Minggu, 25 Januari 2009

SHORT MOVIES OF THE WEEK

PAPA BRILL DISAPPEAR
directed by Anjani Brillianto (9 tahun)




TUYUL AND MAS YUL
directed by Anjani Brillianto (9 tahun)



WHERE IS MY LOVELY DAUGHTER?
directed by Anjani Brillianto (9 tahun)



KHAIRA IS BEHIND ME
directed by Anjani Brillianto (9 tahun)



WHERE IS MY DAUGHTER PART 2?

Sabtu, 24 Januari 2009

KOES PLUS NYASAR, BANG TOYIB IKUT-IKUTAN NYASAR

“Jalannya buruan Bang!” perintah gw pada Tukang Ojek dengan nada sedikit berteriak. Maklum, riuh suara kendaraan di samping kanan gw, nggak memungkinkan ngomong pelan-pelan.

“Ini juga udah cepat Bos,” jawab Tukang Ojek dengan agak berteriak juga, yang memuncratkan sedikit air liurnya ke wajah gw.

“Jalan segini dibilang udah cepat Bang?”

“Maklum, Bos motor tua,” papar Tukang Ojek yang jaketnya bau banget ini. “Ntar deh kalo udah punya uang, pasi aye beli...”

“Maksudnya beli motor baru, Bang?”

“Bukan! Istri baru!”

Hmm, dasar! Nih, Tukang Ojek sok mau berpoligami ria segala. Udah tahu profesinya cuma Tukang Ojek. Paling-paling pendapatannya berapa sih? Eh, tapi kayaknya gw terlalu merendahkan martabat Tukan Ojek deh. Gw pernah ketemu sama Tukang Becak yang punya tiga istri. Nah, karena Tukang Ojek levelnya lebih tinggi dari Tukang Becak, memungkinkan sekali punya istri lebih. Kok gw jadi ngomongin poligami ya?

Anyway, motor Tukang Ojek ini memang tua banget. Konon motor bebek buatan tahun 1973. Harusnya motor ini udah dimusnahkan atau dijadikan besi tua. Namun si Pemilik yang nggak lain nggak bukan si Tukang Ojek ngerawat, motor tua ini masih bisa jalan. Tapi jalannya nggak bisa ngebut. Paling banter 40 km/ jam.

Gw terpaksa naik motor tua ini. Habis nggak ada pilihan. Tadi pas gw cari Tukang Ojek, yang ada cuma Tukang Ojek ini. Mau naik kendaraan umum, gw lagi males gonta-gantinya. Maksdunya turun-naik dari kendaraan satu ke kendaraan lain. Mau naik taksi, duit gw cekak. Ojek memang pilihan pas, meski ketemunya sama Tukang Ojek bermotor tua ini.

Hati memang ngedumel soal kecepatan. Buat menghilangkan rasa gondok, gw chit-chat lah dengan si Tukang Ojek ini. Dalam perjalanan gw ke Poncol, Tukang Ojek ini becerita banyak soal keluarganya. Meski profesinya cuma jadi Tukang Ojek, dia bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang jumlahnya persis satu tim bola voli, sampai ke SMA. Bahkan anak yang tertua sudah kuliah. Tentunya bukan di Trisakti atau UPH. Tapi di...

“Universitas Mpu Gandring,” kata Tukang Ojek yang jaketnya masih aja bau. Bikin gw enek dan pengen muntah.

“Pasti kalo kelar dari Universitas itu, lulusannya jadi Pengrajin Keris deh, Bang,” ucap gw sekenanya.

“Oh, gitu ya Bos? Wah kalo begitu usaha keris Kakek aye yang di Solo bisa berkembang lagi ya, Bos? Wong nanti anak aye setelah lulus jago bikin keris. Ya nggak Bos?”

Tet-tot!

Gw baru tahu Tukang Ojek yang gw tumpangi ini bernama Bang Toyib. Gw memang nggak sempat periksa KTP-nya. Tapi gw berani jamin, namanya Bang Toyib, kok. Ya iyalah, wong gw tadi udah tanya.

Nggak ngerti mana yang lebih dulu lahir, Bang Toyib si Tukang Ojek ini atau lagu Bang Toyib. Kalo dilihat dari perwajahannya, Bang Toyib si Tukang Ojek ini umurnya tua. Asumsi ini bisa dibuktikan dengan ciri khas yang ada di wajah Bang Toyib: kulit kering, ada tiga garis kerutan di dahinya, kelopak matanya mulai kendor, dan ada uban di kumisnya.

“Umur aye baru 28 tahun Bos,” ungkap Bang Toyib.

“Hah?!”



Gw kaget tujuh keliling. Betapa tidak, umur Bang Toyib nggak sebanding dengan wajahnya. Tadinya gw taksir, umurnya udah kepala 5. Bukan kepalanya lima, tapi kira-kira 50 tahunan umurnya. Eh ternyata eh ternyata, umurnya belum 30 tahun. Menurut gw, Bang Toyib tua sebelum waktunya. Nanti bisa-bisa “layu sebelum berkembang”.

Meski tua sebelum waktunya, Bang Toyib si Tukang Ojek ini bukan suami kualat. Beda dengan Bang Toyib yang dinyanyikan oleh penyanyi dangdut Ade Irma yang nggak pulang-pulang selama tiga kali lebaran, tiga kali puasa, dan nggak kirim surat ke istrinya.

“Motornya emang nggak bisa lebih cepat lagi ya Bang?”

“Masih untung motornya bisa jalan Bos. Biasanya yang numpang seringkali bantuin dorong...”

Seperti nggak sabaran, pantat gw digerak-gerakkan ke depan. Gayanya seperti hendak mendorong, tapi kali ini pakai pantat. Dengan gaya model ini, berharap motor yang gw tumpangi bisa sedikit lebih cepat. Nyatanya bukan makin cepat, alat kelamin gw jadi beradu dengan pantat Tukang Ojek.



“Bos lagi ngapain sih?” tanya Bang Toyib keheranan, karena pantatnya seolah disundul-sundul sama gw.

“Emang kenapa Bang?”

“Rasanya enak...”

Dibilang enak, gw jadi ilfil. Seketika juga gw hentikan aktivitas norak itu. Lagipula memang malu-maluin sih. Ini terbukti dengan banyak mata yang melihat ke arah gw. Barangkali mereka pikir, gw ini sepasang gay yang udah nggak tahan lagi.
Ahirnya sampai juga gw di Poncol. Oh iya, Poncol itu adalah pasar kaki lima. Letaknya di sisi rel stasiun kereta api Senen. Lebih tepatnya sebuah jalan menuju jalan Letjen Soeprapto, Jakarta Pusat. Di pasar ini udah ada sejak tahun 1969. Karena umurnya udah lebih tua dari gw, pasar ini begitu melegenda.




Harga barang di pasar ini jauh lebih murah dibandingkan barang yang dijual di supermarket atau mal. Maklumlah, namanya juga pasar barang bekas. Eh, tapi ada juga barang baru dengan harga miring alias murmer: murah meriah. Meski dengan harga murah, tapi kualitas nggak kalah dengan yang ada di toko sebelah. Perbedaan harga bisa mencapai dua kali lipat. Misalnya celana jins. Di Poncol harga satu celana jins Rp 45 ribu. Kalo di Mal, harganya bisa mencapai Rp 100 ribu-Rp 200 ribu. Ini pun tergantung jinsnya, jin iprit atau jin tomang.

Nggak cuma pakaian, di pasar Poncol kita bisa menemukan barang-barang bekas. Ada sepatu bekas, tas bekas, koran bekas, majalah bekas, baju bekas, dan bekas-bekas yang lain, termasuk kaset bekas. Yang nggak ada di Poncol cuma satu: istri bekas. Ya, kasihan lah, masa istri diperjual belikan jadi barang bekas. Good or bad, istri ya tetap istri, yang melahirkan anak.



Seharusnya, gw udah sampe di Poncol dua jam yang lalu. Soalnya, jarak dari Cempaka Putih ke Poncol itu nggak sampe 5 kilo. Tapi berkat motor Bang Toyib, rasanya seperti dua abad. Motornya benar-benar menguji kesabaran gw. Kalo nggak, bisa-bisa helm Bang Toyib udah gw ketok-ketok sampe benjol, plus jaketnya yang bau itu gw udah robek-robek kayak kertas. But untungnya gw nggak melakukan itu.

“Yang diobral! Yang diobral!” teriak Pedagang pakaian.

“Sayang anak! Anak sayang!” teriak Pedagang satunya lagi.

“Tinggal pilih! Tinggal pilih!” teriak Pedangan sebelah Pedagang yang tadi.

Teriakan-teriakan para Pedagang itu mirip Paduan Suara. Sayang, suara mereka fals. Jangankan masuk Paduan Suara, masuk Indonsian Idol udah pasti nggak dterima.

Nggak berapa lama pergi meninggalkan Bang Toyib, gw udah muncul kembali. Gw ngeliat wajah Bang Toyib bingung. Dalam pikirannya pasti bertanya-tanya. Jalan ke Poncolnya disuruh cepat, eh giliran udah sampe lokasi nggak sampe sejam. Ada apa gerangan? Gw juga sempat lihat Bang Toyib baru menyalahkan rokok dengan koreknya. Kasihan juga dia, nggak sempat menikmati rokok.



“Kok cepat amat sih Bos,” tanya Bang Toyib sok memancing

“Iya, Bang. Akhirnya saya bisa tukerin kaset...”

“Tuker kaset?” tanya Bang Toyib seperempat nggak percaya. Maksudnya kepercayaannya nggak 50%, tapi cuma 25%. Kan kalo 50% berarti setengah percaya, jadi kalo 25% ya cuma seperempat percaya.

“Iya Bang. Nggak percaya amat. Kaset yang saya bawa tadi pitanya kusut. Lagu Koes Plue yang ‘Kembali ke Jakarta’ jadi ikut-ikutan kusut. Tahu kan lagu ‘Kembali ke Jakarta’, Bang?”

“Iya-iya, yang liriknya begini ya...’bukan lautan hanya kolam susu. Air dan jala untuk menghidupimu...”

“Bukan. Itu mah lagu ‘Bujangan’. Lagunya begini nih...’bukan lautan hanya kolam susu. Air dan jala untuk menghdupimu...”

“Lho, itu bukannya lagu yang tadi aye nyanyiin ya Bos?”

“Hehehe...iya,” gw nyengir, merasa salah. “Pokoknya, di lagu ‘Kembali ke Jakarta’ seharusnya lirik lagunya ngajak orang ke Jakarta, eh gara-gara kusut jadi nyasar ke Bogor”.

“Waduh! Sekarang Koes Plus-nya nggak nyasar lagi kan?”

“Nggak. Sekarang yang nyasar justru kita nih Bang!”

Gara-gara keasyikan ngobrol, Bang Toyib salah jalan. Arah menuju rumah gw yang seharusnya ke Timur, jadi ke arah Barat. Bang Toyib cuma cengegesan. Sementara gw dongkol. Udah nyasar, bensin motornya habis pula.

“Ntar tambahin ongkosnya ya, Bos,” pinta Bang Toyib.

“Oke deh,” jawab gw dengan wajah ketus sambil mendorong motor Bang Toyib menuju ke Pom Bensin terdekat.


all photos by Brillianto K. Jaya & Doc

Kamis, 22 Januari 2009

AKU DAN MANUSIA



Under construction. Please sabar ya, Bo! Ceritanya lagi dibikin...


video by Brillianto K. Jaya

Rabu, 21 Januari 2009

MANUSIA DI KANDANG MONYET

Monyet-monyet di Kebon Binatang (Bonbin) udah bosan. Udah lama banget mereka dikurung dan dikasih makan. Yang semua itu dilakukan di dalam kandang. Mereka nggak diberi waktu buat jalan-jalan ke luar buat sekedar menikmati udara segar di sekitar Bonbin, atau melihat pohon-pohon yang rindang di sekitar situ. Padahal mereka butuh itu. Butuh kebebasan.

“Aku kangen banget manjat-manjat pohon deh,” ucap Monyet A.

“Lho, bukannya di kandang ada batang-batang pohon?” Itu kata Monyet B yang hidungnya pesek.

“Beda, Bo! Di kandang cuma batang, nggak ada daun-daun sebagaimana kita biasa lakukan aktivitas panjat-memanjat di hutan..”

“Iya juga sih...”



Wajah mereka sedih. Sedih banget. Hampir saja air mata mereka berdua menetes. Kalo saja ada Pengarang lagu cengeng, si dua Monyet itu akan curhat. Curhatan itu pasti akan dijadikan lagu oleh si Pengarang itu. Judulnya barangkali “Monyet Sedih” atau “Curhatan Monyet” atau “Kesedihan Monyet” atau “Gelas-Gelas Kaca” (judul ini kayaknya nggak nyambung ya?). Namun, Pengarang lagu nggak mungkin ke kandang Monyet. Sebaliknya, Monyet nggak mungkin meng-hire Pengarang lagu, apalagi sekelas Dewiq atau Melly Goeslow yang harga satu lagu mahal banget.

“Saatnya kita protes!” kata Monyet A.

“Protes apaan?” tanya Monyet B.

Kata Monyet A, Manusia kudu merasakan penderitaan Monyet agar Manusia mengerti Monyet juga mahkluk yang punya keinginan. Punya impian. Punya cita-cita. Punya masa depan. Sudah saatnya Manusia memiliki pengalaman dan merasakan suka maupun duka selama berada di kandang. Nggak perlu lama-lama sebagaimana Monyet A dan Monyet B udah alami. Ya, paling-paling 2 tahun lah.




“Jadi apa idemu?” tanya Monyet B yang mulutnya sibuk ngunyah kacang goreng pemberian seorang Ibu yang pakai jilbab tapi bawa anak ABG-nya yang pake hotpants dan kaos ketat.

“Kita bilang ke Penjaga Kandang buat mencari manusia yang akan bertukar peran,” jelas Monyet A dengan penuh berapi-api.

“Maksudnya?”

“Kita akan bertukar peran. Kita jadi Manusia, sedangkan Manusia jadi Monyet. Manusia ini akan tinggal selama dua tahun di kandang,” ungkap Monyet A.
Monyet B mengangguk-angguk.

Proses audisi mencari Manusia yang berniat menjadi Monyet ternyata nggak semudah membalik telapak tangan. Memang banyak sekali Manusia-Manusia yang mengikuti audisi. Jumlahnya lebih gokil daripada Manusia-Manusia yang ikut “Indonesia Idol” atau “Kontes Dangdut” atau kontes-kontes pencarian bakat lain.

“Ternyata Manusia yang hendak menjadi Monyet banyak juga ya?” Itu kata Monyet B yang terheran-heran.

“Yaiyalah. Manusia itu juga kan sebenarnya masih saudara dengan kita. Apa yang kita lakukan, pasti mereka nanti-nantikan. Ya, seperti event pencarian Manusia yang mau berganti peran ini,” papar Monyet A yang memang lebih pandai cara berpikirnya.

Kebetulan yang menjadi juri audisi adalah Gorila, Simpanse, dan Orang Utan. Mereka bertiga ini bisa dianalogikan kayak juri “American Idol”, yakni Randy Jackson, Paula Abdul, dan Simon. Kenapa bukan Manusia yang jadi jurinya? Karena kalo Manusia, maka nggak fair. Manusia belum merasakan hidup di kandang, sementara Gorila, Simpanse, dan Orang Utan udah punya pengalaman.

Akhirnya dari jutaan Manusia yang mengikuti audisi, terpilih dua Manusia. Mereka dari kalangan Politisi dan Pengusaha. Terpilihnya mereka sebenarnya sangat sederhana. Dua Manusia ini merasa hidup di kandang sangat mudah. Nggak ada tantangan. Usaha kecil, dapatnya gede. Makan gaji buta aja.





“Kalo cuma hidup di kandang, nggak usah 2 tahun, 10 tahun saya juga berani!” Itu kata Pengusaha dengan penuh kesombongan.

“Saya sih 2 tahun aja. Soalnya kalo lebih dari itu, saya takut ketinggalan momentum jadi Caleg,” ungkap Politisi yang udah malang-melintang di dunia politik. Saking malang-melintang, tidurnya seringkali malang-melintang. Posisi rumahnya juga menyusahkan tetangga-tetangganya gara-gara malang-melintang, nggak jelas arahnya.

Keesokan hari yang cerah ceria, Politisi dan Pengusaha akhirnya masuk juga ke kandang Monyet. Sebelum masuk, ada prosesi yang memakan biaya Rp 4,8 trilyun sama kayak harga mobil Cadillac Presidential Limousine milik Presiden anyar Amrik ke-44, Barack Obama. Kok mubazir amat sih? Bukankah uang segitu bisa dipergunakan buat memberi makan anak-anak kelaparan di tanah air? Atau mengongkosi anak-anak putus sekolah? Ya seharusnya begitu. Tapi kejadiannya kan nggak begitu? Ah, dikau kayak nggak pernah tahu aja. Bukankah di tanah air ini banyak kemubaziran yang seringkali terjadi? Anyway, Politisi dan Pengusaha masuk kandang.

“Doakan aku agar bisa survive di sini ya? Doamu, harapanku,” kata Politisi pada keluarganya yang hadir dalam rangka melepas Manusia ke kandang Monyet.

“Jaga dirimu baik-baik ya Ma,” kata Pengusaha pada istrinya.
“Nanti uang shopping gimana Pap? Kamu tetap transfer kan tiap bulan?” kata istrinya.

“Mama gimana? Di kandang sini mana ada ATM? Mama boten-boten aja. Kalo perlu duit, ambil aja di kulkas...”

“Lho, memang Papa simpen duit di kulkas?” wajah istri Pengusaha berbinar-binar begitu diberitahu lokasi duit, meski belum tentu benar.

“Nggak ada. Mama boten-boten aja. Mana bisa duit disempan dikulkas?”

Istri Pengusaha kecewa. Wajahnya cemberut.

“Jadi gimana dong Pap? Bentar lagi ada event spektakuler shooping of the week. Mama perlu belanja...”

“Yasudah tanya si Inah...”

“Inah? Inah Pembantu kita?”

“Iya. Memang Inah pernah jadi Presiden?”

“Kok sama Inah? Papa ada main ya sama Inah?”

“Ada main apa? Inah itu kan istri Papa kedua Ma!”

Scene dramatis itu akhirya berakhir happy ending. Memang bermula dari kekecewaan sang istri pada Pengusaha, karena menikah dengan Pembantu nggak bilang-bilang. Nggak pake izin. Bukankah suami yang mau berpoligami kudu minta izin istri? Yang pasti, sang istri nggak melakukan aksi KDRT alias Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap sang suami, misalnya dengan menampar wajah. Si Istri akhirnya setuju suaminya kawin lagi, tapi dengan aneka kompensasi tentunya. Kompensasi duit shopping di-up grade, jumlah mobil ditambah, jumlah perhiasan ditambah, dan jalan-jalan ke luar negeri lebih diaktifkan lagi.

Matahari berganti bulan. Artinya, malam menjelang. Maksudnya, keluarga Pengusaha dan Politisi udah nggak mungkin lagi berada di area Bonbin. Kebetulan mereka memang udah pada pulang dari tadi. Kira-kira jam 3.30 sore tadi. Ba’da Ashar gitu deh.

Bonbin yang ramai berubah menjadi sepi. Hiruk-pikuk suara Manusia yang sejak pagi dan sore mengalahkan suara para Binatang, nggak terdengar lagi. Kini giliran Binatang-Binatang itu bersuara. Suara-suara Binatang itu kayak paduan suara yang kurang latihan. Maklumlah, nggak ada Conductor-nya yang me-manage suara-suara Binatang. Coba kalo ada, boleh jadi Paduan Suara Trisakti kalah.

“Uu...aa...uu...aa...uu...aa!” Itu suara temennya Monyet.

“Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu.....” Itu suara sebangsa Macan. Boleh juga suara Harimau. Suara Singa juga masih cocok dengan suara itu.

“Cit...cit....cit....” Itu suara Burung. Nggak tahu Burung apa. Suara Tikus juga masih make sense sih. Tapi Tikus kan nggak dikandangin? Sementara suara itu datang dari kandang. Jadi pasti suara Burung. Lebih baik elo percaya dulu deh kalo suara “cit-cit” itu suara burung, okay?

Bonbin juga berubah jadi spooky alias menyeramkan. Dari langit yang terang benderang, menjadi langit yang gelap gulita. Lampu di Bonbin cuma dikit. Bisa dihitung pakai jari. Ada lampu yang dipasang di tiang lampu, nggak menyala. Kalo nggak pecah, bohlamnya dicuri Manusia. Ya, begitulah Manusia. Hobinya mencuri yang bukan hak miliknya. Lho, bukannya mencuri itu memang artinya mengambil sesuatu yang bukan haknya ya?

Pohon-pohon yang gede-gede di sekelilng Bonbin makin memperkeruh suasana dari alami di siang hari jadi serami, maksudnya seram. Apalagi ketika angin berhembus kencang, gesekan antarpohon menimbulkan bunyi-bunyi yang menyeramkan. Percampuran antara suara-suara Binatang dan suasana gelap, suara-suara gesekan pohon dan daun, membuat Pengusaha dan Politisi nampak ketakutan.

“Kita udah berapa lama sih si sini?” tanya Politisi dengan badan gemetar.

“Bukannya baru hari ini ya?” jawab Pengusaha yang badannya ikut gemetar. Selimut yang disediakan Panitia, ternyata nggak berfungsi menutup dinginnya suasana. Sebenarnya bukan dingin, lebih tepatnya panas dingin karena ketakutan.

“Kok kayak udah lima tahun ya?”

“Iya ya?”

Hari udah pagi lagi. Politisi dan Pengusaha marah-marah. Gara-garanya, mereka dibangunkan secara paksa oleh Petugas Bonbin dengan cara menyiramkan air ke wajah mereka. Byur!

“Ini cara kami membangunkan Monyet kalo Monyetnya malas bangun,” jelas Petugas Bonbin.

“Emang nggak ada cara yang lebih manusiawi?” tanya Politisi.

“Ini lebih manusiawi daripada membongkar paksa rumah-rumah kumuh, pasar-pasar tradisional tanpa direlokasi, atau cafe-cafe,” jelas Petugas Bonbin. “Ini lebih manusiawi daripada mencuri uang rakyat dan akhirnya membuat rakyat jadi sengsara. Ini juga lebih manusiawi daripada memberi hadiah lumpur sehingga membuat warga kampung jadi terendam dan nggak punya rumah lagi...”

“Tapi harusnya ada solusi yang lebih manusiawi dong!” kata Pengusaha. “Masa kami manusia diperlakukan sama seperti Monyet?”

“Please deh ah! Kalian berdua sekarang ini statusnya udah jadi Monyet.”

Baik Politisi dan Pengusaha nggak bisa berkata-kata lagi. Segala alasan nggak bisa lagi diterima oleh Petugas Bonbin. Manusia yang udah jadi Monyet itu nggak boleh berkomentar sebagaimana Monyet sebelumnya. Mereka diminta berprilaku seperti Monyet. Bukankah mereka udah komit tinggal di kandang dan bertukar peran menjadi Monyet?

Di real life, baik Politisi maupun Pengusaha boleh cuap-cuap. Kalo Politisi cuap-cuap soal janji-janji buat wong cilik, kemakmuran, reformasi, atau perubahan, sedang Pengusaha cuap-cuap soal bisnis, saham, dolar, pembebasan tanah, atau kongkalikong dengan Birokrat. Itu semua memang keahlian mereka. Namun, itu semua nggak bisa mereka wujudkan ketika mereka menjadi Monyet.

Mereka dibiarkan berpanas-panasan. Makan mereka bukan fast food atau chinise food, tapi cukup kacang atau pisang. Itu pun dijatahin. Kalo waktunya makan, Petugas Bonbin baru memberikan makanan. Kalo nggak, ya nggak dikasih. Mau lapar kek, mau haus kek, nggak peduli.

“Beda banget ya kalo kita di luar sana,” kata Pengusaha kayak sedang curhat dengan Politisi. “Kalo lapar, kita bisa pergi ke TIS atau di Kemang Food Festival. Kalo kita haus, kita bisa nongkrong di X-Plaza atau Plaza Semanggi. Kalo pengen kopi, cukup pergi ke Coffee Bean atau Bengawan Solo...”

“Nggak ke Starbuck?” tanya Politisi.

“Nggak. Katanya yang punya orang Yahudi. Males banget nyumbang uang buat orang Yahudi...”

“Tumben mikirin sampe segitunya...”

Pengusaha tertawa. Doi juga nggak ngerti kenapa jiwanya masih ada sisa jiwa sosialnya. Yang masih ingat masalah Yahudi. Padahal biasanya, doi nggak peduli. Dimana pun tempatnya, yang penting bisa menyeruput kopi.

Ketika beberapa Pengunjung Bonbin datang, Pengusaha dan Politisi mendapat tambahan jumlah kacang. Sementara kacang dari Petugas Bonbin nggak dikasih, lemparan-lemparan kacang dari Pengunjung bisa mengobati kekecewaan perut mereka yang lapar. Awalnya mereka sempat mempertanyaan para Pengunjung, kenapa nggak ada yang melemparkan uang.

“Kalian itu Monyet! Mana ada Monyet dikasih duit? Belum pernah terjadi dan nggak akan pernah terjadi,” begitu kata Pengunjung Bonbin.

Lemparan pisang maupun kacang seringkali mengenai wajah mereka. Nggak heran wajah mereka sempat lecet-lecet. Mereka benar-benar tersiksa. Mempertanyakan kembali soal kemanusiaan. Meskipun sedang bertukar hidup menjadi Monyet, seharusnya Pengunjung Bonbin mengerti kalo mereka tetaplah Manusia. Seharusnya Pengunjung-Pengunjung itu bisa membedakan mana Monyet mana Manusia. Seharusnya Pengunjung-Pengunjung itu faham, yang namanya Manusia kudu dihormati hak-haknya, sedangkan Monyet nggak perlu, karena Monyet adalah Binatang.

“Aku sudah nggak tahan lagi dengan sikap Manusia memperlakukan kita Pak?” kata Pengusaha.

“Kok jalan pikiranmu sama dengan saya,” kata Politisi. “Saya juga nggak tahan. Ternyata hidup di kandang Monyet nggak semudah pikiran kita ya?”

“Iya,”

“Saya kira hidup di kandang cukup makan tidur-makan tidur aja...”

“Iya,”

“Ternyata hidup di kandang nggak punya kebebasan. Kebebasan buat melakukan apa saja, termasuk kebebasan berbicara. Nggak punya nilai-nilai prikemanusiaan. Semua orang memperlakukan kita seperti Monyet. Lebih tepatnya menganggap kita Binatang.”

“Jadi lebih baik kita menyerah saja, Pak?”

“Kayaknya mending begitu ya?”

Baik Pengusaha dan Politisi benar-benar menyerah. Mereka mengakui, ternyata susah juga jadi Monyet. Susah juga hidup di kandang. Memang nggak ada tantangan, tapi tetap saja susah. Baik Monyet maupun Manusia punya kebutuhan sendiri-sendiri. Mereka lebih suka kebebasan. Soalnya, dengan kebebasan, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka suka.

Kekalahan mereka sebagai Manusia yang mencoba hidup di kandang Monyet, diungkapkan ke Petugas Bonbin. Mereka curhat sampai berjam-jam, sampai para Pengunjung Bonbin pulang. Ending curhat, Petugas Bonbin akhirnya merestui Politisi dan Pengusaha keluar dari kandang, asal sikap mereka direformasi. Maksudnya, tindak tanduk yang biasa mereka lakukan di luar kandang, jangan sampai terulang lagi. Baik Pengusaha maupun Politisi mengangguk. Nggak tahu, anggukan mereka tulus atau basa-basi. Tahu lah, yang namanya Pengusaha dan Politisi selalu berubah-ubah visinya. Katanya itu disebut dinamis, padahal perubahan mereka bisa bikin miris.

“Makanya, jangan pernah bilang Monyet pada Manusia,” kata salah seekor Monyet yang tiba-tiba muncul di depan kandang. “Sekarang percaya kan kalo jadi Monyet susah juga?”

Senin, 19 Januari 2009

THANKS GOD! AKU BANGGA PUNYA AYAH KORUPTOR


Kata orang hidup adalah pilihan. Awalnya aku tak percaya kata-kata itu. Sebelum akhirnya membuktikan kebenarannya. Kebenaran tentang hidup yang ternyata bukanlah sebuah pilihan. Kenapa? karena kita sudah dipilih atau terpilih menjadi seseorang. Seperti aku ini, yang terlahir sebagai anak seorang Koruptor.

Sejak kecil, aku diperlakukan seperti anak Raja. Semua yang aku butuhkan, selalu disediakan oleh Kacung-Kacung bergaji murah. Seratus ribu sebulan termasuk murah bukan? Mereka -kacung-kacung itu- selalu siap dengan perintahku. Ketika aku lapar, hidangan mewah selalu tersedia di meja bundar, yang terbuat dari kayu jati itu. Mulai dari ayam ala Kentucky sampai babi panggang. Ketika aku haus, minuman aneka rupa dan aneka rasa, berjajar di mini bar yang ada di ruang tengah.

”Yapto!” teriakku memanggil nama seorang Kepala Kacung.

”Dalem, Den,” sambut Yapto sambil berlari kecil ke arahku.

Begitu jarak kami tiga meter, Yapto langsung merendahkan badannya dan memberi hormat padaku. Setelah memberi hormat, ia merangkak, mendekat ke arahku. Apa yang dilakukan Yapto ini, memang sudah menjadi adat istiadat keluargaku sejak dahulu. Itulah cara Yapto dan Kacung-Kacungku yang lain dalam mengohormati kami. Persis seperti Abdi Dalem mengahadap paduka Raja.

Aku dan keluarga memang harus menjaga jarak dengan para Kacung. Mengertilah, strata kami berbeda. Kami juga diajari untuk selalu dilayani bukan melayani. Jadi jangan heran kalau istilah ”melayani” sangat langka dalam kehidupan kami. Melayani cukup dilakukan oleh Kacung. Tak ada istilah dalam lingkungan keluargaku.

Bukan cuma makan dan minum yang harus Kacung-Kacung itu layani. Ketika aku ingin pup, seorang Kacung dengan sigap menyiapkan tangannya untuk menceboki pantat kami yang ada bekas kotoran. Ketika kami ingin ML, Kacung kami juga ready to search wanita-wanita yang siap untuk kami ML-kan. Termasuk menyediakan kondom-kondom aneka rupa.

”Maybe I was a bit spoiled. I made it because the circumstance that my Father used to do”.

Kelihatannya keluarga kami memang aneh. Kelihatannya apa yang kami kerjakan menyalahi formalitas yang berlaku di masyarakat. Namun itulah kebiasaan kami. Kebiasaan yang sudah menjadi sebuah format kewajaran. Oh iya, bicara soal kewajaran, buat orangtua kami, apa yang dianggap tidak wajar oleh banyak orang, justru menjadi hal yang lumrah. Misalnya, menitip fee dari pemenang tender, memberi izin pengusaha-pengusaha yang menebang kayu tanpa lewat prosedur, menyelundupkan hewan-hewan yang dilindungi, dan masih banyak lagi.

Beberapa kali, aku sempat mendengar Ayahku berbicara dengan Adrian Kiki Ariawan. Kenal dong siapa pria ini? Dia buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang baru ditangkap oleh pemerintah Australia atas kerjasama dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia adalah salah satu orang berdarah dingin yang membuat Pemerintah jadi kehilangan uang. Padahal uang itu bisa dipergunakan untuk banyak hal, termasuk menyekolahkan anak-anak putus sekolah, atau memberi makan keluarga-keluarga kelaparan.

Pembicaraan Ayahku dengan Adrian kencang sekali. Hampir seisi rumah mendengar. Padahal pembicaraan itu sangat sensitif yang sebenarnya aku tak perlu mendengarkannya. Yang sebenarnya sangat-sangat mengajarkan hal-hal negatif. Tapi Ayahku cuek. Memangnya bicara apa? Tentang sogok-menyogot, tipu-menipu, bahkan bunuh-membunuh. Namun, sekali lagi, hal seperti ini sudah lumrah, sudah wajar di keluarga kami.




Kalau Anda sempat datang ke rumahku, pasti akan takjub. Ada 25 kamar di rumah kami. Luas masing-masing kamar itu sebanding dengan rumah BTN tipe 45. Maklum, luas tanah rumah kami 10 ribu meter persegi. Di garasi kami, berjajar 50 mobil dengan berbagai tipe. Mobil yang paling murah, Honda CRV tahun produksi 2008. Mobil itu biasa digunakan supir kami untuk mengantar para Kacung kesana-kemari, entah belanja ke supermarket maupun ke tempat-tempat pelacuran untuk mencari wanita yang mau diajak kencan.

Mungkin pikir Anda, aku beruntung memiliki kehidupan yang luar biasa. Kehidupan yang semua manusia ingin mendapatkannya. Kehidupan yang selalu dibayangkan oleh banyak orang, dimana orang-orang ini terus mengejarnya dengan cara berkompetisi. Mungkin perasaan Anda, aku tak akan pernah merasakan kepedihan dalam mengarungi kehidupan sesungguhnya. Tak pernah ada tangis. Tak pernah ada kekecewaan. Semuanya happy. Boleh jadi benar!

"Awards have never been my goal, that if I don't get an award I will be sad and depressed. Money is important to me. without money, you are nothing".

Aku cukup beruntung. Ya, aku beruntung. Aku bersyukur dengan apa yang telah aku miliki, meski aku tahu harta ini didapat ini dari cara korupsi yang Ayahku selalu lakukan. Anda tak perlu tahu korupsi model apa yang sudah dilakukannya. Pokoknya sudah aneka cara. Dan aku tahu, Ayahku tidak akan pernah menyesal ataupun merasa bersalah, ketika apa orang yang mempertanyakan kehalalan semua harta benda tesebut.

”Ah tahu apa kalian tentang halal?” kata Ayahku suatu hari, ketika seorang Jurnalis bertanya soal asal usul pendapatannya.

”Halal itu relatif! Menurut Ulama haram, kalo menurut saya halal, Anda mau bilang apa?”

Jurnalis bingung.

”Kenapa yang mendapatkan cap halal haram selalu sesuatu yang nggak penting? Rokok, misalnya. Atau yang terakhir soal Yoga. Kenapa semua minuman keras tidak dicap haram di botolnya? Kenapa rumah-rumah prostitusi tidak ada bilboard bertuliskan haram? Masih banyak contoh lagi yang tidak bisa jabarkan satu per satu. Intinya halal haram itu relatif”.

Jurnalis mengangguk. Bukan karena mengerti, tapi makin bingung.

Aku memang cukup beruntung, tapi aku bosan. Aku bosan dengan kondisiku sekarang. Semua serba enak. Tak ada yang tak mungkin. Semua bisa dilakukuan oleh keluarga kami. Semuanya mudah aku dapatkan. Tinggal minta, pasti tersedia. Tinggal tunjuk, semua beres. Inilah yang membuatku merasa tak ada tantangan. Sebagai pria, aku memang butuh itu, butuh tantangan, agar eksistensiku bisa terekspos. Bahwa aku adalah survivor! Mampu berdiri dengan segala kekurangan. Bukankah aku masih menjadi lelaki jantan?

”Ayah, mulai besok saya akan kabur dari rumah ini,” ucapku pada Ayah.

Aku bingung, Ayahku tak shock. Dia tak memperlihatkan kekegetan dengan ucapanku itu. Responnya dingin-dingin saja. Kok bisa? Ketidakheranan Ayahku membuatku malah semakin menggebu untuk kabur dari rumahku.

”Kapan kamu mau keluar dari rumah ini?”

”Mulai besok Ayah,” jawabku masih dalam kondisi bingung dengan sikap Ayahku yang biasa saja tanggapannya.

”Kenapa nggak sekarang saja?”

Pernyataanya Ayahku makin membuatku terpojok. Membuat aku marah. Sebab, aku merasa kaburnya aku seperti sudah dinanti-nantikan Ayahku. Kenapa begitu? Aku merasa tak dianggap. Aku jadi berpikir macam-macam. Jangan-jangan aku bukan anak kandungnya? Jangan-jangan kasih sayang Ayahku selama ini cuma basa-basi?

”Baik Ayah! Mulai hari ini saya keluar dari rumah ini!”

Aku kabur tanpa cium tangan. Tanpa cipika-cipiki. Itu karena aku merasa direndahkan oleh Ayahku. Karena aku merasa tak dianggap oleh Ayahku. Aku sakit hati. Kata Meggy Z, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Padahal yang namanya sakit, ya tetap aja sakit. Anyway, aku harus kuat. Harus tegar. Bukankah ini termasuk bagian dari ujian pertama sebagai manusia normal yang aku lakukan di luar rumah? Ujian pertama dari anak Koruptor yang selama ini hidup di comfort zone?

Begitu keluar rumah, aku tak lagi dihormati sebagaimana sebelumnya aku dapatkan. Kebetulan selama ini aku memang tak dikenal sebagai anak Koruptor. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka saling tak bertegur sapa, even memberikan senyum pada orang lain. Tak heran, begitu dompet dan handphoneku diambil Pencopet, tak ada satu orang pun yang membantuku. Padahal aku berlari mengejar Pencopet itu. Padahal aku berteriak-teriak kencang sampai nafasku Senin-Kamis. Namun, harapanku pada orang-orang sekitar untuk menangkap si Pencopet, terlalu besar. Mereka acuh dengan aku.

"Everything is complicated in this country, with the officials and what they do".

Aku masih bingung dengan tujuanku. Kemana aku pergi, dengan siapa aku hidup, untuk apa aku berada di dunia luar. Ketika tak punya uang lagi, aku juga bingung dimana aku akan tinggal. Padahal saat masih tinggal dengan Ayahku, di dalam dompetku minimal aku menyimpan uang cash 2 juta. Tentu uangnya bukan cuma rupiah. Malah sebagian besar lembaran dolar. Sisanya di dompet, ada puluhan kartu kredit yang siap digesep tanpa limit. Namun sekarang dompet itu telah dicopet. Kini aku tak punya uang sepersen pun. Nothing!

Padahal tadinya, dengan uang yang ada di dompet, aku hendak mengontrak rumah. Tak peduli rumah kontrakannya kecil, yang penting aku bisa cukup tidur. Yang panting aku juga cukup punya tempat berteduh dari hujan maupun panas. Padahal tadinya, aku hitung-hitung, uang di dompetku bisa mencukupi hidupku selama sebulan. Dengan sebulan, aku berharap bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji. Namun sekarang, dompet itu telah dicopet. Kini aku tak punya uang sepersen pun. Harapanku untuk mengontrak rumah pupus sudah.

”What am I supposed to do?”

Aku tak ingin minta bantuan saudara-saudaraku, kerabat-kerabat ayahku, termasuk minta bantuan teman-temanku. Kini aku terpaksa ikut menjadi pengamen. Modalku cuma telapak tanganku yang nantinya akan aku tepuk-tepukkan dan juga modal nekad. Aku harus buktikan pada Ayahku, kalau aku bisa survive. Kalau aku bukan pria cengeng. Kalau aku bukan pria yang bisanya cuma bergantung pada orang lain.

“I will make any mark in history!”

Hujan mengguyur seluruh jalan. Kondisi itu membuatku tak bisa ngamen. Aku berlari bersama beberapa pengamen dan pengemis untuk mencari tempat berteduh. Kami berteduh di atas jalan layang. Selain kami, ada beberapa sepeda motor yang juga meneduh di situ. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melewati kami. Bannya menginjak lubang. Airnya menciprat wajah dan bajuku yang sedang melamunkan nasib. Sial!

Badanku mulai kedinginan. Pada saat tadi aku berlari, air hujan memang sudah mengguyurku. Rambutku sempat basah. Bajuku juga basah. Cipratan air tadi pun memperparah basah di sekujur bajuku.

Aku belum pernah merasakan keadaan yang menyedihkan ini. Berada di bawah kolong jembatan, kehujanan, dan tanpa uang sepersen pun. Kini hembusan angin menusuk-nusuk dinding tubuhku. Dingin sekali. Rasa dingin kini membuat perutku keroncongan. Aku lapar!

Padahal ini belum setahun. Padahal ini belum sebulan, belum seminggu, bahkan belum dua hari. Kenapa kok aku mulai lemah? Kenapa kok aku mulai mempertanyaakan kekuatanku menghadapi ujian-ujian ini? Padahal banyak orang yang sudah terbiasa dengan kondisi ini. Lihatlah Pengemis-Pengemis di jalanan yang tak peduli panas, hujan terus mengetuk-ngetuk kaca mobil. Tengoklah Pengamen-Pengamen cilik yang tanpa lelah bernyanyi dari mobil ke mobil, meski tak setiap mobil memberikan uang recehan. Tapi kenapa aku kalah?

”It is tough for me, because the circumstance want me to survive alone. I know I’m young that never do this way. Find money and the way to live”.

Ternyata aku bukan seorang suvivor. Ternyata aku pria yang mudah putus asa. Ternyata aku pria yang lebih suka dihormati atau dilayani layaknya Raja. Ternyata jauh lebih enak menjadi orang kaya dan hidup serba ada, seperti kehidupanku sebelumnya. Dalam kondisi depresi seperti ini, aku kangen Ayahku. Aku juga kangen dengan Kacung-Kacungku. Kalau saja ada handphone, akan aku hubungi Ayahku sekarang. Aku akan minta maaf dan mengatakan sesuatu padanya.

”Ayah, aku bangga punya orangtua seperti Ayah. So, I'm glad you are my Father. I will always support what you do that, till dead do us part”.

Minggu, 18 Januari 2009

A SMILING OFFICE BOY IS WAITING FOR GENERAL


After retiring early at the age of 65, I went to Neraka. Lebih tepatnya Neraka Jahanam. I was a Office Boy in Negeri Impian. I thought, if I went to Surga, God must be crazy. Masa orang kayak gw masuk surga? But God was right. Now I’m here in Neraka Jahanam.

I didn’t expect to meet a senior Office Boy in Neraka. He called Soeharto, a smiling Office Boy. He wanted to meet me again. Kayak-kayaknya doi seneng banget ketemu sesama Office Boy di Neraka. He wanted to talk to me everything about politics. I was so confuse. Ya, bingung dong!

“Since when Office Boy know abaout politic?” kata gw.

“Please deh ah! Office Boy juga manusia!”

Finally I was agree. Terpaksa agree, karena nggak ada pilihan.

“Ok, what time will you pick me up?”

Tepat pukul 19.45, gw dan Soeharto ketemu di sebuah tempat yang rusak di Neraka Jahanam. He’s 70 years old, but looks 30 years older. He was very charming, because wearing best Designer clothes. Yang kebetulan Designer-nya juga tinggal di Neraka. Maklum, mayoritas Designer kan homo-homo.

“I know what some of you thingking: Soemonggo is negative President,” tiba-tiba si Senior Office Boy nyerocos kayak begitu.

Kenapa tiba-tiba Presiden Soemonggo yang dibawa-bawa? Doi kan udah meninggal? Kata orang Sunda pamali ngomongin orang yang udah meninggal. You can not do that! Impolite! Nanti diomelin sama Sigit Bondowoso, atau Bambang Tukulimo, atau Tommy Polkadot, atau Mbak Trututut, atau mbak Titit Kecil. He shouldn’t talk about President of Soemonggo. Atau mentang-mentang namanya sama dengan Presden ke-2 Republik Indongawur itu?

“To me Soemonggo is the best!” katanya.

“Why do you think so?” tanya gw nggak percaya.

“Of course, it’s complicated to explain. But I’ll try to explain little by little. Are you ready to listen?”

“I think so...”

“Ok, see you tommorrow...”

“What?!”

Gw bingung! Ini Office Boy katanya mau menjelaskan kenapa doi menyimpulkan Soemonggo adalah Presiden yang the best. Kenapa pas gw udah siap mendengarkan ceritanya, doi jadi membubarkan miting kita? Aneh!

Next meeting with a smiling Office Boy. At coffee shop in Neraka Jahanam.

“There are people who want to be President before Soemonggo died,” katanya sambil menyeruput kopi hitam yang diimpor dari nagera mayoritas orang Yahudi.

“I know...”

“But they were affraid! Pengecut! Sok mengabdi pada Soemonggo padahal musuh dalam selimut...”

“Really?”

“Nggak percaya?”

“Iya, don’t believe...”

“Gw juga nggak percaya...”

“Ah, gimana sih Abang ini. So they were enemy or friend sih?”

“Both!”

Katanya, sebelum pensiun jadi Office Boy di jalan Cendanu, a smiling Office Boy ini sempat dibisikin oleh beberapa Jenderal. Ada Jenderal Kancil, Jenderal Guk-Guk, Jenderal Kucing, dan Jenderal Happy Hour. Kata Jenderal-Jenderal itu, lain kali kalo mau makan di warteg, lebih baik ke Warmo aja.

“Because Warmo is one of the best Warteg in this world,” kata salah satu Jenderal yang diceritakan kembali oleh si smiling Office Boy itu.

“Apa hubungannya sama Presiden Soemonggo dan Jenderal-Jenderal itu?” tanya gw.

“Nothing. Nggak ada hubungannya...”

Halah! Kumaha nih senior Office Boy. Gebleg! Ceritanya loncat-loncat. Bego amat sih?! Tapi kalo pintar pasti nggak jadi Office Boy kali ya? Jadi Politikus yang kalo mampus dimasukin ke kardus, trus mahasiswa-mahasiswa meneriakkan: “Biar mampus!”

“Mari kita lanjutkan perbincangan kita..” katanya agak serius.

“Ok. I’m listning...”

“Please describe your life’s journey...”

“Me?”

“Yes! You idiot!”

“My life is interesting, with highs and lows, but the good thin is that I have been able to survive until now, in so many aspects of life...”

“Very nice story...”

“How about you?”

“Me?”

“Yes! You idiot!” kata gw gantian memaki dia. Biar tahu rasa.

“I’ve lost my mom, my best friend, but I survived it all like you. My greatest achievement, nyolong duit rakyat sebanyak 2 trilyun rupiah...”

“Hah?! Office Boy bisa nyolong duit sebanyak itu?”

“Why not?”

“Gimana caranya?”

“Seorang Jenderal yang kebetulan kenal dengan pengusaha menitipkan uang ke gw. Gw nggak tahu jumlahnya berapa. Tapi banyak banget. Gw baru tahu kalo uang itu adalah uang hasil korupsi..”

“Kenapa mereka menitipkan ke elo?”

“Because mereka takut ada pemeriksaan KPK. You know what?”

“What?”

“Duit itu mereka kumpulkan semasa Presiden Soemonggo masih hidup. Di hadapan Presiden Jendral dan Pengusaha itu sok alim, padahal mereka tikus...”

“Ada buntutnya nggak?”

“Nggak tahu deh! Yang pasti sekarang mereka lagi mau melakukan kampanye buat jadi calon Presiden. Slogannya mereka: mari kita sukseskan Wong Cilik buat menjadi Wong Besar, sehingga Wong Pitoe bisa menjadi band parodi ternama, kecuali Anda menjadi Wong Edan....”

“Slogannya panjang amat?”

“Ya begitu deh! Lihat aja sekarang di bumi. Caleg-caleg pada narsis. Slogannya ngawur. Sok bersih, sok profesional, sok pembela rakyat, sok berkarya demi bangsa. Padahal mereka itu tikus. Tikus yang tukang gragotin duit rakyat...”

“Ah, masa sih?!”

Tiba-tiba.

“Sssst! Jangan berisik! Jenderal dan Pengusaha yang gw ceritain tadi baru aja tewas ditembak...”

“Sama siapa?”

“Nggak tahu sama siapa. Gimana kalo kita kabur?”

“Runaway maksudnya?”

“Iya, runway. Karena gw yakin, si Jenderal dan Pengusaha itu akan cari gw. Mereka pasti tanya, duit 2 triliyun-nya ada dimana?”

“Mana bisa runaway? Kita kabur juga ngider-ngider di sini-sini juga, di Neraka.”

“Iya ya...”

“Tapi gimana kita tunggu dulu di sini. Kita lihat si Jenderal dan Pengusaha itu masuk ke Neraka Jahanam atau malah masuk ke Surga...”

“Ah, I don’t believe they go to Surga. They come here ke Neraka. Pastilah!”

“Jangan sok yakin, Bro! Kalo mereka punya uang buat nyogok? Bisa jadi masuk Surga...”

“What?!!!!”

Sabtu, 17 Januari 2009

DASAR TIKUS!

Dibiarkan hidup tanpa perangkap ternyata sama saja membiarkan binatang ini leluasa melakukan keonaran. Begitulah cara tikus hidup. Tikus tak lebih seperti manusia. Ketika Undang-Undang belum menjeratnya, ketika backingan masih berkuasa, manusia masih bisa leluasa menumpuk kekayaan dengan segala macam cara.

Manusia tikus adalah penjelmaan tikus-tikus yang menjadi manusia. Dialah manusia-manusia rakus yang munafik. Posisinya strategis, dimana sok menjadi pembela kebenaran, pembela wong cilik, wakil rakyat yang kala kampanye berteriak lantang akan memikirkan penderitaan rakyat. Namun ekor tikusnya tak bisa dibohongi. Karakter ketikusannya tak bisa mengibuli orang-orang setengah pintar.

"Dasar tikus!"

"Siapa? Dia? Atau aku?"

"Terserah!"

Dia adalah Politikus. Aku adalah Pengusaha. Dia adalah Gubernur. Aku adalah Kepala Polisi. Dia adalah Direktur. Aku adalah Pegawai Negeri. Dia-Aku. Aku-Dia. Dia-Dia. Aku-Aku. Dia dan Aku.

"Sekarang semua sama aja..."

"Sama apa maksudmu?"

"Sama korupnya!"

"Hush! Hati-hati kalo bicara. Salah-salah bisa diadukan pengacara..."

"Halah! Pengacara juga korupsi. Korupsi opini. Korupsi kebenaran. Kesalahan diplintir-plintir akhirnya menjadi sebuah kebenaran..."

Tak tahu lagi siapa menjadi tikus, tikus menjadi manusia yang profesinya apa. Semua seperti manusia, tapi sebenarnya tikus. Tikus yang ada di rumahku. Yang setiap malam berisik sekali, gara-gara masuk lubang pintu yang sudah dia gerogoti. Gara-gara naik ke atas lubang angin dan menjebol kawat nyamuk. Dasar tikus! Bisa saja mendapat tempat-tempat menyusup.

Seperti manusia, ada saja mendapatkan lubang-lubang tikus. Dimana lubang-lubang itu bisa buat apa saja. Buat mencari makan, buat mencari uang, buat mencari kebenaran, buat mencari akal agar bisa lolos nggak dipenjara, dan buat-buat lainnya.

"Jadi bagaimana cara mengusir tikus?"

"Jadi kucing. Bukankah kucing musuhnya tikus?"

"Tikus sekarang lebih berani daripada kucing tahu?! Lagipula tikus-tikus sekarang besar-besar. Mana berani kucing makan tikus? Kelolotan!"

"Kalo begitu manusia jadi tukang bakso aja..."

"Kok tukang bakso?"

"Supaya tikusnya dijadikan bakso. Bakso tikus!"

"...."

Kamis, 15 Januari 2009

SALAH IKUT DEMO

“Kebinekaan adalah kebebasan untuk menampilkan seluruh hal yang dimiliki masyarakat. Dengan disahkan UU Pornografi, maka akan memasung kebebasan tersebut. Diskriminasi pun terjadi akibat adanya UU itu,” ucap seorang Seniman dalam sebuah orasi di depan ratusan orang. Nada suaranya keras. Dengan nada suaranya itu, diharapkan orang menilai Seniman ini tegas.



Gw mengangguk-anggukan kepala mendengar orasi itu. Gw yakin, Seniman itu pasti orang pintar. Paling tidak, pintar ngomong. Pintar ngomporin orang-orang, supaya kontra pada suatu kebijakan. Kebijakan kali ini yang diorasikan soal UU Pornografi. Feeling gw, mereka yang hadir di orasi adalah penentang UU Pornografi yang disahkan MPR. Sebenarnya nggak usah pake feeling, mereka nggak suka UU Pornografi diundang-undangkan.

Dengan sisa ketololan, gw coba menafsir-nafsir dengan orasi tadi. Bahwa Indonesia memang punya banyak daerah, dimana masing-masing daerah punya adat istiadat. Itu gw akui 100% benar banget. Makanya Indonesia mempunyai slogan Bhineka Tunggal Ika atau beragam namun tetap satu. Namun soal kata “memasung kebebasan” atau “diskriminasi” akibat UU Pornografi, gw nggak mudeng. Maksudnya apa ya?

Dalam bayangan gw, nggak ada satu adat pun yang mengizinkan pamer payudara atau alat kelamin. Ada memang suku yang masih belum pakai pakaian. Namun kayaknya kondisi itu bukan bagian dari UU Pornografi, dan memang bukan sebuah pornografi. Kecuali ada adat yang mengizinkan berbugil-bugil ria menari atau melakukan sebuah upacara ML bersama, mungkin ini kita boleh anggap “memasung kebebasan” atau “diskriminasi budaya daerah”.

But! Aber!

“Memangnya ada adat istiadat yang kayak begitu?” tanya gw agak tolol. Iya, gw memang tolol. Lebih tepatnya tolol dan sok pintar. Maklum, gw lahir dari keluarga baik-baik, dimana adat istiadat gw nggak mengajarkan hal-hal kayak begitu. Ya, ajaran yang lurus-lurus aja.

Adat Betawi? Kayaknya nggak ada bugil-bugilan deh. Adat Sumatera Utara? Yang gw tahu nggak pake buka baju atau celana, kan? Adat Sunda? Kayak-kayaknya sih dilarang sama Ketua RT asli Sunda buat buka kebaya deh. So, mana orang yang diskriminatif dan mana orang yang terdiskriminasikan ya? Hmm... lagi-lagi pertanyaan tolol dari orang tolol.

Sebagai anggota masyarakat yang tolol, gw masih kelimpungan dengan orasi seniman itu. Gw antara percaya nggak percaya. Percaya apakah betul mereka percaya dengan ucapan mereka sendiri? Percaya apakah mereka yakin UU Pornografi cuma aspirasi atas nama agama?

“Selain matinya prinsip keberagaman, kebudayaan dan kreativitas seniman juga akan mati suri dengan pemberlakuan UU ini. orang-orang yang mengesahkan UU Pornografi adalah penganut aliran Hitler. Orang yang menyetujui UU Pornografi adalah mereka yang nggak menyukai perbedaan,” kata Seniman itu lagi. Masih dengan semangat 45. Air liurnya muncrat-muncrat. Muncratannya sempat mengenai peserta orasi lain.

Gw bangga sekaligus kecewa. Bangga, karena si Seniman itu memunculkan lagi nama Hitler. Kecewanya kenapa nama Hitler dibawa-bawa untuk urusan UU Pornografi ini? Bukankah Hitler nggak pernah tampil bugil? Nggak pernah melakukan poligami? Bukan budak seks? Terus terang, gw adalah pria bertanggung jawab dan normal lahir maupun bathin, yang menjadikan Hitler sebagai pahlawan. Hitler pahlawan? Buat gw, ambisi Hitler memusnahkan Yahudi tempo dulu adalah tindakan luar biasa. Hitler udah punya visi, kalo Yahudi dibiarkan di muka bumi ini, maka dunia akan hancur. Lihatlah Palestina! Itulah kelakuan Yahudi. Dibiarkan tumbuh, malah kurang ajar.

I LOVE HITLER, dan moga-moga Hitler loves me. Tapi nggak mungkin dia suka gw, karena gw masih suka nongkrong di Starbuck. Kalo dia lihat dari neraka, pasti dia juga ngajak gw ke neraka. Doi pasti akan tanya: “Ngapain loe masih minum kopi di Sturbuck? Sturbuck itu antek-antek Yahudi tahu?! Sebagian uangnya disetor buat perjuangan Yahudi! Katanya elo nggak suka Yahudi?” Hitler betul! Gw belum konsisten! Sorry Hitler! Tapi gw tetap benci Yahudi!

Back to UU Pornografi, gw kecewa! Kecewa Hitler nggak ada hubungannya dengan masalah pornografi kok dibawa-bawa? Doi udah tenang di neraka. Please jangan bawa-bawa doi lagi.

“Kenapa sih agama dibawa-bawa dalam protes UU Pornografi?” tanya gw masih dengan IQ jongkok.

“Mungkin mereka atheis kali?!” jawab teman gw enteng. Tanpa rasa takut.

“Hush!!! Hati-hati kalo ngomong!” gw langsung menutup mulut temen gw.

Kepentingan agama? Hmm... gw lama berpikir. In-depth thinking. Melakukan perenungan. Kenapa ya mereka membawa-bawa agama dalam UU Pornografi? Jangan-jangan statemen temen gw ada benernya juga. Benernya, kalo agama dijadikan kambing hitam, berarti mereka yang protes nggak beragama dong? Bukankah semua agama melarang adanya pornografi? Ibaratnya, nggak ada agama yang mengizinkan buka-bukaan di depan ummat? Nggak ada agama mana pun yang mengizinkan pertontonkan payudara atau alat kelamin di depan umum, dimana hal itu bisa bikin kita ereksi. Please show me what religion is it?

Baik itu Hindu atau Buddha, gw rasa nggak mengizinkan ummat-nya melakukan aksi menjurus ke arah negatif. Maksudnya, dalam upacaranya ada adegan-adegan erotis. Nggak mungkin ada kan? Hindu akan melakukan sesuatu yang sakral, terhormat, luhur, suci, dan nggak macem-macem. Jadi kalo ada yang bilang demi kepentingan agama, agama mana ya?




Aneh juga kalo ada yang mengatakan Seniman jadi “mati suri”. “Mati suri” dari Hongkong?! Yang namanya Seniman itu kudu kreatif. Kalo nggak kreatif, ya bukan Seniman namanya. Tapi Hanoman. Memangnya Seniman cuma buat patung-patung bugil? Memangnya Seniman cuma buat lukisan-lukisan bugil? Kan enggak?! Kalo Seniman cuma bisa bikin patung atau melukis wanita-wanita bugil, mending ke laut aja. Once again, Seniman tuh kudu kreatif, Bos!

“Elo kok ngotot banget sih anti mereka yang anti UU Pornografi?” tanya temen gw.

“Soalnya gw punya anak. Anak gw akan punya anak. Anaknya lagi akan punya anak. Anak-anaknya lagi akan punya anak lagi. Elo lihat nggak attitude anak-anak sekarang kayak gimana?”

“Enggak...”

“Anak generasi sekarang aja kayak begitu, bagaimana generasi mendatang?”

Maksud “kayak begitu”, anak-anak sekarang adalah generasi film porno yang dijual bebas di Glodok, video porno via bluetooth, DVD porno, seks bebas, orgy (pesta seks) dimana-mana, party, generasi anak SMP yang menjual diri jadi PSK seharga 300 ribu-an, dan masih banyak contoh lain. Kira-kira kalo nggak diawasi dengan UU Pornografi apa jadinya ya anak-anak generasi mendatang? Elo pikir patung-patung atau lukisan-lukisan atau foto-foto bugil itu nggak bikin ereksi lelaki? Elo pikir film-film yang “setengah-setengah” melakukan adegan bercinta nggak bikin nafsu? Gw kebetulan lelaki normal yang mudah terangsang dengan hal-hal itu. Mungkin buat lelaki yang nggak normal, sesuatu yang “setengah-setengah” atau seseorang nggak berbusana itu belum menimbulkan ereksi.

Seni dijadikan alat agar mereka yang nggak suka UU Pornografi disahkan bisa bebas lagi “berkarya”. Emangnya berkarya cuma ngurusin UU Pornografi? Berkarya ya berkarya aja kaleee! Kayaknya masih banyak ide yang belum tergarap. Film-film Iran keren-keren banget. Tapi Director-nya nggak pernah mengekploitasi wanita atau pria secara fisik. Kenapa? Content-nya ok! Lukisan-lukisan Picasso luar biasa! Tapi setahu gw belum ada yang menampakkan lukisan bugil, sebagaimana lukisan wanita Bali zaman dahulu yang tanpa busana.

Seni dikultuskan agar Seniman-Seniman bebas mengekspresikan (mohon maaf!) alat kelamin pria, alat kelamin wanita, payudara, paha, semua hal yang membuat syahwat manusia ereksi. Lahirnya jadi film erotis (kalo nggak mau disebut blue film), sastra selangkangan (mengambil istilah Taufik Ismail kalo nggak mau dibilang sastra stensilan), atau lukisan maupun photografi erotis (kalo nggak mau disebut sebagai kalender porno). Gw jadi berpikir terbalik, ternyata bukan agama yang diatasnamakan, tapi seni.

“Emang erotis itu apa sih Kak?” tanya temen gw.

“Gw nggak bisa jawab, tapi gw mau tanya elo. Kira-kira kalo ada seseorang yang membuat birahi elo dan mayoritas orang memuncak, kira-kira apa sebutan yang cocok? Kira-kira kalo ada still photo yang bisa membuat orang-orang onani apa sebutan yang pas? Kira-kira lagi kalo ada wanita atau pria yang menari dengan gaya meliak-liuk di atas pentas dengan pakaian minim apa namanya?”

“Erotis?”

“Nggak tahu?!” jawab gw.

Akhirnya gw cape mendengarkan orasi si Seniman itu. Kuping gw rasanya merah banget. Lebih merah dari lampu merah. Udah dua jam ini si Seniman itu berorasi, menentang Pemerintah yang tega mensahkan UU Pornografi dan kini UU-nya lagi mau diuji materil (juducial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Memang, Pemerintah nggak 100% benar, tapi positive side-nya: mereka pasti punya visi menyelamatkan anak bangsa di seluruh daerah Indonesia yang Bhineka ini. Gw bosen dengan orasinya. Gw mo pergi. Sebelum pergi, iseng-iseng gw tanya ke beberapa peserta orasi. Maklum, rasa penasaran plus ketololan gw timbul.

“Mbak kenapa ikutan orasi?” tanya gw.

“Saya penari striptease, Mas. Kalo ada UU Pornografi, nafkah saya jadi hilang”.

“Kalo Bapak?”

“Saya partygoers, Mas. Saya sedih nggak bisa party-party lagi di rumah temen-teman saya...”

“Lho, kalo party mah nggak masalah bukan, asal nggak mabuk-mabukan, narkoba, atau pesta seks....”

“Masalahnya di situ, Mas...”

“Kalo Ibu?”

“Saya biasa jadi model bugil buat dilukis atau dibuat patung. Gara-gara UU Pornografi ini, job-job saya pasti akan lenyap ditelan oleh angin yang berhembus...”



Gw pusing! Kok orang-orangnya yang ikutan orasi begini semua. Apa gw salah interview orang? Atau gw salah demonstrasi ya? Pasti nggak semua Seniman begitu sih. Hmm...bingung gw. Pusing gw. Daripada pusing, gw ajak mereka ikutan demo. Bukan demo masak. Tapi demo buat hancurkan Yahudi dari muka bumi ini. Gw memang terlanjur anti-Yahudi. Makin benci lagi, begitu tahu Yahudi udah menewaskan 100 anak kecil di Jalur Gaza. Eh, ternyata mereka setuju...

“Tapi kita-kita dikasih uang demo kan? Kalo biasanya 30 ribu, sama Mas kita diskonin deh. Duapuluh ribu aja nggak apa-apa. Yang penting iklas...”

Dasar demonstran bayaran!

Rabu, 14 Januari 2009

HARGA SEBUAH MULUT


Berapa harga sebuah mulut? Tentu saja nggak ada yang bisa menghargainya, kecuali orang yang punya mulut itu sendiri. Lho kok bisa? Ya iyalah! Mulut itu harganya bisa selangit, bisa pula setanah (maksudnya rendah). Dengan mulut elo bisa jadi kaya. Sebaliknya, dengan memiliki mulut elo juga bisa miskin. Pilih mana?

Kata orang, mulut itu seperti harimau. Makanya ada pepatah yang mengatakan: mulutmu, harimaumu. Maksudnya, elo lebih mirip harimau daripada mirip anjing. Mendingan mirip harimau kali ya, karena harimau keren. Bulunya belang-belang. Pake kumis kecil-kecil. Badannya lebih besar daripada anjing. Giginya tajam. Julukannya pun raja hutan. Kalo anjing? Yah, cemen! Segede-gedenya badan anjing, paling segeda anak macam. Bulu anjing juga halus sih, tapi nggak ada tipe anjing yang belang-belangnya sekeren macam. Udah gitu, anjing itu najis. Dilarang sama agama gw buat dipelihara. Air liurnya itu lho yang bikin najis. Kalo kita dijilat, kita pasti akan ngomong: “Aduh! Najis mas Boy!”

Kenapa tadi ngomonging anjing ya? Elo-elo sih kayak anjing! Maaf! Maaf! Yang kayak anjing itu gw. Kalo elo kayak harimau deh, raja hutan.

Back to school! Eh! Back to mulut. Mulut harimau itu gede, sedang mulut anjing itu kecil. Buntut harimau itu panjang, sedang mulut anjing itu pendek. Lah, ini kok ngomongin anjing lagi? Piye iki? Aku boten ngertos karo aku iki. Ya uwis, kite fokus dan konsen ngomongin soal mulut. Don’t belak-belok lagi ke harimau atau anjing ya? Awas kalo elo ngomongin lagi soal harimau atau anjing?! Tapi susah sih kalo nggak ngomongin anjing. Kenapa? Saat ini orang yang mulutnya nggak bisa dijaga itu mirip anjing. Nggak percaya?

“Saudara-saudara sekali! Kalo nanti terpilih menjadi Bupati di sini, saya akan menggratiskan sekolah, kesehatan, perumahan, permobilan, pekapalan, persetubuhan, pencurian, perkawinan, dan pemijitan,” papar serang calon Bupati berinisial XL saat pidato ke sepuluh penduduk di balai desa.

“Hore! Hore!” teriak penduduk yang nggak pake sandal itu dengan semangat 47.

“Dengan menjadi Bupati, saya bisa merealisasikan aspirasi saudara-saudara sekalian. Apa itu? Mengimpor beras dari Thailand, mengimpor motor dan mobil dari Jepang maupun Amerika, mengimpor lebih banyak lagi film-film Hollywood, mengimpor pembantu-pembantu dari Bollywood yang bahenol itu, dan meratakan rumah-rumah kumuh yang ada di bantaran kali. Bukan begitu saudara-saudara?”

“Bukan! Bukan!” teriak penduduk lagi, yang masih nggak pake sandal. Tapi kayaknya lagi dibelikan sama asistennya calon Bupati itu. Katanya malu-maluin, masa nggak pake sandal. Kata orangtua, kalo keluar rumah kan kudu pake sandal. Ya nggak?

“Lho kok bukan?!” calon Bupati bingung tujuh keliling. “Betul kan aspirasi saudara-saudara begitu?”

“Betul! Betul!”

Ketika calon Bupati XL terpilih jadi Bupati, seluruh aspirasi yang udah disampaikan di atas mimbar buyar. Maksudnya, nggak sesuai. Kejadian model begitu bukan sekali atau dua kali dialami di perpolitikan bangsa ini. Anjing nggak tuh? Gara-gara mulut yang nggak disekolahin, atau mulut udah disekolahin tapi otak nggak disekolahin, ya jadinya kayak lagunya Betharia Sonatha berjudul “Hati yang Luka”: “Janji-janji... tinggal janji... bulan madu...hanya mimpi...”

Kalo nggak dijaga, mulut memang kayak anjing. Gampang menggonggong, tapi lupa tadi menggonggong apa ya? Lebih mending anjing cuma guk guk guk, biasanya politikus lebih dari satu kata. Kata yang paling sering: reformis, bersih, jujur, profesional, nurani, adil, sejahtera, dan ribuan kata-kata lagi. Kata-kata itu membuat harga mulut akan rendah kalo nggak kejadian, nggak benar-benar diwujudkan, omdo alias omong doang. Makanya pas kampanye Presiden nanti, elo bawa tape recorder trus rekam seluruh janji-janji para capres. Kalo si Capres itu udah terpilih jadi Presiden, putar rekaman elo itu dan dengarkan. Apakah janjinya 100% sesuai dengan yang dikampanye? Atau 50% sesuai? 25% doang yang sesuai? Atau malah 100% nggak ada yang sesuai?

Kalo janji si Capres yang jadi Pres yang sesuai kampanye masih berada di kisaran 50% barangkali masih setengah anjing. Maksudnya, Kepalanya manusia, ekornya badan serta ekornya kayak anjing. Kalo 100% nggak sesuai, nah mari kita sebut si Presiden terpilih itu sebagai Presiden anjing! Eit, ada yang nanya: kenapa nggak Presiden Taksi aja? Gw yakin, orang yang nanya ini adalah orang yang nggak pernah naik taksi. Atau naik taksi, tapi taksinya pilih-pilih. Atau Blue Bird mania. Jawaban buat orang yang nanya tadi adalah: Presiden Taksi udah almarhum tahu?!

Kenapa sekarang ini Artis-Artis jadi Caleg? Ya, karena pengen mengekor anjing-anjing sebelumnya yang 50% masih berwujud manusia kepalanya. Kenapa nggak jadi harimau aja? Terlalu besar resikonya. Harimau tinggalnya cuma bisa di hutan, di Kebon Binatang, dan di Dufan, eh salah di Taman Safari. Kalo anjing, tinggalnya bisa dimana-mana. Mau di rumah tipe 21, tipe 45, di Pondok Indah, Pantai Indah Kapuk, Bekasi, Karawaci, Kalimantan, ini Medan bung!, dan daerah-daerah lain, anjing eksis. Ini maksudnya apa? Anjing dipelihara oleh manusia setengah anjing atau anjing fulltime. Beda kalo anjing liar atau anjing hutan. Tipe anjing ini memang susah diurus. Kepribadiannya terlalu wild.

Jangan kira Kiai atau Ustadz atau Pastur atau Pendeta atau agama lain apa namanya gw nggak tahu, nggak bisa menurunkan harga mulut mereka dan akhirnya mengekor politikus anjing tadi. Elo-elo semua pasti udah sering mendengarkan ceramah atau kotbah atau apalah namanya. Mereka-mereka yang sebetulnya suci bak kain atau kertas putih seringkali tercoreng oleh mulut mereka sendiri. Sudah banyak contoh kok!

“Kita itu hidup harus beriman kepada yang kuasa. Percaya kalo Tuhan itu ada,” ujar seorang Ustadz.

“Adanya dimana Ustadz?” tanya pengikut Ustadz yang paling goblog otaknya.

“Pokoknya ada deh! Nggak usah tanya begitulah. Malu sama tetangga,” papar Ustadz agak sewot menjawab. Padahal hati kecilnya juga bertanya-tanya Tuhan itu ada nggak sih?

Delapan bulan kemudian, Ustadz diberitakan memperkosa murid pengajiannya. Mending cuma satu, ini duabelas. Kebetulan Ustadz berwujud Pria, yang diperkosa semua berwujud Pria juga. Ini namanya Ustadz homo. Tadinya, si Ustadz mau mengikut Kiai-Kiai lain yang berpoligami. Tapi nggak mungkin, karena kalo Poligami sesama jenis belum ada namanya. Mau dinamakan Poliklinik udah ada yang punya, yakni Departemen Kesehatan. Akhirnya nggak jadi. Ustadz juga mau ikut-ikut memamerkan kekayaan berupa uang dan mobil BMW seperti Kiai jenggotan yang kaya raya itu, tapi sayang, Ustadz nggak punya kekayaan alias miskin semiskin-miskinnya orang. Nggak ada lagi yang bisa diperbuat selain memperkosa murid-muridnya.

Banyak sekali contoh-contoh mulut yang nggak dijaga. Mulut-mulut yang harganya menjadi rendah akibat ulah si pemilik mulut itu sendiri. Namun, nggak sedikit manusia yang mulutnya dijaga sehingga harga mulutnya jadi mahal. Siapakah mereka? Eng ing eng! Hmm...siapa ya? Kok gw jadi lupa? Begini deh, banyak kok aktivis-aktivis yang merelakan hidupnya buat kemaslahan umat manusia. Kalo elo baca para peraih Nobel, itu adalah orang-orang yang pandai menjaga mulut. Mereka melakukan bukan atas dasar jabatan atau uang, tapi atas dasar kemanusiaan. Mereka nggak perlu dibuatkan iklan sok-sok akrab dengan nelayan, akrab dengan petani, pernah melaut bersama nelayan, menangkap ikan, dll. Para penulis Nobel lebih action duluan selama bertahun-tahun ketimbang diekspos via iklan televisi atau radio yang ber-slot-slot itu.

Sering-seringlah baca di Kompas yang ada rubrik profil manusia-manusia yang nggak dikenal namun aktivitasnya luar biasa. Mayoritas dari mereka udah melakukan aktivitas itu bertahun-tahun. Konsisiten, bukan karena jabatan atau uang, tapi lebih kepada menolong hidup banyak orang. Ingat menolong orang banyak ini bukan aktivis LSM yang seringkali demonstasi daripada action, lho?! Beda! Aktivis LSM yang sering turun ke jalan biasanya jarang action, jarang memberikan solusi, yang ada seringkali menunggangi orang-orang miskin atau orang-orang tolol demi kepentingan diri sendiri. Percaya deh! Ada aktivis LSM yang katanya memperjuangkan tukang becak, naiknya mobil BMW. Nggak usah dibahas! Nah, yang ada di Kompas, itu manusia-manusia ikhlas. Murni melakukan aktivitas karena terdorong rasa ingin menolong, meluruskan sesuatu yang salah, membangun desanya agar makmur.

Pertanyaannya: kenapa bukan orang-orang yang ada di Kompas itu saja yang jadi Presiden atau Menteri atau Bupati?

Jawabannya: manusia yang disebut manusia biasanya lebih suka memilih anjing atau manusia setengah anjing daripada baca Kompas. Harga kompas sekarang ini soalnya mahal, Harga ecerannya Rp 3.500, harga langganannya Rp 78.000. Kalo Suara Pembaharuan? Harga ecerannya Rp 2.800, harga langganannya Rp 68.000. Ini sebenarnyamo langganan koran atau apa sih? Hehehe... maksdunya, manusia itu pengennya praktis. Bebet-bobot-bibit udah nggak ada gunanya lagi. Yang sebenarnya latar belakangnya preman, eh sok jadi patriot. Dia yang dulu sempat jadi komando membunuh mahasiswa, eh tiba-tiba punya hati nurani. Dia yang katanya pembela wong cilik kok malah nambahin outlet Pom Bensin bukan bikinin Pom minyak tanah atau gas elpiji yang harganya selangit itu. Dia yang tinggal lama-lama di negara Arab, eh sok mau membangun Indonesia raya. Dulu kemana aja, Tong?! Ngumpet?!

Minggu, 11 Januari 2009

BEKMEN INSYAF


Udah hampir sejam ini, cowok kerempeng itu berdiri di atas tembok rumah Pak RT. Dengan kostum berwarna hitam dan topeng warna pink, doi kelihatan keren banget. Doi sadar, warna kostum dan topengnya, nggak matching. Tapi doi cuek bebek. “Habis, pink is my favorite colour,” katanya pada rumput yang bergoyang. Satu paket dengan kostumnya, ada sayap yang melambai-lambai gara-gara tertiup angin malam. Warna sayapnya pun nggak matching, warna putih totol-totol. Persis warna anjing dalmation.

Sambil memanggul karung, mata cowok ini melirik ke kiri dan kanan, persis penari Bali. Dari gayanya, dia seperti sedang mengawasi lokasi di sekitar situ. Ia nggak sadar, tembok rumah Pak RT yang ia injak itu tembok tua. Yang setiap waktu bisa ambruk-bruk. Benar saja, tiba-tiba angin berhembus dengan kencang. Badan kerempeng cowok itu membuat keseimbangannya hilang. Akibatnya...

“Bruk!”

Cowok itu akhirnya jatuh. Karung yang tadi dibawa lepas dan terbuka. Tahu apa yang keluar? Beberapa bebek. Melihat pasukan bebek lepas dari karungnya, cowok itu segera bangun. Sayang, baru hendak bangun, tembok Pak RT rubuh lagi dan menimpa cowok itu. Lagi-lagi, cowok itu jatuh lagi. Kali ini nggak sendirian, tapi ditemani oleh reruntuhan tembok. Sudah diduga, ambruknya tembok Pak RT membuat suasana yang tadinya sepi sepoi, menjadi gaduh.

“Bunyi apa itu?” tanya seorang warga yang udah siap bawa gebukan kasur. Nggak tahu mau ngapain bawa gebukan kasur, atau memang baru ngegebukin kasur. Tapi ngapain juga ya malam-malam gebukin kasur. Bukankah seharusnya ngegebukin tikus?

“Apa itu bunyi?” tanya pria satu lagi yang keluar dalam kondisi aneh: pakaiannya terbalik. Celana dipakai jadi baju, baju dipakai jadi celana. “Eh, terbalik ya bahasanya? Harusnya: bunyi apa itu?!” pria itu membetulkan kalimatnya yang tadi salah.

Cowok berkostum hitam itu langsung kabur, begitu mendengar suara langkah beberapa penduduk menuju ke arahnya. Rupanya gerakan cowok ini diketahui oleh seorang penduduk. Siapakah dia? Apa ciri khasnya? Simaklah teriakan-teriakannya berikut ini.

“Maling!” teriak seorang warga yang punya kumis baplang.

“Maling!” teriak warga itu lagi, yang kebetulan masih juga punya kumis baplang.

“Maling!” lagi-lagi warga kumis baplang berteriak.

Sejumlah penduduk mengejar cowok yang diteriaki maling itu. Nggak seperti Flash yang larinya secepat kilat, cowok itu berlari 2 km/ jam. Adegan kejar-kejaran di malam hari ini cukup seru. Melewati dari satu gang kecil ke gang besar. Melewati got kecil sampai got besar yang banyak sampahnya. Kalo si cowok belok kiri, orang-orang ikut-ikutan belok ke kiri. Begitu juga begitu si cowok belok kanan, orang-orang ngikut belok kanan. Sekali waktu, si cowok bergantian mengejar orang-orang. Begitu mereka sadar, balik lagi ke posisi semula, yang dikejar di cowok. Adegan kejar-kejaran akhirnya berakhir dengan kemenangan si cowok. Maklum, si cowok lebih dulu sampai ke pangkalan ojek, dimana di situ ada Tukang Ojek yang ganteng jelita.

“Bang tolong antarkan saya ke rumah sakit!” perintah si cowok berkostum itu.

“Siapa yang sakit Bang?” tanya Tukang Ojek. Pertanyaan nggak penting. “Abang yang sakit? Sakit apa Bang?”

“Nggak usah banyak tanya deh! Cepat antar saya. Nanti keburu ada orang-orang, nih!” kata si cowok itu lagi sambil mengusap darah yang ada di sikunya. Rupanya doi terluka. Ini luka akibat jatuh dan kerubuhan tembok.

“Emang sekarang ini kalo tanya-tanya dilarang?” kata Tukang Ojek agak protes.

“Ya, enggak! Tapi waktunya nggak tepat!”

“Tanya lagi boleh nggak? Kenapa situ pake kostum kayak Batman? Emang situ Batman?”

Gara-gara nggak sabar, si cowok langsung mendorong si Tukang Ojek yang sedari tadi berada di atas jok. Akibatnya, si Tukang Ojek jatuh tersungkur. Pantatnya nungging. Sebelum membawa motornya, si cowok menempelkan stiker di pantat si Tukang Ojek. Tulisan di stiker itu: BEKMAN.

Orang-orang menyesali perbuatan mereka akibat gagal menangkap cowok itu. Padahal, udah beberapa bulan ini, cowok itu menjadi buronan penduduk kampung. Doi dianggap meresahkan bagi ekistensi bebek-bebek yang menjadi hewan peliharaan mayoritas penduduk di kampung bebek. Bukan cuma hewan peliharaan, namun bebek udah menjadi komoditi yang menjadi sumber penghasilan tertinggi warga. Hampir sebagian besar warga kaya raya gara-gara beternak bebek.

Udah lama kampung bebek hidup dari ternak bebek. Bahkan sebelum kampung berdiri, bebek udah lebih dulu hadir. Nggak heran kalo kampung yang tadinya belum punya nama, dinamakan kampung bebek.

Seiring dengan meningkatnya jumlah warung makan atau restoran yang menjual bebek sebagai menu andalan, kampung bebek mulai dilirik orang. Para pemilik warung maupun restoran bebek selalu datang silih berganti ke kampung bebek. Selain membeli bebek, mereka juga ada yang cuma sekedar ngobrol dengan bebek, curhat-curhatan, atau kangen-kangenan.

Meski kampung-kampung lain banyak yang beternak bebek, namun para pengusaha warung atau restoran lebih suka membeli bebek di kampung bebek. Boleh jadi karena kualitas bebek di kampung bebek lebih terjamin. Ada cap halal di setiap punggung bebek. Selain lebih terjamin, beli bebek di kampung bebek mendapat diskon 25% kalo membayarnya dengan salah satu kartu kredit. Kebetulan beli bebek di kampung bebek nggak harus cash, bisa sistem gesek. Geseknya tentu pakai kartu kredit, bukan pake kartu remi. Selain diskon, ada lagi keunggulanya, yakni setiap pembelian dua bebek berhadiah satu bebek atau istilahnya “buy 2 get 1 free”.

Sayang, nggak semua orang menyukai peningkatan kualitas hidup penduduk kampung bebek. Ada orang yang nggak suka warga kaya gara-gara mengorbankan bebek. Orang ini meresa bebek juga butuh hidup. Bebek memang hewan, tapi dia punya hak buat hidup seperti manusia. Ketidaksukaan orang ini menyebebkan dirinya memiliki rasa pri-kebebekan. Dia bertekad buat menyelamatkan bebek-bebek dari ekspolitasi penduduk kampung bebek. Orang yang nggak suka ini nggak lain nggak bukan adalah cowok yang diteriaki maling oleh warga kampung. Cowok itu bernama Panjul.

Suatu malam, Panjul yang berpala panjul itu ingin merealisasikan rencananya. Apa sih rencananya? Rencananya menyelamatkan bebek-bebek dari kandang dengan cara mencuri. Kalo bebek-bebek di kandang hilang, maka kampung bebek akan kehilangan bebek. Kalo bebek hilang, maka warung bebek dan restorang nggak akan mendapatkan distribusi bebek. Akibatnya, mereka bangkrut, gulung tikar. Dengan begitu, bebek akan terselamatkan dan rencana Panjul berhasil.

Dalam aksinya, yakni mencuri bebek, Panjul sendirian. Nggak ditemani siapa-siapa. Persis lagu Koes Plus: “suatu malam ku sendiri...a a a... tiada teman ku nanti”. Panjul memang lebih suka sendirian. Lagipula aksi menyelamatkan bebek yang doi rencanakan itu nggak didukung oleh siapa-siapa, ya jadinya better alone lah. Dalam kesendiriannya, dia juga nggak pake alat apa-apa. Nggak pake golok kek buat nyongkel pintu kandang. Atau pake sendok dan garpu kek buat makan (yang ini kayaknya memang nggak perlu deh). Intinya, Panjul maling dengan tangan kosong.

Malam itu gelap. Panjul nggak lihat sama sekali mana kandang, mana gudang. Kebetulan aksi pertamanya dilakukan di rumah orangtuanya. Menurutnya, aksi pertama dianggap latihan. Kalo latihan maling, lebih baik dilakukan di tempat orang udah dikenal kayak rumah orangtuanya ini. Kenapa? Kalo ketahuan, nggak mungkin dipukulin sama seluruh warga kampung dong. Paling-paling diceramahin. Nah, balik lagi ke masalah gelap gulita. Gara-gara nggak bisa lihat dengan jelas lokasi kandang, Panjul akhirnya meraba-raba dengan cara mencium bau bebek. Dengan petunjuk bau bebek, berharap kandang bebek akan ditemukan. Benar, strategi itu berhasil. Panjul menemukan sebuah kandang yang berisi banyak bebek.

Setelah pintu kandang dibuka, tangan Panjul mulai mencari-cari bebek buat ditangkap. Aksi ini membuat bebek-bebek di kandang itu minggir. Para bebek bersuara. Kalo boleh diterjemahkan, bebek-bebek itu merasa nggak nyaman mau ditangkap. Panjul nggak ngerti isi hati yang disuarakan bebek-bebek. Belum sempat menangkap bebek, salah seekor bebek mematok tangan kanan Panjul.

“Aduh!” jerit Panjul kesakitan akbat dipatok bebek.

Patokan bebek bikin Panjul panik. Doi jadi menarik tangannya keluar dari pintu kandang. Ada bekas patokan di tangannya, yang ternyata mengeluarkan banyak darah Nggak berapa lama, kondisi Panjul melemah. Ini akibat darah yang keluar begitu rupa banyaknya. Doi akhirnya tumbang di depan kandang bebek.

“Bapaaaaaaaaaaaaaaakkk!!!” Ibu si Panjul berteriak memanggil Bapak si Panjul. Bapak kemudian datang. Dia tanya ke Ibu ada apa? Ibu bilang, ada Panjul tidur di depan kandang bebek. Bapak tanya apakah si Panjul semalam nggak tidur di kamarnya? Ibu bilang nggak tahu. Bapak bilang, mari kita cari tahu.

Bapak mengguyur air ke Panjul, lebih tepatnya ke wajah Panjul: “Byuuuuuuurrrrr!!!”

Guyuran pertama, Panjul nggak bangun. Sampai dengan guyuran ketigabelas, Panjul juga nggak bangun-bangun. Bapak si Panjul kehabisan nafas. Cape mengambil air banjuran dan membanjur Panjul. Ibu si Panjul melihat ada bekas gigitan di tangan kanan Panjul. Bekas gigitan bebek itu mulai memerah. Ibu si Panjul nggak tahu siapa yang menggigit dan mengapa menggigit di tangan kanan? Kenapa bukan tangan kiri? Kenapa nggak di kaki kanan? Kenapa nggak di kaki kiri? Belum ada yang mejawab, Ibu si Panjul inisitif memanggil ambulan dari Puskesmas buat membawa Panjul ke Pelabuhan Tanjung Priuk, eh salah, maksudnya ke Puskesmas alias Pusat Kesehatan Masyarakat.

“Aku ada dimana nih?” tiba-tiba Panjul siuman. Doi nggak ngerti kenapa sampai berada di Puskesmas. Doi juga nggak ngerti kenapa ada seorang Dokter di samping Bapak dan Ibunya.

“Tenang Nak Panjul. Everything gonna be alright,” kata Dokter muda itu. “Nah, Panjul cuma perlu istirahat. Next time kalo mau tidur di kamar ya, jangan di depan kandang bebek”.

Kata hati si Panjul berkata. Ah, si Dokter nggak ngerti kenapa doi semalam berada di kandang bebek. Lagipula Dokter ini pasti juga nggak akan pernah ngerti kalo Panjul jelaskan soal rencanannya, sama seperti warga kampung bebek lain yang nggak ngerti kenapa bebek harus dilenyapkan dari muka bumi kampung bebek. Yang Dokter tahu paling cuma bebek itu enak rasanya. Dokter nggak punya rasa pri-kebebekan sebagaimana Panjul. That’s it!

Nggak perlu waktu lama panjul nginep di Puskesmas. Kebetulan Puskesmas bukan buat tempat nginep. Jadi kalo nekad mau nginep, Panjul pasti diusir. Oleh karena itu, saat ini Panjul udah berada di rumahnya, tepatnya di kamarnya. Doi nampak gelisah. Bukan geli-geli basah, tapi bener-bener gelisah. Wajah dan sekujur tubuhnya berkeringat. Padahal saat itu di kamarnya dipasang kipas angin. Mungkin gara-gara kipasnya nggak mengeluarkan angin kali ya sehingga kepanasan? Iya sih, ada kipas angin tapi kebetulan lagi rusak. Tapi nggak juga gara-gara kipas angin rusak. Jendela kamar sebenarnya juga udah dibuka, kok. Yang menyebabkan angin sepoi-sepoi jadi masuk ke kamar. Tapi kenapa Panjul tetap kegerahan ya? Tetap mengeluarkan keringat ya?

Tiba-tiba badannya ditumbuhi bulu-bulu putih. Antar jemari tangan dan kakinya ada selaput. Bibirnya yang tadinya berwarna agak merah-merah gitu, sekarang berubah menjadi agak kekuning-kuningan. Panjul nggak ngerti kenapa ini terjadi. Doi juga belum melihat di kaca seperti apa bentuknya kini.

Perlahan-lahan Panjul mendekati sebuah kaca yang tergantung di tembok kamarnya. Hatinya dag dig dug. Lumrah, doi pasti akan tekjub melihat perubahan yang akan terjadi pada dirinya. Lumrah juga, boleh jadi begitu lihat, doi kaget tujuh rupa dan kemudian pingsan dan kemudian dibawa lagi Puskesmas. Apa yang terjadi saudara-saudara?

“Hah?! Kenapa jadi begitu?!” teriak Panjul begitu melihat wujudkan kini di depan cermin. Doi nggak jadi pingsan dan memang nggak kepengen pingsan. Cuma kaget aja.

Seperti apa sih Panjul sekarang? Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, ternyata Panjul sekarang berwujud bebek. Hah?! Bebek?! Iya, bebek. Masa situ nggak percaya sih sama kita?! Patokan bebek atau lebih tepatnya gigitan bebek di tangan kanan Panjul ternyata menyebabkan si Panjul berwujud mendekati wujud bebek, yakni dengan punya bulu, ada selaput di antara jari tangan dan kaki, serta mulut yang berwarna kuning. Peristiwa yang dialami Panjul ini mirip Peter Parker. Sebelum jadi Spriderman, Parker sempat digigit laba-laba dilehernya. Gigitan itu menimbulkan reaksi sehingga Parker punya kelebihan yang dimiliki laba-laba, yakni membuat jaring dan merayap di tembok.

Hari demi hari dilewati Panjul dengan mengurung di kamar. Bulu-bulu bebek yang tumbuh di seluruh tubuhnya terus tumbuh, meski udah berkali-kali dipotong. Bibir yang menguning, udah dilapisi lipstik warna merah punya Ibunya. Semua ini dalam rangka upaya menyembunyikan wujud bebek.

“Panjul! Makan!” teriakan sang Ibu. Sementara yang diteriaki cuek. Panjul malu. Doi kawatir Ibunya tahu kalo Panjul kini jadi manusia bebek.

“Jul! Ayolah makan! Kamu udah sebulan nggak makan, lho! Nanti kamu sakit!” ibunya berteriak lagi. Panjul belum mau bergerak keluar dari kamarnya. Doi masih ragu-ragu, apakah ibunya menerima dirinya kini.

Tiba-tiba!

“Ciluk ba!” ibunya tiba-tiba membuka pintu kamar Panjul. Panjul kaget. Ibunya kaget juga. Kaget pertama gara-gara Panjul kaget. Kaget kedua gara-gara ada perubahan dari struktur tubuh dan anggota tubuh anak semata wayangnya.

“Panjul kamu kenapa?” tanya ibunya.

“Maafkan Panjul, Bu,” kata Panjul sambil menundukkan kepala. Nada suaranya memilukan.

“Panjul kamu kok bisa berubah jadi ganteng begitu?” tanya Ibunya.

“Hah?!” Panjul heran. “Maksud Ibu?”

“Maksud Ibu, kamu kok ganteng kayak bebek?” tanya Ibu lagi.

“Iya, Bu. Panjul sekarang kayak bebek. Tapi ibu nggak marah kan?”

“Enggak...”

“Bener Ibu nggak marah?” tanya Panjul nggak percaya.

“Iya, bener...”

“Bener Bu?” tanya Panjul masih nggak percaya.

“Ya ampun, Jul! Panjul...Panjul! Ibu nggak marah kok! Swear! Ibu nggak marah. Bapak kamu juga nggak akan marah. Meskipun kamu sekarang kamu berubah jadi bebek, Ibu dan Bapak tetap sayang sama kamu, kok.”

“Oh, terima kasih Bu,” kata Panjul. Doi langsung memeluk Ibunya yang tercinta. Dengan Bapaknya, Panjul belum sempat pelukan, karena nggak ada. Nggak tahu lagi kemana Bapaknya.

Penjelasan Ibunya, memotivasi Panjul untuk tetap eksis dalam dunia yang fana ini. Oleh karena itu, Panjul tetap akan meneruskan rencananya buat menyelamatkan bebek. Namun, agar warga kampung nggak tahu identitasnya dan juga mentertawakan wujudnya yang kini mirip bebek, Panjul kudu menyamar. Penyamaran kudu sukses kalo Panjul pake kostum dan sebuah nama serta logo di kostum itu. Logonya wajah bebek.

“Mulai hari ini, aku menamakan diriku BEKMAN!” kata Panjul seperti berikrar terhadap diri sendiri. Pada saat ikrar tadi, Panjul udah menggunakan kostum, yakni kostum warna hitam, topeng warna pink, dan sayap berwarna putih totol-totol dalmation. Kenapa Panjul nggak pake celana dalam di luar kayak kebanyakan superhero lain? Katanya, banyak celana dalamnya belum kering. Kalo dipake di luar, takut celana dalamnya kelihatan basah. Kalo dipake di dalam, takut masuk angin.

BEKMAN singkatan dari manusia bebek. Kata “BEK” singkatan dari bebek. Kata “MAN” artinya manusia. Hati-hati jangan salah sebut jadi BATMAN atau BAKWAN atau BAKMAN (manusia bak mandi). Kalo bahasa sononya salah sebut namanya slips of the tongue. Nah, karena sekarang Panjul berubah jadi BEKMAN, maka untuk penyebutan selanjutnya di cerita ini adalah Bekman. Nama Panjul akan hadir kalo memang bener-benar diperlukan.

Aksi Bekman relatif berjalan lancar. Memasuki hari pertama, pencurian bebek berhasil dilakukan Betman. Bebek-bebek yang dicuri dikandangkan lagi di sebuah kandang besar nan jauh dari kampung bebek. Keberhasilan Bekman juga terjadi di aksi-aksi selanjutnya. Warga kampung bebek nggak berhasil menangkap Bekman. Nggak heran, Kepala Kampung memerintahkan warganya untuk perang terhadap Bekman.

“Barangsiapa yang berhasil menangkap Bekman hidup atau mati, maka akan diberikan hadiah,” kata Kepala Kampung Bebek pada ratusan warga kampung.

“Hadiahnya apa Pak?” tanya salah satu warga Kampung Bebek.

“Hadiah pertama TV berwarna 20 inci. Hadiah kedua kulkas 3 pintu. Hadiah ketiga setrikaan listrik....”

Dasar Bekman lihai, sampai sekarang aksinya udah memasuki bulan ke-8. Ini artinya sebulan lagi akan melahirkan. Lho, kok jadi cerita soal melahirkan? Maksudnya, aksi Bekman udah memasuki bulan ke-8. Dalam 8 bulan ini udah banyak warung dan restoran bebek tutup. Sebab, pasokan bebek berkurang, sementara demandnya tinggi banget. Wajarlah, manusia-manusia penggemar bebek dari minggu ke minggu trend-nya naik. Mereka suka banget bebek gara-gara sambel hijau dan sambel irisan mangga.

Sampailah di suatu hari di malam Minggu. Bekman nggak bisa kabur lagi. Aksinya tiba-tiba bisa dihentikan oleh beberapa warga Kampung yang tahu keberadaan Bekman saat mencuri. Bekman tertangkap! Seketika itu pula, Bekman digiring ke balai desa buat diintograsi. Doi diintrograsi dengan seorang Polisi yang ganteng dan juga tidak sombong..

“Kenapa Anda mencuri bebek?” tanya Polisi.

“Karena saya mencintai bebek. Mencintai tidak harus memiliki bukan?” jawab Bekman.

Ada sekitar 50 pertanyaan yang kudu dijawab Bekman. Semua pertanyaan bukan dibuat dengan cara muliple choice. Tapi secara logika. Ketika Polisi menanyakan apakah Bekman tahu soal keuntungan di balik penjualan bebek? Bekman bilang tahu. Jawabannya: banyak warung atau restoran yang menampilkan bebek sebagai makanan utamanya. Dengan begitu, hidup bebek jadi berada di tangan mereka. Eksistensi bebek jadi terancam. Orang-orang Kampung Bebek mungkin senang dapat uang. Tapi buat Panjul, nggak fair. Kenapa manusia bisa dibiarkan hidup, sementara bebek nggak? Ini membuat ketidakadilan sesama mahkluk hidup.

“Memang kamu udah pernah ngerasain makan bebek belum?”

“Belum..”

“Makanya nggak usah sok jadi pahlawan begitu. Kalo udah coba bebek, pasti akan ketagihan makan bebek lagi..”

Bekman diam. Nuraninya tergoda. Boleh jadi apa yang dikatakan Polisi itu benar. Sekali makan bebek, besoknya pasti pengen makan lagi. Makanya begitu dipaksa buat makan bebek, Bekman nggak menolak. Apalagi yang membuat bebek adalah Chef-Chef dari warung atau restoran penjual bebek.

“Gimana rasanya? Enak kan?” tanya Polisi.

Bekman terdiam. Doi masih mengunyah nasi plus cuilan bebek. Nasinya itu udah dicampur dengan sambal hijau dan irisan mangga. Nampaknya enak. Itu bisa terlihat dari cara Bekman mengunyah dan keringat yang mengucur.

“Enak?”

“Enggak...”

“Maksudnya enggak?”

“Enggak cukup sekali makan doang. Kudu berkali-kali makannya....”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, saya mau nambah nasi lagi. Habis, bebeknya enak sih! Ternyata makan bebek enak ya?” kata Bekman sambil mengunyah.

Dasar!

COBA JUALAN MESIN JAHIT SAMA KULKAS...

Liburan kali ini gw putusakan pergi ke Bandung. Tadinya ada beberapa pilihan tempat liburan. Pilihan pertama Irak. Pilihan selanjutnya Israel, Jerman, dan Timor Timur. Namun, setelah dipikir masak-masak, gw akhirnya pilih Bandung. Bukan dalam rangka penghematan, lho. Tapi dalam rangka pengiritan. Bukannya sama aja ya?

Sebelum cerita wisata ke Bandung, gw mau jelasin alasan kenapa Irak, Irsael, Jerman, dan Timor-Timor masuk dalam list negara yang gw mo kunjungi. Kalo Irak, gw cuma mo pergi ke keluarga Muntazar al-Zaidi. Itu tuh si pemilik sepatu no 10 yang melempar Presiden George W. Bush. Gw mo bilang ke keluarganya, gw salut dan respek dengan keberanian a-Zaidi. Nggak ada orang yang berani melakukan seperti itu, even mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sok reformis yang kerjanya cuma demo aja.

“Adakah anak kalian yang punya keberanian seperti Muntazar,” kata gw, misalnya kalo gw ketemu dengan keluarga al-Zaidi. “Kalo ada, please ke Indonesia. Gw minta tolong buat menimpuk para politikus busuk dan capres yang siap-siap mo kampanye tahun 2009 ini. Soal sepatu-sepatu yang mo dilempar, biar gw yang tanggung”.

Itu tadi Irak, gimana dengan Israel? Nah, kalo Israel, gw memang ingin ngebom negara ini. Gw pengen bunuh orang-orang Israel, karena negara ini baru aja melakukan aksi pemboman di jalur Gaza. Elo tahu kan jalur Gaza itu tempat apa? Itu perbatasan antara Israel dan Palestina. Di situ ada Masjidil Haram yang sangat dihormati oleh umat Islam. You u what? Masjid itu akan dibongkar oleh bangsa Yahudi, yang nggak lain nggak bukan orang-orang Israel itu. Padahal Masjidil Haram udah berdiri lama sebelum kedatangan bangsa Israel ke Hebron tahun 1967. Ya, namanya juga maling, apapun benda yang bukan miliknya tetap aja diakui sebagai miliknya.

Sebagai orang Islam, gw memang niat banget bunuh tuh orang-orang Israel. Gw ngeliat orang Israel itu licik, kotor, tai, dan monyet. Sok melakukan aksi damai, padahal dalam otaknya terus mencari-cari agar jalur Gaza itu bisa jadi milik mereka dan Masjidil Haram bisa dirubuhkan. Terus terang gw salut banget pada saat Hitler berkuasa, orang-orang Yahudi dibunuhin. Nah, relevansinya kenapa gw pilih Jerman sebagai negara yang gw mo kunjungi ya itu tadi, mo cari orang Jerman yang berkarakter Hitler buat batuin membunuh orang-orang Yahudi. Selain, gw juga mo mempraktekkan bahasa Jerman gw yang udah 10 tahunan ini nggak dipake-pake.

Terakhir kenapa Timor-Timor, ya gw cuma mo iseng tanya aja. Pertanyaannya: puasnya setelah disintegrasi dengan Indonesia? Apa kemajuan yang udah dicapai? Jangan-jangan sama aja. Bagaimana peran Australia di situ? Soalnya yang gw tahu, Australia seneng banget Timor Timur pisah dari Indonesia. Potensi minyaknya, Bo! Nah, pertanyaan-pertanyaan ini buat menjawab keinginan daerah-daerah yang sok mau disintergasi, yang katanya kalo bisa pisah dari Indonesia bisa makmur dan kaya. Gw nggak yakin banget! Yang terjadi, mereka pasti saling rebut-rebutan potensi daerah. Sikut-sikutan! Maklum karakter Indonesia!

Nah, sekarang cerita soal wisata gw ke Bandung deh. Udah lama sekali gw nggak ke Bandung. Terakhir kali gw ke kota ini tahun 1988. Itu artinya sudah 20 tahun. Seperti seorang anak yang akan berjumpa dengan Orangtuanya, ada rasa kangen juga. Kangen melihat gedung sate, menikmati somai dan batagor di Kingsley, atau bajigur dan colenak di jalan Ciliwung.

Bandung dulu dan sekarang banyak perbedaan. Elo pasti tahu, di puncak gedung sate ada sebuah tusukan yang ada bulatan-bulatan. Dahulu, bulatan-bulatan itu jumlahnya masih 10. Sekarang gw hitung, jumlahnya tinggal 5 bulatan. Dalam 20 tahun, ada 5 bulatan hilang. Berarti setiap 4 tahun ada satu bulatan hilang. Nggak tahu siapa yang tega mengambil bulatan-bulatan sate itu dan untuk apa mereka ambil. Iseng banget!

“Kayaknya belok kiri deh Bang,” kata gw pada sang Driver.

Sang Driver mengikuti perintah gw. Ya harus ngikut perintah lah. Kalo nggak ikut perintah, bisa-bisa gw nggak mau rental lagi mobil yang tumpangi ini. Bisa-bisa gw telepon Bos mobil rental ini karena menolak perintah. Untunglah, si Driver ikut perintah.

“Maaf Pak, kayaknya ini jalanan yang tadi kita lewati?”

“Ah, masa sih?”

Sebenarnya memang iya. Jalan yang sekarang gw lewati udah gw lewati sebelumnya, bahkan sebelumnya lagi juga udah dilewati. Kalo dihitung-hitung udah 4 kali lewat. Gw kayak muter-muter di situ-situ aja.

“Nah, itu dia Kingsley-nya Pak,” kata gw girang.

“Lah, itu kan udah kita lewati 3 kali kali, Pak,”

“Ah, masa sih?”

Ada tempat yang sama, ada hal yang beda di Bandung. Beberapa hotel baru, tumbuh di kota ini. Bahkan beberapa rumah dijadikan hotel atau residences. Seperti yang gw tempati, hotel Ilos yang ada di jalan Babakan Jeruk. Hotel ini letaknya di salah satu pemukiman elit di Bandung. Potensi wisatawan tiap weekend yang luar biasa, membuat sang pemilik merubah dari rumah pribadi menjadi hotel.

Di perempatan jalan, ada anak-anak berjualan. Produk yang dijual nggak cocok banget dengan usia anak-anak itu yang kira-kira 10 tahunan. Hayo tebak jualan apa? Salah! Masa jualan AC, ya nggak mungkin lah yau. Bandung nggak terlalu perlu AC. Perlunya penyejuk udara. Hayo tebak lagi? Salah lagi! Masa jualan orang utan. Binatang keturunan manusia ini cuma ada di Kebon Bintang Ragunan, Taman Safari, atau tempat-tempat yang masih berbentuk hutan. Yang bener, anak-anak itu jualan cobek beserta ulekannya.

“Murah Kang. Beli atuh Kang,” tawar seorang anak berjenis kelamin pria dari balik kaca jendela mobil gw.

Kasihan sebenarnya ngelihat anak-anak kecil itu harus berjualan. Kebetulan saat itu hujan juga turun membasahi sepanjang jalan Abdul Muis. Anak-anak itu kelihatanya nggak peduli dengan hujan. Padahal bajunya yang tadi masih kering sebentar lagi akan kuyup. Dan gw lihat dari tadi, nggak ada seorang pun yang membeli dagangannya, entah itu beli cobek doang atau ulekan doang.

“Ayu atuh Kang beli,” tawar anak itu lagi.

Gw kasihan. Hati gw terenyuh. Tapi tega nggak tega. Kalo gw kasihan, maka gw kudu tanya harganya. Kalo udah tahu harganya dan harganya nggak sesuai dengan produk yang dijual, maka gw kudu tawar menawar. Wah, kelamaan kan? Lagipula bisa jadi akan membuat kemacetan yang semakin parah, karena tawar menawar kan nggak cukup 5 menit. Buat Driver-Driver di belakang gw pasti nggak akan sabar menunggu 5 menit selama gw menawar.

Gw heran, kenapa anak sekecil itu jualan cobek dan ulekan. Apa nggak ada jualan lain yang mereka bisa jual? Misalnya nasi goreng kek, bakmi ayam kek, minuman, permen, topi bundar, balon gas, kuaci, atau hal-hal yang sesuai dengan umur anak-anak. Gw pengen banget tanya soal dagangan yang dijual itu.

“Memang orangtua kamu lagi marahan ya? Seluruh barang-barang di rumah jadi jualin, termasuk cobek dan ulekan itu?” begitulah pertanyaan yang gw ajukan ke anak itu.

“Memang kita-kita disuruh jadi Penjual gado-gado dan disuruh ngulek sambel?” kata gw lagi, tapi dalam hati.

Lampu merah berganti hijau. Tanda mobil kudu melaju. Mobil pun melaju meninggalkan anak-anak yang jualan cobek dan ulekan, serta meninggalkan mobil-mobil yang ada di belakang gw. Akhirnya gw terbebas dari rayuan pulau kelapa anak-anak singkong itu. Kalo saja tadi gw tawar, trus gw beli, itu cobek dan ulekan mau gw pake untuk apa ya? Mungkin nggak ya buat hadiah valentine suami gw? Wah, jangan-jangan istri gw malah sumringah menerima hadiah itu.

“Thanks ya sayang. Kau memang istri yang baik. Ini adalah hadiah valentine terindah sepanjang hidupku,” begitu barangkali suami gw bilang ke gw.

“Ah, yang benar sayang...” tanya gw nggak percaya.

“Iya, betul. Cobek dan ulekan ini adalah hadiah valentine terindah. Aku bosan mendapatkan bunga. Tiap tahun kamu memberikan bunga, entah itu bunga bank maupun bunga mawar. Nah, cobek dan ulekan menjadi hadiah spesial...”

Kalo kenyataan istri gw akan memuji hadiah yang gw berikan, seharusnya gw tadi membeli jualan anak-anak itu. Gw kudu balik lagi ke jalan yang tadi. Moga-moga anak-anak itu masih ada di perempatan lampu merah. Kalo ada, moga-moga juga dagangannya belum laku. Kalo sekarang ada yang mau beli, gw berdoa semoga orang yang lagi nawar nggak jadi beli.

“Bang please balik lagi ke jalan Abdul Muis,” pinta gw.

Si Driver agak cemberut, tapi gw cuek.

“Kita sekarang masih di jalan Abdul Muis, kok Pak,” tanya si Driver.

“Lho, memangnya dari tadi kita nggak jalan-jalan ya? Kok Abdul Muis lagi, Abdul Muis lagi,”

“Jalan Abdul Muis itu lumayan panjang, Pak. Lagipula daritadi kita kena macet. Jadi, jalannya nggak bisa ngebut,” kata si Driver memberi alasan. Masuk akal sih.

Mumpung masih di jalan Abdul Muis, gw minta si Driver mundur supaya bisa ketemu anak-anak kecil penjual cobek dan ulekan. Si Driver bilang nggak bisa mundur, karena lalu lintas di belakang penuh.

“Bisanya muter balik atau belok ke kiri lagi, Pak,” ujar si Driver yang wajahnya udah mulai kecapean gara-gara dipaksa muter-muter sama gw.

“Ya udah kita belok aja Pak, setelah itu muter balik,”

“Pilihannya Cuma belok atau muter balik, Pak. Bapak pilih A atau B. A untuk belok kiri, B untuk muter balik,” kata si Driver mirip Host cerdas cermat.

Gw milih C. Kata si Driver C nggak ada. Gw akhirnya pilih A, karena A sesuai dengan nama panggilan gw waktu kecil: Beni. Lho kok nggak nyambung? Diputuskan belok kiri lalu ke kiri lagi, sehingga akan berjumpa dengan jalan Abdul Muis.

“Nah, ini dia jalan Abdul Muis-nya. Hore! Akhirnya ketemu juga jalan Abdul Muis! Hore!” kata gw seperti takjub.

“Lah, dari tadi kan kita memang udah ada di jalan Abdul Muis, Pak,” terang si Driver.

“Oh ya? Berarti kita akan berjumpa dengan anak-anak kecil itu lagi dong Bang?”

“Itu-tuh di depan,” tunjuk si Driver ketus. Udah nepsong dengan gw kali ya.

Begitu mobil mendekati seorang anak kecil, gw nggak berniat buat membeli dagangan anak itu. Gw cuma diam membisu. Ini yang membuat Driver makin sewot dan mempertanyaan maunya gw apa.

“Lho kok nggak jadi beli?” tanya Driver udah dengan nada yang agak tinggi. Berharap gw sadar dan beli.

“Nggak jadi Pak...”

“Kenapa?”

“Soalnya dia dagang cobek dan ulekan...”

“Lah, emang dari tadi dagang itu bukan?”

“Iya. Tapi saya nggak butuh itu. Saya lagi butuh mesin jahit dan kulkas. Kalo saja anak-anak itu jualan mesin jahit dan kulkas, pasti saya beli Pak. Soalnya kelihatannya suami saya lagi butuh barang itu deh...,” papar gw tanpa rasa bersalah.