Jumat, 23 Oktober 2009

BIJI MATA YANG KUAJAK JALAN-JALAN

Biarlah biji matanya kuajak jalan-jalan ke sebuah tempat yang belum pernah dilihatnya. Aku sengaja meminjam sebuah biji mata sebesar kelereng itu dari dia, karena dia tidak pernah mau kuajak pergi. Katanya, tempat yang kuajak selalu menyusahkan. Banyak korban berserakan dimana-mana; bau anyir darah yang bisa membuat orang muntah; dan tentu saja secara fisik harus siap membantu. Dia tidak suka itu semua.

Sebagai orang yang selalu hidup dalam wewangian, dia tidak perlu melihat dari dekat hal-hal yang membuatnya stres. Dia cukup mendengar dari orang-orang, setidaknya membaca dari media. Dia akan memutuskan perlu menyumbang atau cukup bilang: “Kasihan.”

Oleh karena itulah aku meminta dia untuk mencopot kedua biji matanya, jika dia sama sekali tidak mau turun ke lapangan, melihat persoalan yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Biar fisiknya tetap berada di dalam mobil Alpard putih atau rumah mewah di bilangan Pondok Indah, sementara kedua biji matanya bisa menyaksikan sendiri kesusahan yang terjadi.

Nyatanya, dia tidak kuasa melepas kedua biji matanya. Dia ingin satu biji matanya tetap berada menyatu dengan lubang mata yang ada di kepala. Sebab, katanya, jika biji matanya ku ajak jalan-jalan secara bersamaan, maka biji mata itu akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi terhadap apa yang terjadi, dan selanjutnya akan merasa iba. Itu tidak dia suka. Dia ingin seperti sekarang ini, hidup dengan ruang ber-AC, kursi empuk, seorang sopir yang setia menemani kemana pun dia pergi, berada dengan kemaksiatan, dan harta-benda yang tujuh turunan tidak akan pernah habis itu. Kesimpulannya, dia lebih suka yang diajak jalan-jalan olehku hanya sebuah biji mata.

Sebelum diserahkan padaku, ia mencongkel sebuah biji matanya dengan menggunakan obeng. Bukan obeng sembarang obeng, tapi obeng yang terbuat dari emas dengan tiga berlian di gagangnya. Tak perlu waktu lama, sebuah biji mata sebelah kiri keluar dari lubang tengkorak kepalanya. Sebiji mata itu keluar tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Aneh, tapi nyata. Barangkali dia memang sudah tidak punya darah, karena darahnya sudah dihisap oleh Dracula, sebagaimana hatinya yang hilang entah kemana. Kini tinggal sebuah biji mata yang ada di kepalanya.

Kini setelah setahun kuajak jalan-jalan, biji mata tersebut diletakkan kembali ke tempat semula, di lubang tengkorak yang selama setahun ini bolong. Anehnya, ketika sudah dipasang dengan sempurna, banyak sekali perbedaan dari kedua biji mata itu. Biji mata kiri selalu saja meneteskan air mata. Tetasan airnya terus menerus seperti keran bocor. Sedang biji mata kanan, justru tidak sama sekali merasa perlu mengeluarkan air mata. Kalau pun biji mata kanannya memerah itu bukan karena apa-apa, itu akibat teralu banyak minum alkohol atau begadang semalam suntuk di sebuah diskotek terkenal di Jakarta.

Baru kutahu mengapa biji mata kiri terus menerus mengeluarkan air mata. Biji mata kiri sudah melihat ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di lapangan, bencana-bencana yang terjadi: tsunami atau gempa; maupun begitu banyak orang miskin yang tidak diurus oleh pemerintah. Biji mata kiri sudah kuajak ke teman-teman, dimana dia seharusnya melihat dengan mata kepala sendiri, sebagaimana posisinya sebagai seorang Pemimpin yang selalu berkoar-koar tentang kemiskinan atau ketidakadilan.

Terus terang sedih sekali kalo biji kanan dan biji kiri berbeda sikap. Oleh karena itu, sebagai pemilik biji, sudah seharusnya biji kiri dan kanan bersatu padu, atau setidaknya lebih toleran. Ketika mengeluarkan air mata, kedua biji -baik biji kiri maupun biji kanan-, juga mengeluarkan air mata. Ketika biji kanan ngantuk, biji kiri juga harusnya ngantuk. Tapi sayang, kedua biji tidak kompak.

“Baiklah kalo biji yang tinggal satu-satunya ini di wajahku akan diajak jalan-jalan juga, saya pikir cukup menarik,” ujar dia, yang tidak suka ketidakkompakan ini terjadi pada biji matanya. “Saya ambil obeng dulu untuk mencungkil biji mata ini.

Biji mata kedua akhirnya bisa menyatu. Dia berharap sekali, dengan menyatunya kedua biji mata, hatinya yang selama ini tidak bisa terketuk -karena tidak pernah diperlihatkan akan dunia lain yang jauh dari kenikmatan-, moga-moga akan lebih terketuk. Kita lihat saja nanti bagaimana ending-nya dari perjalanan biji kanan yang sekarang ini ku ajak jalan-jalan.

0 komentar: