Selasa, 18 Agustus 2009

BAPAK MEMANG TAHU APA YANG KUMAU

Sore yang cerah itu di Sirkuit Sentul. Seorang Bapak sedang mengawal dua kambingnya yang imut-imut itu. Kambing imut pertama berwarna cokelat. Namanya kambing cokelat. Kambing imut kedua berwarna hitam belang putih. Nggak heran kalo Bapak itu menamakan si kambing adalah “bilang” yang berasal dari singkatan kambing belang. Sambil mengawal kambing, Bapak itu pun mengawal dua anak lakinya yang kalah imut dibanding kambing.

Aktivitas kawal-mengawal ini memang sudah biasa dilakukan oleh Bapak single parent ini. Sejak anak kedua berusia 3 tahun, istrinya meninggal dunia. Kabar meninggalnya sang istri rada simpang siur, boleh dikatakan simpang lima. Ini mirip kayak kesimpangsiuran info di masyarakat soal seseorang yang ditembaki oleh Densus 88 Antiteror Polri. Ada yang bilang Noordin M. Top lah! Ada yang bilang kucing. Ada yang bilang Noordin M. Tip. Pokoknya simpang siur gitu deh! Nah, kematian sang istri yang punya suami ini juga simpang siur lima.

Simpang pertama, istrinya tewas gara-gara kehabisan nafas. Nafas bantuan tak kunjung tiba, ketika sisa nafas terakhir sudah tak bisa menunggu. Simpang kedua, istrinya dibunuh oleh seorang suster yang seringkali ngesot malam-malam. Simpang ketiga, suami membunuh istri gara-gara, sang istri berniat mau membunuh sang suami. Simpang keempat, istri nyasar di pasar yang gelap gulita. Lalu diperkosa oleh Tukang Ayam sampai mati. Simpang yang terakhir, sang suami nggak tega si istri hidup dengan dua orang anak. Gara-gara nggak tega, sang suami meminta Pembunuh bayaran untuk membunuh si istri. Tapi sayang, bayarannya kurang, jadi sang suami nggak jadi menyewa Pembunuh bayaran. Suami sendiri yang membunuh istrinya.

Meski simpang lima yang simpang siur itu, suami tetap bertanggungjawab terhadap kedua anaknya. Nggak heran kalo kedua anaknya ini dirawat dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dia merawat kambing-kambingnya.


Inilah Sirkuit Sentul yang megah, dimana dua orang anak manusia ingin sekali jadi Pembalap.

One day, ketika Bapak sedang mengembala kambing, kedua anak Bapak itu mampir ke tribun sirkuit. Tribun dimana biasa menjadi tempat duduk para penonton balap mobil yang nggak lain anak-anak orang kaya. Sebenarnya keinginan kedua anak itu buat menyaksikan balapan di sirkuit balap mobil ini sudah lama terpendam, namun baru kali ini terrealisasikan. Selama memendam keinginan, kedua anak ini cuma bisa mendengar deru mobil balap itu sambil menunggang kambing. Kok menunggang kambing? Ya, seolah mereka membayangkan kambing itu adalah mobil balap. Walah! Jauh banget ya?! Oh iya, belum berkenalan, nama anak itu Tjahyo dan Witjak. Tjahyo sang Kakak, sedang Witjak adalah adik dari Tjahyo.

Begitu Tjahyo dan Witjak duduk di tribun, mereka langsung takjub. Takjub melihat mobil-mobil balap yang ada di sirkuit keren-keren. Warna-warnanya pun eksotik. Ada merah, biru, kuning langsat, hijau daun, hitam manis, dan orange jus.

“Kok mereka ngebut sih, Kak,” tanya Witjak dengan lugu. Maklum, usianya belum genap 4 tahun.

“Iya, karena mereka itu adalah Pembalap,” kata Tjahyo. “Pembalap itu harus ngebut. Kalo nggak ngebut namanya bukan Pembalap, tapi ayam sayur.”

“Ayam sayur? Sayur apaan, Kak?”

“Ya, tergantung kamu suka sayur apaan. Kalo kamu suka sayur bayam, ya, ayam sayur bayam. Kalo kamu suka sayur sop, ya ayam sayur sop. Suka-suka kamu lah! Tapi kenapa dari ngomongin balap mobil jadi ke sayur-sayuran ya?”

“Kakak yang ngomong kok...”

Tjahyo terdiam. Dia kembali fokus ke sirkuit, dimana masih terdapat lima mobil yang sedang saling membalap. Mereka saling salip menyalip, berusaha berebut buat berada di nomor paling depan.

“Dik, pantas nggak kalo Kakak jadi Pembalap kayak mereka?” tanya Tjahyo ke Witjak. Wajah Tjahyo tetap fokus mengikuti ke arah mobil-mobil balap itu melaju.

“Pantas, Kak! Pantas banget! Soalnya kakak suka mie rebus kan?”

“Lho apa hubungannya mie rebus dengan jadi Pembalap?”

“Pasti makanan Pembalap tiap hari mie rebus kan, Kak? Memangnya kita mau makan mie rebus aja harus nunggu sebulan sekali...”

“Ya, nanti kalo Kakak jadi Pembalap, kamu mau makan mie rebus setiap jam juga bisa!”

“Betul, Kak?” tanya Witjak dengan wajah sumringah.

“Betul lah! Masa Kakak bohong?”

“Hore!!! Hore!!! Hidup Kakak! Kakakku seorang Pembalap! Hidup Kakak!”

Witjak begitu riang gembira dijanjikan oleh Kakaknya makan mie rebus tiap jam kalo kelak Tjahyo jadi Pembalap. Nggak heran Witjak ngotot banget ke Tjahyo agar segera minta restu sang ayah agar jadi Pembalap. Atas desakan sang Adik, Tjahyo akhirnya menjumpai Bapaknya.

Sang Bapak masih duduk di bawah pohon bersama dua kambingnya yang imut-imut itu. Sebelum mereka hadir, Tjahyo dan Witjak sempat melihat Bapaknya sedang berdialog dengan kedua kambingnya. Entah apa yang diperbincangkan. Entah bicara politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Atau jangan-jangan Bapaknya lagi tes vokal duet bersama kambing-kambing itu. Ah, entahlah!


Manusia berkacamata ini bukan Preman, apalagi Pembalap. Beliau adalah orang baik-baik yang ingin mengangkat harkat martabat orang-orang miskin agar bisa merasakan menjadi orang kaya. Sayang, belum kesampaian.

Tjahyo pun menguraikan keinginannya. Namun, what's happen next? Bukan main kaget Tjahyo dan Witjak menerima reaksi si Bapak. Mereka nggak nyangka Bapaknya begitu negatif terhadap cita-cita Tjahyo yang mulia itu sebagai Pembalap. Mereka nggak nyangka Bapaknya melihat dari angle yang sangat negatif.

“Kalo kamu sampai jadi Pembalap, Bapak nggak akan mengakui kamu jadi anak-anak Bapak!”

"Kok kayak Malin Kundang Pak?"

"Ya, gitu deh!"

“Apakah durhaka menjadi Pembalap Bapakku tersayang?” tanya Tjahyo.

“Durhaka sih enggak, tapi banyak nggak pentingnya!”

“Nggak penting?”


Inilah kedua kakak-beradik yang bercita-cita jadi Pembalap. Sayang, untuk sementara waktu dianjurkan oleh Ketua RT untuk ikut lomba balap karung. Bukankah sama judulnya Pembalap juga? Pembalap Karung!

“Iya, nggak penting! Dalam suasana kemiskinanan kayak begini masih ada orang yang membuang-buang bahan bakar percuma. Bapak tahu, itu semua pakai duit mereka. Tapi andai bensin yang dibuang itu dipakai buat sesuatu yang bermanfaat, misalnya membangun sekolah-sekolah yang banyak roboh, membiayai anak-anak yang tidak bisa sekolah, atau menyelamatkan keluarga-keluarga miskin yang tak mampu berobat ke rumah sakit, pasti akan lebih bermanfaat...”

“Mereka pasti orang kaya Bapak. Mereka pasti sudah melakukan itu semua...”

“Belum cukup! Mengandalkan Pemerintah juga sulit. Jadi Bapak nggak setuju kalo kamu jadi Pembalap. Lagipula memangnya siapa yang mau membelikan mobil kamu?”

“Lho, kan di rumah sudah ada, Pak?” tanya Witjak dengan lugu.

“Itu mah mobil-mobilan! Anak-anak, sampai kapan pun orang miskin seperti kita nggak akan mampu membeli mobil Balap. Mobil balap itu harganya lebih dari 1 miliar tahu?!”

“Hah?! Kok mahal amat, Pak? Nggak bisa kurang?”

“Sudah harga tokonya segitu, kok. Bapak nggak ambil untung. Coba aja cek ke toko sebelah! Pokoknya Bapak nggak setuju kalo kamu jadi Pembalap. Mending kamu jadi Preman....”

“Jadi Preman?”

“Iya, jadi Preman. Dengan menjadi Preman, kita akan mendapatkan banyak uang. Dengan banyak uang kita bisa merubah status kita dari orang miskin menjadi orang kaya. Dengan menjadi orang kaya, maka kita bisa mengendalikan orang-orang, apalagi kalo menjadi Ketua dalam organisasi. Dengan begitu, kamu mau jadi Pembalap juga terserah deh. Sebab uang sudah nggak masalah...”

“Wah, enak juga tuh Pak...”

“Iya, enak ya Kak jadi Preman itu?”

“Kalian tertarik jadi Preman?”

“IYAAAAAAA!!!!!”

“Baiklah, nanti Bapak kenalkan dengan beberapa Preman sukses. Mereka sudah lama menjadi inspirasi Bapak. Sebab, dengan kharisma kepremanan mereka selama ini, mereka sukses di dunia...”

“Bapak memang tahu apa yang kumau...”

0 komentar: