Senin, 06 Juli 2009

KEMISKINAN DI RUANG PAMER MUSEUM

Anak-anak kecil itu serius sekali di depan sebuah ruang pamer di sebuah museum. Mereka dari rombongan TK sebuah sekolah terheran-heran dengan apa yang mereka lihat. Sementara Guru mereka dan seorang Pemandu dari museum itu saling berpandangan. Mereka tersenyum getir melihat anak-anak kecil yang masih tak percaya dengan diorama yang ada di dalam kaca. Diorama zaman kemiskinan.

“Apakah zaman ini benar-benar ada Bu Guru?” tanya murid A.

“Bagaimana zaman seburuk itu bisa terjadi dalam waktu lama Pak Pemandu?” tanya murid B.

“Tidak adakah orang yang mau membantu orang-orang miskin itu Bu Guru?” tanya murid C.

Ketiga pertanyaan itu sulit dijawab sang Guru maupun Pemandu. Masalahnya begitu kompleks. Memang, seharusnya sebagai Guru atau Pemandu bisa menjelaskan secara detail apa yang terlihat di diorama. Dimana terdapat beberapa patung-patung kecil yang menggambarkan orang-orang miskin yang sedang mengantri minyak tanah, mengemis di perempatan jalan raya, memberi makan anak dengan nasi kering, Pemulung sedang mengais-ngais sampah di gundukkan sampah, anak-anak kecil tanpa alas kaki yang sedang belajar di sekolah yang hampir ambruk, dan aneka pemandangan nggak mengenakan lain.

Anak-anak TK yang sedang mengadakan kunjungan ke museum itu sama sekali buta dengan zaman kemiskinan. Mereka bukan anak-anak orang kaya yang sombong dan bukan pula murid yang bersekolah di sekolah dengan bayaran masuk Rp 30 juta. Sekolah TK mereka biasa aja. Uang masuk TK-nya gratis, begitu pula bayaran per bulannya, nggak dikenakan biaya sepersen pun. Mereka nggak termasuk 5,0% anak balita yang nggak bisa sekolah yang sempat tercatat di data tahun 2009.

Pemerintah memang udah lama menerapkan sekolah yang benar-benar gratis. Bukan cuma kamuflase sekolah gratis di tahun 2009. Udah ada dana BOS (bantuan operasional sekolah) dari Pemerintah, tapi tetap ada sekolah yang memungut biaya dari murid-muridnya. Mereka masih saja diminta membayar duit Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku pelajaran sebesar rata-rata Rp 98,050 di tahun 2006. Lalu 1.208 orangtua siswa dipungut uang pendaftaran sekolah sebesar Rp 70.615 dan 1.180 orangtua siswa diminta uang gedung sebesar Rp 65.289 selama 2006. Padahal dari dana RAPBN tahun 2009, Pemerintah menganggarkan uang pendidikan senilai Rp 207,41 triliun, dimana dari dana segede itu seorang siswa SD di Kabupaten berhak mendapat Rp 397 ribu/ siswa/ tahun dan siswa SD di perkotaan Rp 400 ribu/ siswa/ tahun. Tapi masih aja ada kebocoran dana BOS. Masih aja ada dana BOS senilai 21.801.030.000 yang belum dilaporkan ke Pemerintah.


Ini sebuah lukisan tembok atau biasa disebut mural yang dibuat mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, dimana memprotes realita yang terjadi soal pendidikan di tanah air.
“Jadi anak-anak kecil itu nggak bisa sekolah ya Bu Guru?” tanya murid B.

“Gara-gara Papa-Mama-nya nggak punya uang?” tanya murid A.

Guru mengangguk.

Anak-anak TK itu berasal dari keluarga menengah ke bawah. Keluarga dimana pekerjaan orangtua-orangtua mereka mayoritas Pegawai yang digaji bulanan. Dimana dahulu orangtua-orangtua mereka berjuang mencari uang buat survive. Itulah mengapa, meski kelas menengah-bawah, pada generasi ini, anak-anak TK ini nggak mengerti sama sekali soal kemiskinan. Mereka nggak mengalami masa serbakekurangan. Hidup mereka udah jauh dari lingkungan kumuh, gang-gang sempit, anak-anak kecil menjerit kelaparan, atau Gelandangan yang mati di trotoar jalan.

Mereka cuma bisa melihat data-data kemiskinan yang ada di samping diorama itu. Ada data bulan Maret 2006, dimana penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berjumlah 39,05 juta jiwa atau 17,75%. Bahkan di tahun sebelumnya, Februari 2005, ada data yang menyatakan penduduk yang hampir miskin berjumlah 30,29%.

Pemerintah kemudian mensurvei lagi tingkat kemiskinan di tahun 2007. Menurut data yang ada di samping diorama di museum kemiskinan itu, tercatat penduduk miskin di bulan Maret 2007 berjumlah 37,17 juta jiwa (16,58%). Selama periode Maret 2006-Maret 2007, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan turun 1,2 juta jiwa. Sementara di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta jiwa.

Data terakhir yang ada di diorama itu menunjukan tingkat kemiskinan di tahun 2008. Bahwa penduduk miskin pada periode Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58%) itu turun menjadi 2,21 juta orang. Kalo di daerah pedesaan berkurang 1,42 juta jiwa, di daerah perkotaan turun menjadi o,79 juta jiwa dari angka sebelumnya 0,93 juta jiwa.

“Ayo anak-anak kita jalan lagi,” ajak sang Guru. “Kita jangan lama-lama berdiri di diorama kemiskinan ini. Bikin memori Ibu kembali ke alam kemiskinan...”

“Lho, mengapa?” tanya murid X.

“Kemiskinan itu seksi, lho, Bu!” ujar murid Y.

Bu Guru dan Pemandu museum kaget. Tahu-tahunya anak TK bilang kemiskinan itu seksi. Mereka nggak nyangka, anak kecil zaman ini ngerti, bahwa zaman kemiskinan itu memang “seksi”. Nggak ada komoditas paling seksi selain kemiskinan. Zaman itu, kemiskinan menjadi bahan memancing iba. Capres-Capres merangkul para Pemilih lewat isu kemiskinan. Media eletronik mengangkat program televisi ber-genre reality show berkonsep kemiskinan dan ratingnya pun menawan. Yang nggak kalah seru, zaman itu beberapa Pemandu Wisata banyak yang membuat paket tur buat Turis Asing yang mempertontonkan kemiskinan dari dekat. Maklum, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN), jumlah orang miskin tahun 2009 meningkat menjadi 33,7 juta jiwa atau 14% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini cuma menurun sedikit dibanding data penduduk miskin sebelas tahun sebelumnya (tahun 1998), yakni sebanyak 49,5 juta jiwa.

“Masih banyak diorama yang bisa kita lihat di museum ini, lho, anak-anak,” ajak Pemandu Wisata.

“Tapi aku senang melihat kemiskinan Pak,” ungkap murid D.

“Lho, kenapa kamu suka?” Pemandu Wisata heran. Kok bisa-bisanya kemiskinan disukai? Dimana-mana orang ingin menjadi kaya, lepas dari kemiskinan. Ini anak bodoh atau tolol sih?

“Aku senang karena aku bisa mempraktekkan rasa sosialku pada orang-orang miskin ini,” murid D memberikan alasan. “Dengan begitu, pahalaku jadi banyak. Tuhan pasti jadi sayang aku. Dan aku akan masuk surga kalo aku meninggal nanti.”

“Aku juga heran, kenapa sekarang nggak ada orang-orang miskin seperti mereka sih, Bu?” tanya murid G yang juga sama cerdasnya dengan murid D. “Bukankah Tuhan sengaja menciptakan orang miskin dan orang kaya? Agar orang kaya bersyukur nggak menjadi orang miskin dan orang miskin termotivasi untuk menjadi orang kaya. Nah, kalo sekarang nggak ada orang miskin, Tuhan udah nggak adil lagi dong, Bu?”


Ini kondisi miskin di bantaran kali Jatinegara. Mereka nggak punya duit buat pindah. Nggak heran kalo tiap tahun mereka pasrah dengan bencana banjir.
Bu Guru dan Pemandu museum diam. Mereka sekali lagi nggak menyangka anak-anak TK udah punya pertanyaan dan pendapat luar biasa, yang sebetulnya dahulu cuma dipertanyakan oleh orang-orang dewasa. Ah, barangkali anak-anak zaman ini tua sebelum waktunya.

“Anak-anak, mari kita lihat diorama Pak Yunus,” ajak Pemandu, mencoba mengalihkan pembicaraan anak-anak tadi. Maklum, baik Pemandu maupun Bu Guru nggak tahu harus menjawab apa atas serangkaian pertanyaan dari anak-anak TK itu. Terlalu sulit!

“Inilah patung Pak Yunus!”

“Siapa Pak Yunus? Kayaknya nggak ngetop deh!”

Bu Guru dan Pemandu tersenyum. Mereka nggak nyangka, ada seorang Bankir yang murah hati yang luput dari pengetahuan anak-anak TK ini. Padahal, Muhammad Yunus (69 tahun) lah salah seorang Pejuang yang menghapus kemiskinan. Pria asal Bangladesh ini nggak lain adalah Pendiri sebuah bank bernama Grameen Bank. Bank yang memberikan pinjaman bagi orang-orang miskin di Bangladesh.

“Diorama kemiskinan yang sebelumnya anak-anak lihat, itu adalah mimpi Bapak Yunus yang menjadi kenyataan,” ujar Pemandu.

“Memangnya mimpi Pak Yunus itu apa?”

“Mimpi melihat tidak ada lagi kemiskinan. Mimpi kemiskinan dan kelaparan nggak ada lagi. Mimpi kalian semua cuma bisa melihat kemiskinan di museum seperti ini...”

“Luar biasa bukan?” Ibu Guru mencoba berinteraksi pada anak-anak TK. Tapi nampaknya anak-anak tetap nggak terpengaruh. Bukan nggak mengapresiasi ajakan sang Guru. Namun anak-anak ini masih nggak percaya tetang sebuah zaman dimana adanya kemiskinan.

“Aku masih nggak percaya kalo kemiskinan itu benar-benar ada!” kata murid G.

“Aku juga nggak percaya Pak Yunus itu manusia beneran atau manusia bohong-bohongan,” tambah murid X.

Pemandu berusaha meyakinkan anak-anak TK itu, bahwa yang namanya Muhammad Yunus itu adalah manusia sunguhan. Mimpinya memang ingin menghilangkan kemiskinan di dunia ini pada zaman itu. Cikal bakalnya menolong orang miskin adalah ketika beliau memberikan pinjaman uang pada seorang Ibu di Chittagong pada tahun 1974 sebesar 27 dolar AS atau senilai Rp 278.748. Ibu itu adalah seorang Pengrajin bambu yang terlilit hutang di lintah darat.

“Lewat Grameen Bank, sedikit demi sedikit Pak Yunus berhasil mengangkat orang-orang miskin lepas dari kemiskinan,” ujar Pemandu. “Gara-gara berhasil mengahapus kemiskinan, Pak Yunus dianugerahkan Nobel Perdamaian pada tahun 2006.”

“Luar biasa kan anak-anak?” tanya Ibu Guru lagi, mencoba mengajak berinteraksi untuk kedua kalinya.

“Maaf Bu Guru, kami tetap nggak percaya ada kemiskinan!” teriak murid A.

“Saya juga!”

“Saya juga!”

“Kami semua nggak percaya!”

“Ibu Guru bohong!”

Bu Guru dan Pemandu saling bertatap-tatapan. Mereka nggak menyangka perjalanan ke museum kemiskinan ini jadi heboh. Jadi membuat pencitraan Bu Guru tercorang moreng. Jadi membuat Pemandu juga ikut-ikutan berkolaborasi melakukan tindakan bohong ke anak-anak TK. Padahal mereka menjelaskan apa adanya.


Kontradiksi antara si kaya dan miskin di zaman kemiskinan begitu terasa. Yang kaya cuma 10% dari penduduk Indonesia. Kalo bisa jadi kaya, orang-orangnya itu-itu aja. Kalo nggak saudaranya Pejabat, Pengusaha, Keponakan, Sepupu, Ipar, dan lingkaran yang itu-itu juga. Mereka yang nggak berada di lingkaran itu, ya wasalam!
“Baiklah anak-anak. Kalo kalian nggak percaya, ada satu mesin waktu di museum ini yang akan membawa anak-anak ke zaman keemasan kemismiskinan. Bukan begitu Pak Pemandu?” tanya Ibu Guru.

“Benar Bu,” jawab Pemandu. “Semoga anak-anak akan meyakini bahwa kemiskinan memang benar-benar ada. Zaman dimana Pemerintah nggak bisa lagi berbohong soal angka kemiskinan. Zaman dimana ada Pengemis di perempatan jalan, Gelandangan yang tidur di emperan, anak-anak yang nggak bisa sekolah, dan Capres-Capres yang berorasi soal kemiskinan...”

Pemandu dan Ibu Guru kemudian menggiring anak-anak TK ke sebuah ruang, dimana ruang tersebut terdapat sebuah kotak besar. Di depan kotak itu tertulis: MESIN WAKTU ZAMAN MISKIN. Sebenarnya, Pemandu nggak boleh mengajak masuk orang ke mesin waktu itu. Sebab, pihak museum melarang. Pihak museum yang diwakilkan oleh Pimpinan museum udah komit, zaman kemiskinan nggak boleh diperlihatkan lagi. Kemiskinan cuma boleh diperlihatkan di diorama museum. Namun, Pemandu museum nekad. Kenekadannya lebih karena penjelasn-penjelasannya soal kemiskinan yang dipertanyaan anak-anak. Dimana citranya bisa hancur gara-gara dilebelkan sebagai Pembohong.

“Anak-anak sudah siap?”

“Sudaaaaaaaaaaaahhh!!!!” teriak seluruh anak.

“Baik! Bapak akan hitung mundur ya?”

“Siaaaaaaaaaaaaapppp!!!!” teriak anak-anak lagi.

“Satu! Dua! Tiiiiiiiii.......ga!”

Sang Pemandu pun memencet tombol berwarna merah itu dan mesin waktu pun bekerja. Kotak mesin berputar-putar dengan cepat. Dalam hitungan detik anak-anak TK mengilang. Cling! Moga-moga mereka kini sedang berada di zaman keemasan kemiskinan. Boleh jadi mereka menikmati, barangkali justru menyesal. Ah, biarlah! Yang penting rasa penasaran mereka udah terobati.

all photos copyright by Jaya

0 komentar: