Dinar mengikuti saran Mia untuk memilih Bayu daripada Rendy, barangkali kejadiannya akan berbeda.

“Kriiiiiing! Kriiiiiiing!”

Tiba-tiba HP Dinar berbunyi. Suaranya mengganggu perasaan Dinar yang sedang sedih. Namun, perasaan hatinya berubah seperti apa, setelah melihat nama di layar HP-nya. Nama seorang cowok, yang saat ini sedang ada dalam pikirannya. Siapa lagi kalo bukan Bayu.

“Bayu?” Dinar gak percaya, cowok yang ada di seberang sana benar-benar Bayu.

“Hmm...maaf aku mengganggu. Aku tahu kamu pasti tidak sedang mengharapkan telepon dari aku. Hmm..aku cuma mau bilang tiga kata saja, sesudah itu aku gak akan mengganggu kamu lagi...”

“Hmm...tiga kata?”

“Iya. Cuma tiga kata. I LOVE YOU, Din,”

0 komentar: