Rabu, 10 Desember 2008

PRESIDEN REPUBLIK OF JILBAB

Begitu terpilih menjadi Presiden, gw segera membentuk Kabinet. Nggak seperti Negara-Negara lain yang punya banyak Menteri, di Republik gw cukup punya tiga Menteri. Ini sebagai antisipasi agar nggak terlalu banyak Departement yang korup. Adapun Menteri Kabinet gw adalah Menteri Ekonomi Jilbab, Menteri Pemuda dan Olahraga Jilbab, dan terakhir Menteri Politik dan Keamanan Jilbab. Kenapa di belakang semua Menteri ada kata ”jilbab”? Karena gw adalah Presiden yang concern dengan masalah perjilbaban.

Sebelum jadi Presiden, gw gemes banget dengan wanita-wanita berjilbab, tapi nggak konsisten dengan hakikat menggunakan jilbab. Bahwa jilbab bukan cuma aksesori yang diwajibkan Allah kepada wanita. Tapi jilbab adalah sebuah konstruksi positif luar maupun dalam diri seseorang. Simple-nya, elo kudu bersih lahir maupun batin kalo sudah pake jilbab. Makanya, ketika istri gw mau pake jilbab, gw tanya berkali-kali: ”Kamu udah siap pake jilbab? Nggak akan pernah dicopot? Akan patut dengan regulasi yang diwajibkan Tuhan kita?”

Sementara di Republik ini yang terjadi, tentunya sebelum gw jadi Presiden, jilbab dianggap sebagai pakaian segmentasi CD alias kelas orang miskin. Lalu jilbab selalu diremehkan. Kemudian jilbab dijadikan sebuah pelarian. Last but not least, jilbab cuma dijadikan trend supaya disamakan dengan Inneke Koesherawaty, Ratih Sanggarwati, ato Bambang Pamungkas (yang ini kebetulan belum pakai jilbab). Trend di sini termasuk musiman. Giliran Ramadhan pake jilbab, selesai Ramadhan pake bikini.

Persepsi sadis jilbab sebagai pakaian orang kampung memang masih terjadi. Ini sebenarnya gara-gara para Pembantu dari kampung yang sebagian besar pakai jilbab. Salah satunya Pembantu gw. Jilbabnya sering nggak matching dengan pakaian maupun roknya sehingga terlihat norak. Pernah jilbabnya warna kuning, pakaiannya warna pink dipadu dengan rok putih polkadot, mirip bulu anjing Dalmations. Suatu ketika, pernah juga memakai jilbab warna hijau Army, eh pakaiannya warna cokelat polisi dan roknya warna biru security yang shift malam. Kalo kejadinnya begini, biasanya si Pembantu sudah siap untuk dinas keamanan.

Gw selalu memberi pengertian, jilbab bukan cuma pakaian orang miskin. Temen-teman gw yang pengusaha juga pakai jilbab, kok. Meski jilbabnya jilbab kodian dari Tanah Abang yang semuanya putih, tapi kalo beliau pake jilbab, kelihatan aura cantiknya memancar. Apalagi kalo pakai kalung yang segede-gede gembok pagar, wah sinar dari kalung itu akan menyalah terang, karena kebetulan kena pantulan sinar matahari sih. Clink!

Bisa jadi kenapa jilbab dibilang pakaian kampung, salah satunya gara-gara para pemakai jilbab sering nggak sadar diri, soal ”keharuman” bau badannya. Mentang-mentang pake jilbab, keteknya nggak dipakein deodoran. Mentang-mentang seluruh badannya ditutup sama kain jilbab, nggak pernah pake parfum. Padaha banyak temen-teman gw yang berjilbab tapi harumnya tujuh turunan. Takut? Iya sih banyak parfum yang pakai alkohol, tapi kan banyak juga parfum yang halal. Kalo nggak ada, ya tanya kiri-kanan cara membuat parfum dengan daun-daun di kebon elo kek, supaya hati loe plong. Waktu kampanye Capres, gw sering ngasih demo how to make good parfume, yakni dari daun kamboja dicampur daun cingcau. Pokoknya, inti permasalahannya, wanita berjilbab kudu matching dalam berbusana, trus jangan lupa pake parfum, supaya nggak dibilang kampungan.

Para wanita pemakai jilbab seringkali diremehkan. Nggak dianggap. Selalu dipandang sebelah mata. ”Ah, elo jilbab. Mending elo tahu apa sih? Paling-paling elo tahu soal agama”. Begitu ejekan wanita-wanita lain yang sungguh menyakitkan, yang kebetulan belum berjilbab. Padahal para wanita yang belum sadar berjilbab itu, pengetahuannya lebih cetek dibanding wanita berjilbab.

”Apa nama ibukota negara Sao Tome & Principe?” tanya juri Cerdas Cermat dalam suatu kesempatan Kompetisi Cerdas Cermat antarpropinsi.

Wanita yang nggak pake jilbab yang kebetulan menjadi peserta Cerdas Cermat, garuk-garuk kepala. Kebetulan dia nggak tahu jawabannya, kebetulan juga dia nggak sempat keramas selama dua minggu ini.

”Sao Tome, Pak!” jawab peserta berjilbab dengan kencang dan penuh keyakinan.

”Betul!”

Seluruh hadirin bertepuk tangan. ”Prok! Prok! Prok!”

”Siapa juara tunggal putra dan juara tunggal putri Tenis Wimboldon tahun 1963?” tanya juri Cerdas Cermat lagi.

”Rudy Hartono dan Susi Susanti, Pak!” jawab wanita yang tadi garuk-garuk kepala.

”Goblok! Rudy Hartono kan pemain catur! Susi Susanti itu kan juara angkat besi!” ujar juri agak sewot dengan jawaban wanita garuk-garuk itu. ”Hayo siapa yang bisa jawab?”

“Saya, Pak! Juara tunggal putranya Chuck McKinley dari Amerika Serikat dan juara tunggal putrinya Margareth Smith dari Australia!” jawab si jilbab lagi.

”Bentul! Eh, betul!!!”

Kelihatannya jilbab memang kampungan, tapi otaknya ternyata metropolis dan well educated. Pengetahuannya luas bak Samudera Hindia. Ya begitulah kebanyakan sikap seorang berjilbab: humble. Rendah hati. Nggak sombong. Mirip karakter si Boy dalam ”Catatan Si Boy”.

Yang menyebalkan, kalo jilbab diposisikan sebagai sebuah pelarian. Pakai jilbab cuma kampuflase. Biar dianggap sudah tobat. Biar dianggap sudah alim. Biar dianggap sudah kembali ke jalan yang benar. Padahal, kelakukan the jilbabers (istilah mereka yang pakai jilbab) seperti itu cuma tricky, tipuan ajah. Mengelabui persepsi khalayak ramai. Dan ini dianggap masuk katagori pembohongan ummat.

Dari seorang bintang seks yang wujudnya sering muncul di bioskop-bioskop kelas teri, tiba-tiba pakai jilbab. Dari seorang bomseks yang selalu menggoda birahi para pria, tiba-tiba pakai jilbab. Trus ada wanita yang sebelumnya dikenal sebagai freesexer (istilah mereka yang menganut faham free sex) tiba-tiba pakai jilbab karena hamil di luar nikah dan pria yang menghamilinya pun nggak jelas siapa. Ada juga para wanita baik-baik yang pakai jilbab setelah married. Pada saat pakai jilbab, mereka ngomong sana-ngomong sini soal kehebatan jilbab, merasa mendapat hidayah, selalu dapat rezeki dengan jilbab, dan kata-kata bulshit lainnya. Namun begitu cerai, statement yang sudah dipublikasikan itu, seketika hangus tanpa kesan. Dasar!

Kalo tadi di atas dalam hal membangun new image, jilbab sebagai pelarian juga diwujudkan dalam bentuk fisik. Gara-gara kepalanya pitak, buru-buru pake jilbab. Gara-gara malu rambutnya mulai ubanan, segera menggunakan jilbab. Banyak lagi contoh-contoh persembunyian fisik di balik jilbab yang gw nggak perlu sebut satu per satu.

Terakhir yang gw amati sebelum jadi Presiden, jilbab cuma dijadikan trend. ”Ih, lucu juga kali ya pake jilbab kayak si Inneke,” kata seorang Ibu-Ibu muda yang mukanya udah terlihat tua dari umur sesungguhnya. Lain lagi komentar Ibu toko sebelah: ”Duh, anggunnya C sasmi kalo aku pakai jilbab, seperti Pak Tino Sidin”.

Banyak sekali komentar-komentar, yang menjadikan jilbab bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai trend. Ini juga dialami ketika Ramadhan tiba. Wanita-wanita yang biasa pake hot pants, baju you can see, eh tiba-tiba menutup aurat. Nggak apa-apa sih kalo alasannya “untuk sebuah perubahan”. Namun yang terjadi, alasannya adalah “demi uang”, karena dipastikan mereka ini akan laku keras jadi Host di televisi. Kalo ketahuan ada wanita yang pake jilbab cuma alasan untuk ikut trend, gw sebut dia sebagai ”WJB” atau kepanjangan dari “Wanita Jilbab Brengsek”.

Sekarang gw dah resmi jadi Presiden. Udah disumpah di atas Al-Quran, dihadapan para anggota DPR, Mahkamah Agung, dan para Pengusaha Jilbab Nasional. Begitu selesai, gw langsung menugaskan Menteri Ekonomi Jilbab untuk mengurus masalah bisnis jilbab, tata jual-beli jilbab, eksport maupun import jilbab, dan beberapa current matters yang belum dirumuskan mengenai perjilbaban.

Untuk Menteri Pemuda dan Olahraga Jilbab, gw memerintahkan untuk segera membuat rancangan dan rencana mengenai kegiatan pemuda berjilbab. Ini bertujuan agar mereka jangan mo kalah dengan yang nggak berjilbab. Di kegiatan itu juga dimasukkan agenda bagaimana merawat diri agar jilbab nggak dianggap kampungan lagi. Sementara di kegiatan olahraganya, akan dibuat aktivitas olahraga yang layak untuk orang berjilbab. Jangan sampe pake jilbab, tapi begitu olahraga pake baju “you can see”. Atau berjilbab tapi pake baju ketat atau hot pants yang tetap memunculkan struktur tubuh, sehingga membuat para pria terangsang.

Menteri terakhir adalah Menteri Politik dan Keamanan. Nah, Menteri satu ini kerjanya agak berat. Selain merazia kantor-kantor yang ketahuan nggak memberi izin wanita berjilbab, tugas Menteri ini adalah merazia wanita-wanita berjilbab yang ketahuan memiliki attitute minus. Maksudnya? Banyak wanita, terutama wanita muda berjilbab yang belum resmi married tapi gaya pacarannya gokil-gokilan. Mending pacarannya di tempat yang nggak terlihat khalayak ramai, ini mah jelas-jelas mempertontonkan kemesraan mereka di depan umum.

”Agar menjaga stabilitas nasional aman, maka saya akan membuat sebuah peraturan...”

Aturan yang dimaksud direalisasikan dalam bentuk sebuah akronim. Sedikitnya ada lima akronim: ”BM”, ”UM”, ”UJ”, dan ”CS”. Semua akronim ini wajib dikenakan wanita berjilbab. Caranya dikaitkan dileher, persis seperti ID Card. Wajib dikenakan supaya para Tramtib yang berada di bawah naungan Menteri Politik dan Keamanan bisa melihat akronim itu. Untuk mendapatkannya cukup minta ke RT maupun RW di kampung masing-masing.

Akronim ”BM” kepanjangannya ”Belum Married”. Akronim ini ditujukan pada wanita yang belum married. Jadi kalo ada pasangan yang terlihat bergandegan tangan, peluk-pelukan, bahkan ciuman di depan umum, Tramtib akan menanyakan tanda yang dipakai wanita berjilbab itu. Kalo akronimnya ”UM”, maka pasangan itu aman, karena ”UM” singkatan dari ”Udah Married”. Tapi kalo tandanya ”BM”, Tramtib akan segera membawa wanita berjilbab itu ke Polsek terdekat.

Akronim ”UJ” kepanjangan dari ”Udah Janda”. Meski udah janda bukan berarti bisa seenaknya pacaran dengan pria yang bukan muhrimnya. Oleh karena itu, begitu si wanita berjilbab resmi jadi janda, selain dikasih lebel ”UJ”, dia juga mendapat lebel ”BM”, yang artinya ”Udah Janda” tapi ”Belum Maried”. Itu kalo si janda belum mau married lagi. Kalo mau cepet-cepet married lagi, supaya nggak dosa, si janda dipasangin lebel ”UJ’ dan ”CS”, yang artinya ”Udah Janda” dan lagi ”Cari Suami”.

Supaya nggak dibilang memihak, nggak dianggap pilih kasih, untuk para pria juga kudu memakai gantungan akronim. Selama berada dekat dengan wanita jilbab, pria-pria itu kudu menggantung ID. Namun khusus untuk pria, akronimnya cuma satu, yakni ”SBJ”. Yang artinya ”Siap Bertanggung Jawab”. Namanya pria, mo janda mo perawan, tetap kudu bertanggung jawab. Kalo nggak, siaps-siap dihukum tembak seperti Amrozi atau Kusni Kasdut.

Sebagai Presiden, gw benar-benar mau menerapkan peraturan itu. Sekali lagi, gw concern banget dengan masalah perjilbaban ini. Bukannya gw mo sok-sokan, tapi ini memang syiar yang kudu gw wajibkan. Gw nggak peduli dengan wanita yang masih belum mau pake jilbab. Yang penting buat gw, kewajiban itu udah disosialisasikan secara konsisten. Tinggal urusan mereka dengan Tuhan aja deh.

0 komentar: