Senin, 05 Januari 2009

HARGA SEBUAH MULUT

Berapa harga sebuah mulut? Tentu saja nggak ada yang bisa menghargainya, kecuali orang yang punya mulut itu sendiri. Lho kok bisa? Ya iyalah! Mulut itu harganya bisa selangit, bisa pula setanah (maksudnya rendah). Dengan mulut elo bisa jadi kaya. Sebaliknya, dengan memiliki mulut elo juga bisa miskin. Pilih mana?

Kata orang, mulut itu seperti harimau. Makanya ada pepatah yang mengatakan: mulutmu, harimaumu. Maksudnya, elo lebih mirip harimau daripada mirip anjing. Mendingan mirip harimau kali ya, karena harimau keren. Bulunya belang-belang. Pake kumis kecil-kecil. Badannya lebih besar daripada anjing. Giginya tajam. Julukannya pun raja hutan. Kalo anjing? Yah, cemen! Segede-gedenya badan anjing, paling segeda anak macam. Bulu anjing juga halus sih, tapi nggak ada tipe anjing yang belang-belangnya sekeren macam. Udah gitu, anjing itu najis. Dilarang sama agama gw buat dipelihara. Air liurnya itu lho yang bikin najis. Kalo kita dijilat, kita pasti akan ngomong: “Aduh! Najis mas Boy!”

Kenapa tadi ngomonging anjing ya? Elo-elo sih kayak anjing! Maaf! Maaf! Yang kayak anjing itu gw. Kalo elo kayak harimau deh, raja hutan.

Back to school! Eh! Back to mulut. Mulut harimau itu gede, sedang mulut anjing itu kecil. Buntut harimau itu panjang, sedang mulut anjing itu pendek. Lah, ini kok ngomongin anjing lagi? Piye iki? Aku boten ngertos karo aku iki. Ya uwis, kite fokus dan konsen ngomongin soal mulut. Don’t belak-belok lagi ke harimau atau anjing ya? Awas kalo elo ngomongin lagi soal harimau atau anjing?! Tapi susah sih kalo nggak ngomongin anjing. Kenapa? Saat ini orang yang mulutnya nggak bisa dijaga itu mirip anjing. Nggak percaya?

“Saudara-saudara sekali! Kalo nanti terpilih menjadi Bupati di sini, saya akan menggratiskan sekolah, kesehatan, perumahan, permobilan, pekapalan, persetubuhan, pencurian, perkawinan, dan pemijitan,” papar serang calon Bupati berinisial XL saat pidato ke sepuluh penduduk di balai desa.

“Hore! Hore!” teriak penduduk yang nggak pake sandal itu dengan semangat 47.

“Dengan menjadi Bupati, saya bisa merealisasikan aspirasi saudara-saudara sekalian. Apa itu? Mengimpor beras dari Thailand, mengimpor motor dan mobil dari Jepang maupun Amerika, mengimpor lebih banyak lagi film-film Hollywood, mengimpor pembantu-pembantu dari Bollywood yang bahenol itu, dan meratakan rumah-rumah kumuh yang ada di bantaran kali. Bukan begitu saudara-saudara?”

“Bukan! Bukan!” teriak penduduk lagi, yang masih nggak pake sandal. Tapi kayaknya lagi dibelikan sama asistennya calon Bupati itu. Katanya malu-maluin, masa nggak pake sandal. Kata orangtua, kalo keluar rumah kan kudu pake sandal. Ya nggak?

“Lho kok bukan?!” calon Bupati bingung tujuh keliling. “Betul kan aspirasi saudara-saudara begitu?”

“Betul! Betul!”

Ketika calon Bupati XL terpilih jadi Bupati, seluruh aspirasi yang udah disampaikan di atas mimbar buyar. Maksudnya, nggak sesuai. Kejadian model begitu bukan sekali atau dua kali dialami di perpolitikan bangsa ini. Anjing nggak tuh? Gara-gara mulut yang nggak disekolahin, atau mulut udah disekolahin tapi otak nggak disekolahin, ya jadinya kayak lagunya Betharia Sonatha berjudul “Hati yang Luka”: “Janji-janji... tinggal janji... bulan madu...hanya mimpi...”

Kalo nggak dijaga, mulut memang kayak anjing. Gampang menggonggong, tapi lupa tadi menggonggong apa ya? Lebih mending anjing cuma guk guk guk, biasanya politikus lebih dari satu kata. Kata yang paling sering: reformis, bersih, jujur, profesional, nurani, adil, sejahtera, dan ribuan kata-kata lagi. Kata-kata itu membuat harga mulut akan rendah kalo nggak kejadian, nggak benar-benar diwujudkan, omdo alias omong doang. Makanya pas kampanye Presiden nanti, elo bawa tape recorder trus rekam seluruh janji-janji para capres. Kalo si Capres itu udah terpilih jadi Presiden, putar rekaman elo itu dan dengarkan. Apakah janjinya 100% sesuai dengan yang dikampanye? Atau 50% sesuai? 25% doang yang sesuai? Atau malah 100% nggak ada yang sesuai?

Kalo janji si Capres yang jadi Pres yang sesuai kampanye masih berada di kisaran 50% barangkali masih setengah anjing. Maksudnya, Kepalanya manusia, ekornya badan serta ekornya kayak anjing. Kalo 100% nggak sesuai, nah mari kita sebut si Presiden terpilih itu sebagai Presiden anjing! Eit, ada yang nanya: kenapa nggak Presiden Taksi aja? Gw yakin, orang yang nanya ini adalah orang yang nggak pernah naik taksi. Atau naik taksi, tapi taksinya pilih-pilih. Atau Blue Bird mania. Jawaban buat orang yang nanya tadi adalah: Presiden Taksi udah almarhum tahu?!

Kenapa sekarang ini Artis-Artis jadi Caleg? Ya, karena pengen mengekor anjing-anjing sebelumnya yang 50% masih berwujud manusia kepalanya. Kenapa nggak jadi harimau aja? Terlalu besar resikonya. Harimau tinggalnya cuma bisa di hutan, di Kebon Binatang, dan di Dufan, eh salah di Taman Safari. Kalo anjing, tinggalnya bisa dimana-mana. Mau di rumah tipe 21, tipe 45, di Pondok Indah, Pantai Indah Kapuk, Bekasi, Karawaci, Kalimantan, ini Medan bung!, dan daerah-daerah lain, anjing eksis. Ini maksudnya apa? Anjing dipelihara oleh manusia setengah anjing atau anjing fulltime. Beda kalo anjing liar atau anjing hutan. Tipe anjing ini memang susah diurus. Kepribadiannya terlalu wild.

Jangan kira Kiai atau Ustadz atau Pastur atau Pendeta atau agama lain apa namanya gw nggak tahu, nggak bisa menurunkan harga mulut mereka dan akhirnya mengekor politikus anjing tadi. Elo-elo semua pasti udah sering mendengarkan ceramah atau kotbah atau apalah namanya. Mereka-mereka yang sebetulnya suci bak kain atau kertas putih seringkali tercoreng oleh mulut mereka sendiri. Sudah banyak contoh kok!

“Kita itu hidup harus beriman kepada yang kuasa. Percaya kalo Tuhan itu ada,” ujar seorang Ustadz.

“Adanya dimana Ustadz?” tanya pengikut Ustadz yang paling goblog otaknya.

“Pokoknya ada deh! Nggak usah tanya begitulah. Malu sama tetangga,” papar Ustadz agak sewot menjawab. Padahal hati kecilnya juga bertanya-tanya Tuhan itu ada nggak sih?

Delapan bulan kemudian, Ustadz diberitakan memperkosa murid pengajiannya. Mending cuma satu, ini duabelas. Kebetulan Ustadz berwujud Pria, yang diperkosa semua berwujud Pria juga. Ini namanya Ustadz homo. Tadinya, si Ustadz mau mengikut Kiai-Kiai lain yang berpoligami. Tapi nggak mungkin, karena kalo Poligami sesama jenis belum ada namanya. Mau dinamakan Poliklinik udah ada yang punya, yakni Departemen Kesehatan. Akhirnya nggak jadi. Ustadz juga mau ikut-ikut memamerkan kekayaan berupa uang dan mobil BMW seperti Kiai jenggotan yang kaya raya itu, tapi sayang, Ustadz nggak punya kekayaan alias miskin semiskin-miskinnya orang. Nggak ada lagi yang bisa diperbuat selain memperkosa murid-muridnya.

Banyak sekali contoh-contoh mulut yang nggak dijaga. Mulut-mulut yang harganya menjadi rendah akibat ulah si pemilik mulut itu sendiri. Namun, nggak sedikit manusia yang mulutnya dijaga sehingga harga mulutnya jadi mahal. Siapakah mereka? Eng ing eng! Hmm...siapa ya? Kok gw jadi lupa? Begini deh, banyak kok aktivis-aktivis yang merelakan hidupnya buat kemaslahan umat manusia. Kalo elo baca para peraih Nobel, itu adalah orang-orang yang pandai menjaga mulut. Mereka melakukan bukan atas dasar jabatan atau uang, tapi atas dasar kemanusiaan. Mereka nggak perlu dibuatkan iklan sok-sok akrab dengan nelayan, akrab dengan petani, pernah melaut bersama nelayan, menangkap ikan, dll. Para penulis Nobel lebih action duluan selama bertahun-tahun ketimbang diekspos via iklan televisi atau radio yang ber-slot-slot itu.

Sering-seringlah baca di Kompas yang ada rubrik profil manusia-manusia yang nggak dikenal namun aktivitasnya luar biasa. Mayoritas dari mereka udah melakukan aktivitas itu bertahun-tahun. Konsisiten, bukan karena jabatan atau uang, tapi lebih kepada menolong hidup banyak orang. Ingat menolong orang banyak ini bukan aktivis LSM yang seringkali demonstasi daripada action, lho?! Beda! Aktivis LSM yang sering turun ke jalan biasanya jarang action, jarang memberikan solusi, yang ada seringkali menunggangi orang-orang miskin atau orang-orang tolol demi kepentingan diri sendiri. Percaya deh! Ada aktivis LSM yang katanya memperjuangkan tukang becak, naiknya mobil BMW. Nggak usah dibahas! Nah, yang ada di Kompas, itu manusia-manusia ikhlas. Murni melakukan aktivitas karena terdorong rasa ingin menolong, meluruskan sesuatu yang salah, membangun desanya agar makmur.

Pertanyaannya: kenapa bukan orang-orang yang ada di Kompas itu saja yang jadi Presiden atau Menteri atau Bupati?

Jawabannya: manusia yang disebut manusia biasanya lebih suka memilih anjing atau manusia setengah anjing daripada baca Kompas. Harga kompas sekarang ini soalnya mahal, Harga ecerannya Rp 3.500, harga langganannya Rp 78.000. Kalo Suara Pembaharuan? Harga ecerannya Rp 2.800, harga langganannya Rp 68.000. Ini sebenarnyamo langganan koran atau apa sih? Hehehe... maksdunya, manusia itu pengennya praktis. Bebet-bobot-bibit udah nggak ada gunanya lagi. Yang sebenarnya latar belakangnya preman, eh sok jadi patriot. Dia yang dulu sempat jadi komando membunuh mahasiswa, eh tiba-tiba punya hati nurani. Dia yang katanya pembela wong cilik kok malah nambahin outlet Pom Bensin bukan bikinin Pom minyak tanah atau gas elpiji yang harganya selangit itu. Dia yang tinggal lama-lama di negara Arab, eh sok mau membangun Indonesia raya. Dulu kemana aja, Tong?! Ngumpet?!

0 komentar: