Senin, 01 Desember 2008

TANPA BEBAN

Lihatlah perlahan-lahan wajahnya. Di waktu tidur, ia nampak tenang. Seolah tak ada beban yang memikul pundaknya. Di saat bekerja pun, tak ada satu kata keluhan, yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tahu pasti, banyak sekali masalah yang sedang dia hadapi.

Perhatikan baik-baik, kerut-kerut di wajahnya. Ia sangat terlihat tua dari usia sesungguhnya. Padahal aku yakin, umurnya baru 40 tahunan. Itu artinya, empat tahun lebih muda dibanding aku. Mungkin kulitnya yang hitam legam yang membuat tampangnya jadi nampak tua. Mungkin karena tulang-tulangnya yang terlihat menonjol, yang hampir terlihat keluar dari kulitnya yang kasar dan kering itu, yang menambah rona-rona di wajahnya jadi look old than his age.

Beda dengan aku. Umurku 44 tahun jalan dua bulan. Kata orang, wajahku jauh lebih muda dari usiaku. Kulitku halus dan bersinar. Kulit-kulitku juga kenyal. Maklumlah, aku pakai salah satu produk kecantikan, yang sudah terbukti membuat wajah jadi muda dalam waktu 15 hari. Itu gara-gara anjuran istri. Kata istriku: “cermin kepribadian, juga bisa terlihat dari bagaimana kita bisa merawat diri or not”.

Yap! Kemiskinan membuat pria itu seperti itu. Namun lewat kemiskinan, pria ini hidup tanpa beban. Tanpa rasa bersalah. Tanpa dibayang-bayangi oleh KPK, ato Polisi, ato Tentara, ato aparat kelas kambing lain. Karena ia bukanlah manusia yang berada di segmentasi kaum pendosa. Karena ia termasuk manusia yang selalu berada di rel kebenaran. Karena itulah ia hidup tanpa beban.

Kemiskinan menjadikan dirinya jauh dari kemaksiatan, lilitan dosa, atau kriminalitas. Ia cukup tahu diri dengan keadaannya kemarin, hari ini, dan mungkin akan datang. Bahwa hidupnya akan seperti ini: miskin. Makan sekali saja dalam sehari. Itu pun hanya dengan sebuah lauk, entah itu tahu atau tempe, ato paling mahal telor dan ikan asin. Yang penting ada sebumbung nasi. Kalau pun terpaksa tak makan, yang penting dahaga tak pernah membuat kerongkongan kering.

Beda dengan aku. Aku terlalu rakus untuk segala urusan. Aku biasa mengambil semua tender-tender yang di-pitching oleh Depertemen. Tak peduli pitching itu aku makan sendiri atau aku sub-kan lagi ke perusahaan lain. Tak peduli fee yang aku terima cuma recehan. Yang penting buatku adalah uang, uang, dan uang.

It’s all about money, indeed. Karena I must have much money, whatever it takes. Karena aku punya istri yang suka shooping dan koleksi produk-produk branded. Karena aku harus memasukkan anak-anakku di sekolah termahal, yang iuran per bulannya 10 juta. Karena aku sudah punya komitmen sebulan sekali harus liburan ke luar negeri. Karena aku juga (please for this matter, don’t tell my wife) punya pacar yang cantik sekali, seperti Dian Pisesa, dan juga pintar bahasa Inggris seperti Miss Indonesia 2006: Nadine Candrawinata, dan juga tinggi seperti Dian Sastro.

Lihatlah kedua anak-anaknya yang tertidur di sisinya. Wajah mereka senaif pria itu. Tanpa beban. Padahal seluruh tetangganya tahu, kedua anak itu selalu membantu pekerjaan ayahnya yang sebetulnya cukup berat untuk ukuran anak-anak. Tapi mereka dengan riang gembira melakukan itu, mengumpulkan kardus-kardus bekas, botol-botol air mineral, gelas pelastik, dan barang pecah belah lain.

Dengan kaki telanjang, dengan kaos oblong compang-camping, dengan tubuh yang dekil, mereka keluar masuk kompleks perumahan yang rata-rata berpagar besi setinggi 2 meteran. Mereka sudah pasti tahu di dalam rumah, tinggal keluarga-keluarga berada yang juga memiliki anak seusia mereka. Kedua kakak beradik ini juga pasti mengerti kenapa mereka tak akan pernah mau mengajak anak-anak mereka bergaul dengan anak gembel.

Namun banyak hal yang mereka juga tak tahu, maksudnya kedua anak gembel dari orangtua yang gembel pula ini. Mereka tak tahu kalo New Kids on The Block tahun 2008 ini reuni lagi. Mereka tak mengenal siapa itu Hannah Montana, apalagi High School Musical yang barusan merilis trilogi filmya. Mereka juga tak tahu dari mana para penghuni rumah gedong itu mendapatkan uang-uang mereka. Kok bisa negera yang dianggap miskin seperti ini masih bisa beli mobil mewah seharga 1 milyard (seperti aku ini)? Kok bisa anak-anak mereka dimasukkan ke sekolah yang biayanya 30 juta per bulan (seperti aku ini)?

Itu bukan protes mereka. Itu bukan suara hati mereka. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah ilusiku pada diri mereka, karena aku gemes mereka tak pernah protes sedikit pun pada keadaan yang menghimpit mereka. Bahwa harusnya anak itu punya hak untuk bersekolah gratis. Tapi mana program wajib belajar (wajar) 9 tahun yang didengung-dengungkan pemerintah? Kok tak sampai ke mereka? Apakah wajar hanya berlaku untuk golongan tertentu? Haruskah aku masukkan anaknya ke seolah anakku? Maaf, aku terlalu gengsi untuk bisa melakukan itu.

Keluarga miskin itu tanpa beban. Orangtuanya tak pernah menargetkan apa-apa pada anaknya untuk jadi anak ini dan itu. Untuk jadi seorang pengusaha, musisi, politikus, atau apa. Semua diserahkan kepada jalan hidup dan iklas pada Yang Maha Kuasa. Sementara kedua anaknya juga tak pernah merengek-rengek minta pergi ke Kidznia atau setidak-tidaknya melihat binatang di Ragunan. Padahal paling-paling tiket masuk Kebon Binatang Ragunan berapa sih? Untuk hal elementer (bersekolah) pun anaknya tak punya nyali untuk meminta orangtuanya.

Tapi sekali lagi mereka tak punya banyak uang. Sama sekali tak punya uang. Apakah mereka tak berusaha? Tidak juga! Siapa bilang mereka tak ada usaha? Setiap pagi sehabis sholat berjamaah, mereka selalu menyertakan peralatan mulung mereka. Tak lupa pakaian dekil yang setia beberapa tahun ini menempel di tubuh mereka.

Siapa bilang mereka tak pernah berdoa. Kata orang yang aku dengar, mereka bersujud lima kali dalam sehari. Kata orang juga, pada saat bersujud mereka menangis, tapi pasrah. Dalam doa tak ada satu kalimat matrialistik yang mereka minta pada Tuhan. Sebuah doa sederhana.

"Ya Tuhan, kuatkan keluarga kami agar tak tergoda dengan segala bentuk kematrialistikan, kemunafikan, iri, maupun dengki. Tetapkan kami jadi keluarga sederhana yang tak rakus dengan uang, tahta, maupun jabatan. Jadikan anak-anak kami menjadi anak-anak yang wajar seusianya. Penuh dengan keria sebagaimana anak-anak seusianya, meski harus tetap bekerja. Dengan begitu semua, kami bisa hidup tanpa beban seperti sampai sekarang ini dan akan datang. Amin"

Kalau memang kata orang itu benar, pria itu beda sekali dengan aku. Tanpa berdoa, aku tetap diberikan harta yang melimpah kok. Siapa bilang menjadi kaya raya harus berdoa, bolak-balik bersujud. Ah, kalo mo kaya ya kerja, usaha, sikut sana-sini, jilat sana-sini, bunuh sana-sini. Tak perlu berdoa. Sudah tak musim berdoa. Aku banyak juga kok bukti-bukti yang memperlihatkan orang sukses tak pernah berdoa: anak Kongomerat, Direktur, anak Menteri Agama, Sutradara Film, Manager Bank, pemilik bioskop Megaplex, dan masih banyak contoh lain.

Tiba-tiba lampu teplok di rumah itu mati. Itu artinya minyak tanah sudah habis. Itu sama saja mereka harus beli minyak tanah lagi. Antri lagi dengan ratusan orang miskin lain. Yang berpanas-panasan, berdekatan dengan jalanan yang berseliweran mobil-mobil mewah dengan penyejuk ruang serta audio set super canggih. Aku melihat dari balik mobil Hammer-ku yang berkaca gelap.
“Emang nggak enak jadi orang miskin”.

0 komentar: