Senin, 13 Juli 2009

OH TUHANKU, TUNJUKAN CARA AGAR AKU BISA MENGHINDARI PAJAK...

Suka nggak suka, sebagai warga Negara Indonesia, sekarang ini kita nggak bisa lagi menghindari pajak. Sejak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mewajibkan seluruh warga mendaftarkan NPWP, kita tercatat sebagai Wajib Pajak (WP). Kita masuk ke dalam sistem DJP yang kata sebagian besar orang sebagai “jebakan Batman”.

“Kok jebakan Batman?” tanya gw pada teman gw yang merasa hidupnya dikelilingi oleh pajak.

“Yaiyalah! Dikit-dikit pajak, dikit-dikit pajak,” kata teman gw seraya protes pada keadaan saat ini.

Dari dulu hingga kini, temen gw memang berprinsip, apa yang ada di bumi ini punya Tuhan. Nggak ada mahkluk Tuhan satu pun yang berhak memajakki, selain Tuhan. Memang temen gw tahu, ketentuan Tuhan dan negara itu beda. Tuhan punya aturan, negara punya aturan.

“Apa susahnya sih negara ngikut ketentuan Tuhan?” tanya temen gw lagi. “Bukankah Tuhan udah punya sistem pengambilan dana dari umat manusia sebanyak 2,5%?”

Benar sih pemikiran teman gw. Seharusnya dari 2,5% zakat yang diambil dari penghasilan manusia udah cukup buat membiayai kehidupan di sebuah negara. Cukup pula meringankan orang-orang miskin di seluruh Indonesia, salah satunya di Jakarta. Menurut Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo alias Bang Foke, orang miskin di Jakarta turun. Kalo tahun 2008, penduduk miskin mencapai 376.600 jiwa, di periode Januari-Maret 2009 jumlahnya mencapai 323.170 jiwa atau 14,87%. Nah, dengan semangat mengambil 2,5% dari pendapatan orang, maka penduduk miskin yang katanya turun itu bisa semakin dituruni. Tapi buat negara, satu orang diminta zakat sebanyak 2,5% nyatanya masih belum cukup. Negara masih membutuhkan pajak di luar dari ketentuan Tuhan.

Why?”

I don’t know!”

“Karena pengelolaan keuangan negara nggak profesionalkah?”

“Nggak tahu!”

“Apa karena terlalu sedikit duit yang dikorupsikan?”

“Hush! Elo terlalu tendensius!”

“Lha?! Habis kalo gitu kenapa dong? Padahal lembaga-lembaga zakat independent bisa mengelola zakat yang cuma 2,5% itu buat kebaikan umat. Dengan zakat itu, lembaga-lembaga itu bisa membiayai anak-anak putus sekolah, membangun rumah sakit, dan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah...”

“Iya sih...”

“Lantas why? Why kita harus membayar begitu banyak pajak?”


Supaya menghindari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), banyak Pengusaha cuek bebek mendirikan bangunan. Mereka terlalu pelit mengeluarkan pajak buat membayar IMB. Nggak heran kalo gedung-gedung yang punya IMB langsung disegel. Aneh ya, untuk mendirikan gedung segede-gede gajah bisa, tapi buat membayar pajak IMB nggak mampu. Dasar pelit! Dahulu, nggak pake IMB barangkali masih nggak masalah, karena banyak Oknum yang dengan senang hati memanfaatkan pembangunan tanpa IMB kayak gini. Disogok-sogok gitu, deh! 


Gw nggak bisa ngomong. Gw terasa disudutkan dengan berbagai pertanyaan. Tapi sekali lagi teman gw 100% benar. Kita memang nggak bisa lagi berkelit dari pajak dan dengan begitu, seharusnya kas DJP buat negara kaya raya. You know what? Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, hingga kini jumlah pemilik NPWP per Mei 2009, udah mecapai 14,083 juta WP. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2008 sebanyak 10,68 juta dan tahun 2007 sebanyak 7,14 juta. Dengan angka lonjakan yang luar biasa itu, seharusnya negara mampu menolong warga negara yang membutuhkan pendidikan dan kesehatan. Bukan cuma membangun infrastruktur.

“Lho, kan dana pendidikan udah ada? Yang katanya 20% dari APBN,” kata gw.

“Ah, tetap aja banyak anak yang masih nggak sekolah. Pendidikan yang katanya gratis sampai 9 tahun nggak semuanya menikmati. Nah, kalo orang-orang kaya dipajakin lebih besar, barangkali mereka yang nggak sekolah bisa sekolah. Tapi kalo kenyataannya udah dipajakin tapi banyak orang yang tetap nggak sekolah dan nggak bisa pergi ke rumah sakit, apa kata dunia?”

Apa kata dunia? Yap! Malu-maluin dunia aja, udah dipajakin, kita masih tetap menjadi bangsa melarat. Masih ngutang sana-sini. Minta pinjaman sana-sini. Terakhir Departement PU minta pinjaman dari China senilai US$ 7 miliar buat proyek infrastruktur. Sedih. Miris. Rasa-rasanya percuma juga WP bayar pajak. Oh iya, udah gitu, DJP pun pilih-pilih memajakki WP. Ada usaha yang wajib bayar pajak, ada yang enggak. Ada rumah-rumah di Pondok Indah, Menteng, atau Cempaka Putih yang sebetulnya berwujud kantor. Mereka yang memiliki atau menempati rumah-rumah itu ogah berterus terang soal usaha mereka. Ini demi menghindari pajak.

Seharusnya mereka yang punya kantor di rumah-rumah harus malu. Lihatlah ke Ayam Bakar Mas Mono atau Warteg 21 di Polomas. Kedua usaha tradisional itu justru menjadi WP aktif. Di kasir mereka terpampang sertifikat pajak restoran dengan nomor NPWP. Dimana pajak ini akan disetorkan ke kantor perbendaharaan kas daerah masing-masing dan akan digunakan sebagi biaya pembangunan. Namun ukuran pendapatan Ayam Bakar Mas Mono dan Warteg 21 nggak bisa ditebak. Ukurannya relatif. Apakah banyak orang yang datang buat makan jadi ukuran sebuah tempat makan? Kenapa Tukang mie di samping gereja Menteng nggak dapat sertifikat pajak?


Ini bukti Ayam Bakar Mas Mono juga menyetorkan pajak ke negara. Maklum, menurut kabar rata-rata ayam bakar yang terjual di tiap outlet sebanyak 100 potong. Kalo di Tebet yang merupakan outlet pertama Mas Mono mampu terjual lebih dari 200 potong.
“Oh Tuhanku, tunjukan cara agar aku bisa menghindari pajak....”

“Oh, I don’t think Tuhan mau mengabulkan permintaan elo, deh! It doesn’t make any sense! Sutralah! Terima aja nasib loe tinggal di bumi ini, dimana seluruh pendapatan elo akan dipajakin. Tapi ada satu kebijakan DPJ yang luar biasa...”

“Apaan?”

“Guna membantu warga negara yang kena krisis, sejak bulan Februari 2009 ini, DPJ menggulirkan kebijakan pajak penghasilan 21 atau PPh 21 ditanggung pemerintah, cong!”

“Ah, masa?!”

“Yo’i! Kebijakan ini berlangsung selama sepuluh bulan di tahun 2009 ini...”

“Tapi kenapa selama ini gw masih kena PPh 21?”

“Emang gaji loe berapa?”

“Jadi malu nyebutinnya,” wajah teman gw tiba-tiba merah.

“Berapa? Dua juta?! Tiga juga?!”

“Bukan!”

“Berapa?”

“Tigapuluh juta!”

“Halah! Cong, gaji segitu mah kudu dipajakin kalee! Kebijakan PPh 21 ditanggung pemerintah cuma buat mereka yang bergaji di bawah 5 juta...”

“Masa cuma yang bergaji di bawah 5 juta sih? Nggak fair, ah!”


“Elo ini harusnya bersyukur bisa punya gaji 30 juta. Masih banyak pengangguran di sekitar kita. Masih banyak pula karyawan yang gajinya di bawah standar upah minimum regional (UMR). Nah, elo masih mau menghindari pajak...”

“Hak gw lah yau!”

“Elo punya hak, tapi juga punya kewajiban, ngerti?! Ternyata elo itu pelit ya, cong?! Ya, Tuhan ampunilah temanku yang pelit ini, yang nggak mau bayar pajak padahal gajinya 30 juta. Jangan beri temanku ini jalan buat menghindari pajak...”

“Semprul!!!”

all photos copyright by Jaya

0 komentar: