Minggu, 15 Maret 2009

EMANG POLISI INGGRIS KAYAK GITU?

Begitu menyebut kata Bekasi, yang terlintas di kepala Robert, sebuah kota padat penduduk, penuh perumahaan kelas menengah-bawah dengan segala kesemerawutannya. Panas dan banyak debu bertebaran. Angkot-angkot bertebaran di mana-mana. Pokoknya semerawut lah.

“Udah gitu, di Bekasi masih banyak serigala dan domba-domba liar yang siap menerkam penduduk setempat,” tambah Robert yang kebetulan diberikan rezeki tinggal di Jakarta nan indah permai ini.

Kata orang, Jakarta biang macet. Lalu lintasnya semerawut. Penduduknya padat. Namun kalo ditelusuri dengan seksama, mayoritas Manusia yang memadatkan dan memacetkan Jakarta, berasal dari daerah-daerah di luar Jakarta. Nggak percaya? Coba periksa KTP mereka, pasti akan tercantum alamat Cibubur, Depok, Bogor, Tangerang, dan tentu saja Bekasi. Tiap Senin-Jumat, bahkan Sabtu, Manusia-Manusia Bekasi, turun ke Jakarta. Katanya sih buat cari hiburan. Kasihan ya di Bekasi nggak ada hiburan?

“Iya sih. Di tempat gw cuma ada perosotan dan ayunan. Paling mahal hiburannya bioskop. Itu pun setengah layar tancap, setengah gedung,” papar Agam, warga Bekasi yang kerja di Kawasan Industri Arion.

Robert langsung sakit perut ketika harus ke Bekasi. Sebagai warga metropolitan, doi paling anti pergi ke Bekasi. Namun, doi kudu bela-belain buat pergi ke Bekasi. Pasalnya, sohib doi yang bernama Juju Sumringah mengundangnya 7 bulanan. Jangan salah ya, yang 7 bulanan adalah Juju, bukan Robert. Soalnya, Juju itu berjenis kelamin wanita, sementara Robert adalah pria. Entahlah kalo nantinya akan memutuskan akan berganti jenis kelamin.

“Kenapa sih acara 7 bulanannya nggak dibuat di Jakarta aja, Ju?” tanya Robert. “Nyewa tempat gitu kek, misalnya di Mal Ambassador atau di Plaza Semanggi. Kan keren banget? Apalagi yang elo kandung itu kan anak pertama...”

“Nanti kalo elo yang 7 bulanin, elo buat sendiri sama keluarga loe, gimana menurut loe?” jawab Juju agak sewot. Mau menggampar Robert nggak tega. Takut badannya jadi kempes dan kandungannya jadi terganggu.



“Oke juga tuh idenya, Ju! Thx ya?”

“Sama-sama Beruang!”

Oleh karena perhelatan Juju nggak bisa dirubah, Robert terpaksa kudu ke Bekasi. Sebagai pria yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, doi nggak pergi ke Bekasi sendirian. Kata doi, Maminya nggak mengizinkan dirinya pergi ke Bekasi sendirian. Takut ada kampak merah. Udah gitu, takut nyasar juga, karena ternyata di Bekasi masih banyak mayat yang bergeletakan di jalan. Konon kabarnya banyak Preman yang ditembakin dan dibuang ke situ.

Robert pergi dengan kekasihnya Mia dan selingkuhannya Rafid. Sebagai tumbal supaya nggak nyasar, diajak pula Agam yang warga Bekasi dan dua dayang-dayangnya: Nanda dan Kokom. Mereka pergi dengan sebuah mobil keren tapi antik, yakni Metromini. Sengaja dipilih Metromini. Kenapa? Karena Metromini mencirikan mobil matropolis yang nggak ada duanya, tapi ada tiganya.

“Ada-ada aja loe bawa Metromini, Bet?” kata Rafid agak protes, karena seumur-umur belum pernah merasakan naik metromini, tapi sempat jadi Kondektur bis Patas AC.

“Betul tuh sayang. Seharusnya kamu mengeluarkan mobil Jagguar warna hijau belang-belang merah,” kata Mia sang kekasih pujaan hati.

“Mobi Jagguarnya lagi dijemur sama Mami,” kata Robert. “Udah lah, terima aja kenyataan hidup ini. Kebetulan mobil yang nganggur di rumah, ya Metromini ini, Cin. Gimana dong?”

“Yaudah! Tapi gw nggak mau nyetir ya...” ucap Agam.

“Gw juga nggak mau! Soalnya gw lebih suka bawa truk,” kata Nanda. “Elo aja Kom?”

“Gw? Ada-ada aja, loe? Masa cewek imut kayak gw disuruh nyetir Metromini? Kalo bajaj gw mau!”

Semua mata memandang Robert. Itu artinya, Robert yang patut mengendarai Metromini ini. Kesempatan emas ini diberikan ke Robert, karena beberapa alasan, antara lain: Robert pemilik sah Metromini, badan Robert pas dengan Metromini. Kalo disandangkan di pelaminan, Robert dan Metromini bak pinang dibelah dua. Selain itu, Robert punya pengalaman menjadi Sopir dan sebelumnya magang jadi Kondektur.

“Tega banget sih loe pade?!” protes Robert.

“Ini anugerah terindah yang pernah kau miliki sayang,” kata Mia pada Robert, sambil membelai-belai rambut Robert yang udah mulai rontok gara-gara sering dimakanin tikus. Berkat dorongan dari kekasihnya, Robert akhirnya mau melaksanakan ibadah puasa, eh salah, menjadi sopir buat pergi ke Bekasi.

“Bekasi I’m comming!!!!!”

Sepanjang perjalanan, mereka bergembira ria. Maklumlah, perjalanan ke Bekasi jauh bener! Kalo kita nggak gembira, bakalan BT abis, Cin! Dalam kegembiraan itu, mereka menyanyikan lagu-lagu yang biasa dibawakan di karaoke, yakni “Madu dan Racun”, “Gelas-Gelas Kaca”, “Nina Bobo”, dan 50 lagu lainnya. Lagu yang paling keren yang mereka nyanyikan adalah “Wake me up before you Go Go” dari Wham.

Ternyata jadi orang Bekasi nggak menjamin bakal nyasar. Agam yang orang Bekasi aja bingung dengan kota tercintanya itu. Doi jadi nggak berfungsi banget. Maksud hati diajak supaya nggak nyasar, apa daya nyasar juga. Gara-gara nyasar itulah mereka terpaksa harus mencari Manusia yang hinggap di sepanjang jalan.

Mencari Manusia yang sempurna benar-benar susah. Sebetulnya Manusia sempurna ini buat ditanyakan lokasi rumah Juju. Yang ada hanyalah beberapa Tukang Ojek yang jaketnya bau-bau itu. Robert memutuskan buat menepikan Metromini. Doi ceritanya mau mempraktekkan pepatah kuno, yakni malu bertanya agar nggak sesat di jalan.

“Bang rumah Juju dimana?” tanya Robert.

Tukang Ojek bingung tujuh keliling. Kok rumah Juju? Mana doi tahu rumah Juju? Yang doi tahu rumah hantu Pondok Indah. Itu pun udah dibongkar. Yang doi tahu rumah Konglomerat tersoroh sejagat raya Brillianto K. Jaya. Kok rumah Juju?

“Juju srimulat, Bos?” tanya Tukang Ojek.

“Emang di Srimulat ada Juju Bang? Bukannya Cuma Gepeng, Asmuni, Tarzan, Timbul...”

“Stop! Stop!”

Robert stop berbicara.

“Abang mau tanya Juju atau mau ngebahas Srimulat, nih?”



Robert cengegesan. Doi akhirnya membuka rahasia maksud dan tujuannya bertanya. Dengan penuh kemesraan, si Tukang Ojek juga mendengarkan apa yang diuraikan Robert.

“Oh itu toh rumahnya Juju! Kalo itu mah dari tadi bilang, ane tahu lokasinya,” ucap Tukang Ojek yang kumisnya yang sebelah kanan udah mau putus itu. “Abang cari aja Polisi Inggris.”

“Polisi Inggris?” Robert heran. Kok di Bekasi ada Polisi Inggris? Di Jakarta aja nggak ada Polisi Inggris? Adanya Polisi Pamong Praja atau Polisi Lalu Lintas atau Polisi Wanita. Kok Bekasi jauh lebih hebring ada Polisi Inggris segala?

“Pokkoknya cari gerbang yang ada Polisi Inggris-nya. Itu pasti kompleks rumah Juju.”

Sambil berbingung-bingung ria, Robert dan kawan-kawan mencari gerbang yang ada Polisi Inggrisnya. Yang terbayang di otaknya, konsep Polisi Inggris adalah bertopi panjang, wardrobenya merah darah, dan membawa senjata laras panjang. Baik Robert maupun Agam, Nanda, Mia, Rafid, dan Agam memakai konsep yang sama soal Polisi Inggris. Yang beda Cuma Kokom. Menurut apa yang doi tahu, Polisi Inggris itu rambutnya pake pita, wardrobe-nya pake tuxido, dan sepatunya pake pantopel.

“Itu mah Bruce Lee lagi mo kondangan, Kom! Ada-ada aja sih loe,” kata Rafid.

Berjam-jam udah lewat. Robert dan kawan-kawan nggak menemukan Polisi Inggris. Yang ada Tukang Las Ketok Duco, Tukang Tambal Ban Goodyear, Warteg Pak Kumis, Sate Padang Uda Pengkor, dan Lapotuak Enrico Situmorang. Namun tanpa sengaja, Rafid melihat beberapa patung Prajurit di depan pintu masuk kompleks perumahaan. Rafid langsung menepuk pundak Robert agar menghentikan Metomininya. Metromini yang sedang berjalan dengan kecepatan 80 km/ jam langsung direm mendadak oleh Robert.

“Kira-kira dong loe Bos kalo ngajakin berhenti!” Robert sewot. Untung nggak terjadi tabrakan beruntun.

“Mungkin yang dimaksud Tukang Ojek bukan Polisi Inggris. Tapi Pajurit Romawi kali,” kata Rafid.

“Sejak kapan Prajurit Romawi pindah jurusan jadi Polisi Inggris?” kata Agam yang sempat benjol kena kaca Metromini gara-gara adegan rem mendadak tadi.

“Iya, Fid! Mana mungkin?”

Begitu yakinnya Rafid. Nggak heran dengan kekuatan penuh, doi turun ke jalan buat menanyakan kompleks rumah Juju pada dua Security yang ada di depan gerbang. Ketika Rafid menghampiri, dua Security tersebut langsung bergegas memakai lipstick dan memakai bedak. Mereka berdua tahu banget kalo Rafid suka cowok kayak mereka berdua, apalagi profesinya Security.

“Pak, rumah Juju di kompleks sini bukan?”

“Lho kok tahu? Kamu sering main ke kompleks ini ya?” kata Security Number One.

“Iya nih! Kalo main ke sini bilang-bilang dong. Kan kita bisa ketemuan,” kata Security Number Two.

“Jadi bener nih?” tanya Rafid meyakinkan si Security yang wajahnya lagi berbinar-binar memandang Rafid. Mereka seolah melihat seorang Luna Maya versi cowok yang ada di hadapan mereka.

Sebelum dua Security itu menciumnya, Rafid langsung kabur. Robert dan kawan-kawan bingung. Nggak ada anjing, kok terbirit-birit begitu. Begitu Rafid memerintahkan jangan banyak tanya, mereka langsung masuk ke kompleks perumahaan rumah Juju yang ternyata lumayan indah itu.

Akhirnya mereka sampai juga di rumah Juju. Sebagai Tuan Rumah yang baik, Juju menyambut dengan penuh suka cita. Doi mengalungkan kembang ke seluruh temannya itu, karena udah berhasil sampai ke Bekasi. Selain mengalungkan kembang, Juju juga menyiramkan ke Robert dengan seember air yang udah dicampung dengan kuning telor. Hal tersebut sebagai tanda, Robert adalah sopir Metromini yang jempolan dan layak dipuji.

“Boleh makan sekarang nggak Ju?” tanya Rafid.

“Tentu saja. Sebelum makan jangan lupa cuci tangan dan cuci kaki dulu ya. Soalnya kata Ibu Guru TK gw, dari tangan dan kaki bisa mengeluarkan cacing,” jelas Juju yang siang itu memakai kebaya dan konde ala Ibu-Ibu Pejabat.

Semua makan, kecuali Robert. Teman-temannya cuek. Mereka pikir, Robert memang nggak usah makan lagi. Di perutnya masih banyak makanan yang disimpan. Lagipula kalo kebanyakan makan, tensi darah dan gula Robert akan semakin menanjak. Bisa-bisa asam urat, kolesterol, darah tinggi, gula dara, dan aneka penyakit lain akan berkembang dengan cepat. Ujung-ujungnya doi bisa semaput alias mati di tempat. Tentu saja teman-temannya nggak mau bertanggung jawab kalo Robert mati. Nggak tahu kalo Juju mau.

“Elo nggak makan, Bet?” tanya Juju dengan intonasi lembut.

“Gw nggak bisa terima dengan perlakukan Tukang Ojek tadi!” jelas Robert. “Masa gw dikasih petujunjuk kompleks rumah loe ada Polisi Inggris-nya? Padahal gw sama sekali nggak menemukan petunjuk yang dimaksud. Gw sebagai orang yang pernah ke Inggris nggak terima dengan perlakukan Tukang Ojek itu!”

“Jadi mau loe apa, Bet?”

“Gw mau samperin dan minta pertanggungjawaban!”

Robert pun pergi meninggalkan rumah Juju, sekaligus meninggalkan kompleks perumahaan tersebut. Pada saat melawati pagar depan kompleks, dua Security sempat menanyakan Robert soal Rafid. Oleh karena lagi naik pitam, pertanyaan nggak penting dua Security itu dibalas oleh Robert dengan bentakan. Kondisi yang nggak mengenakkan itu membuat Security Number One dan Number Two nangis.

“Nanti gw bilangin Direx lho!” kata Security Number One sambil menangis dengan nada dasar B.

“Siapa tuh Direx?” tanya Robert menantang. “Panggil tuh yang namanya Direx, gw kagak takut!”

Robert tancap gas. Metromini yang dikendarainya menyusuri jalanan yang penuh dengan motor dan kendaraan pribadi. Dasar cuek, doi melakukan zig-zag kayak sopir Metromini yang ngejar setoran. Namun kali ini bukan ngejar setoran, tapi ngejar Tukang Ojek di pangkalan.

Sesampainya di pangkalan, Robert langsung mencari Tukang Ojek yang tadi memberi tahu alamat rumah Juju. Kebetulan di situ ada sekitar lima belas Tukang Ojek. Robert memandangi satu per satu wajah Tukang Ojek yang ada di situ. Robert sempat bingung, rata-rata wajah mereka ganteng-ganteng. Ada yang mirip Anjasmara. Ada pula yang mirip Fahri Albar. Robert jadi malu sendiri, karena wajahnya nggak seganteng Tukang-Tukang Ojek di situ. Untunglah kemaluannya dikikis abis, dan lebih fokus pada kemarahannya. Lebih tepatnya, ingin meminta pertanggungjawaban pada Tukang Ojek tadi.

“Siapa di antara Abang-Abang ini yang tadi ngasih tahu gw dimana rumah Juju berapa?” tanya Robert, sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Para Tukang Ojek diam. Mereka saling berpandang-pandangan. Setelah berpandang-padangan, mereka menatap Robert dan menggelengkan kepala secara bersama-sama.

“Kok nggak ada yang ngaku sih?”

Para Tukang Ojek diam lagi. No comment, persis Dessy Ratnasari yang janda tiga kali tapi masih tetap bahenol itu. Persis mantan Presiden Megawati yang jarang ngomong dan jarang berkomunikasi dengan wartawan itu.

“Gw cuma mau ngasih tahu, next time kalo ada yang tanya rumahnya Juju, jangan sebut-sebut Polisi Inggris lagi ya?”

“Emang kenapa, Bang?” seorang Tukang Ojek berani bertanya.

“Patung yang ada di kompleks rumah Juju buka patung Polisi Inggris, tapi Abdi Dalem dari Yogya, tahu?!”

“Oh begitu ya?”

“Iya, begitu!”

“Emang Abang pernah ke Inggris?”

“Belum! Tapi gw tahu Polisi Inggris itu kayak gimana. Bukan kayak Patung di kompleks itu...”

“Bang! Gw yang pernah ke Inggris nggak sombong kayak Abang...” tiba-tiba salah seorang Tukang Ojek lain ikut-ikutan bicara.

Mata Robert melotot. Bukan melotot marah, tapi melotot kaget.

“Polisi Inggris zaman sekarang ya persis kayak Patung itu. Polisi Inggris sekarang udah mereformasi diri. Sekarang Polisi Inggris jadi mirip kayak Prajurit Yunani. Kalo nggak percaya, sekarang Abang ke Inggris aja...”

“Nggak mau, ah. Mahal!”

“Nah, makanya dari itu. Jangan sok protes-protes segala...”

“Maafin ya, Bang...”

“Sip! Oh iya, kapan-kapan kalo mau melancong ke Inggris kabarin aye ya Bang..."

"Emang Bang mau ke Inggris?"

"Enggak! Tapi ane mau ke Garut..."

"....."

0 komentar: