Kamis, 15 Januari 2009

SALAH IKUT DEMO

“Kebinekaan adalah kebebasan untuk menampilkan seluruh hal yang dimiliki masyarakat. Dengan disahkan UU Pornografi, maka akan memasung kebebasan tersebut. Diskriminasi pun terjadi akibat adanya UU itu,” ucap seorang Seniman dalam sebuah orasi di depan ratusan orang. Nada suaranya keras. Dengan nada suaranya itu, diharapkan orang menilai Seniman ini tegas.



Gw mengangguk-anggukan kepala mendengar orasi itu. Gw yakin, Seniman itu pasti orang pintar. Paling tidak, pintar ngomong. Pintar ngomporin orang-orang, supaya kontra pada suatu kebijakan. Kebijakan kali ini yang diorasikan soal UU Pornografi. Feeling gw, mereka yang hadir di orasi adalah penentang UU Pornografi yang disahkan MPR. Sebenarnya nggak usah pake feeling, mereka nggak suka UU Pornografi diundang-undangkan.

Dengan sisa ketololan, gw coba menafsir-nafsir dengan orasi tadi. Bahwa Indonesia memang punya banyak daerah, dimana masing-masing daerah punya adat istiadat. Itu gw akui 100% benar banget. Makanya Indonesia mempunyai slogan Bhineka Tunggal Ika atau beragam namun tetap satu. Namun soal kata “memasung kebebasan” atau “diskriminasi” akibat UU Pornografi, gw nggak mudeng. Maksudnya apa ya?

Dalam bayangan gw, nggak ada satu adat pun yang mengizinkan pamer payudara atau alat kelamin. Ada memang suku yang masih belum pakai pakaian. Namun kayaknya kondisi itu bukan bagian dari UU Pornografi, dan memang bukan sebuah pornografi. Kecuali ada adat yang mengizinkan berbugil-bugil ria menari atau melakukan sebuah upacara ML bersama, mungkin ini kita boleh anggap “memasung kebebasan” atau “diskriminasi budaya daerah”.

But! Aber!

“Memangnya ada adat istiadat yang kayak begitu?” tanya gw agak tolol. Iya, gw memang tolol. Lebih tepatnya tolol dan sok pintar. Maklum, gw lahir dari keluarga baik-baik, dimana adat istiadat gw nggak mengajarkan hal-hal kayak begitu. Ya, ajaran yang lurus-lurus aja.

Adat Betawi? Kayaknya nggak ada bugil-bugilan deh. Adat Sumatera Utara? Yang gw tahu nggak pake buka baju atau celana, kan? Adat Sunda? Kayak-kayaknya sih dilarang sama Ketua RT asli Sunda buat buka kebaya deh. So, mana orang yang diskriminatif dan mana orang yang terdiskriminasikan ya? Hmm... lagi-lagi pertanyaan tolol dari orang tolol.

Sebagai anggota masyarakat yang tolol, gw masih kelimpungan dengan orasi seniman itu. Gw antara percaya nggak percaya. Percaya apakah betul mereka percaya dengan ucapan mereka sendiri? Percaya apakah mereka yakin UU Pornografi cuma aspirasi atas nama agama?

“Selain matinya prinsip keberagaman, kebudayaan dan kreativitas seniman juga akan mati suri dengan pemberlakuan UU ini. orang-orang yang mengesahkan UU Pornografi adalah penganut aliran Hitler. Orang yang menyetujui UU Pornografi adalah mereka yang nggak menyukai perbedaan,” kata Seniman itu lagi. Masih dengan semangat 45. Air liurnya muncrat-muncrat. Muncratannya sempat mengenai peserta orasi lain.

Gw bangga sekaligus kecewa. Bangga, karena si Seniman itu memunculkan lagi nama Hitler. Kecewanya kenapa nama Hitler dibawa-bawa untuk urusan UU Pornografi ini? Bukankah Hitler nggak pernah tampil bugil? Nggak pernah melakukan poligami? Bukan budak seks? Terus terang, gw adalah pria bertanggung jawab dan normal lahir maupun bathin, yang menjadikan Hitler sebagai pahlawan. Hitler pahlawan? Buat gw, ambisi Hitler memusnahkan Yahudi tempo dulu adalah tindakan luar biasa. Hitler udah punya visi, kalo Yahudi dibiarkan di muka bumi ini, maka dunia akan hancur. Lihatlah Palestina! Itulah kelakuan Yahudi. Dibiarkan tumbuh, malah kurang ajar.

I LOVE HITLER, dan moga-moga Hitler loves me. Tapi nggak mungkin dia suka gw, karena gw masih suka nongkrong di Starbuck. Kalo dia lihat dari neraka, pasti dia juga ngajak gw ke neraka. Doi pasti akan tanya: “Ngapain loe masih minum kopi di Sturbuck? Sturbuck itu antek-antek Yahudi tahu?! Sebagian uangnya disetor buat perjuangan Yahudi! Katanya elo nggak suka Yahudi?” Hitler betul! Gw belum konsisten! Sorry Hitler! Tapi gw tetap benci Yahudi!

Back to UU Pornografi, gw kecewa! Kecewa Hitler nggak ada hubungannya dengan masalah pornografi kok dibawa-bawa? Doi udah tenang di neraka. Please jangan bawa-bawa doi lagi.

“Kenapa sih agama dibawa-bawa dalam protes UU Pornografi?” tanya gw masih dengan IQ jongkok.

“Mungkin mereka atheis kali?!” jawab teman gw enteng. Tanpa rasa takut.

“Hush!!! Hati-hati kalo ngomong!” gw langsung menutup mulut temen gw.

Kepentingan agama? Hmm... gw lama berpikir. In-depth thinking. Melakukan perenungan. Kenapa ya mereka membawa-bawa agama dalam UU Pornografi? Jangan-jangan statemen temen gw ada benernya juga. Benernya, kalo agama dijadikan kambing hitam, berarti mereka yang protes nggak beragama dong? Bukankah semua agama melarang adanya pornografi? Ibaratnya, nggak ada agama yang mengizinkan buka-bukaan di depan ummat? Nggak ada agama mana pun yang mengizinkan pertontonkan payudara atau alat kelamin di depan umum, dimana hal itu bisa bikin kita ereksi. Please show me what religion is it?

Baik itu Hindu atau Buddha, gw rasa nggak mengizinkan ummat-nya melakukan aksi menjurus ke arah negatif. Maksudnya, dalam upacaranya ada adegan-adegan erotis. Nggak mungkin ada kan? Hindu akan melakukan sesuatu yang sakral, terhormat, luhur, suci, dan nggak macem-macem. Jadi kalo ada yang bilang demi kepentingan agama, agama mana ya?




Aneh juga kalo ada yang mengatakan Seniman jadi “mati suri”. “Mati suri” dari Hongkong?! Yang namanya Seniman itu kudu kreatif. Kalo nggak kreatif, ya bukan Seniman namanya. Tapi Hanoman. Memangnya Seniman cuma buat patung-patung bugil? Memangnya Seniman cuma buat lukisan-lukisan bugil? Kan enggak?! Kalo Seniman cuma bisa bikin patung atau melukis wanita-wanita bugil, mending ke laut aja. Once again, Seniman tuh kudu kreatif, Bos!

“Elo kok ngotot banget sih anti mereka yang anti UU Pornografi?” tanya temen gw.

“Soalnya gw punya anak. Anak gw akan punya anak. Anaknya lagi akan punya anak. Anak-anaknya lagi akan punya anak lagi. Elo lihat nggak attitude anak-anak sekarang kayak gimana?”

“Enggak...”

“Anak generasi sekarang aja kayak begitu, bagaimana generasi mendatang?”

Maksud “kayak begitu”, anak-anak sekarang adalah generasi film porno yang dijual bebas di Glodok, video porno via bluetooth, DVD porno, seks bebas, orgy (pesta seks) dimana-mana, party, generasi anak SMP yang menjual diri jadi PSK seharga 300 ribu-an, dan masih banyak contoh lain. Kira-kira kalo nggak diawasi dengan UU Pornografi apa jadinya ya anak-anak generasi mendatang? Elo pikir patung-patung atau lukisan-lukisan atau foto-foto bugil itu nggak bikin ereksi lelaki? Elo pikir film-film yang “setengah-setengah” melakukan adegan bercinta nggak bikin nafsu? Gw kebetulan lelaki normal yang mudah terangsang dengan hal-hal itu. Mungkin buat lelaki yang nggak normal, sesuatu yang “setengah-setengah” atau seseorang nggak berbusana itu belum menimbulkan ereksi.

Seni dijadikan alat agar mereka yang nggak suka UU Pornografi disahkan bisa bebas lagi “berkarya”. Emangnya berkarya cuma ngurusin UU Pornografi? Berkarya ya berkarya aja kaleee! Kayaknya masih banyak ide yang belum tergarap. Film-film Iran keren-keren banget. Tapi Director-nya nggak pernah mengekploitasi wanita atau pria secara fisik. Kenapa? Content-nya ok! Lukisan-lukisan Picasso luar biasa! Tapi setahu gw belum ada yang menampakkan lukisan bugil, sebagaimana lukisan wanita Bali zaman dahulu yang tanpa busana.

Seni dikultuskan agar Seniman-Seniman bebas mengekspresikan (mohon maaf!) alat kelamin pria, alat kelamin wanita, payudara, paha, semua hal yang membuat syahwat manusia ereksi. Lahirnya jadi film erotis (kalo nggak mau disebut blue film), sastra selangkangan (mengambil istilah Taufik Ismail kalo nggak mau dibilang sastra stensilan), atau lukisan maupun photografi erotis (kalo nggak mau disebut sebagai kalender porno). Gw jadi berpikir terbalik, ternyata bukan agama yang diatasnamakan, tapi seni.

“Emang erotis itu apa sih Kak?” tanya temen gw.

“Gw nggak bisa jawab, tapi gw mau tanya elo. Kira-kira kalo ada seseorang yang membuat birahi elo dan mayoritas orang memuncak, kira-kira apa sebutan yang cocok? Kira-kira kalo ada still photo yang bisa membuat orang-orang onani apa sebutan yang pas? Kira-kira lagi kalo ada wanita atau pria yang menari dengan gaya meliak-liuk di atas pentas dengan pakaian minim apa namanya?”

“Erotis?”

“Nggak tahu?!” jawab gw.

Akhirnya gw cape mendengarkan orasi si Seniman itu. Kuping gw rasanya merah banget. Lebih merah dari lampu merah. Udah dua jam ini si Seniman itu berorasi, menentang Pemerintah yang tega mensahkan UU Pornografi dan kini UU-nya lagi mau diuji materil (juducial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Memang, Pemerintah nggak 100% benar, tapi positive side-nya: mereka pasti punya visi menyelamatkan anak bangsa di seluruh daerah Indonesia yang Bhineka ini. Gw bosen dengan orasinya. Gw mo pergi. Sebelum pergi, iseng-iseng gw tanya ke beberapa peserta orasi. Maklum, rasa penasaran plus ketololan gw timbul.

“Mbak kenapa ikutan orasi?” tanya gw.

“Saya penari striptease, Mas. Kalo ada UU Pornografi, nafkah saya jadi hilang”.

“Kalo Bapak?”

“Saya partygoers, Mas. Saya sedih nggak bisa party-party lagi di rumah temen-teman saya...”

“Lho, kalo party mah nggak masalah bukan, asal nggak mabuk-mabukan, narkoba, atau pesta seks....”

“Masalahnya di situ, Mas...”

“Kalo Ibu?”

“Saya biasa jadi model bugil buat dilukis atau dibuat patung. Gara-gara UU Pornografi ini, job-job saya pasti akan lenyap ditelan oleh angin yang berhembus...”



Gw pusing! Kok orang-orangnya yang ikutan orasi begini semua. Apa gw salah interview orang? Atau gw salah demonstrasi ya? Pasti nggak semua Seniman begitu sih. Hmm...bingung gw. Pusing gw. Daripada pusing, gw ajak mereka ikutan demo. Bukan demo masak. Tapi demo buat hancurkan Yahudi dari muka bumi ini. Gw memang terlanjur anti-Yahudi. Makin benci lagi, begitu tahu Yahudi udah menewaskan 100 anak kecil di Jalur Gaza. Eh, ternyata mereka setuju...

“Tapi kita-kita dikasih uang demo kan? Kalo biasanya 30 ribu, sama Mas kita diskonin deh. Duapuluh ribu aja nggak apa-apa. Yang penting iklas...”

Dasar demonstran bayaran!

0 komentar: