Senin, 12 Oktober 2009

DUA PEREMPUAN YANG KUTEMUI SORE ITU

Perempuan itu cantik. Kulitnya yang menghitam akibat sengatan matahari tak bisa mengelabui kecantikannya. Percayalah, ia lebih cantik dari teman-teman saya yang sok cantik, padahal saya tahu kecantikan mereka sudah melewati serangkaian terapi di salon. Percaya pula, kecantikan perempuan ini jauh lebih alami dari Bencong Taman Lawang sekalipun.

Perempuan itu tak peduli suaranya terdengar jelek. Serak-serak basah, bahkan cenderung parau. Ia juga sama sekali tak peduli, dengan kecantikan alaminya itu berdiri di hadapan perempuan-perempuan lain yang tak secantik dirinya. Ada perempuan bermata sipit, tapi kulitnya putih, dan berambut sebahu. Ada perempuan berdada besar, hidung pesek, dan menggenakan jins warna biru. Yang paling fokus menatap perempuan yang aku katakan cantik itu adalah seorang ibu berwajah jelek dengan tinggi badan tak lebih 150 cm itu.

Dan sampailah perempuan itu pada bait terakhir dari sebuah lagu yang sama sekali tak ku ketahui judul maupun penciptanya. Ia kemudian, dan beserta anaknya yang berusia sekitar dua tahun itu, meminta uang recehan dari satu penumpang ke penumpang lain, termasuk diriku. Setelah itu, ia langsung pergi meninggalkan bus 46 jurusan Grogol-Cililitan yang sore itu membawaku ke Twin Plaza.

Perempuan itu pengamen. Bila kutaksir usianya, kira-kira masih sekitar 20 tahunan. Bila anaknya berusia 3 tahun, berarti ia melahirkan pada saat usianya 17 tahun. Usia, dimana perempuan kota sedang “hot-hot”-nya, minta dibuatkan ulangtahun terindah agar bisa dikenang di kemudian hari. Usia, dimana anak-anak menengah-atas minta dibuatkan SIM agar bisa segera membawa mobil milik orangtua mereka.

Sayang aku tak sempat bercakap-cakap dengan perempuan pengamen ini. Perempuan yang menurutku pantas ikut Gadis Sampul, Model Kawanku, atau mungkin Putri Indonesia. Anda pasti sudah bisa menebak kecantikan alami perempuan yang saat ceritakan ini. Sayang, ia tak terawat. Kemaja yang ia kenakan sudah lusuh, dekil, dan pasti bau. Jins yang seharusnya berwarna biru muda itu pun sudah penuh dengan kotoran, asap knalpot, dan barangkali bau bekas kencing anaknya yang masih dua tahun itu.

Padahal aku ingin sekali bertanya: siapa namanya; siapa suaminya; apakah suaminya tahu kalo ia cantik, lebih cantik dari Titi Kamal atau Shanty; dimana tinggalnya; bagaimana ia sehari-hari hidup dengan anaknya; pernahkah terpikirkan olehnya tentang masa depan, masa depan anaknya; bagaimana hubungannya dengan suaminya; dan pertanyaan-pertanyaan lain. Namun ia sudah turun dari bus 46 bersama anaknya di perempatan Pancoran, dan dengan cepat menyeberang ke jalan lain, dimana aku yakin ia akan kembali ngamen dengan kecrekan kayu dengan bekas tutup botol itu.

Sore di kesempatan lain, aku menjumpai perempuan kedua. Kali ini jelek rupanya. Ia mengaku usianya baru 17 tahun. Dari pembicara dengannya, aku percaya usianya memang segitu, karena saat ini jika masih berada di bangku sekolah, ia duduk di kelas 2 SMU. Yap! Perempuan kedua yang kutemui di pinggir pantai Taman Impian Jaya Ancol ini memang sudah putus sekolah.

Bibirnya yang tebal itu menceritakan dengan lancar tetang kisah hidupnya, yang menurut saya cukup tragis. Ia tidak lagi diakui oleh orangtua kandungnya sendiri. Ibunya telah mengusirnya dua minggu sebelum Idul Fitri 1430 H lalu, sedang Bapaknya yang menurutnya mantan preman itu tidak pernah sama sekali berusaha mencarinya.

Dengan perempuan kedua ini, memang aku punya kesempatan banyak bercakap-cakap. Aku punya kesempatan melihat perempuan ini dari dekat. Wajahnya yang bulat; kulitnya yang hitam dan kering; hidungnya yang pesek; rambutnya yang nge-bob; tingginya yang kira-kira 145 cm; pantatnya yang molek; dan payudaranya yang sebesar cetakan nasi padang.

Namun perempuan kedua ini jauh berbeda dengan perempuan pertama. Setidaknya itu asumsiku yang bisa disebut sebagai prejudice atau prasangka yang belum tentu kebenarannya. Tapi begini, perempuan kedua ini aku pikir lebih suka lari tanggungjawab. Pasti ada masalah yang membuat dirinya tidak diakui lagi oleh orangtuanya, which is jiwa pemberontaknya.

Lewat percakapan, saya menilai perempuan kedua selalu mengambil jalan pintas, praktis. Ketika orangtuanya menasehati, nasihat tersebut ditangkap sebagai hal yang bertentangan dengan jiwa pemberontaknya. Ia merasa punya hak melakukan apa saja, sementara orangtua menuduh anaknya itu lupa akan tanggungjawabnya sebagai anak. Setiap nasihat orangtuanya bertolak belakang, perempuan kedua itu lari, bertemu teman-temannya, dan bermalam sampai pagi di diskotek. Ini dilakukan berkali-kali. Siapa orangtua yang tak marah? Itulah yang membuat dirinya diusir dari rumah.

Dua sore itu, dengan dua perempuan yang berbeda, menambah pelajaran berharga bagiku. Perempuan pertama mengajarkanku soal struggle for survive, tanggungjawab ibu pada anak, dan mencari uang tanpa rasa malu selama uang dicari adalah halal. Sementara perempuan kedua memberiku pelajaran akan hak dan kewajiban anak pada orangtua dan tak ada guna lari dari masalah, karena akan melahirkan masalah baru.

Dari perempuan ketiga, aku mendapat jauh lebih banyak dari kedua perempuan yang kedua sore itu kutemui. Perempuan ketiga ini memang tak kumasukkan dalam kisah di atas tadi, karena sampai kini selalu setia menemaniku, dalam keadaan susah maupun senang.

0 komentar: