Minggu, 21 Desember 2008

ROMANTISME BIOSKOP LOKAL - Part 2

Suatu malam di tahun 1989, tepat dihari Valentine. Sejak pukul 6 sore, gw udah ready dengan kemeja baru yang baru beli di Tanah Abang. Sengaja gw pilih warna pink supaya matching dengan hari kasih sayang. Hari ini gw memang niat mo menyatakan cinta sama sang pacar.

Namanya Widi (nama sebenarnya). Nama itu mengingatkan gw pada salah satu vokalis trio AB-Three: Widiantoro, eh salah Widi doang. Bedanya dengan Widi pacar gw, dia nggak bisa nyanyi, tapi bisa deklamasi. Selain hobi deklamasi, juga suka nonton. Gara-gara hobi satu itu, gw punya ide buat ”nembak” doi di bioskop. Dan film yang gw pilih kebetulan pas banget: ”Catatan Si Boy” sekuel 3 yang masih diperankan Ongky Alexander, Didi Petet, dan Mariam Berllina.

Sebenarnya gw sengaja milih film ”Catatan Si Boy” (dulu disingkat ”Cabo”). Buat yang bukan gereasi gw, udah pasti nggak tahu. Gw kasih tahu ya, Boy di film itu adalah nama tokoh yang baik hati dan tidak sombong. Orangnya ganteng jental jentul. Udah gitu rajin sholat. Persis gw! Bedanya tipis, Boy biasa bawa BMW, gw bawa BMW juga, tapi Bajaj Merah Warnanya. Nah, tiap abis nonton ”Cabo”, gw seolah sebagai seorang pahlawan yang selalu melindungi kaum wanita, terutama sang pacar.

Di tahun 80-an sampe 90-an, film ”Cabo” memang mempengaruhi jagat kaum muda. Sampe sekarang pun pengaruhnya masih ada. Tahu nggak apa? Tasbih yang digantung di kaca spion mobil. Kalo elo liat di mobil seseorang digantung tasbih, boleh jadi si pemilik mobil penggemar ”Cabo”. Coba aja elo tanya: ”Mas-mas...mas ikut fans club-nya Catatan Si Boy ya?” atau elo tanya begini: ”Mas-mas... kalo mo ke Cililitan naik bus nomor berapa ya?”

Itulah kehebatan sebuah film. Karena gw nggak punya mobil, apalagi BMW, gw nggak terpengaruh menggantungkan tasbih. Gw lebih terpengaruh ke body. Boy itu punya body yahud. Ada six pack di perutnya. Gara-gara nggak mo kalah, saban pagi dan sore, gw mompa air trus angkat air ke bak. Saking tergila-gila mo punya body yahud, ada tetangga yang perlu jasa pompa-memompa, gw ladeni dengan iklhas. Sayang, bukan body yahud or six pack yang gw dapat, gw masuk rumah sakit sebulan, karena over training.

Back to me and my girlfriend. Sampailah gw di sebuah bioskop di bilangan Sahardjo. Bioskop itu nggak lain nggak bukan bernama Wira yang fotonya elo lihat ini. Di situlah my first date dengan si Widi berlangsung.

Bioskop Wira adalah salah satu dari sekian puluh ribu bioskop yang udah gulung tikar. Menurut Marco Kusumawijaya (mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta), salah satunya penyebabnya adalah ada alternatif prasarana, selain nonton film. Tahu dong saat ini bioskop disatukan dengan Mall. Nah, dengan adanya Mall, penonton lebih suka hang out dulu keliling Mall ketimbang langsung nonton. Beda dengan bioskop kelas pinggiran seperti bioskop Wira yang cuma bisa nonton aja, meski belakangan ada fasilitas permainan ding-dong dan games.
Bioskop-bioskop kelas bawah biasanya memang terpisah dengan Mall. Banyak contoh bioskop-bioskop seperti ini yang sudah almarhum: Jotet (di Sention, Jakpus), Tawang (di Pramuka, Jaktim), Lenteng Agung (di Lenteng Agung, Pasar Minggu), Slipi Theater (dulu di depan lapangan bola Slipi), dan masih banyak lagi.

Sebenarnya rintisan bioskop menyatu dengan pusat perbelanjaan udah muncul lama. Ide ini dicetus sama PD Pasar Jaya yang membuat alternatif orang untuk berkunjung. Bioskop Pasar Rumut dan bioskop Palmerah misalnya. Tapi kalo dibandingkan dengan Mall, jelas banget. Kalo penonton di Mall, belanja di toko dulu, entah toko sepatu ato baju. Setelah belanja, sambil membawa tas plastik bermerek toko tersebut baru masuk ke bioskop. Sedang bioskop di PD Pasar Jaya, agak ribet juga kalo harus belanja dulu sayur-sayuran ato ayam trus masuk ke bioskop. Yang ada begitu ada adegan tembak-tembakan, ayam yang dibeli di pasar berkotek-kotek.

Penurunan jumlah penonton juga berpengaruh pada operasional bioskop. Penurunan jumlah penonton di Indonesia sudah terjadi tahun 70-an. Data jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton. Jumlah itu menurun lagi sampai 50% di tahun 1992. Bahkan di Jakarta di tahun 1991, dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton.
Penurunan penonton juga berbarengan dengan jumlah film. Jika sebelumnya rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih dari 50 %. Sebab penurunan ini karena banyaknya film impor masuk, apalagi dengan ditiadakannya kuota impor film asing pada 1998. Sejak tahun itu, film Hollywood dan Mandarin mampu menguasai lebih dari 80 persen box office Indonesia setiap tahun. Pada 2002 saja, dari 175 judul film yang dirilis beredar di bioskop-bioskop Indonesia, 100 judul film Amerika.

Sejak film ”Petualangan Sherina” meledak, pekerja film nasional mulai aktif produksi lagi. Meski tumbuh, jumlah produksi film lokal masih tertinggal, dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Hal ini bisa loe lihat data produski film tahun 2007, dimana jumlah produksi film cuma 77 judul. Bandingan dengan Thailand di tahun yang sama memproduksi 353 judul, dan Korea 400 judul. Yang menakjubkan, jumlah produksi film Hollywood kalah dengan Bollywood, yakni 630 judul film Amrik dan India 877 judul film Bollywood. Meski begitu, prospek jumlah produksi film Indonesia bakal terus meningkat. Sekali lagi bisa dilihat dari data tahun 2006 yang cuma 34 judul meningkat jadi 78 judul di tahun 2007. Tahun 2008 ini sudah lebih dari 100 judul film beredar di bioskop Indonesia.

Judul produksi film tumbuh, jumlah penonton Indonesia pun tumbuh pesat. Keberhasilan “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang berhasil ditonton oleh 3,7 juta orang menunjukan pertumbuhan itu. Pembuktian yang dahsyat ditunjukan oleh film “Laskar Pelangi” produksi Miles Film. Data terakhir menunjukan film ini udah ditonton 4.360.000 orang. Angka ini akan terus bergerak, karena film yang disutradarai Riri Riza ini masih diputar di beberapa bioskop di tanah air.

Belum juga limabelas menit diputar, pacar gw ngajakin pulang. Padahal scene ”Cabo” lagi seru-serunya. Gw berusaha membujuk pacar gw agar sabar dan stay watch to movie. Tapi bujukan gw nggak berhasil. Pacar gw tetap ngotot minta pulang.

“Kenapa sih kamu minta pulang?” tanya gw heran. ”Elo nggak suka filmnya?”

”Bukan Bang,” jawab pacar gw.

”Lah, lantas kenapa kamu minta pulang?”

”Abang liat aja di samping bangku saya..”

Saking penasaran, gw terpaksa kudu melihat bangku yang ada di samping pacar gw, yang kebetulan kosong. Ternyata eh ternyata ada seekor tikus gede banget. Gw kaget, tikusnya pun kaget. Sebelum meninggalkan bangku kosong, sang tikus sempat tersenyum. Ah, sialan tuh tikus! Gara-gara doi, pacar gw ngajakin pulang, padahal gw belum sempat ”nembak”. Gw baru sadar, setiap nonton di bioskop Wira, gw memang emang selalu ketemu mahluk-mahkluk menyebalkan itu, yang selalu membuat onar di atas loteng bioskop.

”Apes deh gw. Bisa-bisa gw diputusin si Widi nih,” pikir gw beberapa menit sebelum keluar. ”Padahal susah banget menemukan cewek sekaliber Widi di zaman sekarang, yang punya tampang rada kecowok-cowokan itu”.

0 komentar: