Jumat, 23 Oktober 2009

KENTUT DALAM PLASTIK

Angin itu tersimpan rapi di dalam sebuah plastik. Sebagai orang yang diamanatkan untuk membawa angin itu, aku masih bertanya-tanya dengan tanda tanya besar. Mengapa Pengusaha itu memberikan angin ini pada Politikus yang sangat terkenal itu. Apa istimewanya angin ini? Bukankah lebih baik memberikan mobil mewah atau uang triliunan rupiah daripada hanya sebuah angin? Meski terus dihantui pertanyaan, aku merasa puas mendapat job ini. Maklum, honor yang kuterima gede.

Sebelum benar-benar aku berikan ke Politikus itu, aku memandangi angin yang ada di dalam plastik itu. Mataku seolah melihat sosok wanita cantik yang sedang terpenjara oleh karena sesuatu hal. Mataku tak berkedip.

Aku memang punya kesempatan menyimpan satu hari angin dalam plastik itu, karena ketika serah terima dengan Pengusaha itu, waktu sudah sore menjelang malam. Kemudian, ketika aku membuat janji dengan Politikus itu, ia tidak bisa menemuiku kemarin. Katanya sibuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus segera dikelarkan, karena sebentar lagi ia tidak menjabat sebagai Wakil Rakyat. Padahal butir-butir RUU itu banyak yang absurd, penuh lubang-lubang korupsi, dan menuai protes dari berbagai kalangan.

Angin itu tak berwarna. Aku belum sempat melihat ada warna yang dimunculkan oleh si angin. Dari luar plastik transparan itu aku hanya melihat ruang kosong, dimana ruang itu sengaja dibuat membulat sesuai dengan gelembung plastik. Menurutku aneh, termasuk diriku. Ada sebuah plastik transparan yang digelembungkan, diikat pakai karet gelang, tapi di dalam plastik itu tidak nampak apa-apa. Entah itu benda sekecil kutu atau warna, tidak terlihat di dalam plastik. Anehnya, aku tetap memandanginya dan tetap akan membawa dan selanjutnya akan aku berikan ke Politikus yang Maha Sibuk itu. Kalo saja ada orang yang melihat kelakuanku, pasti aku didisebut gila.

“Tolong berikan kentut ini pada Bapak itu ya,” ucap Pengusaha itu padaku kemarin. “Pastikan yang menerima adalah beliau.”

Angin itu bernama kentut. Aku sebenarnya sudah sering mendengar kata “kentut”, bahkan setiap hari aku melakukannya. Kata orang, “kentut” itu penting. Jika ada orang yang tidak bisa kentut, maka orang itu sedang sakit, bahkan boleh dikatakan penyakit parah. Ada satu penyakit, dimana orang perlu untuk kentut. Jika orang yang punya penyakit itu bisa kentut, dijamin penyakitnya akan sembuh. Jadi, kentut itu memang penting.

Kata orang, kentut juga bau. Aku sih percaya, karena aku mengalaminya sendiri. Ketika ada orang lain yang mengeluarkan bunyi dari lubang pantatnya, itu namanya kentut, dan memang bau setelah kuhirup udaranya. Sebaliknya juga begitu, ketika aku mengeluarkan bunyi dari lubang pantat, bau yang dihirup oleh orang-orang disekitar adalah bau busuk. Jika aku habis makan telor, yang terhirup adalah bau telor. Jika kebetulan makan jengkol, yang keluar bau jengkol. Intinya, apa yang kita makan, udara yang keluar itulah bukti dari makanan yang kita makan. Tapi mengapa jika kita makan gaji buta atau makan uang rakyat yang keluar bukan gaji atau uang ya?

Kata orang, jika kentu berbunyi kencang, misalnya seperti bunyi terompet, udara yang keluar dari lubang pantat tidak akan bau. Sementara jika yang keluar hanya desis udara, sebagaimana angin sepoi-sepoi, maka udara itu akan membuat orang bau, bisa jadi orang yang menghirup udaranya akan muntah, ada bahkan yang sampai jatuh pingsan.

Kita bisa mengetahui orang yang mengeluarkan angin kentut jujur atau pembohong. Jika orang tersebut mengaku kentut, maka orang ini pasti jujur. Mau kentut yang berbunyi seperti terompet atau yang hanya mengeluarkan desis seperti angin, orang yang jujur pasti mengaku kalau ia baru saja kentut. Tapi yang paling banyak adalah para Pembohong. Biasanya mereka yang masuk kategori kentut, selalu diam setelah melakukan aksi kentut. Padahal sudah jelas-jelas dia yang kentut, wong sumber baunya dari dia, kok. Hebatnya, ada orang yang bukan cuma diam, tapi menyalahkan orang lain, mengatakan yang kentut orang itu, bukan dia.

Barangkali itulah mengapa Tuhan menciptakan kentut tanpa warna. Bayangkan kalau kentut berwarna hitam seperti knalpot kendaraan bermotor yang belum sempat ganti oli atau mesinnya perlu di tune-up, pasti orang yang kentut akan menanggung malu setelah ia kentut. Bayangkan pula kalau kentut berwarna seperti asap rokok, pasti orang yang di samping si Kentutman (nama orang yang kentut itu) akan menjadi Pengentut pasif (istilah ini level-nya sama dengan Perokok pasif). Tapi barangkali lebih baik bau kentut seperti bau asap rokok kali ya? Supaya para Perokok tidak merokok, tapi mengisap dan mengeluaran asap kentut. Lagipula, lebih sehat menghirup kentut daripada mengisap asap rokok, ya paling-paling kalau mengisap kentut kebauan, ingin muntah, atau pingsan sebentar. Kalau mengisah asap rokok –baik Perokok maupun Perokok pasif-, pasti akan kena kanker.

Tiba saatnya aku membawa angin berisi kentut yang ada di dalam plastik ini ke Politikus itu. Aku sudah buat janji dan kita akan berjumpa di Senci alias Senayan City. Politikus itu yang memilih mal yang berada di kawasan Senayan, Jakarta. Katanya, biar bisa melihat Tante-Tante yang sedang belanja. Katanya lagi, ya siapa tahu dari Tante-Tante itu ada yang bisa diajak berselingkuh. Maklum, banyak di antara Tante yang shopaholic alias gila belanja itu yang butuh kasih sayang, karena suaminya terlalu sibuk cari uang.

(bersambung)

0 komentar: