Rabu, 21 Januari 2009

MANUSIA DI KANDANG MONYET

Monyet-monyet di Kebon Binatang (Bonbin) udah bosan. Udah lama banget mereka dikurung dan dikasih makan. Yang semua itu dilakukan di dalam kandang. Mereka nggak diberi waktu buat jalan-jalan ke luar buat sekedar menikmati udara segar di sekitar Bonbin, atau melihat pohon-pohon yang rindang di sekitar situ. Padahal mereka butuh itu. Butuh kebebasan.

“Aku kangen banget manjat-manjat pohon deh,” ucap Monyet A.

“Lho, bukannya di kandang ada batang-batang pohon?” Itu kata Monyet B yang hidungnya pesek.

“Beda, Bo! Di kandang cuma batang, nggak ada daun-daun sebagaimana kita biasa lakukan aktivitas panjat-memanjat di hutan..”

“Iya juga sih...”



Wajah mereka sedih. Sedih banget. Hampir saja air mata mereka berdua menetes. Kalo saja ada Pengarang lagu cengeng, si dua Monyet itu akan curhat. Curhatan itu pasti akan dijadikan lagu oleh si Pengarang itu. Judulnya barangkali “Monyet Sedih” atau “Curhatan Monyet” atau “Kesedihan Monyet” atau “Gelas-Gelas Kaca” (judul ini kayaknya nggak nyambung ya?). Namun, Pengarang lagu nggak mungkin ke kandang Monyet. Sebaliknya, Monyet nggak mungkin meng-hire Pengarang lagu, apalagi sekelas Dewiq atau Melly Goeslow yang harga satu lagu mahal banget.

“Saatnya kita protes!” kata Monyet A.

“Protes apaan?” tanya Monyet B.

Kata Monyet A, Manusia kudu merasakan penderitaan Monyet agar Manusia mengerti Monyet juga mahkluk yang punya keinginan. Punya impian. Punya cita-cita. Punya masa depan. Sudah saatnya Manusia memiliki pengalaman dan merasakan suka maupun duka selama berada di kandang. Nggak perlu lama-lama sebagaimana Monyet A dan Monyet B udah alami. Ya, paling-paling 2 tahun lah.




“Jadi apa idemu?” tanya Monyet B yang mulutnya sibuk ngunyah kacang goreng pemberian seorang Ibu yang pakai jilbab tapi bawa anak ABG-nya yang pake hotpants dan kaos ketat.

“Kita bilang ke Penjaga Kandang buat mencari manusia yang akan bertukar peran,” jelas Monyet A dengan penuh berapi-api.

“Maksudnya?”

“Kita akan bertukar peran. Kita jadi Manusia, sedangkan Manusia jadi Monyet. Manusia ini akan tinggal selama dua tahun di kandang,” ungkap Monyet A.
Monyet B mengangguk-angguk.

Proses audisi mencari Manusia yang berniat menjadi Monyet ternyata nggak semudah membalik telapak tangan. Memang banyak sekali Manusia-Manusia yang mengikuti audisi. Jumlahnya lebih gokil daripada Manusia-Manusia yang ikut “Indonesia Idol” atau “Kontes Dangdut” atau kontes-kontes pencarian bakat lain.

“Ternyata Manusia yang hendak menjadi Monyet banyak juga ya?” Itu kata Monyet B yang terheran-heran.

“Yaiyalah. Manusia itu juga kan sebenarnya masih saudara dengan kita. Apa yang kita lakukan, pasti mereka nanti-nantikan. Ya, seperti event pencarian Manusia yang mau berganti peran ini,” papar Monyet A yang memang lebih pandai cara berpikirnya.

Kebetulan yang menjadi juri audisi adalah Gorila, Simpanse, dan Orang Utan. Mereka bertiga ini bisa dianalogikan kayak juri “American Idol”, yakni Randy Jackson, Paula Abdul, dan Simon. Kenapa bukan Manusia yang jadi jurinya? Karena kalo Manusia, maka nggak fair. Manusia belum merasakan hidup di kandang, sementara Gorila, Simpanse, dan Orang Utan udah punya pengalaman.

Akhirnya dari jutaan Manusia yang mengikuti audisi, terpilih dua Manusia. Mereka dari kalangan Politisi dan Pengusaha. Terpilihnya mereka sebenarnya sangat sederhana. Dua Manusia ini merasa hidup di kandang sangat mudah. Nggak ada tantangan. Usaha kecil, dapatnya gede. Makan gaji buta aja.





“Kalo cuma hidup di kandang, nggak usah 2 tahun, 10 tahun saya juga berani!” Itu kata Pengusaha dengan penuh kesombongan.

“Saya sih 2 tahun aja. Soalnya kalo lebih dari itu, saya takut ketinggalan momentum jadi Caleg,” ungkap Politisi yang udah malang-melintang di dunia politik. Saking malang-melintang, tidurnya seringkali malang-melintang. Posisi rumahnya juga menyusahkan tetangga-tetangganya gara-gara malang-melintang, nggak jelas arahnya.

Keesokan hari yang cerah ceria, Politisi dan Pengusaha akhirnya masuk juga ke kandang Monyet. Sebelum masuk, ada prosesi yang memakan biaya Rp 4,8 trilyun sama kayak harga mobil Cadillac Presidential Limousine milik Presiden anyar Amrik ke-44, Barack Obama. Kok mubazir amat sih? Bukankah uang segitu bisa dipergunakan buat memberi makan anak-anak kelaparan di tanah air? Atau mengongkosi anak-anak putus sekolah? Ya seharusnya begitu. Tapi kejadiannya kan nggak begitu? Ah, dikau kayak nggak pernah tahu aja. Bukankah di tanah air ini banyak kemubaziran yang seringkali terjadi? Anyway, Politisi dan Pengusaha masuk kandang.

“Doakan aku agar bisa survive di sini ya? Doamu, harapanku,” kata Politisi pada keluarganya yang hadir dalam rangka melepas Manusia ke kandang Monyet.

“Jaga dirimu baik-baik ya Ma,” kata Pengusaha pada istrinya.
“Nanti uang shopping gimana Pap? Kamu tetap transfer kan tiap bulan?” kata istrinya.

“Mama gimana? Di kandang sini mana ada ATM? Mama boten-boten aja. Kalo perlu duit, ambil aja di kulkas...”

“Lho, memang Papa simpen duit di kulkas?” wajah istri Pengusaha berbinar-binar begitu diberitahu lokasi duit, meski belum tentu benar.

“Nggak ada. Mama boten-boten aja. Mana bisa duit disempan dikulkas?”

Istri Pengusaha kecewa. Wajahnya cemberut.

“Jadi gimana dong Pap? Bentar lagi ada event spektakuler shooping of the week. Mama perlu belanja...”

“Yasudah tanya si Inah...”

“Inah? Inah Pembantu kita?”

“Iya. Memang Inah pernah jadi Presiden?”

“Kok sama Inah? Papa ada main ya sama Inah?”

“Ada main apa? Inah itu kan istri Papa kedua Ma!”

Scene dramatis itu akhirya berakhir happy ending. Memang bermula dari kekecewaan sang istri pada Pengusaha, karena menikah dengan Pembantu nggak bilang-bilang. Nggak pake izin. Bukankah suami yang mau berpoligami kudu minta izin istri? Yang pasti, sang istri nggak melakukan aksi KDRT alias Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap sang suami, misalnya dengan menampar wajah. Si Istri akhirnya setuju suaminya kawin lagi, tapi dengan aneka kompensasi tentunya. Kompensasi duit shopping di-up grade, jumlah mobil ditambah, jumlah perhiasan ditambah, dan jalan-jalan ke luar negeri lebih diaktifkan lagi.

Matahari berganti bulan. Artinya, malam menjelang. Maksudnya, keluarga Pengusaha dan Politisi udah nggak mungkin lagi berada di area Bonbin. Kebetulan mereka memang udah pada pulang dari tadi. Kira-kira jam 3.30 sore tadi. Ba’da Ashar gitu deh.

Bonbin yang ramai berubah menjadi sepi. Hiruk-pikuk suara Manusia yang sejak pagi dan sore mengalahkan suara para Binatang, nggak terdengar lagi. Kini giliran Binatang-Binatang itu bersuara. Suara-suara Binatang itu kayak paduan suara yang kurang latihan. Maklumlah, nggak ada Conductor-nya yang me-manage suara-suara Binatang. Coba kalo ada, boleh jadi Paduan Suara Trisakti kalah.

“Uu...aa...uu...aa...uu...aa!” Itu suara temennya Monyet.

“Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.....” Itu suara sebangsa Macan. Boleh juga suara Harimau. Suara Singa juga masih cocok dengan suara itu.

“Cit...cit....cit....” Itu suara Burung. Nggak tahu Burung apa. Suara Tikus juga masih make sense sih. Tapi Tikus kan nggak dikandangin? Sementara suara itu datang dari kandang. Jadi pasti suara Burung. Lebih baik elo percaya dulu deh kalo suara “cit-cit” itu suara burung, okay?

Bonbin juga berubah jadi spooky alias menyeramkan. Dari langit yang terang benderang, menjadi langit yang gelap gulita. Lampu di Bonbin cuma dikit. Bisa dihitung pakai jari. Ada lampu yang dipasang di tiang lampu, nggak menyala. Kalo nggak pecah, bohlamnya dicuri Manusia. Ya, begitulah Manusia. Hobinya mencuri yang bukan hak miliknya. Lho, bukannya mencuri itu memang artinya mengambil sesuatu yang bukan haknya ya?

Pohon-pohon yang gede-gede di sekelilng Bonbin makin memperkeruh suasana dari alami di siang hari jadi serami, maksudnya seram. Apalagi ketika angin berhembus kencang, gesekan antarpohon menimbulkan bunyi-bunyi yang menyeramkan. Percampuran antara suara-suara Binatang dan suasana gelap, suara-suara gesekan pohon dan daun, membuat Pengusaha dan Politisi nampak ketakutan.

“Kita udah berapa lama sih si sini?” tanya Politisi dengan badan gemetar.

“Bukannya baru hari ini ya?” jawab Pengusaha yang badannya ikut gemetar. Selimut yang disediakan Panitia, ternyata nggak berfungsi menutup dinginnya suasana. Sebenarnya bukan dingin, lebih tepatnya panas dingin karena ketakutan.

“Kok kayak udah lima tahun ya?”

“Iya ya?”

Hari udah pagi lagi. Politisi dan Pengusaha marah-marah. Gara-garanya, mereka dibangunkan secara paksa oleh Petugas Bonbin dengan cara menyiramkan air ke wajah mereka. Byur!

“Ini cara kami membangunkan Monyet kalo Monyetnya malas bangun,” jelas Petugas Bonbin.

“Emang nggak ada cara yang lebih manusiawi?” tanya Politisi.

“Ini lebih manusiawi daripada membongkar paksa rumah-rumah kumuh, pasar-pasar tradisional tanpa direlokasi, atau cafe-cafe,” jelas Petugas Bonbin. “Ini lebih manusiawi daripada mencuri uang rakyat dan akhirnya membuat rakyat jadi sengsara. Ini juga lebih manusiawi daripada memberi hadiah lumpur sehingga membuat warga kampung jadi terendam dan nggak punya rumah lagi...”

“Tapi harusnya ada solusi yang lebih manusiawi dong!” kata Pengusaha. “Masa kami manusia diperlakukan sama seperti Monyet?”

“Please deh ah! Kalian berdua sekarang ini statusnya udah jadi Monyet.”

Baik Politisi dan Pengusaha nggak bisa berkata-kata lagi. Segala alasan nggak bisa lagi diterima oleh Petugas Bonbin. Manusia yang udah jadi Monyet itu nggak boleh berkomentar sebagaimana Monyet sebelumnya. Mereka diminta berprilaku seperti Monyet. Bukankah mereka udah komit tinggal di kandang dan bertukar peran menjadi Monyet?

Di real life, baik Politisi maupun Pengusaha boleh cuap-cuap. Kalo Politisi cuap-cuap soal janji-janji buat wong cilik, kemakmuran, reformasi, atau perubahan, sedang Pengusaha cuap-cuap soal bisnis, saham, dolar, pembebasan tanah, atau kongkalikong dengan Birokrat. Itu semua memang keahlian mereka. Namun, itu semua nggak bisa mereka wujudkan ketika mereka menjadi Monyet.

Mereka dibiarkan berpanas-panasan. Makan mereka bukan fast food atau chinise food, tapi cukup kacang atau pisang. Itu pun dijatahin. Kalo waktunya makan, Petugas Bonbin baru memberikan makanan. Kalo nggak, ya nggak dikasih. Mau lapar kek, mau haus kek, nggak peduli.

“Beda banget ya kalo kita di luar sana,” kata Pengusaha kayak sedang curhat dengan Politisi. “Kalo lapar, kita bisa pergi ke TIS atau di Kemang Food Festival. Kalo kita haus, kita bisa nongkrong di X-Plaza atau Plaza Semanggi. Kalo pengen kopi, cukup pergi ke Coffee Bean atau Bengawan Solo...”

“Nggak ke Starbuck?” tanya Politisi.

“Nggak. Katanya yang punya orang Yahudi. Males banget nyumbang uang buat orang Yahudi...”

“Tumben mikirin sampe segitunya...”

Pengusaha tertawa. Doi juga nggak ngerti kenapa jiwanya masih ada sisa jiwa sosialnya. Yang masih ingat masalah Yahudi. Padahal biasanya, doi nggak peduli. Dimana pun tempatnya, yang penting bisa menyeruput kopi.

Ketika beberapa Pengunjung Bonbin datang, Pengusaha dan Politisi mendapat tambahan jumlah kacang. Sementara kacang dari Petugas Bonbin nggak dikasih, lemparan-lemparan kacang dari Pengunjung bisa mengobati kekecewaan perut mereka yang lapar. Awalnya mereka sempat mempertanyaan para Pengunjung, kenapa nggak ada yang melemparkan uang.

“Kalian itu Monyet! Mana ada Monyet dikasih duit? Belum pernah terjadi dan nggak akan pernah terjadi,” begitu kata Pengunjung Bonbin.

Lemparan pisang maupun kacang seringkali mengenai wajah mereka. Nggak heran wajah mereka sempat lecet-lecet. Mereka benar-benar tersiksa. Mempertanyakan kembali soal kemanusiaan. Meskipun sedang bertukar hidup menjadi Monyet, seharusnya Pengunjung Bonbin mengerti kalo mereka tetaplah Manusia. Seharusnya Pengunjung-Pengunjung itu bisa membedakan mana Monyet mana Manusia. Seharusnya Pengunjung-Pengunjung itu faham, yang namanya Manusia kudu dihormati hak-haknya, sedangkan Monyet nggak perlu, karena Monyet adalah Binatang.

“Aku sudah nggak tahan lagi dengan sikap Manusia memperlakukan kita Pak?” kata Pengusaha.

“Kok jalan pikiranmu sama dengan saya,” kata Politisi. “Saya juga nggak tahan. Ternyata hidup di kandang Monyet nggak semudah pikiran kita ya?”

“Iya,”

“Saya kira hidup di kandang cukup makan tidur-makan tidur aja...”

“Iya,”

“Ternyata hidup di kandang nggak punya kebebasan. Kebebasan buat melakukan apa saja, termasuk kebebasan berbicara. Nggak punya nilai-nilai prikemanusiaan. Semua orang memperlakukan kita seperti Monyet. Lebih tepatnya menganggap kita Binatang.”

“Jadi lebih baik kita menyerah saja, Pak?”

“Kayaknya mending begitu ya?”

Baik Pengusaha dan Politisi benar-benar menyerah. Mereka mengakui, ternyata susah juga jadi Monyet. Susah juga hidup di kandang. Memang nggak ada tantangan, tapi tetap saja susah. Baik Monyet maupun Manusia punya kebutuhan sendiri-sendiri. Mereka lebih suka kebebasan. Soalnya, dengan kebebasan, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka suka.

Kekalahan mereka sebagai Manusia yang mencoba hidup di kandang Monyet, diungkapkan ke Petugas Bonbin. Mereka curhat sampai berjam-jam, sampai para Pengunjung Bonbin pulang. Ending curhat, Petugas Bonbin akhirnya merestui Politisi dan Pengusaha keluar dari kandang, asal sikap mereka direformasi. Maksudnya, tindak tanduk yang biasa mereka lakukan di luar kandang, jangan sampai terulang lagi. Baik Pengusaha maupun Politisi mengangguk. Nggak tahu, anggukan mereka tulus atau basa-basi. Tahu lah, yang namanya Pengusaha dan Politisi selalu berubah-ubah visinya. Katanya itu disebut dinamis, padahal perubahan mereka bisa bikin miris.

“Makanya, jangan pernah bilang Monyet pada Manusia,” kata salah seekor Monyet yang tiba-tiba muncul di depan kandang. “Sekarang percaya kan kalo jadi Monyet susah juga?”

0 komentar: