Senin, 19 Januari 2009

THANKS GOD! AKU BANGGA PUNYA AYAH KORUPTOR


Kata orang hidup adalah pilihan. Awalnya aku tak percaya kata-kata itu. Sebelum akhirnya membuktikan kebenarannya. Kebenaran tentang hidup yang ternyata bukanlah sebuah pilihan. Kenapa? karena kita sudah dipilih atau terpilih menjadi seseorang. Seperti aku ini, yang terlahir sebagai anak seorang Koruptor.

Sejak kecil, aku diperlakukan seperti anak Raja. Semua yang aku butuhkan, selalu disediakan oleh Kacung-Kacung bergaji murah. Seratus ribu sebulan termasuk murah bukan? Mereka -kacung-kacung itu- selalu siap dengan perintahku. Ketika aku lapar, hidangan mewah selalu tersedia di meja bundar, yang terbuat dari kayu jati itu. Mulai dari ayam ala Kentucky sampai babi panggang. Ketika aku haus, minuman aneka rupa dan aneka rasa, berjajar di mini bar yang ada di ruang tengah.

”Yapto!” teriakku memanggil nama seorang Kepala Kacung.

”Dalem, Den,” sambut Yapto sambil berlari kecil ke arahku.

Begitu jarak kami tiga meter, Yapto langsung merendahkan badannya dan memberi hormat padaku. Setelah memberi hormat, ia merangkak, mendekat ke arahku. Apa yang dilakukan Yapto ini, memang sudah menjadi adat istiadat keluargaku sejak dahulu. Itulah cara Yapto dan Kacung-Kacungku yang lain dalam mengohormati kami. Persis seperti Abdi Dalem mengahadap paduka Raja.

Aku dan keluarga memang harus menjaga jarak dengan para Kacung. Mengertilah, strata kami berbeda. Kami juga diajari untuk selalu dilayani bukan melayani. Jadi jangan heran kalau istilah ”melayani” sangat langka dalam kehidupan kami. Melayani cukup dilakukan oleh Kacung. Tak ada istilah dalam lingkungan keluargaku.

Bukan cuma makan dan minum yang harus Kacung-Kacung itu layani. Ketika aku ingin pup, seorang Kacung dengan sigap menyiapkan tangannya untuk menceboki pantat kami yang ada bekas kotoran. Ketika kami ingin ML, Kacung kami juga ready to search wanita-wanita yang siap untuk kami ML-kan. Termasuk menyediakan kondom-kondom aneka rupa.

”Maybe I was a bit spoiled. I made it because the circumstance that my Father used to do”.

Kelihatannya keluarga kami memang aneh. Kelihatannya apa yang kami kerjakan menyalahi formalitas yang berlaku di masyarakat. Namun itulah kebiasaan kami. Kebiasaan yang sudah menjadi sebuah format kewajaran. Oh iya, bicara soal kewajaran, buat orangtua kami, apa yang dianggap tidak wajar oleh banyak orang, justru menjadi hal yang lumrah. Misalnya, menitip fee dari pemenang tender, memberi izin pengusaha-pengusaha yang menebang kayu tanpa lewat prosedur, menyelundupkan hewan-hewan yang dilindungi, dan masih banyak lagi.

Beberapa kali, aku sempat mendengar Ayahku berbicara dengan Adrian Kiki Ariawan. Kenal dong siapa pria ini? Dia buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang baru ditangkap oleh pemerintah Australia atas kerjasama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia adalah salah satu orang berdarah dingin yang membuat Pemerintah jadi kehilangan uang. Padahal uang itu bisa dipergunakan untuk banyak hal, termasuk menyekolahkan anak-anak putus sekolah, atau memberi makan keluarga-keluarga kelaparan.

Pembicaraan Ayahku dengan Adrian kencang sekali. Hampir seisi rumah mendengar. Padahal pembicaraan itu sangat sensitif yang sebenarnya aku tak perlu mendengarkannya. Yang sebenarnya sangat-sangat mengajarkan hal-hal negatif. Tapi Ayahku cuek. Memangnya bicara apa? Tentang sogok-menyogot, tipu-menipu, bahkan bunuh-membunuh. Namun, sekali lagi, hal seperti ini sudah lumrah, sudah wajar di keluarga kami.




Kalau Anda sempat datang ke rumahku, pasti akan takjub. Ada 25 kamar di rumah kami. Luas masing-masing kamar itu sebanding dengan rumah BTN tipe 45. Maklum, luas tanah rumah kami 10 ribu meter persegi. Di garasi kami, berjajar 50 mobil dengan berbagai tipe. Mobil yang paling murah, Honda CRV tahun produksi 2008. Mobil itu biasa digunakan supir kami untuk mengantar para Kacung kesana-kemari, entah belanja ke supermarket maupun ke tempat-tempat pelacuran untuk mencari wanita yang mau diajak kencan.

Mungkin pikir Anda, aku beruntung memiliki kehidupan yang luar biasa. Kehidupan yang semua manusia ingin mendapatkannya. Kehidupan yang selalu dibayangkan oleh banyak orang, dimana orang-orang ini terus mengejarnya dengan cara berkompetisi. Mungkin perasaan Anda, aku tak akan pernah merasakan kepedihan dalam mengarungi kehidupan sesungguhnya. Tak pernah ada tangis. Tak pernah ada kekecewaan. Semuanya happy. Boleh jadi benar!

"Awards have never been my goal, that if I don't get an award I will be sad and depressed. Money is important to me. without money, you are nothing".

Aku cukup beruntung. Ya, aku beruntung. Aku bersyukur dengan apa yang telah aku miliki, meski aku tahu harta ini didapat ini dari cara korupsi yang Ayahku selalu lakukan. Anda tak perlu tahu korupsi model apa yang sudah dilakukannya. Pokoknya sudah aneka cara. Dan aku tahu, Ayahku tidak akan pernah menyesal ataupun merasa bersalah, ketika apa orang yang mempertanyakan kehalalan semua harta benda tesebut.

”Ah tahu apa kalian tentang halal?” kata Ayahku suatu hari, ketika seorang Jurnalis bertanya soal asal usul pendapatannya.

”Halal itu relatif! Menurut Ulama haram, kalo menurut saya halal, Anda mau bilang apa?”

Jurnalis bingung.

”Kenapa yang mendapatkan cap halal haram selalu sesuatu yang nggak penting? Rokok, misalnya. Atau yang terakhir soal Yoga. Kenapa semua minuman keras tidak dicap haram di botolnya? Kenapa rumah-rumah prostitusi tidak ada bilboard bertuliskan haram? Masih banyak contoh lagi yang tidak bisa jabarkan satu per satu. Intinya halal haram itu relatif”.

Jurnalis mengangguk. Bukan karena mengerti, tapi makin bingung.

Aku memang cukup beruntung, tapi aku bosan. Aku bosan dengan kondisiku sekarang. Semua serba enak. Tak ada yang tak mungkin. Semua bisa dilakukuan oleh keluarga kami. Semuanya mudah aku dapatkan. Tinggal minta, pasti tersedia. Tinggal tunjuk, semua beres. Inilah yang membuatku merasa tak ada tantangan. Sebagai pria, aku memang butuh itu, butuh tantangan, agar eksistensiku bisa terekspos. Bahwa aku adalah survivor! Mampu berdiri dengan segala kekurangan. Bukankah aku masih menjadi lelaki jantan?

”Ayah, mulai besok saya akan kabur dari rumah ini,” ucapku pada Ayah.

Aku bingung, Ayahku tak shock. Dia tak memperlihatkan kekegetan dengan ucapanku itu. Responnya dingin-dingin saja. Kok bisa? Ketidakheranan Ayahku membuatku malah semakin menggebu untuk kabur dari rumahku.

”Kapan kamu mau keluar dari rumah ini?”

”Mulai besok Ayah,” jawabku masih dalam kondisi bingung dengan sikap Ayahku yang biasa saja tanggapannya.

”Kenapa nggak sekarang saja?”

Pernyataanya Ayahku makin membuatku terpojok. Membuat aku marah. Sebab, aku merasa kaburnya aku seperti sudah dinanti-nantikan Ayahku. Kenapa begitu? Aku merasa tak dianggap. Aku jadi berpikir macam-macam. Jangan-jangan aku bukan anak kandungnya? Jangan-jangan kasih sayang Ayahku selama ini cuma basa-basi?

”Baik Ayah! Mulai hari ini saya keluar dari rumah ini!”

Aku kabur tanpa cium tangan. Tanpa cipika-cipiki. Itu karena aku merasa direndahkan oleh Ayahku. Karena aku merasa tak dianggap oleh Ayahku. Aku sakit hati. Kata Meggy Z, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Padahal yang namanya sakit, ya tetap aja sakit. Anyway, aku harus kuat. Harus tegar. Bukankah ini termasuk bagian dari ujian pertama sebagai manusia normal yang aku lakukan di luar rumah? Ujian pertama dari anak Koruptor yang selama ini hidup di comfort zone?

Begitu keluar rumah, aku tak lagi dihormati sebagaimana sebelumnya aku dapatkan. Kebetulan selama ini aku memang tak dikenal sebagai anak Koruptor. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka saling tak bertegur sapa, even memberikan senyum pada orang lain. Tak heran, begitu dompet dan handphoneku diambil Pencopet, tak ada satu orang pun yang membantuku. Padahal aku berlari mengejar Pencopet itu. Padahal aku berteriak-teriak kencang sampai nafasku Senin-Kamis. Namun, harapanku pada orang-orang sekitar untuk menangkap si Pencopet, terlalu besar. Mereka acuh dengan aku.

"Everything is complicated in this country, with the officials and what they do".

Aku masih bingung dengan tujuanku. Kemana aku pergi, dengan siapa aku hidup, untuk apa aku berada di dunia luar. Ketika tak punya uang lagi, aku juga bingung dimana aku akan tinggal. Padahal saat masih tinggal dengan Ayahku, di dalam dompetku minimal aku menyimpan uang cash 2 juta. Tentu uangnya bukan cuma rupiah. Malah sebagian besar lembaran dolar. Sisanya di dompet, ada puluhan kartu kredit yang siap digesep tanpa limit. Namun sekarang dompet itu telah dicopet. Kini aku tak punya uang sepersen pun. Nothing!

Padahal tadinya, dengan uang yang ada di dompet, aku hendak mengontrak rumah. Tak peduli rumah kontrakannya kecil, yang penting aku bisa cukup tidur. Yang panting aku juga cukup punya tempat berteduh dari hujan maupun panas. Padahal tadinya, aku hitung-hitung, uang di dompetku bisa mencukupi hidupku selama sebulan. Dengan sebulan, aku berharap bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji. Namun sekarang, dompet itu telah dicopet. Kini aku tak punya uang sepersen pun. Harapanku untuk mengontrak rumah pupus sudah.

”What am I supposed to do?”

Aku tak ingin minta bantuan saudara-saudaraku, kerabat-kerabat ayahku, termasuk minta bantuan teman-temanku. Kini aku terpaksa ikut menjadi pengamen. Modalku cuma telapak tanganku yang nantinya akan aku tepuk-tepukkan dan juga modal nekad. Aku harus buktikan pada Ayahku, kalau aku bisa survive. Kalau aku bukan pria cengeng. Kalau aku bukan pria yang bisanya cuma bergantung pada orang lain.

“I will make any mark in history!”

Hujan mengguyur seluruh jalan. Kondisi itu membuatku tak bisa ngamen. Aku berlari bersama beberapa pengamen dan pengemis untuk mencari tempat berteduh. Kami berteduh di atas jalan layang. Selain kami, ada beberapa sepeda motor yang juga meneduh di situ. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melewati kami. Bannya menginjak lubang. Airnya menciprat wajah dan bajuku yang sedang melamunkan nasib. Sial!

Badanku mulai kedinginan. Pada saat tadi aku berlari, air hujan memang sudah mengguyurku. Rambutku sempat basah. Bajuku juga basah. Cipratan air tadi pun memperparah basah di sekujur bajuku.

Aku belum pernah merasakan keadaan yang menyedihkan ini. Berada di bawah kolong jembatan, kehujanan, dan tanpa uang sepersen pun. Kini hembusan angin menusuk-nusuk dinding tubuhku. Dingin sekali. Rasa dingin kini membuat perutku keroncongan. Aku lapar!

Padahal ini belum setahun. Padahal ini belum sebulan, belum seminggu, bahkan belum dua hari. Kenapa kok aku mulai lemah? Kenapa kok aku mulai mempertanyaakan kekuatanku menghadapi ujian-ujian ini? Padahal banyak orang yang sudah terbiasa dengan kondisi ini. Lihatlah Pengemis-Pengemis di jalanan yang tak peduli panas, hujan terus mengetuk-ngetuk kaca mobil. Tengoklah Pengamen-Pengamen cilik yang tanpa lelah bernyanyi dari mobil ke mobil, meski tak setiap mobil memberikan uang recehan. Tapi kenapa aku kalah?

”It is tough for me, because the circumstance want me to survive alone. I know I’m young that never do this way. Find money and the way to live”.

Ternyata aku bukan seorang suvivor. Ternyata aku pria yang mudah putus asa. Ternyata aku pria yang lebih suka dihormati atau dilayani layaknya Raja. Ternyata jauh lebih enak menjadi orang kaya dan hidup serba ada, seperti kehidupanku sebelumnya. Dalam kondisi depresi seperti ini, aku kangen Ayahku. Aku juga kangen dengan Kacung-Kacungku. Kalau saja ada handphone, akan aku hubungi Ayahku sekarang. Aku akan minta maaf dan mengatakan sesuatu padanya.

”Ayah, aku bangga punya orangtua seperti Ayah. So, I'm glad you are my Father. I will always support what you do that, till dead do us part”.

0 komentar: