Senin, 03 Agustus 2009

MERASAKAN DETIK-DETIK PROKLAMASI

Pagi itu rumah bercat putih di jalan Iman Bonjol no. 1, Jakarta Pusat nggak kayak biasanya, nampak rame. Beberapa orang penting di tanah air ini terlihat hilir mudik. Ada Otto Iskandardinata, Ki Hadjar Dewantara, , Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningkrat, maupun Prof. Dr. Mr. R. Soepomo. Nggak cuma di ruang depan di lantai dasar, di lantai dua di rumah berarsitektur art deco itu pun ada beberapa orang yang juga mengadakan pertemuan informal.

Tiba-tiba seseorang berpakaian safari putih komplet plus peci hitam, muncul. Wajahnya begitu serius. Saya nggak sampai hati mau menegur beliau, apalagi minta tanda tangan dan foto bareng. Padahal sebagai fans, saya kagum dengan apa yang beliau lakukan pada negara Indonesia ini. Memang sih, pribadinya yang flamboyan itu seringkali membuat beberapa orang sebal. Namun perjuangan beliau agar Indonesia menyatu sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membuat saya jatuh hati padanya. Beliau adalah Ir. Soekarno.

“Tolong Anda ketik tulisan ini,” begitu ucapan Soekarno yang saya dengar. Anda yang dimaksud Presiden RI pertama itu adalah Sayuti Melik.


Gedung ini didirikan sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa. Luas tanahnya 3.914 M2. Sementara luas bangunannya 1.138,10 M2. Sebelum dijadikan Museum pada tahun 1992, gedung ini sempat menjadi kantor PT. Asuransi Jiwasraya dan British Council.


Saat itu menunjukan sekitar pukul 04:00 wib dini hari. Sebelumnya, pria berpakaian safari itu sempat meeting dengan Moh. Hatta dan Ahmad Subardjo. Pria itu nggak lain bernama Soekarno. Kalo Hatta dan Subardjo menyumbangkan pikiran secara lisan, sebaliknya Soekarno yang menulis teks. Sebelumnya lagi, pukul 02.30 wib, ketiga tokoh ini sempat berjumpa dengan Laksamana Maeda. Namun Maeda nampak nggak begitu suka begitu tahu niat ketiga tokoh ini buat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Maeda langsung naik ke lantai atas di rumah itu.

Tepat di bawah tangga yang menuju lantai dua, Sayuti membawa selembar kertas coret-coretan tangan Soekarno. Dia kemudian memasukkan selembar kertas putih kosong ke mesin ketik. Sayuti nggak sendiri. Saat menyusun kembali tulisan tangan Soekarno dengan mesin tik, dia didampingi oleh B.M. Diah. Kertas corat-coret itu nggak lain nggak bukan adalah draft teks Proklamasi.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, 17-8-45
Wakil-wakil bangsa Indonesia

Di draft teks Proklamasi itu, ada dua kata yang diganti. Kata pertama “tempoh” yang diganti dengan kata “tempo”. Kata kedua adalah “wakil-wakil bangsa Indonesia”. Kata tersebut diganti menjadi “atas nama bangsa Indonesia”. Revisi lain, ada nama hari, yakni Jum’at sebelum angka 17 dan nama bulan.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta

Selama mengetik, di luar rumah terdengar suara Kondektur bus yang berteriak-teriak menyebutkan trayek bus. Dengan teriakan itu, berharap busnya mendapat banyak “Sewa”. Kata “Sewa” adalah istilah buat menggantikan kata “Penumpang”.

“Blo’em! Blo’em! Blo’em!” teriak Kondektur bus PPD nomor 213 jurusan Kampung Melayu-Blok M via Imam Bonjol dan Jenderal Sudirman.


Lihatlah Sayuti Melik nampak serius menyalin draft teks Proklamasi yang ditulis Soekarno ke mesin ketik. Di samping Sayuti, B.M. Diah menemani dengan setia. Mereka mengetik di sebuah ruang sempit berukuran 2X2 meter yang ada di bawah tangga. Saya memperhatikan mereka dari luar ruang, tapi sempat masuk juga sih melihat hasil ketikannya.


Selain bus nomor 213, ada banyak juga kendaraan umum lain. Nggak cuma PPD, ada Mayasari Bakti, Stady Safe, bahkan Metromini. Sebenarnya, hiruk pikuk kendaraan yang berseliweran di jalan Iman Bonjol itu cukup berisik. Namun beruntunglah, situasi di dalam rumah tetap fokus pada hasrat buat merdeka, termasuk Sayuti yang tetap mengetik draft teks Proklamasi dengan mesin ketik tua itu.

Kelar diketik oleh Sayuti, teks kemudian dibawa kembali ke ruang III, yakni ruang pengesahan. Di ruang ini, Soekarno akan menandatangani naskah Proklamasi ini dan selanjutnya akan dibacakan keesokan hari. Peristiwa ini berlansung menjelang wktu Subuh, tepatnya di hari Jum’at, 17 Agustus 1945, yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.


“Dimana kita akan membacakan naskah Proklamasi ini Mr President?” tanya salah seorang yang hadir di situ.

“Ya di sini kali!” kata orang lain yang juga hadir di situ.

“Jangan, situasi nggak aman! Better di tempat lain gitu...”

“Dimana?”

“Stop! Stop! Jangan kelahi! Maksudnya jangan berkelahi gitu. Kita kudu kompak! Di saat kayak begini, kita kudu bergandengan tangan. Jangan gontok-gontokan. Biar kemarin udah terjadi bom J.W. Marriot dan Ritz-Carlton, kita nggak boleh terpecah belah. Biarlah negara Amrik atau Australia mengeluarkan travel warning. Tapi kita tetap kudu merdeka. Gimana Mr. President?”

“Atas pertimbangan keamanan, maka saya akan membacakan teks Proklamasi ini di halaman rumah saya,” kata Soekarno. Pernyataannya itu sekaligus menutup simpang-siur venue pembacaan teks Proklamsi yang sebelumnya diperdebatkan itu.

“Wah, kebetulan dong! Saya belum pernah ke rumah Bapak,” ucap salah seorang yang hadir di situ, yang kebetulan belum mandi beberapa hari.

Tepat pukul 09:55, Drs. Moh. Hatta tiba di rumah Ir. Soekarno. Kedua pemimpin itu kemudian berjalan menuju ruang depan. Saya melihat seseorang sedang menyiapkan sebuah mikrofon. Sepertinya orang ini berlatar belakang teknik. Soalnya beliau fasih banget menyiapkan segala hal secara teknis. Tapi saya yakin, beliau bukan dari STM yang sering tawuran.


Ini ruang pengesahan atau penandatanganan naskah Proklamasi. Konsep naskah Proklamasi dibacakan Soekarno di ruang ini secara perlahan-lahan dan berulang-ulang. Sebelum diketik, Soekarno meminta terlebih dahulu persetujuan atas naskah Proklamsi ini. Jawaban hadirin: SETUJU! Sungguh demokratis bukan? Nggak mungkin pada zaman itu udah ada money politic. Belum happening!
Sebelum mike diberikan sepenuhnya pada Soekarno, Teknisi ini mengetes suara mike. To make sure, suara mike nggak fadeback atau sound-nya under. Nggak boleh kedegean pula volume-nya. Tahu dong suara Soekarno cukup menggelegar. Kalo kegedean, bisa-bisa speaker pecah dan seluruh kuping pendengar bisa budeg. So, Teknisi yang biasa mengurus segala keperluan pidato Soekarno finnally kelar.

“Silahkan, Pak Presiden!” perintah Teknisi ini.

Tepat pukul 10:00 wib, Soekarno membuka suara. Beliau mengucapkan beberapa patah kata sebagai pengantar. Lalu dengan khidmat, naskah Proklamasi yang udah diketik oleh Sayuti, dibacakan oleh Soekarno. Sementara di samping Soekarno, Hatta mendengarkan kata demi kata teks Proklamasi tersebut.

Setelah pembacaan teks Proklamasi, Suhud dan Latief Hendraningrat bergegas membawa bendera merah putih. Bendera itu hendak dikibarkan sebagai simbol Indonesia udah merdeka. Mereka berdua melakukan gerakan baris-berbaris, sebagaimana kalo kita saksikan teman kita melakukannya saat upacara bendera di sekolah. Ah, pada saat melihat Suhud dan Latief baris-berbaris begitu menginggatkan saya ketika ikut Pasukan Pengibar Bendera (Paskibraka). Kebetulan saya sempat ikut Paskibraka tingkat RW.

Perlahan-lahan, bendera merah putih itu dinaikkan. Beberapa orang yang hadir begitu fokus memandangi bendera yang dikerek Suhud dan Latief. Mereka dalam posisi hormat. Tentu saja dengan menggunakan tangan kanan. Dan lagu Indonesia Raya pun berkumandang.

Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku.
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku
bangsa dan tanah airku
marilah kita berseru
Indonesia bersatu!


Soekarno dengan gagah berani membacakan teks Proklamasi. Terus terang saya salut dengan tokoh-tokoh yang menginginkan kemerdekaan. Kenapa? Wong setelah diumumkan kemerdekaan, masih banyak perang yang berkecamuk di seluruh Indonesia, kok!
Ketika lagu Indonesia berkumandang, seketika seluruh bulu kudu saya berdiri. Merinding sekali. Tanpa sadar, air mata saya sedikit keluar dari pelupuk mata. Tanda bangga. Bangga Indonesia bisa merdeka. Ah, senangnya!

Selesai upacara, saya langsung bersalaman dengan beberapa hadirin yang ada di situ. Termasuk Bung Karno dan Bung Hatta. Saya katakan, mereka hebat. Luar biasa! Mereka juga sungguh berani mengumumkan kemerdekaan Indonesia ini. Padahal saat itu Indonesia belum bener-benar merdeka. Yaiyalah! Setelah pengumuman itu, mulai Agustus sampai dengan Oktober 1945, Indonesia masih menghadapi konflik dengan Jepang. Bangsa Jepang masih mencoba mempertahankan diri sebelum kedatangan Sekutu. Nggak percaya? Mari kita buka buku sejarah! Pada tanggal 28-29 Oktober 1945, terjadi pertempuran sengit di Surabaya antara rakyat Indonesia melawan Inggris. Pertempuran itu menghasilkan kematian Komandan bridage Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby. Beliau tewas tertembak.

Sebelumnya, pada tanggal 17 Oktober 1945, terjadi tawuran antara pemuda-pemudi Bandung melawan pasukan Inggris. Para pemuda asal Paris van Java ini ogah menyerahkan senjata. Mereka tahu, penyerahan senjata itu sama aja menyerahkan diri buat mati. Yaiyalah! Begitu senjata diserahkan, pasukan Indonesia jadi lemah, ya nggak? Mending menyerahkan ternak mereka daripada senjata, deh!

Last but not least, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Hal tersebut terjadi gara-gara Belanda perundingan Linggarjati, dimana perundingan itu cuma sebagai kamuflase Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Betapa enggak, dalam perundingan itu ada dua hal yang menurut masyarakat Indonesia nggak masuk akal. Apa itu? Pembentukan pemerintah federal sementara, sampai terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Ini menandakan Republik Indonesia dibubarkan. Hal kedua, pembentukan gendarmerie (pasukan keamanan bersama) yang akan masuk ke Republik. Ini sama saja mengizinkan pasukan Belanda menguasai kembali Indonesia.

Masih banyak peristiwa-peristiwa yang membuat saya salut dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang berani mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Rasa salut saya itu berkali-kali saya ucapkan di depan mereka. Saya nggak peduli kalo kemudian saya baru tahu, kemerdekaan di tanggal 17 Agustus 1945 nggak lain merupakan hasil desakan dari para Pemuda Indonesia yang dimonitori oleh Sultan Syahrir.

“Maaf Pak, museumnya mau ditutup,” ucap Security Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Ah, imajinasi saya akhirnya harus diakhiri. Security itu “membunuh” hayalan saya merasakan detik-detik Proklamasi. Merasakan saya berada di tengah-tengah kesibukan mereka yang hadir mempersiapkan naskah Proklamasi sampai larut malam. Dan gara-gara merekalah saya jadi menghirup udara kebebasan di negara kita yang tercinta ini. Barangkali Anda nggak sadar. Anda merasa belum merdeka, tapi sesungguhnya mengapa Anda bisa hidup sampai saat ini nggak lain karena Anda masih diberikan kemerdekaan.

By the way, pernahkah Anda mampir ke museum proklamasi yang ada di jalan Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat? Cobalah sekali-sekali datang ke sana. Rasakan seolah Anda ikut menyiapkan naskah Proklamasi.

Gedung ini didirikan tahun 1920. Sebelum menjadi Museum, gedung berarsitektur Eropa (art deco)ini, dipergunakan sebagai kantor PT. Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pacifik, gedung dengan luas tanah 3.914 m2 dan luas gedung 1.138,10 m2 ini dipakai British Council General. Baru pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda. Beliau adalah Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD) Jepang.


Pada tahun 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Inggris sampai tahun 1981. Ini terjadi setelah Sekutu mendarat di Indonesia pada bulan september 1945 dan Jepang menyerah kalah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0476/1992 tanggal 24 November 1992, gedung ini ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, yaitu sebagai Unit Pelaksana teknis di bidang kebudayaan. Kalo Anda tertarik berkunjung ke museum ini, berikut jam buka dan harga tiket masuknya.


JAM BUKA MUSEUM

Selasa - Kamis : 08:00-15:00 wib
Jum'at : 08:00-11:00 wib
13:00-15:00 wib
Sabtu/Minggu : 08:30-14:30 wib

Senin dan Hari Besar : Tutup


KARCIS MASUK

Dewasa Perorangan : Rp 750,-
Rombongan Dewasa : Rp 250,-
Perorangan Anak-anak : Rp 250,-
Rombongan Anak-anak : Rp 100,-

Info lebih lanjut ke silahkan hubungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jl. Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat 10310, tlp: (021) 3144743, fax: (021) 3924259


all photos copyright by Jaya

0 komentar: