Kamis, 01 Oktober 2009

UU RUMAH SAKIT DAN MANTAN PACAR MANAGER PUBLIC RELATIONS

Paling enak kalo kita bisa naik kelas, dari kelas I ke kelas II. Tapi kalo turun kelas, peristiwa ini jarang terjadi. Yang selalu terjadi peristiwa nggak naik kelas kayak dialami beberapa teman saya waktu di sekolah dulu. Tahu dong yang dimaksud turun kelas? Misalnya dari kelas IV turun ke kelas III. Edannya udah ada di kelas V atau bahkan VI, masih pengen turun ke kelas III.

Senin ini, di Gedung DPR ada konferensi pers yang mengumumkan bahwa Undang-Undang (UU) mengenai Rumah Sakit (RS) sudah disahkan. Tanda udah disahkan adalah, Ketua DPR udah mengetuk palu tanpa UU itu sudah harus dijalankan sesuai Pasal-Pasal yang ada di UU itu.

”Lho apa hubungannya dengan naik kelas turun kelas yang tadi diutaran?”

”Ada dong!”

Menurut Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning yang saya kutip dari www.detik.com, RS negeri nggak boleh lagi ada klasifikasi kelas. Artinya, RS nggak boleh menolak pasien dari kelas manapun, mau pasien kelas I, II, III, IV, atau V, kudu dilayani dengan sepenuh hati, jangan diludahi. Cuih! Cuih! Bahkan kata Ribka yang anggota PDIP itu:

"Untuk RS negeri, harus semuanya kelas III. Tidak boleh ada klasifikasi kelas dalam rumah sakit milik pemerintah. Hal ini penting untuk menepis anggapan selama ini bahwa pelayanan kelas 1 di RSUD selalu yang paling bagus. Semua pasien harus mendapat pelayanan yang sama."

“Tapi pada prakteknya banyak RS negeri yang membuka kelas-kelas, lho...”

"Kalo mau buka kelas harus buka RS swasta sendiri. Tapi nggak boleh menjadi satu di rumah sakit milik pemerintah. Mulai hari ini berangsur-angsur anggaran untuk rumah sakit difokuskan untuk kelas III. Kami harap pemerintah tidak menarik retribusi untuk RS milik pemerintah supaya rumahsakit tidak kejar setoran dan menerapkan tarif kamar semena-mena," papar wanita bersuara besar menggelegar ini.


Dua buah figura yang berisi quality policy dan management di RS Thamrin yang dipajang di tembok. Itu artinya RS Thamrin ini memenuhi standar kualitas dalam industri rumah sakit. Terlepas dari figura di tembok itu, menurut Kartono Muhammad, sebagaimana saya kutip dari majalah Reader's Digest Indonesia (Agustus 2009), saat ini Indonesia belum ada lembaga yang berhak mengakreditasi sebuah RS sudah bertaraf internasional atau belum. Lembaga yang berhak bernama Joint Commission International (JCI). Di Indonesia cuma ada satu RS yang sudah mendapatkan akreditasi oleh JCI. Namun RS itu tidak mencantumkan international di belakang nama RS-nya. Jadi, RS-RS yang berlebel international cuma strategi marketing.

”RS negeri itu kayak apa sih?”

”Pokoknya elo cek RS yang yang akronimnya RSUD atau kayak RS Cipto Mangunkusomo, dan RS-RS lain gitu deh,” jelas temen saya yang bukan temannya Ibu Ribka.

Tambah Ribka, untuk RS swasta, harus menyediakan 25 persen ruangannya untuk pasien kelas III. Nggak boleh ada Pasien yang ditolak dengan alasan apapun. Di UU inipun menjamin nggak boleh ada uang muka yang harus dibayar pasien. Pasien kudu dilayani terlebih dahulu, baru ngomongin soal duit. Nggak boleh ada perdagangan darah. Yang nggak kalah seru, Pasien boleh melaporkan apapun yang dia rasakan nggak nyaman selama di rumah sakit ke media massa, sebagaimana yang pernah menimpa Prita Mulyasari.


Terus terang, saya, keluarga saya, atau teman-teman saya belum pernah bermasalah dengan RS Tebet ini. Cuma mau ngasih tahu aja kalo saya pernah dua minggu di rawat di RS ini, karena tifus. Durasi sakit terlama, padahal sebelumnya tidak pernah dirawat di RS. Yang menyebalkan, kejadiannya bertepatan dengan tahun baru. Jadi saya pernah bertahun baruan di ranjang RS.

"Masyarakat boleh curhat ke mana saja. Masa mau mengeluh tidak boleh apalagi sampai di penjara," papar Ribka, yang berambut tidak panjang alias pendek itu, yang barangkali dipotong rambutnya karena kepanasan atau memang doi tomboi, yang barangkali seperti saya setiap hari menggunakan shampo, yang....ah entahlah! Sing penting UU RS ini sudah disahkan dan moga-moga pemerintah konsisiten dengan aturan yang diberlakukan via Pasal-Pasal di UU ini. Dan jangan ada dusta di antara kita, lho kok?!

”Ya itu dia! Kadang-kadang orang Indonesia itu sok disusah-susahin hidupnya. Ngaku warga kelas III, padahal mereka kaya raya, hidup bergelimang harta. Itu yang tadi saya sebut naik kelas turun kelas...”

”Betul! Kalo pas sakit, sok dimiskin-miskinin, tapi pas kalo belanja ke mal atau foya-foya, sok dikaya-kayain. Ini namanya pembohongan publik!”

”Pembohongan publik itu beda kan sama public relations?”

”Ya, jelas beda lah yau! Kalo pembohongan publik itu biasanya bisa wanita, bisa pria. Tapi kalo public relations rata-rata wanita yang mencapai level tertinggi. Jarang terjadi pria jadi Manager PR atau Direktur PR....”

”Yang ada temennya Manager PR atau Direktur PR...”

”Atau mantan kekasih dari Manager PR atau Direktur PR...”

”Kayak elo, ya kan?!”

”Hehehehe. Tahu ajah!”


PENGADUAN JIKA RS BERMASALAH/ MELANGGAR UNDANG-UNDANG

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)d/a Konsil Kedokteran Indonesia, Jl. Hang Jebat III Blok F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120. Telp: 021-7206623, 7254788, 7206665, Faks: 7244379

LBH KesehatanJl. Manggarai Utara IV/ D8, Jakarta Selatan. Tlp: 021-70731817, 83706143

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)Pancoran Barat VII No 1, Duren Tiga, Jakarta Selatan 12760.
Tlp/ Faks: 021-7981858, 7981038

Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP)Sekretariat: Konsultasi Tibis Sinergi, Graha Enka Deli lt 2
Jl. Warung Buncit Raya No. 12, Jakarta Selatan. Telp/ Faks: 021-7985407

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
Jl. Boulevard Artha Gading Blok A-7A No 28, Kelapa Gading, Jakarta 14240
Telp: 021-45845303/4, faks: 45857833, email: persi@pacific.net.id

0 komentar: