Sabtu, 20 Maret 2010

MENDING DIBIARKAN SAJA DARIPADA DIBELI SAMA ORANG

Begitulah cerita Hugeng, pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang rumput di gudang tua di sebelah Carrefour, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Bahasa keren dari tukang rumput adalah gardener. Nah, sudah tujuh tahun ini ia bekerja di gudang milik perusahaan rokok Djinggo ini.

Menurut Hugeng, gudang ini dahulu milik perusahaan televisi bermerek National Gobel. Kemudian dibeli oleh perusahaan rokok Djinggo. Sudah sejak lama, gudang ini dibiarkan begitu saja. Nggak dirobohkan buat diganti dengan gedung baru, nggak pula berusaha dijual kepada orang lain.

"Kata pemiliknya sih mending dibiarkan begitu saja," kata Hugeng, pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah ini.


Foto gudang Djinggo dilihat dari area Carrefour, Cempaka Putih. Mana gudangnya? Atap genteng yang ada di depan gedung Gudang Garam itu adalah salah satu atap gudang. Kelihatan kan? Kalo nggak kelihatan, Anda kayaknya perlu pake kacamata, deh!

Sekadar info, Djinggo atau dikenal dengan rokok Minak Djinggo didirikan pada tahun 1930 di Pati, Jawa Tengah. Pemilik rokok ini bernama Kho Djie Siong. Pada tahun 1932, Djinggo memindahkan pabriknya, dari Pati ke Kudus. Di Kudus ini, Djie Siong membuat produk baru yang dikasih nama Nojorono. Nama Nojorono inilah yang kelak menjadi nama holding company yang membawahi rokok Djinggo.

Sebenarnya di Jakarta ini Djinggo punya banyak gudang. Beberapa gudang nasibnya mirip yang ada di samping Carrefour ini, diterlantarkan. Salah satunya di Mangga Besar. Nggak jauh dari Cempaka Putih, ada gudang milik Djinggo, yakni di Kawasan Industri Pulogadung, yang konon masih dioperasikan.

Sebenarnya gudang di Cempaka Putih ini sangat strategis. Betapa tidak, lokasinya persis di pinggir jalan. Di deretan gudang Djinggo, ada kantor rokok yang jadi kompetitornya, yakni Gudang Garam. Menurut saya, kalo gudang Djinggo di situ, akses men-delivery barang cepat. Masuk pintu tol ke arah Tanjung Priuk maupun ke Bogor nggak jauh. Ini sempat dirasakan oleh pabrik Coca-Cola yang beberapa waktu lalu sempat beroperasi di pojokan wilayah Cempaka Putih sekitar tahun 90-an.


Ini gudang yang dilihat dari pintu masuk. Kata Hugeng, di lokasi depan situ, banyak mahkluk halus yang bergentayangan. Nggak percaya? Silahkan mampir kalo punya waktu ke situ ya? Ditunggu, lho kehadirannya. Tiada kesan tanpa kehadiran Anda.

Anyway, sampai tujuh tahun bekerja, menurut Hugeng, belum dapat info akan dipugar, direnovasi, atau bahkan dijual. Hebatnya, baik listrik maupun air, tetap menggunakan daya sesuai pabrik, bo. Gokil nggak tuh?! Padahal yang tinggal di situ cuma Hugeng, istri Hugeng, seorang anak Hugeng, dan seorang Security.

Daya listrik yang digunakan gudang ini sebesar 15 ribu watt. Makanya bayaran per bulan masih cukup besar, minimal Rp 200 ribu, bahkan pernah mencapai Rp 700 ribu. Sementara untuk PAM, pemakaiannya nggak bisa tentu. Kadang murah, kadang besar, karena saluran air yang terpasang di sepanjang gudang ini seringkali bocor. Kalo sudah bocor, kudu menelusuri pipa satu per satu dengan sabar.

"Tapi itu bukan tugas saya. Di sini saya cuma memotong rumput supaya nggak tinggi. Itu pun rumput yang di depan gudang saja. Kalo di dalam sudah hancur-hancuran," papar Hugeng.

Banyak 'penunggunya' nggak? Maksudnya setan, hantu, jin, atau genderuwo?

"Wah, banyak banget, mas," katanya pada saya sambil tersenyum. "Terutama di depan gudang ini. Kalo dimatikan, kita bisa melihat mahkluk halus berseliweran di depan sini."

Mengerikan banget ya? Jangan-jangan banyak orang yang borong belanjaan di Carrefour gara-gara 'kesambet' setan dari gudang tua milik Djinggo ini ya? Gara-gara 'kesambet' atau 'kesetanan' (maksudnya kemasukan setan), mereka yang belanja menghabiskan ratusan ribu di Carrefour. Ah, entahlah!

Itulah yang barangkali banyak orang yang nggak tahan kerja seperti Hugeng ini. Kalo nggak cuma bertahan 3 tahun, ya paling mentok 5 tahun. Hugeng ini termasuk karyawan yang paling lama bekerja di gudang milik Djinggo ini. Berani juga ya?

"Ya, daripada nggak ada kerjaan, mending jadi tukang bersihkan rumput, mas," ungkap Hugeng sambil mengisap rokok dan mengepulkan asap rokok ke udara. "Kalo jadi karyawan di pabrik, kita harus kontrak, yang harga kontraknya 300 ribu. Itu belum ditambah bayar listrik dan air. Hitung-hitung 500 ribu untuk rumah. Nah, kalo di sini kan tinggal kerja aja. Soal tempat tinggal, listrik dan air sudah dibayarin perusahaan."

Wah, bener juga sih. Biar hidup dengan banyak setan, hantu, genderuwo, tuyul dan mbak yul, atau jin dan jun, sing penting bisa dapat penghasilan di ibukota Jakarta ini. Hugeng, yang gondrong itu sadar, pendidikannya nggak tinggi. Ia lulusan SMP. Jadi, kalo nasibnya saat ini memang cuma jadi tukang potong rumput, ya terpaksa memang harus dijalani dulu. Ya, siapa tahu Allah berkehendak lain, dia berhasil menjadi pemilik perusahaan Djinggo.


Gudang Djinggo tampak belakang. Dari depan ke belakang luas, lho, tanahnya. Meski nggak akurat, tapi menurut Hugeng, tanahnya bisa mencapai lebih dari 1 hektar. Gokil nggak tuh?! Bayankan kalo tanah yang luas ini dipergunakan buat hal produktif buat masyarakat, wah, alangkah luar biasanya pemilik rokok ini. Pasti dapat dosa, eh salah! Maksudnya dapat pahala dari Tuhan. Kita bisa sama-sama mendoakan agar bisa masuk UMPTN, eh salah lagi, maksudnya masuk surga.

Saya menghayal, kebijakan pertama Hugeng ketika menjadi pemilik perusahaan adalah menjadikan gudang tua sebagai sebagai tempat yang produktif, nggak cuma buat produktif buat perusahaan tetapi buat masyarakat. Misalnya menjadikan gudang ini sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Luar biasa bukan? Nggak perlu sampai menghibahkan tanah buat Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, tetapi RTH sementara aja sebelum perusahaan punya ide tanah ini digunakan buat apa.

Apalagi dengan kebijakan pemerintah menjadikan rokok sebagai barang haram, tentu ruang gerak pabrik rokok akan semakin sempit. Distribusi akan semakin sedikit. Nah, alangkah baiknya kalo gudang yang tidak terpakai, digunakan buat warga Jakarta yang hendak berolahraga dengan membuka RTHS. Lho, kok pake embel-embel huruf "s"? Ya itu tadi, nggak perlu menghibahkan tanah, tetapi cukup "S" saja, yakni "sementara". RTH sementara.


all photos copyright by Jaya

2 komentar:

Selamet hariadi mengatakan...

Ulasan tentang Nojorono juga mas?

diary si tukang gowes mengatakan...

Enggak ttng Nojorono, tapi tentang gudangnya yang terbengkalai