Kamis, 12 Februari 2009

DIA TETAP MEMILIH ATHEIS

Seharusnya dia sudah mengerti tak ada yang sanggup melawan kekuasaan Tuhan. Seharusnya dia mulai sadar, tiba waktunya untuk dia dekat dengan Penciptanya. Namun dia lebih memilih menjadi seorang tanpa agama: Atheis!

Hujan hari ini benar-benar luar biasa. Derasnya melumpuhkan hampir sebagian besar jalan raya. Kendaraan terpaksa harus memperlambat laju kecepatan. Genangan air di beberapa ruas jalan membuat kendaraan terpaksa harus antre satu per satu. Dari dua jalur menjadi satu jalur, yakni jalur yang genangan airnya tidak sampai menutupi lubang knalpot.

Jangan ditanya rumah-rumah yang ada di dekat kali ataupun sungai, sudah pasti terendam. Boleh jadi banjir hari ini termasuk banjir besar setelah lima tahun lalu. Namun manusia-manusia yang di bataran kali tak akan pernah menyesal dengan banjir. Sampai kapanpun mereka memilih untuk tinggal di dekat sungai. Jika hujan dan banjir, mereka menyingkir beberapa hari, seperti hari ini.

“Sudah biasa!”

Nan jauh di sana ada dia. Dia masih ada di dalam rumah. Di sebuah ranjang tua dalam kondisi sakit parah. Membiarkan aliran air hujan masuk ke dalam rumahnya. Sementara di luar rumahnya, hujan masih sangat deras. Tak ada jeda buat sang hujan untuk beristirahat sesaat. Daya tampung air hujan yang turun di sekitar rumahnya, sudah melebihi lokasi itu sendiri. Tak ada lagi resapan air. Pasalnya, semua pohon sudah ditumbangkan. Semua tanah sudah ditutup oleh aspal. Dijadikan aparteman. Dijadikan ruko. Dijadikan Mall. Keadaan ini yang menyebabkan banjir. Namun dia masih cukup beruntung dibanding tetangga-tetangganya atau teman-temannya, dimana rumah mereka cuma terlihat atapnya. Sedang dia, baru sekitar rumahnya yang tergenang. Setidaknya untuk beberapa saat ini.

Bencana yang bertubi-tubi datang, menurutnya, bukan karena kuasa Tuhan. Termasuk banjir-banjir yang sudah dan sedang melanda negeri ini, di Kabupaten Trenggalek, Jatim yang menewaskan 16 orang, di Kecamatan Panti dan Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jatim yang menewaskan 31 orang, atau di Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai, Sulawesi Selatan yang menewakan 128 orang, dan beberapa bencana lain. Menurutnya, Tuhan tak punya wewenang untuk mengatur alam.

Buatnya, hujan hari ini tak ada yang istimewa. Sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya sebuah peristiwa alam biasa, seperti yang pernah dia pelajari saat bersekolah dulu. Dimana seluruh air yang ada di permukaan bumi -di kali, sungai, dan laut- menguap, karena ada panas matahari. Air kemudian berkumpul di dalam awan dan kemudian memenuhi perut awan itu. Begitu awan sudah penuh dengan air, hujan pun turun.



“Nothing special bukan?”

Tinggi air sudah satu meter. Dia masih tenang menghadapi situasi ini. Sebenarnya buat sebagian besar orang, kondisi ini sudah masuk ke Siaga 1. Artinya: sudah gawat! Namun dia masih percaya diri. Bahwa sebentar lagi hujan pasti segera akan berhenti. Air yang perlahan-lahan masuk ke rumahnya, yang kini sudah setinggi dada, akan surut.

“Jadi apa yang harus dikawatirkan?”

Buatnya, hujan bukan tragedi, bukan musibah. Padahal hujan dan banjir adalah salah satu bentuk ujian Tuhan. Ujian buat manusia, terutama buat dia yang memposisikan dirinya sebagai seorang Atheis. Sebuah ujian kepercayaan akan Ketuhanan. Bahwa tiada manusia yang sehebat Tuhan. Manusia cuma mahkluk kerdil, yang bodoh, yang tak tahu apa-apa tapi sok tahu, sok mempertanyakan keluarbiasaan Tuhan, mempertanyaan keberadaan Tuhan.

“Tolong tunjukan kalo Tuhan benar-benar ada?”



Air sudah mengurung seluruh lantai dasar di rumahnya. Dia masih tetap terkulai di sebuah ranjang tua dalam kondisi sakit parah. Lemari kaca berisi buku-buku yang mayoritas mengenai faham komunis dan sosialis, sudah terendam air. Dia sedih melihat air perlahan-lahan melumatkan buku-buku favoritnya itu. Namun dalam kondisi fisiknya yang lemah, dia masih bisa menyelamatkan tiga buku. Ketiga buku itu adalah Atheis karya Achdiat K. Mihardja, buku Karl Marx, dan buku Friedrich Nietzsche (1844-1900), orang yang latang sekali mengatakan: "Tuhan Sudah Mati". Buku itu dia pegang erat, seolah berpegang pada tangan Tuhan.

“Bukan! Buku itu bukan Tuhan. Aku tidak mengatakan buku adalah Tuhan. Itu sama saja mengkultuskan buku seperti Tuhan. Tapi buku itu menginspirasi diriku tentang eksistensi ketuhanan. Bahwa Tuhan itu tidak ada!”

Keputusannya untuk Atheis berawal dari kritikan Karl Marx (1818-1883). Menurut penggagas pemahaman komunis itu, dengan nada setengah bercanda, agama itu seperti candu. Bila menikmati, akan terus mengisapnya, mencobanya. Dalam agama, itu disebut fanatik. Dia pikir, kritik Marx keras sekali, tapi ada betulnya. Kalau kita hanya belajar agama dari segi ritualnya, kita bisa saja tersesat dengan keasyikan ritual. Tak heran Atheisme menjadi satu dogma yang wajib diikuti orang setiap warga negara komunis, yang kini tinggal segelintir.

“Dan aku tidak suka asyik dengan ritual. Aku lebih asyik menolong orang yang membutuhkan. Bukankan tanpa perlu agama aku bisa menjalankan perintah agama?”

Sebagai orang yang Atheis, dia percaya, aktivitasnya adalah sebuah bentuk moral. Tak perlu wujud rasa takut pada Neraka, dimana dianggap oleh agama sebagai tempat ganjaran manusia-manusia tak bertuhan. Padahal, kalau kita bisa melakukan aktivitas yang baik pasti akan mendapatkan ganjaran kenikmatan hidup yang abadi di Surga.

Dia percaya, hidup manusia diatur oleh manusia itu sendiri. Ada sebab-akibatnya. Kalau manusia melakukan kecurangan, pasti akan mendapatkan kecurangan di lain waktu. Sebaliknya kalau berbuat kebaikan, pasti akan berbuah kebaikan. Semua itu bukan kuasa Tuhan. Bukan Tuhan yang mengatur. Tapi manusia yang mengaturnya.



Jauh sebelum Marx atau Nietsche, dia sudah lama terpengaruh buku Atheis. Buku-buku itu serasa menyentil dirinya. Dia berpikir keras: “Apa betul orang baik seperti teman-temannya yang tak beragama itu otomatis masuk neraka? Sementara orang beragama yang selalu melakukan hal-hal ritual, tapi justru tidak baik karakternya bisa masuk surga?”

"Kok, Tuhan tidak adil sekali kalau begitu. Kalau Tuhan itu memang benar-benar ada seharusnya Tuhan bisa melihat siapa manusia yang layak masuk surga mana yang layak masuk Neraka tanpa perlu melihat manusia itu beragama atau tidak..”

Ketidakadilan itu yang membuatnya tak percaya lagi pada Tuhan. Tuhan yang akan menerakakan orang-orang yang baik, hanya karena sejak lahir dia tidak beragama. Hanya tidak mengikuti perintah ritualnya, padahal tetap mengerjakan amal kebaikan. Meski manusia-manusia beragama itu seringkali membakar cafe-cafe, membunuh manusia lain, korupsi, berzinah, berbohong saat kampanye, dan lain sebagainya, namun tetap berpotensi masuk Surga. Sungguh tak adil!

Keyakinan untuk tidak mempercayai Tuhan itu lama-lama mengental, mengental, dan semakin mengental. Pertanyaan-pertanyaan soal ketuhanan yang tidak bisa dijawab oleh manusia yang mengatakan dirinya bertuhan, tak bisa merobek keteguhan hatinya untuk tetap konsisten untuk Atheis.

“Jadi tidak ada alasanku untuk mempercayai kalau Tuhan itu benar-benar ada!”

Kini air banjir sudah melebihi tinggi ranjang yang dia tiduri. Tubuh mungilnya yang cuma 155 cm itu tenggelam. Lebih tepatnya dia menenggalamkan diri. Dia mati masih dengan prinsip keatheisannya yang tak tergoyahkan. Kumandang Adzan Magrib dari sebuah surau kecil dekat rumahnya, sudah tak berarti lagi. Percuma saja. Dia memang benar-benar sudah mati. Padahal sebelumnya Tuhan masih memberikan kesempatan dia untuk bertobat. Tuhan masih memberikan waktu agar dia insyaf dan mengakui eksistensi Tuhan.




Kalau saja dia mengucapkan Syahadat Tauhid untuk mengakui keesaan Tuhan, barangkali Allah akan menolongnya. Kalau saja dia megucapkan Syahadat Rasul untuk mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT, mungkin Allah juga akan memaafkannya. Asyhadu an-laa ilaaha illallah. Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi, Nabi Muhammad utusan Allah SWT.

Tengelam dalam banjir dalam kondisi sakit di sebuah ranjang, adalah akhir dari kesempatannya. Kesempatan yang diberikan Tuhan. Dua peristiwa sebelumnya, tak membuatnya berpikir dan percaya akan eksistensi Tuhan. Kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu, yang menewaskan puluhan orang dan dia berhasil selamat. Tabrakan beruntun di tol itu, juga belum membuatnya kapok. Nafas buatan, bantuan darah segar, kaki yang patah, masih belum mengubur semangatnya untuk tetap menjadi Atheis. Sampai akhir ajalnya ditelan banjir besar hari ini, merupakan bukti konsistensi prinsipnya. Sekali lagi dia tak mau berpikir, apalagi berdzikir pada Tuhan.

Agama memang diciptakan agar manusia mau berpikir. Bukan untuk mereka yang bodoh seperti dia.


all photos by Brillianto K. Jaya

0 komentar: