Minggu, 11 Januari 2009

MENJENGUK LELUHUR DI KALA LIBUR

Aku adalah monyet. Biar manusia nggak percaya teori Darwin yang mengatakan manusia dulunya monyet, aku tetap ngotot kalo aku adalah monyet. Aku memang berasal dari cucu Adam. Namun aku tetaplah monyet. Tapi monyet yang ganteng.

Sekali monyet, tetap monyet. Begitulah keputusanku sebagai manusia yang mengaku dengan jujur sebagai monyet. Aku bertekad bulat sebagai monyet. Manusia yang nggak percaya kalo dirinya monyet, tetap aku sebut dia monyet. Monyet berwujud manusia.

Wahai para monyet, mari kita tinggalkan hal sepele soal status tadi. Aku mau bercerita menggembirakan mengenai liburanku. Buatku, liburan Natal ini sangat istimewa. Kenapa? Karena aku menjengguk leluhurku, Eyang Kakung Monyet dan Eyang Putri Monyet.

Pukul 7 pagi, aku bersama keluargaku sudah siap-siap berangkat. Tetangga-tetanggaku bertanya, mau kemana pagi-pagi? Aku bilang mau menjengguk leluhur. Mereka tanya lagi, leluhur yang mana? Aku jelaskan, leluhur yang kumaksud adalah Eyang Kakung Monyet dan Eyang Putri Monyet. Mereka tertawa. Aku cemberut. Aku bilang kenapa mereka tertawa? Mereka tetap tertawa. Aku jelaskan, aku dan mereka adalah satu keluarga. Aku Monyet, mereka juga Monyet.

“Jadi kita semua Monyet,” kataku.

Tetangga-tetangguku cemberut. Semula menertawaiku sekarang cemberut.

“Bagaimana kalo kita sama-sama menjengguk leluhur kita,” ajakku dengan senyuman termanis mengalahkan Monalisa.

Senyumanku dibalas dengan cemberutan. Tetangga-tetanggaku meninggalkanku dengan wajah cemberut. Aku meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan.

“Sampai ketemu ya Tetangga-Tetangga Monyet,”

Naik mobil menuju leluhur harus melewati jalan tol. Kalo dari rumahku yang di Campaka Putih, harus lewat tol TB Simatupang. Bayarnya tujuhribu perak. Bentuk pembayarannya pake uang. Limapuluhribuan. Saat ini, Petugas jalan tol belum mau diberi pisang sebagaimana layaknya Monyet. Ini gara-gara mereka (para Petugas Tol) belum berani mengakui diri sebagai Monyet. Owner jalan tol juga belum mengakui sebagai Monyet. Coba kalo sudah mengaku, pasti mereka mau dibayar pakai pisang atau kacang.

Sebelum masuk jalan tol, aku sempat berpapasan dengan iring-iringan motor. Nggak cuma motor bebek, ada juga manusia yang pakai motor soang, angsa, dan Harley Davidson. Sepertinya ada yang meninggal. Kadang manusia memang suka aneh. Dengan alasan orang meninggal, sering nggak sopan sama pak Polisi. Lampu merah dihajar. Dengan begitu kemacetan pun dimana-mana. Begitu ada mobil mencoba menerobos, karena memang lampu hijau, eh diomelin sama manusia yang membawa bendera kuning. Iya, sih di adat manusia dibilang kita kudu menghormati orang yang meninggal. Tapi caranya nggak begitu kan? Harusnya contoh Monyet.

Di jalan tol, aku melihat Monyet-Monyet di balik kemudi mobil. Ada Monyet yang pakai kacamata hitam, ganteng, tapi giginya ompong. Ini aku lihat ketika Monyet ganteng itu tertawa lebar-lebar. Nggak tahu apa yang ditertawakan. Apakah menertawakan nasib Monyet-Monyet miskin yang nggak bisa naik mobil seperti dia yang pagi itu naik X-Trail warna silver? Entahlah.

Jalan tol sebenarnya kosong. Maklumlah hari masih pagi. Matahari juga masih malu-malu muncul. Tapi anehnya, ada Monyet yang juga lagi bawa kendaraan, meluncur di bahu jalan. Aneh! Yang aku tahu, bahu jalan hanya cuma darurat. Buat mobil-mobil yang mengalami masalah, atau mobil kehabisan bensin, mobil yang ditinggal penumpang, mobil yang rencananya mo dijual tapi dipromosikannya di atas tol, atau mobil yang belum bayar cicilan lantas dibawa kabur sama Monyet yang nggak bisa bayar cicilan. Ah, biarlah mobil itu melaju di bahu jalan. Biar sepi, biar rame, kalo memang udah jadi kebiasaan ngebut di bahu jalan, ya begitulah. Namanya juga Monyet.

Anakku nyanyi. Lagu Peter Pan. Judulnya “Ada Apa Denganmu?”. Lagunya enak. Sambil mengendarai mobil, aku ikut-ikutan nyanyi. Meski suara fals, tapi cuek. Namanya juga Monyet. Kalo Monyet bisa nyanyi, kasihan si Ariel dong? Dia kan belum mengakui diri sebagai Monyet. Mungkin nggak akan pernah mau. Kalo mau, nggak mungkin Luna Maya mau sama Ariel. Kecuali Luna Maya mau jadi Monyet, Ariel pastilah mau juga mengaku Monyet. Tapi nggak mungkin ah, Luna Maya mengaku Monyet. Nanti Monyet yang menggantikan Luna di iklan XL merasa tersaingi dong? Kalo bener-benar terjadi (Luna jadi Monyet), tampang Luna jadi muncul lagi dong? Bosen ah!

Sudah maafkan aku, segala salahku
Dan bila kau tetap bisu
Ungkapkan salahmu
Dan aku sifatku, dan aku khilafku
Dan aku cintaku, dan aku rinduku

Sedah lupakan semua
Segala berubah
Dan kita terlupakan, kita terluka
Dan aku sifatku, dan aku khilafku
Dan aku cintaku, dan aku rinduku

Kutanya malam,
dapatkah kau lihatnya perbedaan
Yang tak terungkapkan
Tapi mengapa kau tak berubah
Ada apa denganmu

Oh...
hanya malam dapat meleburkan
Segala rasa yang tak terungkapakan
Tapi mengapa kau tak berubah
Ada apa denganmu


Lagu Peter Pan “Ada Apa Denganmu?” itu sebenarnya memang untuk para manusia yang nggak mau mengakui dirinya Monyet. Pelajari liriknya yang ada kata “khilafku”, “mengapa tak berubah”, dan tentunya kata “ada apa denganmu”. Itu jelas-jelas ingin mengajak para manusia untuk mengaku diri sebagai Monyet. Monyet yang sok reformis, sok membela wong cilik, sok punya hati nurani, sok jadi pemimpin padahal ngasih contoh aja nggak becus, sok berteriak maling padahal dirinya maling, dan masih banyak lagi. Itu seharusnya bukan sifat manusia. Itu sifat Monyet.

Ariel dengan cemerlang mencoba mengajak manusia untuk sadar dari kekhilafannya tidak mengaku sebagai Monyet. Lirik pamungkasnya: “ada apa denganmu”, merupakan pertanyaan besar yang diajukan kepada manusia. Intinya, ya sudahlah kalo memang Monyet, kenapa musti malu sih?

Mobilku udah sampe ke gerbang. Luas tanah leluhurku memang gede banget. Kira-kira luasnya 4 kali Stadion Utama Senayan Jakarta. Di seluruh tanah leluhurku ini, kebetulan masih tumbuh pepohonan yang sangat rindang. Ada pohon jati, pohon bambu, pohon akasia, maupun pohon rambutan.

Aku bangga leluhurku bisa merawat dan menjaga tanahnya sehingga masih banyak tumbuh pohon. Ini berbeda dengan keadaan di tempat lain, dimana manusia-manusia yang nggak mengaku dirinya Monyet dengan seenaknya menebangi pohon. Katanya demi keluarga. Kok demi keluarga? Iya, kan hasil tebangan pohon itu bisa dijadikan uang. Dengan jadi uang, maka uang itu akan disetor ke istrinya. Kalo nggak buat makan, ya buat manusia-manusia itu sekolah.

Itu tadi kalo manusia yang nggak mengaku Monyet yang punya profesi Pengusaha. Kalo Pejabatnya ya demi keluarga juga. Uangnya disetor ke Atasan si manusia itu, terus disetor lagi ke Atasannya lagi, terus disetor lagi, lagi, dan lagi. Aktivitas setor menyetor ini ujung-ujungnya bisa sampai Menteri. Makanya jangan heran kalo ada Menteri yang kena uang setor soal tebang-menebang pohon.

Coba kalo manusia-manusia penebang pohon itu mengaku sebagai Monyet. Pasti nggak akan terjadi setor-menyetor dengan uang. Setor-menyetor dilakukan dengan pisang atau kacang. Dan ini lebih aman. Mo pisangnya satu ton, nggak mungkin dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kok. Kalo tetap dipanggil, ya kita ajak aja makan pisang sama-sama. Kalo nggak mau pisang mentah, ya kita bikinin pisang goreng lah. Mantap kan?

Akhirnya aku berjumpa dengan Enyang Kakung dan Eyang Putri Monyet. Mereka tampak segar. Wajahnya pun berseri-seri. Ketika aku tanya kenapa? Mereka bilang, nggak akan lama lagi manusia akan mengakui diri sebagai Monyet. Aku kaget.

“Why?” kalo bahasa Jermannya: “Warum?”

“Karena manusia sekarang lagi menuju ke lingkungan alami. Makanya banyak perusahaan yang kampanye Go Green,” jelas Eyang Kakung Monyet yang dulu sempat main band bareng Nuno dari Exteem.

“Sekarang ini semua perusahaan mengklaim sebagai perusahaan yang green,” lanjut Eyang Kakung. “Nggak heran kalo ada terminolgi green banking, green goverment, green company, dan green-green lain”.

“Kalo green employee ada nggak?” tanyaku.

Eyang Kakung Monyet bilang, dengan kampanye green yang dilakukan manusia, otomatis employee akan green. Dengan green, manusia akan kembali ke alam. Kembali ke alam, it means jadi Monyet. Kalo jadi Monyet, ya pastilah akan bangga mengaku diri sebagai Monyet. Sebelum itu terjadi, gw malah ngebayangin, employe-employe yang green itu muka dan bodynya mirip Hulk. Semuanya warna hijau lumut. Lucu juga kalo itu terjadi ya. Menjadi Hulk sebelum jadi Monyet.

Enyang Putri Monyet lantas gantian bercerita. Kali ini ceritanya lebih ke soal attituted manusia yang sebenarnya udah mirip dengan Monyet. Kata Eyang, gonta-ganti pasangan, seks bebas, pakai baju kelihatan udelnya, pantat diperlihatkan via hotpants, itu juga dilakukan sama seperti Monyet lakukan. Bedanya mungkin kalo ML, Monyet nggak pake kondom. Tapi gonta-ganti pasangan tetep. Bedanya lagi, pantat Monyet warnanya merah, pantat manusia cokelat. Ada sih manusia yang pantatnya burik-burik, tapi pasti manusia itu nggak berani pake hotpants.

Yang menarik dari ulasan Eyang Putri, ada perbedaan mendasar manusia dengan Monyet. Di dunia Monyet, nggak ada yang namanya Bencong Monyet. Nggak ada yang namanya bunuh-bunuhan, apalagi pake mutilasi segala. Nggak ada yang namanya monopoli tayangan Liga Inggris. Nggak ada yang namanya Hak Azasi Manusia tapi Hak Azasi Monyet. Nggak ada yang namanya perang antarsuku, atau antaragama. Nggak ada yang namanya tawuran. Buat apa sekolah kalo ujung-ujungnya jadi jago berkelahi? Buat apa kuliah kalo begitu masuk jadi ahli anarkis yang faham bagaimana menjatuhkan pagar? Itulah beda manusia dengan Monyet.

Uraian Eyang Putri Monyet ada benarnya. Ketika aku dan keluarga pamit, di sekeliling banyak manusia-manusia pacaran. Di bawah pohon-pohon rindang dan beralas kain terpal sewaan, mereka asyik pacaran. Monyetkan memang begitu. Sama persis. Saling bermesraan di bawah pohon. Kadang di atas pohon juga. Cara bercengkramanya, bisa sambil cari kutu atau berguling-gulingan di tanah.

“Woi! Ngapain loe lihat-lihat!” tiba-tiba seorang manusia yang tadi sedang asyik pacaran, marah padaku.

“Emang nggak boleh lihat-lihat?” tanyaku agak tolol. Ketololan seekor Monyet.

“Dasar loe Monyet!”

“Lah, situ emangnya bukan Monyet?!”

“Monyet loe!”

Sambil berteriak Monyet, manusia mengejar-ngejarku. Kami kejar-kejaran mengelilingi sebuah pohon besar. Keluargaku melihat adegan kejar-kejaran itu dengan ceria. Ternyata bukan keluargaku, Monyet-Monyet yang ada di situ juga ikut memberikan semangat. Eyang Kakung dan Eyang Putri nggak ketinggalan.

“Uuu-Aaa! Uuu-Aaa! Uuu-Aaa!” ucap semua Monyet. Yang artinya: Dasar Manusia!

0 komentar: