Senin, 22 Desember 2008

ISTRI YANG LUAR BIASA

"Percayalah, sampai detik ini aku mencintaimu sayang. Tak ada wanita lain yang aku sayangi selain kamu. You are the Best, honey. Kamu cantik. Smart. Bagiku, tak ada wanita lain secantik kamu. Itu yang membuat teman-temanku cemburu, kala aku berjalan denganmu. Kamu mirip seperti Inneke Koesherawaty, bomseks tahun 90-an yang sekarang sudah insyaf itu..."

Surat itu tergeletak di lantai marmer warna krem. Dengan diterangi oleh cahaya bulan yang menusuk masuk lewat jendela.

"Ketika aku memutuskan untuk menikahimu, tak ada keraguan di hatiku kalau kamu memang wanita yang aku tunggu-tunggu selama ini. Kamu bukan cuma pacar, tapi kekasih yang siap menjadi istri yang luar biasa.

Kamu bisa memasak masakan kesukaanku. Malai dari sayur asam, sampai sayur lodeh. Kamu juga jago masak cap cay, juga puyung hai. Kamu benar-benar tahu apa keinginanku. Ketika aku sedang diam, aku jadi penghibur. Ketika aku semangat, kamu terus menyulutkan kobarannya. Ketika aku ingin bercinta, kamu sudah siap dengan tubuh yang harum, seharum mawar yang aku pernah berikan padamu.
Sejak kuliah aku memang memutuskan untuk tidak mau pacaran dengan wanita yang tak jelas. Yang kuliah hanya sebagai formalitas. Aku ingin menikah dengan wanita calon Dokter. Tak perlu kaya, tapi seksi. Tak perlu punya darah biru, tapi hidungnya mancung. Tak perlu punya punya mobil Hammer, tapi cukup Honda Accord..."

Badan Lina masih disandarkan ke tembok. Ia nampak lemah tak berdaya. Ada buliran air mata yang keluar dari sudut kelopak matanya. Sementara surat berwarna putih dengan tinta merah itu masih tetap tergeletak di lantai. Namun kondisinya sudah bergeser beberapa sentimeter dari posisi semula, karena tertiup angin.
Pintu jendela di ruang tengah itu memang terbuka lebar. Angin yang menerpa dari luar membuat gorden jendala melambai-lambai. Terkadang jendela menampar-nampar kusen kayu, ketika angin dari luar meniup dengan dahsyatnya. Lina tak sempat menutup rapat jendela itu.

"Aku masih ingat saat pertama kita jumpa, banyak rencana yang kamu buat. Rencana untuk masa depan. Kita memutuskan untuk tidak tinggal di Pondok Mertua Indah, tapi kita akan mencicil rumah, meski uang kita pas-pasan. Aku tahu itu berat, berat sekali dengan kondisi keuangan kita yang belum stabil.
Aku juga masih ingat kamu punya rencana luar biasa untuk memiliki lima anak dan itu akhirnya sudah kita miliki. Dan rencana terakhir yang sampai sekarang belum kita wujudkan adalah, menjadikan anak kita seorang pengusaha, karena kamu tak ingin anak kita menjadi anak biasa..."

Air mata Lina menetes lagi. Tetasannya jatuh ke lantai, menciprat sampai mengenai surat yang masih tergeletak di marmer itu. Marmer yang diekspor dari Italia saat Lina dan suaminya merenovasi rumah mereka. Tak jauh dari tempat Lina, ada sosok tubuh yang harum parfum L'eau Bleu masih tercium wangi.

Sosok yang Lina kenal dihadapannya. Sosok yang begitu tampan, yang semasa kuliah menjadi favorit mahasiswi-mahasiswi di Trisakti. Bohong sekali kalau tak ada yang mengenal sosok pria yang berhidung mancung, berwajah oval, dan berambut potongan masa kini ini. Bohong pula kalau tak ada gadis yang tak mau dijadikan pacarnya. Karena secara fisik ia sempurna. Karena secara akademis, ia cukup pandai.

Pria yang berada di hadapan Lina juga dikenal juga jago basket. Setiap kompetisi basket, ia dikenal sebagai playmaker yang handal, yang selalu memberi angka fantastis lewat three point shooting. Wajahnya yang tampan dan jago basket jadi mengingatkan Larry Bird.

"Apa kamu masih ingat sayang? Kita pernah mandi bareng di sebuah hotel kecil di Bali? Seminggu sebelum terjadinya bom Bali. Kamu pasti juga tak akan pernah lupa betapa kita pernah ML di jalan tol. Sebuah perbuatan stuppid yang pernah kita lakukan. Banyak mobil yang melaju dengan kencang pasti terheran-heran melihat mobil kita yang gelap gulita tapi bergoyang-goyang..."

Harum L'eau Bleu begitu menusuk hidung Lina. Keharumannya itu tak lagi membuat Lina tersangsang, sebagaimana tahun-tahun masa pernikahan mereka. Dimana mereka bisa ML dimana mereka suka, seperti di jalan tol tadi. Mereka juga pernah melakukan ML di ruang-ruang yang tak biasa pasangan lakukan: di toilet, di atas meja makan, di atas grand piano, maupun di tangga. Dimana hidup mereka begitu sempurna, sehingga membuat pasangan lain cemburu.

Yap! Lina dan suaminya bagai dongeng-dongeng waktu tidur. Sebuah penokohan sempurna seorang Pangeran tampan dan Permaisuri cantik yang selalu happy ending. Ada burung-burung dan binatang lain di sekeliling mereka. Ada sinar matahari atau cahaya rembulan yang masuk ke jendela istana. Ada musik klasik yang dimainkan di beranda oleh para pemusik istana. Begitu indah. Namun kesempurnaan itu kini tinggal bayang-bayang...

Karena saat ini, suaminya tergeletak tak bernyawa. Ada darah yang keluar di pergelangan tangan kanannya. Banyak sekali. Aliran darah tersebut perlahan-lahan mengalir dari pingiran lantai marmer, yang kini hampir menyentuh surat itu. Nadi suaminya memang sudah dipotong oleh pisau bedah, yang diambil dari tempat praktek Lina.

"Andai saja kamu tak menuduhku meniduri temanmu. Andai saja aku tak melihat kamu bergandengan tangan di hotel bintang lima bersama seorang anggota DPR terkenal itu. Andai saja aku tak tahu seluruh harta-harta itu ternyata atas namamu. Andai anak-anak kita tak kau push untuk menjadi dirimu, melampiaskan segala keinginanmu. Padahal mereka masih kecil, masih punya masa kanak, masih haus akan imajinasi. Andai saja aku tak menemukan sebuah surat cinta di tas Burbbery. Andai...Andai...dan Andai... Kamu pasti akan tetap menjadi istriku yang luar biasa sayang. Maafkan aku..."

0 komentar: