Senin, 09 Februari 2009

KADO VALENTINE TERINDAH

Mungkin ini yang dinamakan hukuman bagi anak durhaka. Aku yang ganteng ini begitu tersiksa. Mau melakukan apa-apa salah alias serba salah. Mau marah-marah, nggak ada manusia yang layak buat dimarahin. Mau ngajakin berantem, nggak ada satu manusia pun yang membuat diriku tersingung. Mungkin beginilah mementum saat Malin Kundan dikutuk sama Mama-nya jadi batu sebagai anak durhaka.

Sebenarnya sudah lama aku dinasehati Mama dan Papaku agar selalu makan buah dan sayur. Soalnya buah-buahan serta sayur-sayuran ciptaan Tuhan itu sumber vitamin. Yang bisa membuat segala kebutuhan yang ada di tubuhku bisa berjalan dengan sempurna. Kayak lagu Andra and The Backbone: “Sempurna”.

“Tapi aku nggak suka sayur, Ma,” kataku pada Mama.

“Tapi kamu harus makan sayur, Nak,” kata Mama padaku.

“Tapi aku nggak mau, Ma,” kataku lagi.

“Tapi kamu harus mau, Nak,” kata Mama lagi.

Adu ngotot seringkali terjadi. Namun, adu ngotot nggak pernah berakhir dengan tawuran sebagaimana Mahasiswa Indonesia tercinta ini, dimana ngotot sedikit atau aspirasinya nggak diterima berubah jadi Monster yang menjadi anarkis. Adu ngotot aku dengan Mama juga nggak berakhir jotos-jotosan sebagaimana para sepakbola PSSI yang terhormat, dimana gara-gara hal sepele wasit bisa benjol atau ditimpuki supporter norak. Adu ngotot aku dan Mama tetap dengan hati dingin, kepala jernih.

“Tapi aku nggak suka buah, Ma,” kataku pada Mama.

“Tapi kamu harus makan buah, Nak,” kata Mama padaku.

“Tapi aku nggak mau, Ma,” kataku lagi

“Tapi kamu harus mau, Nak,”kata Mama lagi.



Inlah yang aku rasakan sekarang. Berada di tengah kemacetan lalu lintas Jakarta yang menyengsarakan. Tepatnya di pintu masuk tol Kebon Jeruk. Untung aku nggak punya rumah di sekitar situ. Najis banget tiap hari berjumpa dengan kemacetan kayak begini. Untung nggak ada yang pernah menawari rumah atau apartemen di sepanjang area situ. Nggak banget! Ini belum bayar tol di gerbang tol. Ini belum juga masuk ke gerbang tol berikutnya, gerbang tol dalam kota. Gokil!

Inilah yang aku rasakan sekarang. Menahan sakit perut yang gokil di tengah kemacetan. Padahal aku harus mencarikan hadiah Valentine buat kekasihku yang tercinta. Ini hadiah pertama dan harus spasial. Karena aku baru merayakan Valentine yang pertama di tahun ini dengan kekasihku yang wajahnya mirip Susi Susanti. Tapi perutku sakit. Aku sakit perut.

“Kalo makan buah setiap hari, Pup kamu pasti lancar setiap hari.” Nasihat Mama saat ini selalu membayang-bayangiku. Nasihat itu jadi begitu penting. Very important!

Mungkin benar, kalo saja aku mengikuti nasihat Mama untuk makan buah setiap hari, perutku nggak akan sakit. Pup akan lancar selancar kayak jalanan Jakarta kalo lagi Lebaran. Mungkin benar, kalo aku ikuti nasihat Mama, nggak mungkin aku akan menderita lahir maupun bathin seperti sekarang ini. “Rasain anak durhaka!”

Aku tipe orang yang cuek sama Pup. Buatku, Pup is only pup. Nothing spesial. Aku menjalankan ibadah Pup nggak rutin. Terserah kapan aku mau, kapan perutku mulai sakit. Padahal aku yakin, Pup sangat tesiksa di dalam perutku, sebagaimana aku tersiksa menahan sakit perut ini.

Aku bukan tipe yang memaksakan kehendak. Kalo memang perut nggak sakit, ngapain kita harus Pup? Bukankah itu tandanya Pup nggak mau keluar? Nggak boleh dipaksa dong si Pup buat keluar? Memaksa sama saja melanggar hak asazi, dalam hal ini hak asazi Pup yang sudah dilegalisasikan dalam Undang-Undang (UU) HAP alias Hak Asazi Pup. Namanya UU, ya kudu dipatuhi dong?

“Kalo makan sayur setiap hari, Pup kamu pasti lancar setiap hari. Serat-serat yang ada di sayur, membantu melonggarkan Pup kamu. Pup kamu akan keluar mulus, semulus jalan tol Cilengsi,” kata Mama.

Aku melihat jam tangan yang baru aku beli kemarin, jam tangan merek Jean Richard. Jarum pendeknya menunjukkan angka 4 dan jarum panjangnya menunjukan angka 6. It means pukul 15:30 wib. Padahal toko yang menjual aneka kado Valentine itu tutup 16:00 wib. It mean waktu tinggal 30 menit lagi.

“Bisa nggak ya mengejar 30 menit menuju toko itu?”

Pertanyaanku dalam hati hampir dipastikan 90% bisa dijawab. And the answer is IMPOSIBLE! Yaiyalah! Jarak toko dengan lokasi kemacetanku masih 5 kilometer. Mending kalo laju mobil bisa digeber sampai 200 km/ jam, bisa dipastikan aku bisa cepat sampai. Ini mah jalan mobilku kayak kura-kura. Jalan cuma setengah meter, setelah itu berhenti setengah jam, sehingga menyebabkan setengah edan.

Akhirnya aku bisa sampai ke gerbang tol dan membayar tol. Seperti biasa, aku harus membayar uang tol dan menyerahkan kartu tol. Sebuah rutinitas yang menyebalkan. Kenapa? Pertama karena aku harus membayar tol. Padahal tol ini sudah untung. Then why do we have to pay? Buat membayar gaji Pegawainya kale! Lho?! Pajak-pajak yang dipungut Pemerintah memangnya nggak cukup buat membayar para Pegawai BUMN ini?




Rutinitas menyebalkan kedua, membayar untuk sebuah kemacetan. Terkadang aku dan beberapa pengguna tol seringkali ngedumel, tapi tetap dilakukan. Masuk tol, membayar tol, dan mendapatkan kemacetan. Begitu di tol macet, protes. Kok jalan bebas hambatan pada kenyataan jalannya tetap terhambat? Begitulah manusia. Salah sendiri, menyalahkan orang lain, kayak diriku yang ganteng ini.

“Mbak di tol ini ada WC nggak?” tanya aku ke Petugas tiket tol yang kebetulan berjenis kelamin wanita.

“Kalo di sepanjang tol ini sih nggak ada,” kata Petugas tol itu. “Kalo mau nanti di Cibubur Pak. Di situ ada rest area. Di situ ada WC-nya. Bapak puas mau ngapain aja di WC itu.”

“Itu mah saya tahu, Mbak. Masa saya harus menahan Pup sampai Cibubur? Memangnya Mbak mau bertanggungjawab pada Pup saya?”

“Kalo gitu, mending Bapak keluar tol aja sekarang dan cari Pom Bensin atau restoran. Numpang Pup deh.”

Ide Petugas tol terpaksa aku lakukan. Ini barangkali konsekuensi logis dari anak durhaka kayak diriku. Yang nggak mau mengikuti nasihat Mama untuk makan buah dan sayur. Yang nggak mau memaksakan diri Pup setiap hari. Yang sok mengangkat masalah hak asazi dalam persoalan Pup ini. “Rasain anak durhaka!”




Aku kini berada di Pom Bensin. Bukan Pom Bensin di Plumpang. Tapi Pom Bensin di Kebon Jeruk. Di WC situ, aku melakukan aksi Pup besar-besaran. Kenapa disebut besar-besaran? Karena perutku sudah menjadi besar gara-gara Pup sudah aku tahan selama tujuh hari tujuh malam. Sekarang saatnya melahirkan. Bukan melahirka manusia. Tapi melahirkan Pup agar aku nggak sakit perut.

“Eeeeeeeeeeeeeee.” Itu suara saya ngeden. Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai pengganti kata “ngeden” adalah memaksa Pup supaya keluar.

“Eeeeeeeeeeeeeee.” Ngeden part dua. Ada air sedikit dari lubang pantat.

“Eeeeeeeeeeeeeee.” Ngeden part tiga. Ada darah sedikit dari lubang pantat.

“Eeeeeeeeeeeeeee.” Ngeden part empat. Ada air dan darah dari lubang pantat.

“Pluk!” Akhirnya keluar juga.



Ajaib. Entah Tuhan mendengar keinginanku atau memang akibat kelakukan dari anak durhaka, sesuatu keluar dari pantatku. Bukan Pup. Tapi sebuah kado. What?! Iya sebuah kado warna pink yang aku bayangkan selama kemacetan tadi. Mungkin aku akan memberikan kado ini pada pacarku. Pasti pacarku akan menyukainya. Sebaiknya mereka yang merayakan valentine melakukan hal yang sama kayak diriku. Pup!

“Inilah kado valentine terindah yang pernah aku lihat!” Kataku sambil memegang dan menciumi kado itu.

all photos by Brillianto K. Jaya

0 komentar: